“Bisakah kalian mengunci pintu dulu sebelum melakukannya?” tegur William setelah mendengus kesal.Bukan tanpa alasan mengapa pria yang tengah mengenakan jas hitam legam itu mengerang kesal. Niat hati, setelah mendengar informasi bahwa kakaknya sudah pulang, ia ingin menemui Gamma. Lelaki itu hendak membahas beberapa hal terkait dengan peresmian operasional Sintara Hotel yang akan diselenggarakan besuk pagi. Selain itu, William juga ingin menyampaikan perihal pembangunan pada beberapa sisi yang belum sempurna dimatanya.Sedangkan saat ia datang, pintu kamar ini tidak terkunci, bahkan masih terbuka sedikit, ia menganggap bahwa sang penghuni belum beristirahat. Juga suara televisi yang menyala membuat William semakin mantap bahwa Gamma masih terjaga.Sayangnya, bukan melihat pemandangan Serra dan Gamma sedang menonton televisi dan bersantai, ia jusru memergoki sepasang suami istri itu sedang melakukan sebuah rutinitas intim. Hah! Menyebalkan tapi bagaimana jika ia sudah terlanjur melihat
Tiga bulan berlalu, tidak terasa usia pernikahan Gamma dan Serra sudah genap satu tahun. Banyak duka yang harus mereka lalui. Entah kenapa duka itu terus berlanjut dalam hidup mereka. Masih ingat dengan tespack bergaris samar itu? Ada kabar buruk. Dua hari setelah pulang dari Bali Serra kembali mendapatkan periode menstruasi. Kecewa? Tentu saja. Tetapi perlahan dua manusia itu saling menguatkan dan menerima kenyataan. Bahwa semua yang terjadi dalam hidup mereka adalah sebuah ujian. Mereka mencobanya lagi. Mereka tetap menjalani hidup seperti biasa. Gamma dengan pekerjaan kantornya, dan Serra yang sibuk dengan bisnis barunya. Istri Gamma Pranadipta itu memiliki tanggungan baru. Sebuah café yang dibangun tak jauh dari kantor sang suami sudah hampir selesai dikerjakan. Kini Serra dan Gamma sedang meninjau lokasi tersebut. Mengawasi beberapa pekerja yang sedang sibuk dengan alat-alat mereka sendiri. Ada yang mengecat, ada yang melukis dinding, ada pula yang sedang memasang beberapa al
Rasanya bahagia tak terkira. Berbulan-bulan mereka menanti. Berhari-hari juga mereka berusaha, gagal dan berusaha lagi. Entah sudah berapa bali mereka Kecewa akan penantian yang tidak kunjung datang, menangis karena kenyataan pahit yang disuguhkan, semua tidak terhitung sama sekali, hingga kini semua terbayarkan dengan dua garis merah yang jelas terpampang nyata pada alat penguji kehamilan itu. Serra hamil, wanita itu mengandung lagi. Dengan ijin Tuhan, dengan keajaiban semesta. Bisa dibayangkan bagaimana eratnya Gamma memeluk tubuh sang pujaan hati. Saking bahagianya Lelaki itu menangis diceruk leher sang istri sebab terharu dengan apa yang ia lihat saat ini. Tanda positif yang sering menjadi bahan uring-uringannya dengan Serra. Dalam hati tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebab semua permohonan yang ia ucapkan setiap malam sudah dikabulkan. Tak lain halnya dengan Serra, wanita bertubuh ramping itu juga menangis haru. Saat mengujinya ia sempat tidak pe
Ting! Bunyi notifikasi pesan masuk memecahkan konsentrasi Serra. Wanita berusia hampir kepala tiga itu baru saja menaruh beberapa bahan makanan yang ia beli setelah pulang dari Samsara, cafenya. Sengaja berbelanja beberapa bahan makanan khusus, karena ia ingin membuat beberapa menu special sebagai bentuk perayaan ulang tahun pernikahan yang pertama. Kendati sebenarnya, bisa-bisa saja sepasang suami istri itu makan di luar. Di restaurant terkenal, bahkan hotel berbintang lima sekalipun, mereka sanggup. Akan tetapi Serra ingin momen ini berbeda. Diraihnya benda pipih dengan layar menyala itu. Tidak perlu diragukan siapa sang pengirim pesan. Nama ‘Meine Freundinn’ yang tertera di halaman pertama sudah menjelaskan bahwa itu adalah pesan Gamma. Sebelumnya Serra telah mengirim pesan kepada sang suami, jika hari ini akan memasak menu special dan meminta Gamma untuk pulang lebih awal. [Baiklah, Sayang. Aku tidak akan lembur hari ini. Masak yang enak ya.] Demikian balasan yang diberikan,
“Sekarang, bisa kita mulai bicara? Coba katakan padaku apa yang terjadi denganmu?” Begitulah permintaan Gamma setelah meneguk air putih dalam gelasnya hingga tandas. Tidak ada nada dingin, ataupun kalimat mengintimidasi, hanya tatapan serius yang mengarah kepada sang istri. Ia sedang mencari jawaban dalam manik hitam itu. Gelisah. Demikian yang ia temukan. Entah gelisah mengenai apa, Gamma belum bisa memastikan, tetapi setelah merunut pembicaraan mereka sebelum makan, mungkin hal itu saling berkaitan. Sebenarnya, Gamma sudah meminta penjelasan berulang kali, agar mereka bisa makan dengan tenang, tetapi Serra tidak setuju. Wanita itu meminta agar menikmati makanan dan merayakan hari pernikahan mereka terlebih dahulu. Baru setelah itu, mereka akan bicara. Sepanjang makan pun mereka melupakan sejenak pertanyaan mengganjal yang tersimpan di dalam hati masing-masing. Nyatanya, tak sedikitpun mengurangi keromantisan mereka pada malam hari ini. Sedangkan Serra masih berkutat dengan suapan
“Untuk apa, Pak Surya ingin datang menemuiku?” Gamma menurunkan sebelah kakinya yang tersilang saat William tiba di hadapannya. Lelaki itu sedang duduk mencermati beberapa pekerjaan di kursi kerjanya. Sementara sang adik baru saja selesai meeting bersama dengan beberapa bawahan di lantai empat. Sebenarnya, hari ini adalah hari yang padat bagi kedua Putra Pranadipta ini. Sejak dirubahnya beberapa struktur pemegang saham juga branch manager di beberapa daerah oleh Gamma beberapa bulan lalu, bisnis mereka berkembang lebih pesat. Ada banyak investor yang ingin menanamkan modal padanya dan relasi baru yang ingin menjalin kerjasama dengannya. “Sebentar! Biarkan adikmu ini bernapas dahulu, Gamma!” sahut William seraya melemparkan diri ke sofa. Lelaki muda itu merebahkan tubuhnya seakan menemukan obat mujarab bagi punggungnya yang sejak semalam menjerit kesakitan. Bagaimana tidak? Sudah dua minggu ini adik Gamma itu bekerja lembur hingga larut malam, kemudian datang pagi-pagi sekali ke Gedu
Sesosok perempuan bergaun merah tengah bersandar di ambang pintu. Tangan kirinya menggenggam gelas kaki berisi wine, sedang tangan kirinya memegang sebuah ponsel. Bibirnya tersenyum puas dengan sebuah pesan yang baru saja dikirimkan. Lalu mencerup cairan berwarna hitam itu dengan rasa bahagia. Rossa Anindita. Model ternama yang tengah kehilangan nama, harta, dan popularitasnya karena sebuah kesalahan di masa lalu. Dunianya memang telah hancur, dan karirnya mungkin lebur, tetapi itu semua tidak akan pernah memadamkan api dendam yang sejak dulu membara. Ya, dendam yang berkobar atas nama Gamma Dirgantara Pranadipta. “Apa lagi yang kau kirimkan ke rumah Gamma?” tegur seorang pria berbadan jangkung. Adam, suaminya. Pria itu datang sembari membawa beberapa dokumen dalam tangannya. Entah apa yang telah dilihat, tetapi sorot mata Adam begitu tajam menatap ke arah istrinya. “Hanya kumpulan memori yang pernah kuabadikan,” jawab Rossa datar sebelum meneguk anggur hitam dalam gelasnya. Ada
“Biar aku saja yang masak kalau kau mual.” Gamma menghampiri istrinya yang sedang sibuk mengaduk nasi goreng. Wanita itu mengaduk masakannya dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain menutup mulutnya. Menahan mual akibat mencium aroma bawang. Biasanya tidak apa-apa, tetapi tidak tahu apa yang menjadi sebab wanita itu merasa dua suing bawang putih sudah terlalu pengar bagi hidungnya pagi. Lalu, berujung mual dan muntah di wastafel. Gamma sendiri sudah meminta Serra untuk menyudahi kegiatannya sejak tadi. Bahkan sudah meminta untuk mengganti menu, mungkin telur mata sapi adalah opsi paling ringan untuk sarapan pagi ini. Sayangnya, Serra menolak karena tidak tega membiarkan suaminya hanya makan dengan telur ceplok saja. Hebatnya, Serra masih berjuang, meracik bumbu-bumbu itu meski harus menahan rasa enek ketika bawang-bawangan itu ditumis menjadi satu. “Tidak apa-apa, ini hampir jadi,” jawab Serra kemudian membuang napas panjang seraya mengusap dadanya. Harus ia akui, pagi ini
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika