Serra berjalan menapaki ubin berbahan marmer berwarna putih itu dengan hati-hati, mengimbangi langkah sang suami. Untuk menuju kamar, biasanya ia hanya berjalan beberapa meter saja dari dapur, tetapi kali ini ia harus berjalan sebanyak dua kali lipat sebab rumah yang ia tinggali selama tiga bulan ke depan tiga kali lipat lebih besar dari rumah yang ia tinggali sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh suaminya dan juga kesepakatan yang sudah disetujui, mulai pagi ini Serra dan Gamma kembali pindah ke rumah utama Pranadipta bergabung bersama dengan William dan juga Romana. Bukan tanpa alasan mereka segera pindah ke rumah ini, sebab pengerjaan renovasi rumah mulai dikerjakan dalam minggu ini. Ya, Serra tahu, suaminya mengejar waktu agar tidak terlalu dekat dengan waktu kelahiran bayi mereka. Sebetulnya, keputusan Gamma yang ini sudah disanggah berulang kali oleh Serra. Istrinya itu tidak ingin pindah. Menurut perempuan itu, walaupun sedang renovasi masih ada tempat yang bisa ditinggali d
Kedua alis Serra spontan menyatu. Apa yang terjadi dengan Gamma dahulu, ia juga tidak paham. karena jujur selama menikah dengannya tidak pernah sekalipun pria itu bercerita tentang masa lalu. Ia hanya mengetahui sedikit tentang kisah cintanya yang gagal dengan seorang model ternama dari sang mertua. Pun ia sudah mengkonfirmasi kepada Gamma dan pria itu membenarkan fakta itu. Sontak bati Serra bertanya-tanya, adakal hal lain yang tidak ia ketahui tentang suaminya? Apa lagi tentang masa lalunya. “Kenapa begitu? Memangnya ada apa denganmu di masa lalu?” selidik Serra setelah mendengar peringatan suaminya. Tentu perempuan itu merasa ada yang janggal. Jika memang tidak terjadi apa-apa kepada suaminya di masa lalu, bukankah Gamma tidak perlu repot-repot untuk memberikan Serra nasihat seperti itu? “Bukan apa-apa, Sayang. Dulu aku itu nakal, jadi aku malu kalau istriku harus tahu kelakuan nakalku dulu sewaktu remaja. Aku juga tidak ingin kau tahu dari rumber yang salah. Itu saja,” jawab pri
Sepasang kaki jenjang milik seorang wanita sedang berjalan di sebuah Lorong penghubung antar ruangan. Ia tidak sendirian. Romana, sang mertua dengan sabar dan telaten menemani Serra berjalan sembari menjelaskan bagian-bagian juga fungsi setiap ruangan. Seluruh bangunan ini hampir semuanya berwarna putih. Warna lain yang dominan hanyalah cokelat tua juga kuning gading. Bangunan itu semakin nampak estetik dan mewah berhias dengan perabotan juga aksesori yang berwarna emas. Sore ini Serra memilih menghabiskan waktunya dengan mengelilingi rumah sang mertua. Jujur saja meskipun sudah pernah menginap di rumah ini, ia belum pernah mengertahui bagaimana detail setiap sudut bangunan yang megah ini. “Nah, Serra, ini adalah foto-foto keluarga Pranadipta dan ruangan ini sering digunakan untuk melaksanakan acara penting yang digelar tertutup. Kau tahu? Kedutaan besar untuk Jerman pernah berkunjung di tempat ini. Waktu itu, Gamma berhasil membuat perjanjian kerja sama dengan pemerintah jepang untu
Kaca yang tergantung di kamar berkelir putih itu terguncang akibat hantaman sebuah tangan kekar milik seorang laki-laki. Pria yang mengenakan piyama hitam itu berulang kali membenturkan tangannya kepada sebuah tembok yang tinggi menjulang. Lalu detik berikutnya menyugar rambutnya yang setengah basah karena air. Ya, pria itu baru saja selesai membersihkan diri juga mendinginkan kepalanya yang terasa ingin pecah. Masalah di kantor juga masalah di rumah ini.Gamma sedang prustasi.Sejak pagi tadi hanya rasa gelisah yang melingkupi hatinya. Gamma hanya khawatir jika Serra mengetahui semua masa lalunya sebelum Ia sendiri siap untuk menceritakan semua hal yang terjadi padanya. Karena masa itu adalah masa kelam yang tak ingin ia ingat lagi. Masa terburuk dimana Gamma harus hancur berkeping-keping, terpuruk, hingga tersuruk.Sebenarnya tidak masalah jika Serra mengetahuinya asal perempuan itu menerimanya. Akan tetapi Gamma tak berani mengambil resiko yang terburuk. Ia tak ingin hal buruk ter
Bermacam-macam lauk sudah Serra siapkan di meja makan. Mulai dari makanan berprotein rendah hingga berprotein tinggi semua sudah tersaji dengan rapi. Pagi ini entah kenapa ia begitu ceria, wajahnya berseri bagai bidadari menanti sang suami yang sebentar lagi turun, menghampiri. Wanita hamil itu tidak sendiri, ia ditemani oleh Romana, sang mertua yang sudah lebih dulu duduk di salah satu kursi beberapa saat yang lalu. Mereka sedang menanti kedatangan dua pria pewaris seluruh harta keluarga Pranadipta. “Menantu ibu terlihat ceria sekali, ada apa, Serra? Kau sedang mendapat apa, hm?” tanya Romana kepada Serra. Sedangkan Serra yang ditanya sedemikian rupa hanya tersenyum saja. “Tidak, Bu, aku tidak mendapatkan apa-apa. Aku senang sekali karena hari ini bertepatan dengan peringatan hari yang special, dimana aku dan Gamma sudah enam bulan menikah. Aku tidak menyangka, Bu, kalau aku bisa melewatinya. Meskipun sejak awal aku tidak diinginkan untuk masuk dalam rumah ini. Tapi sekarang aku be
“Sayang, hari ini aku akan pulang sedikit larut karena ada beberapa hal yang aku selesaikan dengan klien dan kalau terlalu larut, mungkin aku aka menginap di kantor. Kamu tidak apa-apa, kan, kalau aku tinggal?” tanya Gamma selepas menyelesaikan kegiatan sarapan paginya. Kini Lelaki itu sedang mengelap bibirnya dengan selembar tissue yang sudah ia lipat sebelumnya. Serra sendiri tidak menduga bahwa Gamma akan berkata demikian, wanita itu berharap bahwa Gamma akan pulang lebih awal untuk menemaninya di rumah karena akhir-akhir ini ia merasa sangat rindu dengan suaminya itu sekalipun ia bertemu setiap hari. Seketika itu juga wajah Wanita berbadan dua itu menjadi kusut. Gerakan tangan mengaduk nasi pun menjadi lebih pelan. Ada perasaan tidak rela yang sedang memenuhi dadanya saat ini. “Menginap? Bukankah selama ini, selarut apapun kau bekerja, kau pasti akan pulang?” Pertanyaan yang terlontar dari bibir Serra hampir tanpa nada membuat Romana dan William saling bertukar pandang. Sementar
Bagai daun-daun yang dipaksa lepas dari rantingnya, begitulah hati Serra saat ini. Dunia seakan hancur dan langit seakan runtuh.Tubuh ramping dengan perut yang sudah membuncit itu melemas. Semua sisa energi dalam diri tenggelam dalam emosi. Kepercayaan yang selama ini ia bangun kini luluh lantah. Meskipun ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi dengan Gamma di masa lalu, tetap saja hatinya merasa sesak.Kedua tangannya spontan menutup bibir. Lidahnya kelu, tidak ada satu kata pun yang mampu Serra ucapkan. Pun Kedua kakinya tak sanggup melangkah, masih terpaku di depan barisan pigura yang memeluk dinding.Ada orang lain yang pernah menyandang gelar nyonya Pranadipta selain dirinya dan ternyata perempuan itu adalah sosok dalam pigura kecil yang sempat Serra tanyakan kepada sang mertua di awal pernikahan mereka. Namun, entah bagaimana cara Gamma berkompromi dengan semesta. Ia bahkan tak pernah mendapatkan jawaban dan penjelasan apapun, hingga saat ini ia melihat dengan mata kepal
"Duduklah," ujar Romana seraya menarik tangan menantunya agar menggeser langkah ke bibir ranjang. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Serra hanya menurut saja dan mengikuti arah sang mertua. Istri Gamma itu tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya mengatur napas, hati, dan pikiran dari berbagai kemungkinan yang akan ia dengar. Mungkin saja ia akan mendengar hal terburuk yang tidak pernah ia duga. Sempat ia berpikir untuk tidak melanjutkan ini. Mungkin memilih berpura-pura tidak tahu agar semua baik-baik saja. Seperti kebanyakan wanita yang memilih untuk memendam semua rasa sakit dan penasarannya demi banyak hal yang harus dijaga.Namun, di sisi lain, egonya memilih untuk mengetahui semuanya. Logikanya meminta penjelasan dari ribuan teka-teki yang selama ini tak bisa ia pecahkan.Dan sekarang adalah kesempatannya.Ia harus siap dengan segala resikonya.Tak lain halnya dengan Romana, wanita yang menjadi ibu kandung Gamma Pramadipta itu beberapa kali memejamkan matanya sebelum membuk
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika