Daren melemparkan pandangan tajam ke arah Isabelle. Senyum puas masih menghiasi wajahnya. "Hayati," ucapnya perlahan, sambil menoleh ke arah wanita di sampingnya.Isabelle tercekat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tidak mungkin...," bisiknya, setengah tak percaya. Dia menatap Hayati dengan mata penuh kebencian dan ketakutan. "Kau?!"Hayati, yang sejak tadi diam, kini mengangkat wajahnya. Senyumnya lembut, namun matanya memancarkan keteguhan yang mengintimidasi. "Ya, Isabelle. Aku adalah anak dari istri pertama kakekmu. Dan itu artinya, aku adalah pewaris sah dari seluruh harta kekayaan keluargamu," katanya dengan nada tenang namun penuh kekuatan.Isabelle merasakan tanah di bawah kakinya seakan runtuh. Dia tak pernah menyangka wanita yang selama ini dia pandang sebelah mata adalah orang yang justru memiliki kuasa atas apa yang selama ini dia kejar. "Ini tidak adil! Kau tidak punya hak!" Isabelle mulai kehilangan kontrol."Justru ini sangat adil, Isabelle," Daren
“Puas dengan apa yang aku lakukan?” Daren mempertegas pertanyaan Hayati. Senyum bengis muncul di wajahnya. Ingatan Daren melayang pada kejadian di sebuah hotel mewah yang tidak jauh dari lokasi restaurant. Saat itu Daren meminta Hayati untuk ikut dengannya dan menjalankan rencananya untuk membalas dendam pada Isabelle.Beberapa jam sebelum pertemuan itu, di sebuah kamar hotel mewah, Hayati berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Lampu-lampu kota yang berkelap-kelip seakan mencerminkan kekacauan di dalam hatinya. Dia masih tidak percaya bahwa dia berada di sini, terjebak dalam permainan balas dendam yang direncanakan oleh Daren. Tangannya gemetar saat memegang secangkir kopi yang kini sudah dingin.Daren, yang duduk di sofa dengan sikap santai, menatap Hayati dengan mata tajam. Dia menikmati ketidaknyamanan yang tergambar jelas di wajah Hayati. "Kau tahu, Hayati, ini bukan hanya tentang balas dendamku pada Isabelle. Ini juga tentang kau yang mengambil hakmu," ucapnya den
Hayati mengangguk pelan, matanya penuh dengan keletihan yang tak bisa disembunyikan. "Aku tidak butuh uang itu, Daren. Aku hanya ingin ini semua segera berakhir. Aku... aku kecewa denganmu. Aku pikir selama ini kau baik padaku karena kau tulus. Ternyata aku salah. Sekarang aku percaya bahwa semua pria yang memiliki uang akan melakukan hal-hal di luar nalar."Daren menatapnya dengan tajam, seolah mencoba menilai keseriusan kata-kata Hayati. Ada sedikit semburat luka di dalam hatinya. Hayati benar, dia memang menggunakan Hayati sebagai pion penghancur bagi Isabelle dan Laksmana. Ada rasa bersalah yang perlahan merayapi hati Daren. Namun, dia tidak bisa mundur lagi. Dia sudah sejauh ini untuk menuntaskan dendam yang bertahun membelenggunya.Daren menata hati untuk membuang semua perasaan manusiawi yang dia takutkan. Bagi Daren, dia bukan lagi pria dengan rasa. Dia hanyalah Daren yang sedang terbakar dendam karena Isabelle dan Laksmana. Setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang, k
Andi menarik napas, lalu menatap Hayati dengan tatapan serius. “Apakah kau memiliki perasaan terhadap Daren?”Raut wajah Hayati memperlihatkan kebingungan. Pertanyaan Andi seolah memperjelas apa yang dia sendiri ragu untuk memastikan. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Hubunganku dan Daren hanyalah murni hubungan profesional pekerjaan. Aku membantunya untuk membalas dendam pada Isabelle karena dia mengancamku.”“Jadi jawabanmu adalah?” Andi seolah mengabaikan penjelasan panjang Hayati.“Aku... aku tidak memiliki perasaan apa pun pada Daren,” jawab Hayati pada akhirnya.Andi mengangguk tegas tanda mengerti. “Baiklah. Soal perasaan itu urusan kalian. Daren menitipkan pesan, jika kau menginginkan harta kakekmu, kau bisa mengambilnya kapan pun kau mau. Daren tidak akan memberikannya pada orang lain.”Pernyataan Andi membuat Hayati tak urung merenung. Hayati merasa hatinya bergejolak mendengar pernyataan Andi tentang harta kakeknya. Dia sudah mengabaikan masalah itu setelah terjebak dalam i
Anggara terdiam sejenak, menatap Hayati dengan ekspresi bingung. “Kenapa tiba-tiba menanyakan soal kakek dan ibu?” tanyanya sambil duduk di samping Hayati. Anggara bukan tipe orang yang sering membicarakan masa lalu. Baginya, yang terpenting adalah masa kini dan masa depan. Namun, ia tahu bahwa Hayati tidak akan menanyakan hal ini tanpa alasan.Hayati menunduk, memainkan ujung bajunyanya dengan gelisah. Dia tidak yakin apakah haru menceritakan semuanya pada Anggara. Hayati ragu jika Anggara tahu tentang itu. “Aku hanya ingin tahu... Apakah kau pernah mendengar sesuatu tentang masa lalu ibu? Mungkin sesuatu yang tidak pernah kita bicarakan sebelumnya?”Anggara menarik napas dalam, tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Aku tidak terlalu ingat banyak tentang kakek. Aku masih kecil saat itu, dan seingatku, ibu jarang sekali membicarakan keluarganya. Tapi aku tahu bahwa ibu sangat menyayangi kakek. Mereka memiliki hubungan yang cukup dekat, walau tidak banyak cerita yang ibu bagi tent
Hayati terdiam, merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Pertanyaan Anggara mengenai Daren membuatnya tersentak, seolah-olah kakaknya bisa membaca pikirannya. Dia tidak tahu harus mulai dari mana, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya.“Daren... dia lebih dari sekadar seseorang yang menyimpan harta kakek,” ucap Hayati pelan, hampir berbisik. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan ini, Kak. Perasaanku padanya campur aduk. Ada saat-saat di mana aku merasa dia adalah orang yang bisa aku percayai, seseorang yang bisa aku andalkan. Tapi ada juga saat-saat di mana aku merasa terjebak, seperti dia memiliki kendali atas hidupku hanya karena dia tahu terlalu banyak tentang masa lalu kita.”Anggara mengangguk, mendengarkan dengan sabar. “Apa kau mencintainya, Hayati?”Pertanyaan itu menghantam Hayati seperti petir. Dia menatap ke arah jendela, menatap jauh ke luar, seolah mencari jawaban dari langit yang luas. “Aku tidak tahu, Kak,” jawabnya jujur. “Ada sesuatu da
“Dokter! Pasien mengalami kejang lanjutan!” Seorang suster keluar dari ruang gawat darurat.“Kita akan bicara lagi nanti. Ada pasien yang harus saya tangani. Segera saya akan segera kembali untuk menjelaskan kondisi vinara pada Anda.Setelah beberapa jam menunggu dengan cemas, akhirnya dokter yang sama memanggil Hayati dan Anggara ke ruangannya. Wajahnya serius, menunjukkan bahwa kabar yang akan disampaikan bukanlah hal yang mudah."Bu Hayati, Pak Anggara, silakan duduk," ujarnya lembut, tetapi dengan nada yang jelas menunjukkan beratnya situasi.Hayati menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya sebelum duduk di kursi di depan meja dokter. Anggara duduk di sebelahnya, tatapannya penuh perhatian pada sang dokter.Dokter itu menghela napas sebelum berbicara. "Saya harus memberitahu Anda bahwa selain reaksi alergi yang parah, kami menemukan bahwa Vinara menderita penyakit langka yang disebut aplasia sumsum tulang. Ini adalah kondisi di mana sumsum tulang belakangnya tidak mampu memproduk
“Apakah itu mengubah keadaan bahwa Dimas mungkin tidak akan pernah bersedia menolong buah hatinya sendiri.” Hayati bergumam namun cukup keras untuk bisa di dengar Anggara.Anggara tanpa sadar mengepalkan tangannya dan mencengkeram kemudi di depannya. “Setidaknya mereka akan berpikir beberapa kali untuk menyerangmu. Aku tidak akan pernah membiarkan itu!”Hayati menatap keluar jendela mobil, melihat pemandangan kota yang perlahan berubah menjadi bayangan samar di bawah sinar lampu jalan. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk. Bagaimana mungkin dia bisa menghadapi Dimas lagi setelah semua yang terjadi? Tapi, demi Vinara, dia tidak punya pilihan lain.“Tidak, Kak,” jawab Hayati akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Aku harus melakukannya sendiri. Ini tentang Vinara, dan aku yang harus menghadapi Dimas. Ini juga adalah masalahku, bukan masalahmu.”Anggara mengangguk, meskipun sedikit keberatan. “Aku mengerti, Hayati. Tapi ketahuilah, aku ada di belakangmu, apa pun yang terjadi.”Hayati t