“Gamma? Kau belum mau tidur?” Serra meletakkan segelas air putih di atas sebuah nakas yang berada tepat di samping kiri tempat tidurnya. Wanita itu masih berdiri di belakang suaminya yang sedang berkutat dengan pekerjaan. Sementara Gamma memilih sibuk dengan komputer jinjing yang menampilkan ribuan tinta digital yang telah di ketik dengan rapi. Sebuah laporan progress pembangunan sebuah hotel di bali yang baru saja ia terima melalui surel pribadinya. Sebenarnya malam ini Gamma tidak ingin melakukan pekerjaan apapun. Sungguh! Bahkan semua tugas penting sudah ia kerjakan bersama William sejak tadi sore. Pria itu hanya melakukan apa yang bisa membuatnya membuka mata dan bekerja.Ya! Duduk di depan laptop Itu hanyalah alibi agar pria itu tetap menyibukkan diri demi menghalau segala pikiran nakalnya malam ini. Sayangnya, lelaki tetap lelaki, sekeras apapun ia berusaha tetap saja semua otak mesumnya mengakuisisi. Sepotong kenangan bag
Di sudut yang berbeda."Gamma, sakit! Gamma lepaskan!"Serra terus meronta, berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Gamma yang begitu kuat. suaminya itu belum melepaskannya sejak mereka beranjak dari meja makan. Namun semua usaha yang dilakukan wanita itu hanya sia-sia. Sekuat apapun ia melawan hanya berakhir menyakiti diri sendiri, Karena percuma, tenaga Gamma berkali lipat lebih besar darinya. "Apa yang kau katakan pada ibuku?"Masih dengan menarik Serra, Kalimat tanya itu diucapkan Gamma ketika tiba dalam kamar yang sejak semalam mereka gunakan untuk tidur bersama. Pria itu menutup pintu dengan sedikit keras, kemudian melepaskan tarikan tangannya dengan kasar membuat Serra yang tak siap menjadi kehilangan keseimbangan. Hampir saja ia terjatuh jika tidak terbentur bibir ranjang."Aw!" Serra memekik kecil tanpa suara.Wanita itu meringis, menahan ngilu yang ia rasakan pada pergelangan tangan dan tulang kering pada kakinya. Sedetik setelahnya kedua alisnya bertaut."Apa maksudmu,
Romana spontan menutup mulut dengan kedua tangannya ketika melihat sepasang suami istri itu bercumbu. Rasa penasaran juga rasa curiga akan sesuatu yang terjadi antara putranya dengan Serra seketika lenyap begitu saja, tergantikan dengan rasa malu karena memergoki aktivitas sensual mereka.Bahkan Pipi yang telah mengeriput itu bersemu merah karena Salah tingkah. Wanita paruh baya itu menggigit bibirnya sendiri dan buru-buru menutup pintu bercorak putih itu. Detik berikutnya ia mengelus dadanya, lalu membuang napas beberapa kali dengan mulutnya.Ia pergi ke kamar Gamma dan Serra hanya berniat memastikan apa yang terjadi dengan kedua anaknya itu sehingga tak kunjung muncul di meja makan setelah berpamitan untuk berbicara sebentar. Juga suara bising yang terdengar seperti pintu terbanting keras dan gaduh orang berargumen yang membuat Romana memutuskan untuk meninjau mereka. Alih-alih mendapatkan pertengkaran, ia justru mendapat sebuah tontonan adega
Saat sedang asik mengeja kalimat dalam sebuah buku pengetahuan seputar ibu hamil di ruang tengah,Serra tiba-tiba merasa perutnya menggerunjal. Ada sesuatu yang mendesak keluar dari lambungnya. Gegas ia menutup buku yang sedang dipegangnya dengan kasar, melemparkannya asal di atas sofa berwarna abu itu. Dengan segera ia berlari menuju wastafel yang berada di dapur, menundukkan kepala dan menumpahkan seluruh isi perutnya.Ia membutuhkan beberapa saat untuk mengeluarkan roti yang ia lahap saat sarapan bersama beberapa jam yang lalu. Kakinya terasa lemas bagai tak bertulang, sampai-sampai wanita itu harus berpegangan pada sebuah kabinet untuk menyangga tubuhnya agar tetap berdiri kokoh.Pening perlahan mulai menyerang kepalanya. Rasanya dunia berputar lebih lambat, membuat langkahnya terhuyung dan kehilangan keseimbangan. Kakinya tak sengaja terantuk sebuah kursi menimbulkan sebuah decitan cukup keras membuat Romana beserta Bi Sumi yang sedang berbincang di tempat cucian segera menoleh ke
Romana masih menatap lekat kedua netra sang menantu. Sementara Serra yang ditatap sedemikian rupa menjadi kehilangan daya pikir untuk memberikan argumen apa yang meyakinkan sang mertua. Apa yang harus ia katakan? Ibu kandung Gamma ini terlalu kritis jika bertanya dan terlalu cermat dalam mengamati sesuatu. Perempuan itu juga memiliki analisis yang kuat."Jawab, Serra!" titah Romana lagi ketika Serra tak kunjung mendapatkan jawaban. "Ibu ..., jangan berpikiran negatif dulu. Gamma memang tidak menaruh barang-barangnya di kamarku. Tetapi dia selalu tidur di sini bersamaku. Gamma melarangku untuk naik tangga, karena khawatir dengan kehamilanku." Hanya alasan itu yang menurut Serra masuk akal di kepalanya. Perempuan itu berusaha mengatakan kalimat demi kalimat dengan tenang juga menyunggingkan senyumnya agar Romana semakin percaya."Serra—"Tangan kiri Serra terulur meraih jari-jari sang mertua, menggenggamnya erat, memberikan keyakinan pada wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya send
Serra menanti penjelasan dari Romana tentang siapa wanita yang berada dalam foto itu. Jika sebelumnya tidak memiliki hubungan spesial, emngapa perempuan manis itu berani bergelayut manja pada lengan suaminya? Bukan bermaksud cemburu, hanya bermaksud menanyakan apa status perempuan itu kepada Gamma, suaminya. Agar tidak ada kesalahpahaman di kemudian hari. "Itu ...."Akan tetapi, sebelum Romana membuka suara dan menjelaskan panjang lebar mengenai hal itu, rasa mual yang sebelumnya reda muncul kembali, mengaduk-aduk isi perut Serra tanpa ampun membuat perempuan itu spontan menutup mulutnya dan berlari menuju kamar mandi.Sayangnya yang ia muntahkan hanya air saja.Fokus mereka pecah, berganti pada kekhawatiran akan kondisi Serra."Serra? Apa yang kau rasakan? Astaga, kenapa kau seperti ini?" tanya Romana begitu tiba di kamar mandi. Sang mertua itu mengusap-usap tengkuknya, memberikan dukungan kepada Serra yang kini tampak lemas."
"Maaf, Pak, untuk minuman soda merk tersebut kami tidak memiliki stok lagi. Kami sudah melakukan restock tetapi semua barang masih dalam proses pengiriman,d an diperkirakan tiba hari lusa, Pak."Gamma mendesah lelah kala seorang pramuniaga memberikan informasi terkait stok barang yang baru saja ia tanyakan. Lelaki yang tengah mengenakan kaos berkerah warna biru dongker dan celana coklat putih susu itu sedang prustasi karena tak bisa menemukan barang yang Serra minta. Kepala pria itu mulai berdenyut nyeri membuat tangan kanannya kini bergerak mengurut dahi sendiri, sementara lengan kirinya membawa keranjang belanjaan yang belum berisi satupun barang. Tangan kiri pria itu juga menggenggam sebuah ponsel dengan layar yang menyala menampilkan sebuah panggilan yang sudah berlangsung selama 30 menit lamanya.Sambungan telepon dengan seorang wanita. Serra.Istrinya itu sukses membuatnya pusing tujuh keliling, pasca meminta dibelikan sesuatu olehnya tadi siang.Bagaimana tidak pusing?Sudah
Gamma melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Derap kedua kaki jenjangnya terdengar pelan menyusuri sebuah ruangan dengan penerangan yang remang-remang. Lelaki itu mengendap-endap bagai pencuri padahal ia sedang menapaki jajaran ubin pada rumahnya sendiri.Sebisa mungkin tidak membuat suara gaduh karena ia tiba di rumah tepat pukul satu pagi. Semua karena ide gila William. Adik angkatnya itu mengajaknya pergi ke gudang sebuah grosir minuman yang cukup jauh dari rumahnya. Mungkin, sekitar 50 km jaraknya, sementara waktu yang mereka tempuh kurang lebih 2,5 jam hanya untuk sekali jalan.Walau perjalanan itu cukup jauh dan membuat tubuhnya pegal bagai terkena amukan masal, Gamma cukup bersyukur karena minuman kaleng yang mereka cari tersedia. Jika tidak, Mungkin ia akan mengamuk kepada William, karena ia telah mengorbankan waktu dan tenanganya hanya untuk mencari minuman terkutuk itu. Dan, mungkin juga ia dalam masalah cukup rumit. Serra pasti akan mengadu pada Romana. Tidak terbayang bag
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika