"Analea ...!" gumam Fabian nyaris tak terdengar. Ingatannya menerawang pada peristiwa pagi itu. Audi hitam miliknya hampir saja menyerempet seorang wanita dengan penampilan yang sederhana. Ia tau persis supirnya tidak bersalah. Kecelakaan itu terjadi karena wanita itu berjalan limbung hingga tubuhnya nyaris ke tengah jalan raya. Beruntung saat itu mobilnya tidak dalam keadaan ngebut. Pertemuan dengan wanita sederhana itu terus berbekas di benak Fabian hingga ia dipertemukan kembali dengan Analea di gedung Eternal Group. "Sepertinya Analea sedang mengalami masalah yang cukup berat. Kasian ..." Fabian bicara dalam hati. Potongan-potongan gambar tentang Analea terus berulang dalam pikiran Fabian. Saat Analea nyaris terserempet, pertemuannya dengan wanita itu di Eternal Group, belum lagi keributan kecil dengan salah satu karyawannya di kantor sore tadi, serta perdebatan yang serius antara Analea dengan seorang pengendara motor di sebuah halte. "Masalah apa yang sedang kamu hadapi, Ana
"Ya! Ayah ingin berbesan dengan Rein. Dia dan istrinya orang baik. Keturunan mereka pasti juga orang baik." Arthur bicara dengan semangat. Ada harapan besar yang tersirat dari ucapannya. Fabian semakin berasa bersalah. Ayahnya yang sudah tua itu pasti sangat ingin melihat putra satu-satunya menikah. Mendengar nama Ratu, wajah Fatma juga nampak antusias. "Ratu pastilah seorang wanita yang santun dan lemah lembut seperti ibunya-Maira. Bian tidak akan menyesal jika menikah dengan Ratu." "Tidak, Bu!" sergah Bian. Pria itu menggeleng cepat. "Bian tidak mau dijodohkan. Bian janji, akan segera memperkenalkan calon istri Bian pada ayah dan Ibu." Arthur dan Fatma kembali saling pandang. Kemudian tersenyum. "Kalau begitu, jangan lama-lama. Jangan membuat ayah dan Ibu menunggu lebih lama! Athur berdiri diikuti oleh istrinya. Sepasang suami istri itu berjalan ke arah pintu keluar. Fabian bangkit dan mengikuti ayah dan ibunya yang hendak pulang. "Ingat Bian, tiga bulan, tidak lebih!" Arthu
"Berarti Analea itu--" Fabian tidak meneruskan kalimatnya. Pria itu terdiam sesaat dengan kening berkerut. "Kenapa Analea minta cerai? Ada apa sebenarnya? Tapi laki-laki itu tidak mau menceraikannya." Fabian ingat dengan wajah Analea sore itu, saat bersitegang dengan Hamid. Wanita itu memang terlihat mengenali Hamid. Karena penasaran, Fabian meminta orang kepercayaannya untuk menyelidiki Analea dan Hamid. Pria berrwajah indo-brazil itu menghubungi seseorang lewat ponselnya. Sebelumnya ia juga mengirim foto serta identitas Analea dan Hamid lewat pesan. "Cari tau semua tentang wanita itu. Ya! Semuanya!" perintah Fabian pada seseorang di seberang sana. Satu hari ini Fabian tidak fokus bekerja. Ia lebih banyak melamun memikirkan permintaan ayah dan ibunya. Siapa wanita yang akan ia kenalkan pada orang tuanya nanti? Lagi-lagi Fabian menghela napas berat. Saat ini satu-satunya wanita yang ada dalam pikirannya hanya Analea. Ia sendiri tidak mengerti kenapa sejak pertemuan pertama d
"Kenapa anda melihat saya seperti itu?" Kaisar menatap tajam pada Hamid. Pria itu juga heran, karena selama bekerjasama dengan PT. Bina Sanjaya, Kaisar tidak pernah berinteraksi langsung dengan karyawan di sana. Apalagi dengan Hamid yang hanya staf bawahan. "Hamid!" lirih Nandita sembari menyenggol lengan pria di sebelahmya. Suara Kaisar membuatnya terkejut. Ternyata Hamid sedang memandang tak suka pada Kaisar dan sekretarisnya. Sedetik kemudian Hamid tersadar. Rasa cemburu yang membakar jiwanya membuatmya kehilangan kendali. "M-maaf, Pak Kaisar.Maaf!" Hamid membungkuk meminta maaf. "Sebenarnya apa masalah Anda dengan sekretaris saya?" tanya Kaisar saat menyadari bahwa pandangan tajam Hamid beberapa detik yang lalu cukup lama pada Analea. "Oh, tidak ada apa-apa, Pak. Kemarin itu hanya salah paham. Saya minta maaf, Pak. Mari saya antar ke ruang Pak Fabian, Pak kaisar!" Hamid gelagapan. Ia baru saja membuat kesalahan yang hampir saja menghancurkan hidupnya. Tentunya ia tidak mau ke
"Ambilah Ini, hapus air matamu!" Analea terkejut mendengar suara yang tidak asing. Seketika ia mengangkat wajahnya. Tatapan dingin dan sangat lekat itu saat ini berada di hadapannya dengan jarak hanya beberapa senti dari tubuhnya. Sebuah tangan kekar berbalut jas mahal itu kembali menyodorkan sebuah saputangan padanya. "Tenangkan dirimu!" Suara bariton yang begitu dominan itu kembali berucap, sementara tatapannya belum beralih dari netra sendu milik Analea. "T-terima kasih ...!" lirih Analea pelan. Tangannya terangkat meraih sapu tangan berwarna krem itu. Lalu menunduk menghapus air matanya. Wangi maskulin khas pria bercambang lebat itu menguar dari saputangan yang digenggamnya. Menciptakan debaran-debaran aneh dalam dada Analea. "Kenapa? Apa dia mengganggumu lagi?" Sebuah pertanyaan Fabian yang terkesan ingin melindungi lagi-lagi menciptakan sesuatu yang menghangat di dalam sana. "Mmm ...." Analea baru akan menjawab, tiba-tiba seseorang datang menghampiri. "Kak Fabian? Kakak n
"Ingat! Fabian itu tunanganku!" Ratu mengancam Analea dengan menunjuk-nunjuk wajah wanita itu. Analea mendesis menahan rasa sesak karena sikap Ratu. "Maaf, maksud Non Ratu apa?' Analea berusaha tetap tenang. Ia memberanikan diri untuk bertanya. Ia tidak terima jika dianggap sebagai pengganggu tunangan orang. "Halaah, jangan pura-pura nggak ngerti! Aku tau, kamu sedang mengincar Fabian dan Kaisar-kakakku, kan?.Udah, ngaku aja!" Ratu bicara ketus dengan mata melotot. Cengkraman tangannya pada lengan Analea semakin mengetat. Analea menggeleng cepat. Sambil menahan nyeri ia pun berusaha untuk membela diri. "Sama sekali tidak, Non. Saya hanya mau kerja. Saya cuma mau cari uang." Analea mencoba untuk meyakinkan wanita berambut pendek itu. Ratu semakin kesal karena Analea terus membantah tuduhannya. Sejak awal Analea selalu diam dan tidak bicara apapun, Analea tak pernah membantah setiap Ratu mengungkapkan kemarahannya bahkan melampiaskan emosinya pada Analea. Akan tetapi, siang ini
"Mama apaan, sih? Si Ana itu cuma magang di perusahaan kita, dia bukan karyawan. Nanti kalau barang-barang kita ada yang hilang bagaimana?" "Ratu, jangan sembarangan bicara!" Spontan saja Maira membentak Ratu. Tidak hanya Ratu yang terkejut, tapi Rein juga heran, karena Maira bukanlah seorang ibu yang sering membentak. "Kamu kenapa?" Usapan lembut tangan Rein pada punggung Maira, seketika mampu membuat Maira kembali tenang. "Entahlah." Maira menggeleng lemah. Sudut matanya melirik Ratu. Putrinya itu menunjukkan wajah cemberut setelah mendapat bentakan dari Maira tadi. "Mama minta maaf sudah bentak Ratu. Mama hanya nggak suka Ratu mencurigai sembarang orang tanpa bukti." Maira membelai lembut kepala putrinya. "Tapi Aku nggak suka Mama terlalu baik sama si Ana itu. Memangnya dia itu siapa, sih? Kok kelihatannya istimewa banget? Padahal dia itu cuma karyawan magang, loh!" Ratu mengeluarkan rasa kesalnya yang selama ini ia pendam. "Ratu ... siapa yang istimewa?" sanggah Kaisar.
"Lea ..." Fabian bergumam dengan tatapannya tertuju pada wanita cantik yang memiliki rambut bergelombang itu. Tanpa ia sadari, langkah kakinya terus mengikuti arah pandangannya. Hingga kini jaraknya dengan Analea tak sampai satu meter. "Lea ..." gumamnya lagi. Langkah Analea terhenti mendengar suara berat yang sangat ia kenali menyebut sebuah nama panggilan untuknya. Seketika wanita bermata sendu itu menoleh ke belakang. "P-pak Fabian ...?" Mata Analea melebar. Satu telapak tangannya spontan menutup mulutnya yang tadi sempat ternganga. Ia tidak menduga akan bertemu dengan Fabian di tempat itu. "Ehm ... maaf, apa kamu sendiri?" Wajah dingin itu tiba-tiba saja bicara. "Iy-iyaa, Pak." Analea tidak dapat menyembunyikan kegugupannya. "Oke. Karena kamu sendirian, boleh saya minta tolong sesuatu?" Fabian bicara lebih pelan dengan langkah kakinya mendekati Analea. Analea yang masih shock, menjawab pertanyaan Fabian hanya dengan anggukan. "Ehm ..., tolong pilihkan saya beberapa pakaian
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof