"Hallo, aku ada kerjaan buat kalian. Cari tau semua tentang perempuan yang sudah aku kirim fotonya barusan! Lusa aku sudah harus dapatkan infonya!" Setelah menutup ponselnya, Ratu meninggalkan teman-temannya untuk pergi ke sesuatu tempat sejenak. "Gue tinggal sebentar ada perlu!" serunya sembari melangkah ke arah jalan raya. "Halaah, paling si Khai nyamperin si om-om tadi." Terdengar tawa teman-teman Ratu yang melihat Ratu berjalan kaki ke arah hotel yang berjarak hanya beberapa meter dari restoran itu. Sejak ia diusir oleh Fabian tadi, Ratu memang tidak lagi berani menampakkan diri di depan Fabian. Ia tidak mau Fabian menelphon Kaisar dan ia akan mendapat hukuman dari sang mama. Karena setiap sabtu Ratu memang sudah biasa menginap di rumah salah satu temannya. Tapi tidak ada yang tau kebiasaannya kumpul-kumpul di luar hingga pagi seperti sekarang ini. Ratu kembali memasuki kawasan hotel untuk menuju cafe. Ia menduga Fabian masih berada di sana. Khawatir ada yang memergoki, Ra
"Kita kembali ke Jakarta sekarang." Fabian bangkit berdiri diikuti oleh Analea. Mereka berjalan ke mobil dengan jemari Analea kembali berada dalam genggamam Fabian. Hati keduanya menghangat. Apalagi Fabian. Baru kali ini ia merasakan sesuatu yang berbeda pada seorang wanita. Sejak pertama kali bertemu dengan Analea pagi itu, wajah Analea tidak pernah lepas dari benaknya. Saat itu rasa iba dan simpati muncul begitu saja. Di mobil, Fabian susah payah mencari bahan obrolan. Demikian juga dengan Analea. Wanita itu pun tidak banyak bicara. Namun sesekali Fabian mengenggam jemari Analea dan membawa ke pangkuannya. Bahkan sampai mereka tertidur, jemari mereka masih saling bertautan. Hingga dua jam berlalu audi milik Fabian.telah berhenti. Namun keduanya masih tertidur dengan saling mengenggam dan saling bersandar. "Tuan, Tuan Bian, Mbak Ana. Kita sudah sampai!" Sang supir terpaksa harus membangunkan keduanya. Analea tersentak dan membuka matanya. Dadanya berdebar saat menyadari posisin
" Mbak Ratu?" Hamid memang sudah lama mengenal Ratu, karena wanita itu beberapa kali keluar masuk PT Bina Sanjaya dengan memperkenalkan dirinya sebagai calon tunangan Fabian. "Heh, kamu, siapa nama kamu? Kamu yang di Bina Sanjaya, kan?" Ratu mendekati Hamid sambil menunjuk pria itu. "Iya, Mbak." Hamid mengangguk dengan wajah bingung. "Ayo ikut aku!" Hamid bertambah bingung. Namun ia tetap mengikuti langkah kaki Ratu menuju sebuah ruangan di belakang resepsionis yang merupakan tempat menerima tamu bagi karyawan. Setelah keduanya duduk, Ratu kembali mengajukan berbagai pertanyaan ada Hamid. "Aku tanya sekali lagi. Apa benar kamu suaminya Analea?" Ratu menatap tajam pada Hamid, seakan mengancam bahwa ia tidak mau dibohongi. "Betul, Mbak. Dia istri saya. Kalau Mbak nggak percaya, ini foto pernikahan kami beberapa bulan yang lalu." Hamid memperlihatkan sebuah foto dari galeri ponselnya. Mata Ratu melebar melihat foto yang disodorkan Hamid padanya. Wanita berambut pendek itu merai
Meski sore itu mereka tidak ada janji untuk pulang bersama, Fabian cukup tenang karena melihat Analea baik-baik saja di Eternal group. Ia sedikit panik saat mendengar laporan tadi pagi dari orang kepercayaannya bahwa Hamid nekad mendatangi Analea ke Eternal Group. Ia bertambah panik saat Analea tidak merespon panggilan dan pesannya. Apalagi orang kepercayaannya itu tidak bisa masuk ke dalam Eternal Group dengan sembarangan. Setelah berbincang banyak hal dengan Kaisar, Fabian pun beranjak hendak pulang. "Aku pulang dulu." Fabian berdiri lalu pamit pada Kaisar dan Ratu yang ada di ruangan itu. Kaisar ikut berdiri, lalu merapikan laptopnya. Kemudian melangkah mendekati Fabian. "Aku juga sudah selesai. Ratu, ayo kita pulang!" Ratu meraih tasnya dan mengikuti langkah kedua CEO tampan itu keluar dari ruangan. Risa dan Analea mengangguk sopan saat mereka melewati meja sekretaris. Sambil berjalan, Fabian meraih ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan singkat untuk Analea. [Jangan pu
"Kamu ... sedang apa di sini? Bukankah seharusnya kamu berada di ruang meeting?" Hamid yang tadi sedang berdiri bersandar pada dinding, tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Kepalanya menunduk karena tatapan Fabian yang cukup tajam membuat nyalinya hilang seketika. "Iy-iyyaa, Pak. S-saya naik sekarang." Demi menghindari Fabian yang terkenal tegas dan dingin. Hamid mempercepat langkahnya menuju lift untuk naik ke ruang meeting. Fabian menarik napas panjang agar bisa meredam emosi yang muncul saat melihat Hamid tadi. Ia tau persis apa tujuan Hamid berdiri di dekat resepsionis itu. Setelah membetulkan jas dan dasinya yang ia rasa berubah letak saat tubuhnya menegang, Fabian bergegas berjalan tegak mendekati pintu kaca lobi. Dari kejauhan ia melihat Kaisar dan Analea telah turun dari mobil. Fabian memperlambat langkahnya saat Analea dan Kaisar sudah melangkah mendekatinya. "Wah, wah, kali ini kita disambut langsung oleh CEO PT Bina Sanjaya," Kaisar dan Fabian saling berjabat tangan. Kemudi
"Kita sudah sampai. Ayo turun!" Kaisar yang duduk di belakang, keluar setelah salah seorang security membukakan pintu untuknya. Analea juga sudah berdiri di samping Kaisar. Mereka kini berada di teras hotel. "Pak Kaisar? Sebelah sini, Pak!" Seorang pria berpakaian safari menghampiri dan membawa Kaisar ke sebuah restoran yang berada di dalam hotel itu. Analea melangkah disamping Kaisar. Selama bekerja dengan Kaisar, Analea selalu merasa nyaman. Tidak seperti para CEO lainnya, Analea tidak pernah merasa tertekan ataupun terlalu sungkan berada di dekat Kaisar. Bahkan Kaisar lebih sering menganggapnya sebagai rekan kerja. Meski demikian, Analea tetap bersikap sopan dan sebagaimana seorang sekretaris pada atasannya. "Pak, Apa Mbak Risa juga hadir?" Kaisar menggeleng. "Kenapa? Kamu khawatir tidak ada teman? Kalau begitu, kamu jangan jauh-jauh dari saya," sahut Kaisar santai sambil tersenyum pada Analea. "Kira-kira, kenapa ya Bu Maira meminta saya untuk datang?" gumam Analea pelan,
"Selamat, Bu Maira. Anaknya perempuan." Maira yang saat itu merasa sangat lemas, samar-samar mendengar suara dokter dan perawat di sekitarnya. Sejak awal ia memang memilih untuk melahirkan secara normal. Namun persalinan kali ini lebih membutuhkan tenaga yang ekstra. Hingga ia merasa sangat lemas dan penglihatannya sedikit buram. "Ini bayinya, Bu. Cantik sekali seperti mamanya. Matanya biru, mungkin seperti papanya." Seorang perawat meletakkan bayi merah yang baru saja lahir di atas dada Maira. Meski sekilas, ia bisa melihat dengan jelas tanda hitam yang ada di balik telinga kanan bayinya. Hanya itu yang dapat diingat oleh Maira, karena beberapa detik kemudian ia tak sadarkan diri karena teralu banyak mengalami pendarahan. Saat tersadar, Maira baru mengetahui bahwa ia tak sadarkan diri hingga hampir satu minggu. "Mana bayiku?" lirih Maira pelan. "Bayi kita sudah di rumah sejak tiga hari yang lalu, Sayang. Dia sehat. Semua orang menyayanginya. Mama Laura, Bu Nuri, Ayah Pratama.
"Kenapa Mbak Ratu menginginkan informasi tentang Ana?" Hamid berpikir keras. Ada apa antara Ratu dan Analea? Apa Analea membuat masalah di Eternal Group? "Ada apa, Mid? Itu pesan dari siapa? Kenapa kamu jadi melamun?" Irma mengguncang lengan Hamid yang tatapannya kosong kedepan. "Hamid!" sentak Irma karena Hamid tak kunjung menjawab. "Iy-iyaa, Bu. Ini pesan dari tunangannya Bos aku. Mau ajak ketemu. Aku keluar sebentar, Bu!" Hamid bergegas bangkit, lalu meraih kunci motornya. "Mau kemana, Mid?" Irma berteriak melihat putranya pergi dengan tergesa-gesa. "Sebentar, Bu. Nggak lama, kok!" teriak Hamid sebelum melajukan motornya ke alamat yang baru saja dikirim oleh Ratu. Irma mengikuti Hamid sampai ke depan pagar , lalu menggerutu karena Hamid tidak menjawab pertanyaannya dengan benar. "Semoga saja Hamid pergi bertemu Ana dan mereka tidak jadi bercerai," gumam Irma. Namun ia tidak menyadari ternyata ucapannya barusan terdengar oleh beberapa tetangganya yang baru saja pulang dari
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof