Kareena menatap layar ponselnya dengan ekspresi penuh kecemasan. Panggilan dari putra tunggal mereka, Prasetyo, datang tepat setelah Hans memberi laporan tentang situasi yang semakin buruk. Kejadian-kejadian yang terungkap begitu cepat—kehamilan Samantha, tuntutan Akbar, dan penolakan Prasetyo untuk mengakui anak itu—membuat hati Kareena penuh dengan kemarahan yang belum bisa ia sembunyikan.Rahardian, suaminya yang tenang dan selalu mengedepankan logika, terlihat sangat marah. Mereka memang tidak pernah memiliki hubungan yang dekat dengan Prasetyo. Namun, rasa malu dan frustrasi semakin menggerogoti mereka, apalagi setelah mendengar bahwa anak yang seharusnya membawa kehormatan keluarga malah terjebak dalam skandal yang bisa merusak nama baik mereka.Kareena mengangkat telepon, dengan tatapan tajam pada Rahardian yang kini berdiri di sampingnya. “Prasetyo,” katanya, dengan nada suara yang lebih rendah, namun penuh beban.Di ujung telepon, terdengar napas berat Prasetyo. “Bu, Ayah...”
Keputusan Rahardian dan Kareena untuk kembali ke Indonesia segera setelah panggilan telepon yang tegang itu mengguncang kediaman Rahardjo. Mereka berdua terbang dalam diam, tidak hanya karena kekhawatiran terhadap keadaan keluarga mereka, tetapi juga karena mereka tahu betul betapa beratnya masalah yang harus dihadapi ketika mereka tiba di Jakarta. Mereka tidak lagi merasa bahwa keluarga ini berjalan dengan baik. Malah, mereka merasa seolah-olah mereka sudah kehilangan kendali atas putra mereka, dan itu membuat Rahardian dan Kareena semakin frustasi.Sesampainya di kediaman Rahardjo, suasana semakin tegang. Rumah yang dulunya selalu dipenuhi tawa dan kebanggaan kini terasa hampa. Setiap sudut tampak terabaikan, bahkan langit-langit yang biasanya dipenuhi dengan cahaya lembut, kini tampak suram. Kehadiran orang tua Prasetyo semakin menambah tekanan yang ada. Rahardian yang terkenal dengan ketegasannya langsung mengumpulkan Prasetyo di ruang tamu, menunggu penjelasan yang ia anggap sang
Berikut ini adalah versi teks dengan nama kakak Prasetyo diubah menjadi Pradana: Prasetyo terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya berlumuran keringat dingin. Kepalanya terasa berat, seakan-akan baru saja dibebani oleh beban dunia yang tak bisa lagi ia hindari. Mata yang terbuka dengan kebingungan memandang sekeliling, dan sejenak ia merasa tidak yakin di mana dirinya berada. Namun, perasaan hampa dan penyesalan yang menggerogoti hatinya kembali datang dengan begitu kuat. Ia teringat kembali dengan jelas—seperti dalam mimpi yang begitu nyata. Mimpi Prasetyo: Prasetyo melihat dirinya dan Pradana, kakaknya, sedang bermain di halaman belakang rumah besar mereka yang dikelilingi pepohonan rindang. Waktu itu mereka berdua masih anak-anak. Pradana, kakak kembarnya, lebih besar, lebih kuat, dan lebih bijaksana. Meski mereka sering kali berada di bawah tekanan yang sama dari orang tua mereka, Pradana selalu ada untuk Prasetyo. Setiap kali Prasetyo merasa tertekan dengan harapan oran
Chapter SelanjutnyaNathalia duduk di sudut kamar yang redup, menatap kosong ke arah dinding yang dingin dan hampa. Air mata tak henti-hentinya mengalir di pipinya, membawa serta rasa sakit yang mendalam. Hatinya remuk, seperti kaca yang telah terjatuh dari ketinggian dan pecah berkeping-keping.Beberapa minggu yang lalu, dunia Nathalia telah runtuh saat ia mengalami keguguran. Rasa kehilangan itu begitu menyakitkan, menghancurkan harapan yang telah ia dan suaminya bangun bersama. Ia mencoba kuat, berusaha menerima kenyataan bahwa bayi yang begitu diidamkan kini telah tiada. Namun, luka itu belum sempat sembuh, ketika ia menerima kabar yang jauh lebih memilukan.Suaminya, Prasetyo, telah menghamili perempuan lain.Kabar itu datang seperti petir di siang bolong. Awalnya, Nathalia tidak percaya. Ia berharap itu hanya rumor jahat yang dibuat untuk menghancurkan rumah tangga mereka. Tapi kenyataan tak bisa dipungkiri. Perempuan itu datang sendiri, membawa bukti kehamilan dan cerita yang t
Chapter SelanjutnyaPagi itu, Prasetyo duduk di ruang kerjanya, mencoba memusatkan perhatian pada berkas-berkas di depannya. Namun, pikirannya terus melayang ke percakapan terakhirnya dengan Nathalia. Rasa bersalah masih menyelimutinya seperti awan gelap yang tak kunjung pergi. Ia tahu, kesalahannya telah merusak segalanya, dan jalan menuju penebusan terasa begitu jauh dan sulit.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat dadanya berdegup lebih kencang—Samantha. Mantan tunangannya yang selama ini berusaha ia hindari setelah kejadian yang menghancurkan pernikahannya.Dengan enggan, Prasetyo membuka pesan yang masuk. Sebuah gambar hasil USG menyambutnya, membuat napasnya tercekat. Di bawah gambar itu, terdapat pesan dari Samantha:"Pras, ini anak kita. Kau tidak ingin kehilangan anak lagi, kan? Jangan sampai kau menyesal."Pesan itu terasa seperti pisau yang menusuk tepat di hatinya. Prasetyo merasa pusing, tubuhnya gemetar saat menatap gambar itu. Ia tahu bahwa in
Hari-hari berlalu dengan keheningan yang mencekam. Prasetyo masih tenggelam dalam pikirannya, mencoba memahami jalan keluar dari situasi rumit yang sedang dihadapinya. Pesan dan panggilan dari Samantha terus berdatangan, menambah tekanan yang semakin membuatnya gelisah. Namun, satu keputusan sudah bulat di dalam pikirannya—ia tidak akan mengakui anak itu sebelum melakukan tes DNA. Pagi itu, Prasetyo menghubungi Samantha. Suaranya terdengar tegas, jauh dari nada bersalah atau ragu-ragu yang biasa ia tunjukkan. "Samantha, aku sudah berpikir panjang tentang semua ini," ucap Prasetyo, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Aku tidak akan mengakui anak itu sebelum kita melakukan tes DNA." Di ujung telepon, Samantha terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. "Pras, kau meragukan aku? Setelah semua yang kita lalui?" "Aku tidak meragukan apapun, Samantha. Aku hanya ingin memastikan kebenarannya," jawab Prasetyo dengan tegas. "Jika anak itu memang darah dagingku, aku akan bertanggung ja
Hari itu, Nathalia memutuskan untuk menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, mencoba melupakan sejenak masalah yang membebani pikirannya. Ia berjalan dari satu toko ke toko lain, matanya menelusuri rak-rak yang penuh dengan barang-barang. Meskipun tampak sibuk dengan belanjaannya, benaknya terus dipenuhi oleh kecemasan akan hasil tes DNA Prasetyo. Di sudut lain pusat perbelanjaan, seorang pria dengan tatapan tajam mengawasinya dengan saksama. Arman, sahabat lama Prasetyo, mengikuti Nathalia sejak ia memasuki tempat itu. Awalnya, ia berusaha membujuk dirinya sendiri bahwa ia hanya ingin memastikan Nathalia baik-baik saja. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu ada perasaan lain yang mendorongnya untuk terus berada di dekatnya. Arman mempercepat langkahnya saat Nathalia berhenti di depan sebuah kafe kecil. Dengan hati-hati, ia mendekatinya, berpura-pura tidak sengaja bertemu. "Nathalia?" panggil Arman dengan suara terkejut yang dibuat-buat. "Apa kabar? Lama tidak bertemu." Nathal
Chapter Berikutnya: Dalam Cengkeraman Kebencian Nathalia berdiri di ambang pintu, tubuhnya menegang saat melihat Samantha duduk di ruang tamu. Perempuan itu tampak santai, seolah-olah tidak ada yang salah dengan kunjungannya. Di sebelahnya, Kareena, ibu mertua Nathalia, duduk dengan senyum puas di wajahnya. Keduanya tampak akrab, seperti dua teman lama yang tengah berbagi cerita. "Nathalia," suara Kareena terdengar tajam, meskipun dibalut dengan nada sopan. "Samantha datang untuk berbicara, tidak sopan jika kau tidak menyapanya." Nathalia mengatur napasnya, mencoba menahan amarah yang berkecamuk di dadanya. "Apa yang dia lakukan di sini?" tanyanya dengan nada yang berusaha ia jaga tetap tenang. Samantha tersenyum tipis, meletakkan tangan di perutnya yang mulai membesar. "Aku hanya ingin berkunjung, Nathalia. Lagipula, aku mengandung anak Prasetyo, dan aku pikir keluarga berhak tahu bagaimana keadaanku." Nathalia merasa darahnya mendidih. "Kau pikir ini tempat yang pantas untuk da
Prasetyo menarik napas panjang saat ia dan Rendra keluar dari kafe melalui pintu belakang. Jalanan di belakang kafe sepi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan yang berkelip. Namun, Prasetyo tahu bahwa mereka tidak akan dibiarkan pergi begitu saja."Kita harus cepat," kata Rendra, matanya menyapu sekeliling.Langkah kaki terdengar semakin dekat. Prasetyo menoleh ke belakang dan melihat pria bertubuh besar yang tadi masuk ke kafe kini berdiri di ambang pintu belakang, menatap mereka dengan tajam. Dua orang lainnya muncul dari gang sempit di samping kafe, membuat jalan keluar mereka semakin terbatas."Mereka datang lebih cepat dari yang kukira," gumam Prasetyo."Tidak ada waktu untuk ragu," balas Rendra. Ia dengan cekatan meraih sesuatu dari dalam jaketnya—sebuah flash drive kecil. "Ambil ini. Jika terjadi sesuatu padaku, pastikan Samantha dan Nadia mendapatkannya. Mereka tahu harus berbuat apa."Prasetyo mengambil flash drive itu dan memasukkannya ke dalam saku dalam jaketnya
Prasetyo berdiri di tengah ruangan yang perlahan-lahan mulai kosong. Orang-orang masih berbisik tentang apa yang baru saja terjadi, beberapa di antara mereka mencuri pandang ke arahnya dengan berbagai ekspresi—kagum, lega, atau bahkan ketidakpercayaan. Tapi Prasetyo tidak peduli. Pikirannya masih tertuju pada satu hal: ini belum berakhir.Samantha masih berdiri di dekatnya, wajahnya terlihat lebih tenang meski sisa ketegangan belum sepenuhnya hilang. Ia meremas jemarinya sendiri, seolah mencoba menenangkan diri. "Pras, kita harus memastikan Arman benar-benar tidak punya jalan untuk lolos lagi. Kita tidak bisa membiarkannya bermain di balik bayang-bayang."Nadia, sang jurnalis investigasi, menyelipkan tablet ke dalam tasnya lalu menatap Prasetyo dengan serius. "Bukti ini cukup untuk menjatuhkannya sekarang, tapi seperti yang kubilang tadi, ini belum selesai. Ada banyak orang di belakang Arman yang mungkin mencoba membersihkan namanya atau bahkan membalas dendam."Prasetyo mengangguk. "
