"Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku mau mereka selamat!"Begitulah kalimat yang diucapkan Gamma untuk menjawab dr. Clara yang meminta keputusannya. Pria itu tetap teguh dengan pendapatnya tak ingin memilih salah satu diantara istri dan anaknya untuk dijadikan prioritas. Menurutnya, semua layak diprioritaskan.William yang duduk di samping Gamma lantas mengamati raut wajah yang sudah kacau itu.Sebagai laki-laki, ia mengerti bagaimana pusingnya Gamma saat ini. Kakak laki-lakinya itu sedang dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Karena bagaimanapun bayi yang ada dalam perut Serra juga memiliki hak untuk hidup. Bukan berarti bayi itu belum cukup umur untuk lahir lantas tidak dipedulikan.Seandainya berada dalam posisi ini, William pasti akan melakukan hal yang sama. Jika ia memilih sang istri ia akan menjadi ayah yang jahat, dan jika ia memilih keselamatan putranya ia akan menjadi suami yang kejam. "Tapi, Pak, kondisi pasien saat ini —""Apa tidak bisa diusahakan untuk keduanya dise
Sepasang kaki jenjang milik seorang paruh baya berjalan dengan tergesa menyusuri lorong-lorong rumah sakit sembari dalam hati merapalkan doa agar semuanya baik-baik saja. Beberapa saat yang lalu ia menerima panggilan, jika sebuah kabar kurang baik sedang menimpa putra sulungnya. Lebih tepatnya, menantu dan cucunya. Mereka dikabarkan mengalami kecelakaan. Entah bagaimana kondisi keduanya saat ini, Romana tak tahu pasti, sebab Wllliam hanya mengatakan Serra sekarang berada di rumah sakit. Setelah mendapatkan lokasi, ibu kandung Gamma itu gegas meluncur ke tempat ini. Mungkin ada sekitar tiga kali Romana bertanya kepada perawat yang ia temui, hingga akhirnya menemukan ruangan yang menjadi tujuannya. Ruangan berdinding kaca yang dipenuhi dengan alat-alat medis. Bertahun-tahun lalu, Romana sering berkunjung ke ruangan ini, saat Nindira, mantan istri Gamma sakit-sakitan. Ada rasa perih yang menjalar di dada Romana kala ia mengingat kenangan pahit itu, memori-memori kelam penyebab hancurn
Serra berusaha membuka kedua kelopak matanya yang terasa begitu berat. Mengerjap-ngerjap sebentar beradaptasi dengan cahaya yang tertangkap indera penglihatannya. Begitu kelopak mata itu melebar hal yang pertama kali terlihat hanyalah sebuah langit-langit atap berwarna putih dengan lampu redup berwarna kekuningan. Entah dimana ia sekarang, Serra tak tahu pasti. Yang ia ingat terakhir kali hanyalah memori ia bertemu dengan Gamma saat perutnya terasa sakit. Dan kini, tubuhnya tak bisa leluasa bergerak ada banyak selang yang terpaksa pada tubuh mungilnya itu. Aroma obat-obatan dan antiseptic menyeruak masuk dalam hidungnya membuat wanita itu tersadar jika saat ini ia sedang berada di rumah sakit. Detik berikutnya, giliran indera pendengarannya yang menangkap sebuah napas lain berhembus teratur sangat dekat dengan dirinya. Serra lantas menoleh ke arah sumber suara. Diterangi dengan cahaya lampu remang-remang, ia melihat Seorang pria bertubuh kekar sedang tertidur pulas menghadap ke arah
“Sampai kapan kau akan bersikap dingin denganku, Ra?” Gamma meletakkan segelas air putih hangat di atas nakas. Pria yang baru saja mandi itu lantas menghempaskan dirinya pada sisi ranjang yang kosong di sebelah Serra. Bukan tanpa alasan ia melayangkan pertanyaan itu. Sejak pagi sikap istrinya itu benar-benar menguji kesabarannya yang setipis tisu. Menolak semua pertolongan pria itu. Bahkan barusan, Serra menolak tawaran Gamma untuk menyuapi sarapan. Untung saja Gamma masih bisa sabar meski pria itu sedang menahan emosi dan kekesalannya saat ini. “Dokter sudah menyarankanmu untuk makan, sekarang makanlah dulu, kalau kau tak mau makan waktumu sembuh juga semakin lama,” lanjut Gamma menasehati. Pria itu sekali lagi menyodorkan sesendok bubur itu di depan mulut istrinya. Namun, alih-alih luluh dengan nasehat yang diberikan, Serra yang belum bisa leluasa bergerak hanya menoleh kearah yang berlawanan. Memalingkan wajah, menolak suapan itu. “Biarkan saja aku mati!” katanya lirih. “Ra—” “
“Anna, atur ulang semua jadwal minggu ini. Meeting dengan tamu arsitek dari bali tolong diundur minggu depan, harinya terserah. Kemudian semua laporan yang tertunda tolong kirim saja ke rumah. Lalu sampaikan kepada seluruh divisi jika ada approval yang mendesak beberapa hari ke depan aku wakilkan kepada William.” Begitulah kalimat yang diucapkan Gamma kepada Anna, sang sekretaris, melalui sambungan telepon. Ditempelkannnya benda pipih berwarna hitam itu di telinga kanan. Tangan kirinya mengurut dahi yang terasa nyeri. Sembari berjalan ia sibuk menjawab beberapa pertanyaan dari sang lawan bicara. Namun, itu tak berlangsung lama, sebab lelaki itu segera memutus sambungan. Pria itu pun melanjutkan langkah menyusuri deretan kendaraan yang tersusun rapi di sebuah area yang luas, dengan ponsel genggam yang masih ia pegang dengan satu tangan. Namun, saat ia sudah hampir sampai di depan mobilnya, sebuah suara menjeda langkah Gamma. Suara yang begitu familiar di telinganya. “Apa maksudmu mew
Malam harinya.Alat penunjuk waktu yang tergantung pada dinding berkelir biru muda sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Itu artinya rumah sakit tempat Serra dirawat sudah tidak menerima pengunjung lagi. Sudah waktunya semua pasien di tempat ini beristirahat. Begitu juga dengan Serra yang seharusnya sudah mulai menyelami alam mimpi.Namun, pada kenyataannya perempuan itu hanya terbaring dengan kedua mata yang masih terjaga. Sudah sekian lama sepi mengambil alih. Hanya detik pada jam dinding yang terdengar. Sesekali suara langkah beberapa orang yang lalu lalang di depan bangsal.Sendirian tanpa ditemani seorang pun yang berjaga di ruangannya.Bu Ambar sudah pulang sejak sore dan Ibu mertuanya sudah meninggalkannya beberapa jam yang lalu. Sedangkan Gamma, lelaki itu belum menampakkan batang hidungnya sejak mereka bertengkar hebat tadi siang. Entah kemana perginya sang suami, Serra sendiri tidak bisa memastikan. Ia tak memiliki alat komunikasi untuk bertanya dimana posisi Gamma saat in
"Selamat pagi, Sayang!" Kedua pipi Serra terasa hangat, ada rona merah yang menyembul ketika sapaan itu tertangkap gendang telinganya. Bagaimana tidak? Ia baru saja membuka mata, berusaha mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang tertinggal di alam mimpi, tetapi sudah disambut dengan suara serak basah dari sesosok pria di sebelahnya. Baru saja Serra ingin membuka bibir untuk menjawab sapaan itu, sebuah daging lembut sudah lebih dulu menempel di bibirnya. Serra yang tak siap dengan perlakuan itu hanya bisa diam kala bibir mereka bertaut. Wanita itu memejamkan mata menikmati perlakuan sang suamiTidak ada nafsu, hanya perasaan cinta yang dinyatakan Gamma melalui pagutan lembutnya. Kendati ciuman itu hanya berlangsung singkat, tetapi mampu menimbulkan gelenyar aneh yang melonjak hingga puncak kepala.Siapa yang tidak tersipu diperlakukan secara demikian? Serra jamin, wanita manapun akan merasakan bunga-bunga bermekaran dalam dada bila mengalami hal yang sama. Terlebih, sudah lama mereka tak
“Maaf, sebelumnya apakah kita pernah saling mengenal?” tanya Serra dengan hati-hati, ia takut menyinggung perasaan wanita bergaun biru ini. Seingatnya, Serra belum pernah mengenal perempuan ini, hanya tidak merasa asing dengan wajahnya. Seperti pernah melihat, akan tetapi ia lupa dimana. Atau mungkin itu hanya perasaan Serra saja? Tidak bisa dipastikan juga. Sedangkan sang lawan bicara kini melekuk bibirnya, tersenyum manis walau dengan kesan sedikit terpaksa. Perempuan dengan rambut yang terurai panjang itu berjalan ke arah meja kecil yang ada di samping Serra berbaring. Detik berikutnya ia meletakkan barang bawaannya di sana. “Salam kenal, Aku Rossa, mantan pacar Gamma,” katanya terang-terangan setelah mengulur tangan membuat Serra melebarkan kedua kelopak matanya. Sebentar! Apa katanya tadi? Mantan? Jadi ini mantan kekasih Gamma sebelum menikah dengannya? Bukankah Rossa adalah nama mantan kekasih yang mengkhianati suamiya itu sebelum hari pernikahan mereka tiba? Hanya itu sekilas
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika