Lima bulan kemudian.Seorang Wanita menyingkap sebuah tirai jendela berwarna putih susu. Tangan perempuan itu dengan hati-hati membuka jendela berkelir putih di hadapannya. Menghirup udara oksigen baru dan merasakan sejuknya embun di pagi hari. Itu Serra. Tubuh Wanita itu sedikit lebih berisi dibandingkan saat pertama kali ia tiba di rumah Gamma ini.“Hai, baby, apa kau merasakan udara segar pagi ini?” ujarnya seraya mengelus perutnya yang tak lagi rata. Sang bayi dalam kandungannya pun merespon dengan sebuah tendangan kecil membuat sebuah senyum kecil di bibir perempuan itu.“Anak nakal,” katanya seraya menggelakkan kekehan tawa yang pelan.Usia kandungan Serra saat ini sudah memasuki usia enam bulan. Perutnya pun sudah membuncit sempurna. Janin kecil yang sempat terancam nyawanya karena kondisi psikis ibunya yang beberapa kali mengalami tekanan baik mental maupun emosi, kini telah tumbuh menjadi bayi yang sehat. Bahkan setiap hari menendang perutnya. Tak jarang Serra sedikit meringi
“Gamma, bekalmu sudah kusiapkan di sini, jangan lupa membawanya ya?”Serra meletakkan sebuah tas jinjing berwarwna abu yang ukurannya tidak terlalu besar di dekat lengan suaminya. Namun, sepertinya pria itu tidak mendengar apa yang ia katakan. Sebab kedua bola mata Gamma hanya berfokus pada sebuah benda pipih dengan layar menyala yang menampilkan pesan dari seseorang. Serra tak tahu itu siapa hanya lamat-lamat terlihat dari arah ia berdiri.Entah apa yang sedang dicermati oleh Gamma. Ia nampak serius, bahkanPualam hitam pria itu bergerak ke kanan dan ke kiri membaca barisan tinta digital tanpa berkedip. Dahinya menekuk dan kelopak matanya menyipit.Wanita itu sendiri sampai heran, mengapa Gamma menyimak pesan sampai sesrius itu. Lebih-lebih sendok berisi nasi goreng di tangan kanannya hanya dipegang tanpa ada pergerakan.“Gamma,” panggil Serra kembali dengan menyentuh lengan kanan suaminya melantaskan pria itu sedikit terlonjak.“Sayang! Ada apa?” tanya pria itu bersamaan dengan menat
Siang ini entah kenapa Serra merasa bosan. Entah apa sebabnya, Serra tidak tahu. Karena tidak biasanya ia semalas ini. Sepertinya sang anak yang ada dalam perut hari ini enggan diajak untuk beraktivitas dan menginginkan ibunya beristirahat, karena beberapa hari terakhir wanita itu terlalu giat untuk membereskan rumah juga menata ulang beberapa letak barang.Setelah memasak untuk makan siangnya, Wanita itu memilih untuk berdiam diri di depan sebuah televisi menyimak sebuah drama serial luar negeri. Serial yang mengisahkan kehidupan dunia pernikahan itu terbagi menjadi puluhan episode dan kali ini Serra sudah menghabiskan waktu selama tiga jam lamanya untuk menyimak tiga episode sekaligus.Bahkan niat memasak makan malam untuk sang suami pun seketika lenyap hanya karena sebuah drama.Sejak tadi pandangannya tidak bergeser sedikitpun hanya fokus dengan para tokoh yang sedang bermain peran. Saking seriusnya menyimak setiap jalan cerita yang sedang disuguhkan, ia kerap terbawa suasana yang
Di jam yang sama, di tempat yang lain.Gamma mencorat-coret kertas dengan sebuah tinta merah. Lembaran berwarna putih itu penuh dengan angka dan titik yang telah ia jumlah, kali, serta ia bagi dengan beberapa variabel.Lima belas menit yang lalu, Pria itu baru saja mengikuti agenda meeting internal bersama dengan divisi keuangan dan William selaku direktur keuangan. Rutinitas yang selalu ia lakukan setelah meeting adalah mencermati kembali hal-hal yang sudah didiskusikan, lalu membuat pertimbangan, kemudian menganalisis faktor yang dapat mempengaruhi, resiko yang dihadapi, dan hasil apa yang akan di dapatkan sehingga ia bisa mengambil keputusan dengan tepat.Ditemani dengan William yang sedang berkutat dengan laptopnya, beberapa kali Gamma berunding kecil tentang apa yang akan ia putuskan.“Aku rasa kita harus pastikan ulang akurasi dari akumulasi anggaran ini, walaupun aku anak buahmu tak pernah salah, tapi aku minta untuk poin b kita hold dulu, cari kejelasan data dari perusahaan Gu
“Aku tidak bohong, Serra! Banyak temanku yang hamil besar tetapi aura mereka tak seperti dirimu. Dan harus aku akui kau benar-benar cantik, sekarang!” BRAK! Belum sempat Serra menjawab rayuan Bian, pintu utama berbahan kayu jati itu terbanting sempurna di luar sana. Sontak saja kedua manusia yang sedang bertukar dialog di ruang tamu terlonjak kaget dan menghentikan obrolan mereka. Suara gebrakan itu cukup memekakkan gendang telinga sampai-sampai Serra menyipitkan kedua kelopak matanya seraya mengusap dadanya sendiri. “Astaga!” pekik wanita itu. Begitu juga dengan Bian yang kini celingukan mencari sumber suara itu. Jangan bertanya siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Gamma? Ya, Hanya ia satu-satunya orang yang pulang ke rumah ini dengan membawa perasaan kesal. Lelaki itu sengaja menendang pintu dengan keras dan sekarang berdiri di ambang pintu dengan tatapan datar. Pintu utama yang sudah terbuka lebar, memperjelas apa yang ia lihat dalam CCTV saat ia masih di kantor tadi – istr
Tubuh Serra tersentak ke belakang. Suara menggelegar yang lolos dari bibir Gamma membuat tubuh wanita itu mendadak kaku dan tenggorokannya terasa kering. Perempuan itu hanya bisa menelan ludahnya dengan kasar. Keinginan untuk membantah argument sang suami lenyap begitu saja tatkala melihat betapa tajamnya tatapan yang menghunus ke arahnya. Bisa Serra lihat dengan jelas bagaimana kedua pualam hitam milik suaminya itu penuh dengan kilat yang menyambar. Gamma murka. Serra tidak menyangka jika Gamma akan semarah ini. Ia pikir, ketika hubungan rumah tangga mereka sudah membaik seperti ini suaminya itu akan terbuka dan menerima siapapun yang bergaul dengannya termasuk Bian. Ia juga beranggapan bahwa Gamma lebih percaya kepadanya. Akan tetapi, semua perkiraan dalam kepalanya justru salah besar. Jika bisa mengulangnya mungkin Serra hanya akan mengajak Bian untuk duduk di taman atau di depan halaman rumah saja. Bukan di ruang tamu. Niat awalnya hanya menerima Bian sebagai tamu biasa lagip
“Kenapa kau bertanya begitu, hm?” Lelaki berkemeja putih itu mengusap sebulir air yang telah menganak sungai di wajah mulus istrinya. Tidak banyak tetapi cukup menganggu bagi Gamma. Meski ia paham Perasaan wanita hamil memang terlalu sensitive seperti ini. Gamma pikir Serra tidak akan pernah bertanya lagi perihal perasaan dan cinta. Pun, Selama lima bulan terakhir perempuan itu tak pernah mengungkit masalah ini. Ia mengira bahwa Serra sudah paham apa arti sikapnya selama ini tanpa ia katakan. Namun, ternyata istrinya itu butuh pengakuan. Sementara Serra yang ditanya masih enggan membuka suara. Dalam hati perempuan itu sekarang berkecamukbanyak hal dan saat ini ia hanya perlu jawaban Gamma. Sudahkah laki-laki itu mencintainya? Atau ia yang harus bekerja lebih keras lagi untuk meluluhkan hati suaminya. Itu hal yang lumrah kan? Bukankah kebanyakan wanita memang seperti itu? Mereka lebih menyukai kata romantis dari pada sebuah tindakan dan sikap yang dilakukan. Padahal, saat seorang p
William menekuk dahinya kala melihat keadaan rumah yang sedang ia tapaki itu sunyi. Pria itu sudah mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak jua menemukan seseorang yang ia cari. Pasalnya pintu utama rumah itu terbuka lebar, namun sang penghuni rumah bak pergi ke negara antah berantah. Tak ada satupun tanda-tanda kehidupan.Bukan sang tuan rumah yang menyambut kedatangannya, melainkan suara Televisi di ruang tengah yang dibiarkan menyala tanpa pemirsa. Lalu bekas kopi dan teh di ruang tamu pun belum dibereskan.William sempat menduga bahwa kedua cangkir kotor itu adalah bekas dari suguhan untuk Bian. Namun yang menjadi pertanyaannya, mengapa belum juga dibereskan? Jika Gamma pulang sekitar pukul tiga sore, maka logikanya menganalisa bahwa selambat-lambatnya tamu bernama Bian itu pulang pukul empat. Itu pun jika tidak terjadi adu argumentasi.Saat ini, hari sudah petang dan jam yang menggantung di dinding sudah menunjukkan pukul enam sore. Seharusnya Gamma sudah ada di rumah in
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika