"Apaka katamu?"Kedua pupil Gamma melebar sempurna begitu menangkap nama Bian di rungunya. Lelaki itu segera menautkan kedua alis tebalnya dan selanjutnya menatap tajam ke arah Serra. Pria itu menanti penjelasan, mengapa istrinya tiba-tiba menginginkan Bian membuat sebuah Almond tuiles untuknya.Apakah tidak ada orang lain selain pria bertato naga itu? Oh, ayolah! Gamma bahkan bisa membayar chef terkenal sekalipun sekarang juga, jika itu perlu! Karena mengundang Bian sama saja mencari perkara.Dan saat ini, Gamma tak ingin berjumpa dengannya. Sejak awal kehadirannya, Gamma tidak suka dengan Bian. Sikapnya yang berlebihan dan melewati batas membuat Gamma antipati dengan lelaki yang memiliki hobi memasak itu. Bahkan beberapa kali sempat membuat Gamma dan Serra bertengkar cukup hebat hanya karena salah paham. "Jangan berpura-pura tuli, Gamma. Aku sudah menyebutnya dengan jelas. Aku ingin Bian yang memasak almond tuiles itu untukku. Bian. B-I-A-N!" jawab perempuan itu dengan memberikan p
"Ada apa, Will?" tanya Gamma seraya mengerutkan kedua sudut matanya. Dalam hati lelaki itu menerka-nerka apa yang terjadi sehingga raut wajah sang adik terlihat begitu tegang. Setahunya saat ia kembali dari kantor tadi tidak ada masalah pada perusahaannya.Begitu juga dengan Serra dan Romana, kedua wanita itu menekuk dahi seraya menatap William dengan penuh tanda tanya besar. Apa yang terjadi? Mengapa William tiba-tiba Gamma untuk segera pergi?"Pokoknya kau harus ikut aku, sekarang!" ujar William seraya menyambar sebuah kunci mobil yang sempat ia letakkan di meja. Lelaki itu kemudian hendak melangkah tetapi ditahan oleh Romana. Perempuan berumur itu berdiri sersya mencekal lengan William yang masih terbalut dengan kemeja kerjanya."Tunggu dulu, Nak. Ini ada apa? Coba kau jelaskan dulu. Jangan panik seperti ini, ibu bingung, Son!" "Bu. I'm so sorry. But, it's Urgent! We don't have time to explain," kata lelaki itu seraya melepas lengan Romana. Kemudian menolehkan pandangannya kepada G
Gamma dan William melangkahkan kaki lebar-lebar menyusuri sebuah lorong penghubung antar bangsal. William sibuk menelpon Madam Lily karena sejak tadi perempuan itu tak mengangkatnya. Sementara Gamma yang lupa membawa ponsel hanya berjalan seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling, kedua netranya memindai nama-nama bangsal yang tertera pada sign boardnya. Kedua lelaki itu sebenarnya sudah mengunjungi bangsal tempat Rena dirawat, sayangnya ketika mereka menuju ke sana tidak orang satupun, brankar yang digunakan perempuan itu pun menghilang. Dan itu berhasil membuat mereka panik. Bertanya-tanya dalam hati tanpa bisa menemukan jawabannya sendiri. Lalu memutuskan mencari di semua lorong pada lantai atas barang kali mereka ada di sana."Sudah di jawab?" tanya Gamma kepada William ketika mereka berhenti di depan sebuah farmasi.William hanya menggeleng, lalu menatap Gamma dengan cemas. "Belum ada jawaban. Kemana juga si tua itu, argh!""Apa mungkin mereka tindakan?" tebak Gamma yang seben
Bibir Gamma mendadak kaku.Laki-laki itu tidak tahu harus menjawab bagaimana. Janji adalah hal berat yang harus ia pertanggung jawabkan, tidak boleh diingkari, harus ditepati. Meski sebenarnya janji yang diminta Rena bukanlah hal yang muluk-muluk, tetapi tidak semudah itu untuk dilakukan. Berada di samping Serra selamanya adalah hal yang belum bisa Gamma pastikan. Bagaimana bisa ia berjanji? Sedangkan hatinya sendiri masih tidak mengerti, apakah cinta, ataukah hanya perasaan sesaat saja? Sementara dalam kepalanya sendiri logikanya berjalan tanpa arah. Tidak sejalan dengan perasannya sendiri."Kakak belum bisa, ya?" tanya Rena setelah beberapa saat menunggu namun Gamma tak memberikan jawaban apa-apa. Sementara Gamma kini menghela napas pelan. "Rena .... Aku minta maaf, tapi aku belum bisa berjanji apapun," jawab Gamma dengan jujur. Ia tidak mau memberikan harapan palsu, apalagi berkata bohong hanya karena membahagiakan Rena saat ini.Tangan perempuan itu tu
Serra merasa gelisah malam ini. Ia sudah mencoba untuk memejamkan mata akan tetapi ada perasaan cemas yang mengusiknya. Hatinya saat ini merasa tidak tenang. Sudah pukul sebelas malam sejak Gamma dan William meninggalkan rumah. Namun, kedua pria dewasa itu belum juga kembali. Entah kemana mereka, juga ada yang terjadi dengan mereka, Serra hanya bisa menerka-nerka.Sejak tadi tubuh mungilnya itu hanya terbaring di atas ranjang. Sudah berbagai posisi ia coba untuk mencari posisi nyaman, sayangnya gelisah itu masih saja menganggunya.Dimana Gamma saat ini?Beberapa detik kemudian terdengar suara gagang pintu ditekan. Serra menoleh ke arah sumber suara ternyata Gamma sudah kembali. "Gamma?" sapanya kemudian ia bangkit dari tidurnya. Serra duduk bersila di atas kasur. Dahi perempuan itu mengernyit ketika mendapati hal berbeda pada suaminya. Gamma terlihat lemas dan pucat. Lalu ada sebuah pad kecil berwarna putih yang menempel di lengan kiri pria itu."Kenapa kau belum tidur?" tanya Ga
Pagi ini, Serra merasa hamparan bunga sedang memenuhi hatinya. Membuat dua sudut bibirnya terangkat bersamaan. Pertama kalinya ia membuka mata di pagi Hari tetapi bisa menemukan sang suami masih memeluknya dari belakang. Jika selama ini pelukan itu hanya terjadi karena faktor ketidaksengajaan, untuk saat ini bisa ia pastikan karena kemauan Gamma sendiri.Walau dalam hatinya masih menyimpan sebuah teka-teki besar yang belum bisa ia pecahkan, tentang apa yang membuat Gamma berubah drastis seperti ini. Akan tetapi ia sudah bersyukur karena suaminya itu setidaknya sudah berlaku baik padanya."Gamma," panggil Serra. Wanita itu masih dalam pelukan Gamma, ia berusaha membalikkan badannya hingga saat ini tubuh mereka berdua telah saling berhadapan. "Pagi," balasnya ketika membuka mata. Detik berikutnya Gamma mendaratkan sebuah kecupan di bibir istrinya selanjutnya kelopak mata itu kembali terpejam.Serra yang tidak terbiasa akan hal ini mendadak kaku. Haruskah ia membalas kecupan Gamma?"Ka
"Baiklah, aku akan menunggumu hingga sembuh."Serra memutuskan untuk merawat suaminya. Rasa takut dalam hatinya ia tepis kuat-kuat dengan anggapan Mungkin saja khawatir itu hanyalah perasaannya saja karena belum mengunjungi Rena beberapa hari ini.Ia tidak bisa egois. Harus menyadari bahwa kehidupannya tidak lagi sendiri. Lagi pula ada madam Lily yang menjaga Rena. Jika memang firasatnya benar, maka madam Lily pasti sudah mengabarinya.Begitulah pemikiran Serra saat ini.Sementara Gamma hanya diam memeluk Serra yang kini telah berada dalam dekapannya. Entah benar atau tidak saat ini Gamma memilih untuk mengikuti kata hati. Ia menghela napas lega walau tak terdengar. Syukurlah, bila Serra memutuskan untuk diam di rumah bersamanya. Ia belum sanggup melihat kekacuan yang terjadi."Sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Kenapa kau bisa sakit seperti ini?" tanya Serra. Perempuan itu merasa janggal. suaminya baik-baik saja saat pergi dengan William kemarin siang, tetapi kembali dengan kond
Gamma segera mengusap layar untuk mengangkat panggilan itu. Dalam benaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Apa yang terjadi hingga William menelponnya sepagi ini.Jika memang ada yang terjadi, ia harap bukan hal buruk.q"Ada apa, Will?" tanya Gamma begitu benda pipih dengan layar menyala itu berada di samping telinganya. Nada Gamma memang datar, tetapi ada kepanikan di sana.["Tenanglah. Tidak ada hal buruk yang terjadi. Justru aku mau memberitahumu kalau kondisi Rena membaik. Kau baik-baik saja, kan?"] Terdengar suara ribut selain William dari seberang sana, beberapa langkah kaki, lalu suara troli untuk ransum pasien. Maklum rumah sakit di pagi hari cukup memiliki aktivitas yang banyak. "Syukurlah kalau begitu. Aku aman, Will, jangan khawatir. Lalu kenapa kau pagi-pagi sudah ke sana?" ["Rena yang memintaku untuk ke sini sebelum aku bekerja. Dan, katanya dokter hari ini bisa melakukan tindakan karena kondisinya semakin pulih. Sekarang dia sedang di observ
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika