Mendengar pertanyaan ibunya, hati Denis tersentil. Ada sesuatu yang menyakitkan dalam cara ibunya bertanya, seolah menegaskan bahwa ia adalah suami yang tidak becus menjaga istrinya. Sejenak ia terdiam, menundukkan kepala, merasa seakan dirinya tengah dihakimi. Andai saja ibunya tahu kebenaran yang sesungguhnya—bahwa dia sendiri yang menyerahkan Joya kepada Alastar—mungkin penyakit jantung ibunya akan kambuh lagi.Denis menelan ludah, mencari alasan yang masuk akal. "Joya tidak pergi berdua, Bu. Ada sopir kantor dan asisten bosnya yang ikut serta. Jadi, Ibu tidak perlu khawatir."Bu Dewi mengerutkan kening, menatapnya dengan tatapan curiga. "Tapi, kenapa Joya tidak berpamitan dulu kepada Ibu sebelum berangkat? Dia selalu bilang kalau mau pergi."Denis berusaha menampilkan ekspresi setenang mungkin. "Supaya tidak mengganggu istirahat Ibu. Joya tahu Ibu butuh banyak istirahat agar cepat sembuh."Bu Dewi menatapnya lama, seakan ingin mencari kebohongan dalam kata-kata sang putra. Denis
Joya memilih diam. Ia tak ingin menanggapi ucapan Alastar yang mengingatkannya untuk tidak ingkar janji kepada Bryan. Percuma juga bila ia berdebat, karena pria itu punya sejuta cara untuk membuatnya terpojok.Alastar mengamati Joya yang tampak gelisah, lalu melipat tangannya di depan dada. "Kenapa tadi kau berjalan mengendap-endap?" tanyanya penuh selidik. "Setelah semalam kau datang tanpa permisi, sekarang kau bermaksud pergi tanpa pamit? Atau, kabur diam-diam sudah menjadi kebiasaanmu, Joya?"Wajah Joya langsung memanas. Perkataan Alastar terdengar seperti sindiran tajam yang membuatnya malu. Ia mengalihkan pandangan dan berdeham pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Saya tidak ingin mengganggu Bapak," ujarnya lirih. "Dan, saya harus segera berangkat ke kantor dengan taksi.Alastar mengangkat alis. "Kenapa harus naik taksi? Kau bisa berangkat bersamaku."Joya menoleh cepat. "Itu tidak pantas, Pak. Orang-orang di kantor akan membicarakan kita, jika kita datang bersama. Sek
Joya tersentak, buru-buru berusaha melepaskan diri dari pelukan Alastar. Livia berdiri di ambang pintu, matanya membelalak, jelas terkejut dengan pemandangan intim yang ia saksikan."Maaf, Pak," ucap Livia terbata-bata. "Saya tidak tahu kalau Anda sudah datang."Tanpa menunggu jawaban, Livia segera membalikkan badan, menutup pintu dengan cepat, meninggalkan Joya yang kini semakin panik. Wajah Joya merah padam, bukan hanya karena kejadian yang hampir terjadi, tetapi juga karena ketakutan jika rumor tentang dirinya dan Alastar menyebar di kantor."Pak... saya harus pergi," gumam Joya, berusaha menarik dirinya dari genggaman Alastar.Namun, Alastar tidak membiarkannya. Dengan satu gerakan, pria itu menarik Joya kembali hingga tubuh mereka kembali bertaut.Kali ini, tidak ada lagi jarak di antara mereka. Tangan Alastar mencengkeram pinggangnya dengan erat, membuat Joya sulit bergerak."Jangan khawatirkan Livia," bisik Alastar, suaranya begitu dekat di telinga Joya. "Dia tahu tempatnya."J
Joya ingin melepaskan diri, tetapi tatapan tajam karyawan lain membuatnya mengurungkan niat tersebut. Terpaksa, ia mengikuti Denis menuju meja yang terletak di sudut ruangan—tempat yang cukup tersembunyi dari perhatian banyak orang."Tolong, dengarkan aku," ujar Denis dengan suara rendah, matanya menatap lurus ke dalam mata Joya. "Aku tahu Pak Alastar sedang tidak ada di kantor. Ini kesempatan kita bicara."Joya menghela napas panjang. Ia enggan berbicara dengan pria ini lebih lama dari yang diperlukan, tetapi ia juga tahu bahwa Denis tidak akan menyerah begitu saja. Akhirnya, ia mengangguk tanpa minat. "Baiklah, tapi aku hanya memberimu waktu sebentar. Aku lapar."Denis tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia bangkit dari tempat duduknya dan menatap Joya dengan sorot mata redup.“Tunggu di sini, aku akan membelikan makanan untukmu. Kamu mau makan apa?" tanyanya dengan suara lembut, seakan-akan ia adalah suami perhatian yang selalu memikirkan istrinya.Joya mendengus pelan. "Apa saja
Joya menatap layar ponselnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Sejak ia mengirim pesan kepada Alastar, tidak ada satu pun balasan yang muncul.Joya meyakinkan diri bahwa pria itu pasti masih sibuk berkeliling pabrik, memeriksa mesin-mesin produksi, atau mungkin sedang dalam diskusi penting dengan manajer produksi. Namun, seiring berjalannya waktu, Joya mulai merasa gelisah.Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan mengarahkan atensi pada tugas-tugasnya. Livia, yang kini berubah menjadi sabar, menjelaskan kembali berbagai tugas tambahan yang harus ia kerjakan sebagai seorang sekretaris CEO. Termasuk, persiapan yang harus ia lakukan untuk perjalanan dinas Alastar ke luar negri.Sesekali, di tengah jeda, Joya melirik layar ponselnya yang tergeletak di atas meja. Namun, tetap tidak ada pesan masuk dari Alastar. Bahkan hingga jam lima sore, pria itu masih belum memberi balasan.Joya mulai bertanya-tanya, apakah Alastar marah padanya? Apakah pria itu kece
Joya mengerjapkan matanya. Ia tidak menyangka Alastar bisa menangkap perubahan nada suaranya hanya dari sebuah telepon. Terkadang, berhadapan dengan pria itu hampir sama seperti berhadapan dengan cenayang yang bisa membaca pikirannya.Lekas saja, Joya mengalihkan pandangan, memastikan Denis tidak sedang mendengarkan percakapannya dengan Alastar. Namun, lelaki itu ternyata sibuk dengan ponselnya sendiri, mungkin sedang membalas pesan dari ‘Bunda’ yang telah meneleponnya tadi.“Saya tidak gugup,” ujar Joya pelan.“Kau yakin tidak terjadi sesuatu antara kau dan Denis?” Suara Alastar masih terdengar tajam, seolah tidak puas dengan jawabannya.Joya menahan napas sejenak, lalu menjawab dengan lebih tenang, “Ya.”Lagi-lagi, hening. Joya menunggu Alastar bicara, tetapi lelaki itu tidak segera melanjutkan. Ia bisa membayangkan ekspresi Alastar di seberang sana—mungkin sedang berpikir keras atau menahan amarah yang sewaktu-waktu bisa meledak. Entah mengapa, Joya merasa bahwa kepergiannya bersam
Joya tersenyum tipis, berusaha menenangkan wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. "Saya rindu Ibu, sekalian saya juga ingin menjaga dan menemani Ibu malam ini.”Bu Dewi masih tampak ragu. "Tapi, apa Denis nggak keberatan kalau kamu tidur dengan Ibu? Seharusnya, kamu bisa beristirahat bersama suamimu."Dengan cepat, Joya memasang ekspresi tenang dan mengangguk. "Ini atas persetujuan Denis. Tadi sepulang kerja, saya sudah bilang padanya.”"Baguslah kalau begitu, Ibu senang mendengarnya. Ibu merasa Tuhan sudah begitu baik memperpanjang umur Ibu, sehingga bisa melihat Denis dan kamu bahagia. Ibu sangat bersyukur," kata Bu Dewi sambil menggenggam tangan Joya erat.Joya tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa semakin berat. Ia tahu bahwa malam ini, mungkin akan menjadi momen terakhirnya berbagi kehangatan dengan sang ibu mertua. Sebentar lagi, ia akan pergi meninggalkan rumah ini, meninggalkan segalanya.Andai ibu mertuanya tahu bahwa ia ingin mengakhiri hubungan dengan Denis
Tak ingin terjebak dalam suasana canggung lebih lama, Joya mengalihkan perhatian ibu mertuanya. "Saya ke dapur dulu, Bu. Ibu tunggu saja di ruang makan."Tanpa menunggu jawaban dari Bu Dewi, Joya melangkah cepat menuju dapur. Ia segera mengumpulkan bahan-bahan untuk menyiapkan sarapan. Nasi goreng dengan telur mata sapi menjadi pilihannya. Ia juga berpikir untuk menyiapkan bekal berupa roti lapis dan air mineral, agar mereka bisa menikmati camilan ringan di taman nanti.Saat Joya sedang mengiris bahan-bahan, Bu Dewi datang ke dapur. "Biar Ibu bantu, Nak."Joya menoleh dan buru-buru menggeleng. "Jangan, Bu. Ibu duduk saja, nanti malah lelah.""Ibu nggak akan lelah hanya dengan membuat teh hangat. Biarkan ibu berkontribusi sedikit."Melihat ketulusan di mata ibu mertuanya, Joya mengangguk. Bu Dewi mulai menyiapkan teh hangat untuk mereka bertiga, lalu menuangkan susu ke dalam cangkir. Ia menyodorkannya kepada Joya. "Minum ini, supaya kamu tetap sehat."Joya merasa haru. Meski hatinya
Pagi itu, kamar Joya dipenuhi wangi bunga melati yang ditata rapi dalam vas, memberikan suasana yang menenangkan. Joya duduk di hadapan cermin besar berbingkai emas, tatapan matanya terpusat pada bayangan dirinya yang tampak berbeda dari biasanya.Gaun putih panjang yang membalut tubuhnya, tampak sempurna dengan perpaduan kalung dan anting yang memancarkan kilau indah.Bu Dewi berdiri di belakang, dengan hati-hati merapikan sanggul rambut Joya. Perempuan paruh baya itu juga menyematkan beberapa helai bunga kecil, untuk mempermanis penampilan sang calon mempelai."Kau benar-benar cantik, Nak. Ibu yakin, Alastar akan terpesona begitu melihatmu," pujinya penuh kekaguman.Joya hanya bisa menggigit bibirnya, menahan gelombang kegugupan yang terus melanda. Jemarinya saling bertaut erat, menandakan bahwa emosinya tengah bergejolak hebat. Rasa gugup, was-was, dan bahagia berbaur menjadi satu di dalam hatinya.Pandangan Joya kemudian beral
Joya tidak mampu menahan cairan bening yang perlahan menggenang di sudut matanya. Ucapan itu begitu berarti baginya. Bayinya telah diakui sebagai bagian dari keluarga besar Diwanggana. Ia tak pernah menyangka Tuan Narendra akan menerima Arion dengan hati yang lapang seperti ini.Tuan Narendra berbalik, menatap Joya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Jangan khawatir, Joya. Jika cucuku yang nakal itu sudah berani menghamilimu, maka ia pasti segera kembali untuk menikahimu. Tunggu saja, itu akan terjadi sebentar lagi."Joya tersentak. Matanya membesar dalam keterkejutan, sekaligus kebahagiaan yang membuncah. Harapannya yang sempat pudar perlahan menyala kembali, memenuhi hatinya dengan kehangatan yang hampir ia lupakan.Dada Joya berdegup begitu cepat, hingga ia merasa jantungnya berdentum di dalam telinganya sendiri. Seakan tak percaya dengan ucapan Tuan Narendra, bibirnya yang semula gemetar kini mencoba mengucapkan sesuatu, walau suaranya nyaris tertelan napasnya sendiri.“Be-
Hampir satu tahun telah berlalu sejak Alastar pergi ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Waktu terasa begitu lambat bagi Joya, setiap detik dipenuhi dengan kerinduan yang menyakitkan. Hanya dua kali Alena mengabari bahwa kondisi Alastar telah membaik, tetapi belum cukup kuat untuk kembali. Berita itu, meski melegakan, tetap menyisakan kehampaan dalam hati Joya. Kini, kehidupannya dipenuhi dengan kesibukan yang tiada henti. Bayinya yang baru berusia dua bulan menjadi pusat dunianya. Si kecil yang lahir dari buah cintanya dengan Alastar, hadir sebagai penguat dalam hari-hari panjang penuh penantian. Selain mengurus bayinya, Joya juga memegang tanggung jawab besar di kantor. Sejak kepergian sang kekasih, ia ditunjuk sebagai penggantinya melalui surat resmi yang dibuat oleh pengacara Alastar. Dengan bantuan Arman, ia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, memastikan perusahaan tetap berjalan dengan baik.Kilas balik peristiwa itu kembali melintas dalam benak Joya. Selang sat
Di ruang Instalasi Gawat Darurat, Joya masih duduk di sisi tempat tidur Alastar, menatap wajah pucat pria yang dicintainya dengan sorot mata penuh duka. Tangannya masih menggenggam jemari Alastar yang dingin, seakan berusaha menyalurkan sedikit kekuatan.Namun, kebersamaan singkat itu terganggu oleh kehadiran beberapa perawat yang mendekat. Salah satu dari mereka memeriksa kembali monitor yang masih menunjukkan detak jantung Alastar, sedangkan yang lain mulai melepas satu per satu alat medis yang melekat di tubuh pria itu. Selang infus yang menyalurkan cairan ke dalam tubuhnya dicabut dengan hati-hati, diikuti oleh elektrode yang menempel di dadanya. Satu perawat lainnya membebaskan Alastar dari alat bantu oksigen yang sejak awal menopang pernapasannya, sedangkan seorang lagi sudah bersiap dengan brankar khusus yang akan membawa tubuh lemah itu ke dalam ambulans.Joya menatap semua itu dengan pandangan kosong, perasaan tidak rela merayapi dirinya. Hatinya menjerit melihat pria yang d
Joya berjalan mondar-mandir di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, langkahnya tak beraturan, seiring dengan debar jantung yang tak menentu. Matanya yang sejak tadi berkaca-kaca semakin terasa perih. Telapak tangannya terasa dingin dan basah oleh keringat yang tak henti mengalir. Kecemasan menguasai hatinya, menyelimuti setiap tarikan napasnya dengan kekhawatiran yang sulit terjelaskan. Sudah beberapa waktu berlalu, tetapi belum ada satu pun dokter yang keluar untuk memberi kabar tentang kondisi Alastar.Saat Joya hampir kehilangan kesabaran, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya. Ia menoleh dan melihat Arman, asisten setia Alastar, datang bersama seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian elegan. Sekilas, ada garis wajah yang mengingatkan Joya pada Alastar. Dugaan Joya benar. Wanita itu adalah Alena, kakak Alastar.Alena segera menghampiri Joya dengan ekspresi tegang. “Kau Joya, bukan? Aku Alena, kakak Alastar. Apa yang terjadi? Kenapa Alastar bisa pingsa
Usai prosesi pemakaman yang berlangsung khidmat, Joya masih bersimpuh di sisi makam Siena. Tanah merah yang baru saja ditaburkan bunga itu masih lembap, seakan belum sepenuhnya menyadari bahwa kini seorang jiwa telah terbaring abadi di bawahnya. Di sekelilingnya, para pelayat sudah mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir itu. Hanya menyisakan kesunyian dan desir angin, yang menyapu dedaunan pohon kamboja di sudut pemakaman.Alastar yang berdiri tak jauh dari Joya akhirnya ikut berjongkok. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh bahu wanita itu, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya udara senja. "Baby, langit sudah mendung," suaranya terdengar lembut. "Kita harus kembali sekarang. Bukankah kau ingin melihat kondisi Bu Dewi di rumah sakit?"Joya mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Matanya merah dan sembab, tetapi kesedihan yang mendalam masih terpancar jelas dari sana. Ia menoleh ke arah makam Siena sekali lagi, seakan ingin mengukir sosok sang adik d
Mobil melaju dengan tenang di sepanjang jalan yang basah oleh embun pagi, tetapi suasana di dalamnya begitu kelam. Joya bersandar di bahu Alastar, membiarkan kehangatan lelaki itu meresap ke dalam kulitnya yang terasa dingin. Sejak menerima kabar duka, bibir Joya terkunci rapat. Kata-kata seolah tertahan di kerongkongan, dadanya sesak oleh kesedihan yang tak tertahankan. Alastar, yang duduk di samping Joya, tak banyak bicara. Ia hanya mengeratkan pelukan di bahu sang kekasih, sesekali mengecup pucuk kepalanya dengan penuh kasih. Ia tahu, saat ini, tak ada kata-kata yang bisa mengurangi kepedihan yang dirasakan Joya. Di tengah kesunyian, Alastar merasakan kepalanya mulai berdenyut. Pandangannya sempat berkunang, tetapi ia mengerjapkan mata cepat-cepat, berusaha mengabaikan rasa pusing yang kian menguasai kepala. Ini bukan saatnya untuk jatuh sakit. Joya lebih membutuhkan dukungannya sekarang dibanding kapan pun. Alastar pun menggenggam tangan Joya, meremasnya lembut seakan ingin me
Joya terbangun lebih dulu dari Alastar, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang masih terlelap di sisinya. Dengan hati-hati, ia menyingkirkan tangan Alastar yang melingkar erat di pinggangnya. Setelah berhasil melepaskan diri, ia turun perlahan dari ranjang, membiarkan kakinya menyentuh lantai dingin.Dengan langkah ringan, Joya menuju meja di mana ponselnya tergeletak. Begitu ia menyalakannya, layar yang redup segera terang, menampilkan sebelas panggilan tak terjawab dari dua nomor berbeda.Kening Joya berkerut, hatinya bertanya-tanya ada urusan penting apa sehingga ia dihubungi terus-menerus. Belum sempat berpikir lebih jauh, matanya tertuju pada dua pesan masuk dari nomor tak dikenal. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat saat ia membuka pesan pertama.{Selamat pagi. Ini dari Kepolisian. Kami meminta Ibu Joya segera datang ke Rumah Sakit Cendana. Adik Anda, Bu Siena, dan suami Anda, Pak Denis Kusuma, mengalami kecelakaan dan saat ini dalam kondisi kritis.]Darah Joya seolah membek
Benturan logam yang dahsyat menggema, tatkala mobil Denis menghantam tiang listrik. Kaca depan retak, bagian kap mobil penyok, dan kepulan asap mulai muncul dari mesin yang ringsek. Suara klakson panjang meraung di udara, seakan menjadi tanda bahaya bagi siapa saja yang berada di sekitar.Siena terkulai di kursi penumpang dengan darah merembes dari dahinya yang terbentur dashboard. Napasnya tersengal, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya tertutup rapat. Tangannya yang tadi mencengkeram kemudi dengan emosi kini terkulai lemah di pangkuannya. Tubuh gadis itu penuh luka, tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah darah yang mengalir deras dari kedua kakinya, membasahi jok mobil dengan warna merah pekat yang mencengangkan.Di sisi lain, Denis tak sadarkan diri dengan luka yang tak kalah parah. Kepala pria itu terantuk keras pada kemudi, menyebabkan robekan di pelipisnya.Kedua kakinya terjepit di antara dashboard dan kursi, membuatnya tak bisa bergerak. Sementara tangan kanan Denis t