Prasetyo menatap pria berseragam itu dengan tajam, pikirannya berpacu mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Ia tahu jika ia mengikuti mereka sekarang, Arman akan semakin unggul. Setiap detik terasa begitu panjang, seolah waktu melambat dalam ketegangan yang semakin menyesakkan."Tuan, kami harus meminta Anda untuk tidak membuat ini lebih sulit," suara pria itu tegas, namun tetap formal. Tangannya sudah terulur, siap menggiring Prasetyo keluar dari ruangan.Samantha berdiri dengan gemetar, wajahnya penuh ketakutan dan amarah yang bergejolak. "Tidak! Dia tidak bersalah! Semua ini rekayasa! Arman menjebaknya!"Arman mendesah, menggelengkan kepalanya seolah bosan dengan drama yang terjadi. "Samantha, sayangku, terima saja kenyataan. Prasetyo kalah. Kau juga kalah. Dunia ini tidak pernah berpihak pada orang-orang seperti kalian."Namun sebelum pria berseragam itu bisa membawa Prasetyo, sebuah suara lain menggema di ruangan."Tunggu!"Semua kepala menoleh. Seorang wanita dengan jas ab
Ruangan itu masih sunyi. Udara terasa tegang, seakan-akan waktu berhenti setelah semua kebenaran terungkap. Prasetyo menarik napas panjang, matanya menatap Samantha yang kini benar-benar kehilangan kata-kata. Namun, ia tahu, ini belum selesai.Tiba-tiba, suara tepukan tangan menggema di ruangan itu. Semua orang menoleh ke arah pintu masuk. Di sana, berdiri seorang pria dengan jas hitam rapi, ekspresi wajahnya penuh dengan kepuasan. Arman."Luar biasa, Pras," ujarnya dengan nada mengejek. "Aku harus mengakui, kau memang lebih pintar dari yang aku kira. Tapi apakah kau benar-benar berpikir ini adalah akhir dari segalanya?"Prasetyo mengepalkan tangannya. "Arman, ini sudah selesai. Semua bukti ada di sini. Tidak ada lagi kebohongan yang bisa kau sembunyikan."Namun, alih-alih panik, Arman justru tersenyum sinis. Ia melangkah perlahan ke tengah ruangan, matanya menatap Samantha yang kini tampak putus asa."Samantha, sayangku," ucapnya dengan nada merendahkan. "Aku sudah bilang, jangan ter
Ruangan yang awalnya penuh dengan tawa dan kegembiraan kini berubah menjadi panggung pembongkaran. Semua mata tertuju pada Prasetyo, yang berdiri tegak di tengah-tengah ruang, dengan wajah penuh tekad. Di belakangnya, layar televisi lebar yang sudah disiapkan sebelumnya menampilkan serangkaian bukti yang akan mengungkapkan kebohongan besar yang selama ini disembunyikan oleh Samantha dan Kareena.Samantha, yang semula tampak percaya diri, kini mulai tampak panik. Wajahnya memucat, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ia tak menyangka jika Prasetyo benar-benar memiliki bukti yang begitu kuat, bukti yang mampu mengguncang seluruh dunia yang ia bangun dengan kebohongannya. Namun, Samantha masih mencoba untuk menyelamatkan dirinya. Dengan cepat, ia berusaha mengelak, suaranya bergetar ketika ia membuka mulut."T-tunggu, Prasetyo! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" Samantha mencoba menyusun kata-kata, meskipun suaranya terdengar semakin terbata-bata. "Kamu salah paham! Aku… aku tidak tahu apa
Meski ingatannya telah kembali sepenuhnya, ia memilih untuk berpura-pura tidak ingat, bahkan bersikap seolah-olah ia masih kehilangan ingatannya. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang berbahaya, tetapi itu adalah cara terbaik untuk mempersiapkan dirinya menghadapi Samantha dan orang-orang yang telah menipu dan memanipulasinya selama ini. Prasetyo merasa bahwa saat ini ia harus menjadi seorang aktor yang baik, menyembunyikan perasaannya dan berakting sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Samantha dan ibunya, Kareena.Samantha, dengan segala kebohongannya, terus berusaha menambah kepingan puzzle kebohongan yang selama ini mereka bangun. Ia tahu bahwa Prasetyo masih berada di dalam genggamannya, dan ia terus mencoba untuk meyakinkannya bahwa mereka berdua adalah pasangan yang sempurna, bahwa dia adalah wanita yang terbaik untuknya. Sementara itu, Kareena, ibu Prasetyo, tampaknya juga telah membenarkan semua kebohongan itu, memberikan dukungan penuh pada Samantha, seolah-olah semuanya be
Nathalia masih berdiri di depan pintu rumah sewaannya, matanya penuh kebingungan, bercampur dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya ingin percaya, tapi rasa takut dan luka lama yang belum sembuh sepenuhnya membuatnya ragu. Namun, di tengah ketidakpastian itu, ponsel Nathalia tiba-tiba berbunyi.Dia melihat nama Akbar muncul di layar. Nathalia merasa sedikit cemas, karena dia tahu Akbar adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Prasetyo, dan bisa jadi, Akbar tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi. Tanpa berpikir panjang, Nathalia mengangkat telepon itu."Halo, Akbar," sapanya dengan suara sedikit terengah-engah, masih mencoba menenangkan dirinya setelah pertemuannya dengan Prasetyo."Nat, kamu baik-baik saja?" suara Akbar terdengar prihatin dari ujung telepon. "Aku dengar Prasetyo datang menemuimu tadi. Apa yang terjadi?"Nathalia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. "Iya, dia datang," jawabnya perlahan. "Tapi... ada banyak hal ya
Setelah beberapa waktu terpisah dan melalui berbagai kebohongan yang menjerat, hatinya kini dipenuhi oleh penyesalan yang mendalam. Ia harus menemui Nathalia, harus melihat wajah wanita itu lagi, meskipun ia tahu ia sudah terlambat. Akibat tindakan ibunya, ia dan Nathalia kini terpisah. Tetapi, berkat bantuan Akbar, akhirnya ia berhasil mengetahui keberadaan Nathalia. Tak ada lagi waktu untuk ragu—Prasetyo merasa ia harus melangkah, walaupun ia tahu ini akan menjadi pertemuan yang penuh emosi dan kerumitan.Saat sampai di depan rumah sewaan Nathalia, perasaan Prasetyo semakin bergejolak. Rumah itu tampak sederhana, jauh berbeda dengan rumah mewah yang dulu mereka impikan bersama. Rumah ini adalah tempat di mana Nathalia harus berjuang sendiri, tanpa kehadirannya. Dalam kondisi seperti ini, Prasetyo merasa dirinya semakin tidak pantas berada di sana.Prasetyo mengatur napasnya, mengetuk pintu dengan tangan yang sedikit gemetar. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di baliknya, Nathali
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Prasetyo akhirnya keluar dan kembali ke rumah, meskipun ingatannya masih sedikit kabur. Samantha tetap berada di sisinya, menjaga setiap langkahnya. Namun, dalam hati Prasetyo, sebuah niat mulai berkembang—untuk menggali lebih dalam tentang siapa yang benar dan siapa yang berbohong. Ia sadar bahwa ingatannya yang hilang bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang ada di sekitarnya.Suatu malam, saat mereka sedang duduk bersama di ruang tamu, Prasetyo memutuskan untuk menghubungi Akbar. Ia tidak memberi tahu Samantha sebelumnya, tapi ia tahu bahwa Akbar adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya mengungkap semua yang disembunyikan. Di luar dugaan, Akbar menjawab telepon dengan cepat, suaranya tegas namun penuh kekhawatiran."Pras? Apa kabar? Kenapa tiba-tiba menghubungi aku?" tanya Akbar dengan nada cemas.Prasetyo menghela napas, menatap langit malam yang gelap di luar jendela. "Ingatan aku su