"Kenapa Non Ratu memandangku seperti itu?" Analea bertanya dalam hati. "Selamat pagi, Bu Maira, Mbak Ratu!" Risa menyapa keduanya dengan mengangguk, diikuti oleh Analea yang ikut berdiri di sampingnya. "Ana, bagaimana kabarmu?" Langkah Maira terhenti tepat di depan meja Analea. Wanita berpenampilan elegan dan anggun itu tertegun beberapa detik saat menatap Analea. "Baik, Bu. Bagaimana dengan Ibu? Apa masih ada yang sakit?" tanya Analea sambil menatap kagum pada wanita cantik paruh baya itu. "Saya baik-baik saja. Semoga kamu betah ya, bekerja di sini!" ucap Maira lembut. Ia tersenyum puas melihat penampilan Analea pagi ini. Analea merasakan sebuah getaran saat Maira memandangnya dengan tatapan menyejukkan. Analea tidak memahami itu. Namun, ada rasa yang begitu nyaman yang ia rasakan setiap mendengar suara lembut Maira. "Ayo, dong, Ma! Itu Kak Kaisar sudah masuk ke ruangannya." Ratu menarik lengan Maira sambil merengek manja. Wanita itu menunjuk Kaisar yang sudah melangkah lebih d
"Mas Hamid ..." gumam Analea pelan. Ia merasakan sorot mata Hamid begitu tajam padanya. Sekilas ia melihat suaminya itu bergumam tak jelas. Analea berusaha untuk tidak menghiraukan. Toh, ia yakin Hamid tidak akan berani menghampirinya, karena saat ini ia sedang bersama Kaisar. Walaupun ia tau saat ini Hamid sedang sangat marah padanya. "Mari saya antar ke ruangan Pak Fabian!" Wanita yang tadi berada di balik meja resepsionis itu bergegas menghampiri Kaisar dan Analea. Dengan satu tangannya terulur mempersilakan Kaisar dan Analea melangkah lebih dulu. Kaisar mengangguk dengan senyum ramahnya. "Ayo, Ana!" ajak Kaisar sembari menoleh pada sekretarisnya. Analea membalasnya dengan mengangguk. Analea bergegas membersamai langkah kaki Kaisar. Sebelum melangkah, Ia sempat melirik pada Hamid yang masih menatapnya dengan nanar. Napas pria itu naik turun menahan amarah dengan wajah memerah. Sera tersenyum tipis pada pria yang masih berstatus suaminya itu. Hal itu justru semakin membuat rahan
"Ana, ada apa ini?" Seketika Analea menoleh saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Jantungnya berdebar sangat cepat. Ia terkejut mendapati Kaisar dan Fabian telah berada di belakangnya. Dua pria tampan dengan tubuh tinggi besar itu memandang Analea dan Hamid secara bergantian. Wajah keduanya dipenuhi tanda tanya. Fabian memang tidak bicara, namun jelas terlihat wajahnya berubah merah padam ketika melihat tangan Hamid berada pada lengan Analea. Ia menatap karyawannya itu dengan sorot mata yang begitu menusuk. Melihat hal itu, Hamid gemetar karena takut. Wajahnya memucat bagai mayat hidup. Saat tersadar, spontan ia melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Analea. Kemudian ia menggeser tubuhnya agar sedikit memberi jarak dari istrinya itu. Hamid menunduk, tak berdaya menerima tatapan tajam Fabian yang tak lain adalah CEO-nya sendiri. "Ada apa, Ana?" Kaisar memandang Analea yang ketakutan dengan Iba. Sekilas ia melirik tajam pada Hamid yang masih berdiri tak jauh dari Analea.
"Analea ...!" gumam Fabian nyaris tak terdengar. Ingatannya menerawang pada peristiwa pagi itu. Audi hitam miliknya hampir saja menyerempet seorang wanita dengan penampilan yang sederhana. Ia tau persis supirnya tidak bersalah. Kecelakaan itu terjadi karena wanita itu berjalan limbung hingga tubuhnya nyaris ke tengah jalan raya. Beruntung saat itu mobilnya tidak dalam keadaan ngebut. Pertemuan dengan wanita sederhana itu terus berbekas di benak Fabian hingga ia dipertemukan kembali dengan Analea di gedung Eternal Group. "Sepertinya Analea sedang mengalami masalah yang cukup berat. Kasian ..." Fabian bicara dalam hati. Potongan-potongan gambar tentang Analea terus berulang dalam pikiran Fabian. Saat Analea nyaris terserempet, pertemuannya dengan wanita itu di Eternal Group, belum lagi keributan kecil dengan salah satu karyawannya di kantor sore tadi, serta perdebatan yang serius antara Analea dengan seorang pengendara motor di sebuah halte. "Masalah apa yang sedang kamu hadapi, Ana
"Ya! Ayah ingin berbesan dengan Rein. Dia dan istrinya orang baik. Keturunan mereka pasti juga orang baik." Arthur bicara dengan semangat. Ada harapan besar yang tersirat dari ucapannya. Fabian semakin berasa bersalah. Ayahnya yang sudah tua itu pasti sangat ingin melihat putra satu-satunya menikah. Mendengar nama Ratu, wajah Fatma juga nampak antusias. "Ratu pastilah seorang wanita yang santun dan lemah lembut seperti ibunya-Maira. Bian tidak akan menyesal jika menikah dengan Ratu." "Tidak, Bu!" sergah Bian. Pria itu menggeleng cepat. "Bian tidak mau dijodohkan. Bian janji, akan segera memperkenalkan calon istri Bian pada ayah dan Ibu." Arthur dan Fatma kembali saling pandang. Kemudian tersenyum. "Kalau begitu, jangan lama-lama. Jangan membuat ayah dan Ibu menunggu lebih lama! Athur berdiri diikuti oleh istrinya. Sepasang suami istri itu berjalan ke arah pintu keluar. Fabian bangkit dan mengikuti ayah dan ibunya yang hendak pulang. "Ingat Bian, tiga bulan, tidak lebih!" Arthu
"Berarti Analea itu--" Fabian tidak meneruskan kalimatnya. Pria itu terdiam sesaat dengan kening berkerut. "Kenapa Analea minta cerai? Ada apa sebenarnya? Tapi laki-laki itu tidak mau menceraikannya." Fabian ingat dengan wajah Analea sore itu, saat bersitegang dengan Hamid. Wanita itu memang terlihat mengenali Hamid. Karena penasaran, Fabian meminta orang kepercayaannya untuk menyelidiki Analea dan Hamid. Pria berrwajah indo-brazil itu menghubungi seseorang lewat ponselnya. Sebelumnya ia juga mengirim foto serta identitas Analea dan Hamid lewat pesan. "Cari tau semua tentang wanita itu. Ya! Semuanya!" perintah Fabian pada seseorang di seberang sana. Satu hari ini Fabian tidak fokus bekerja. Ia lebih banyak melamun memikirkan permintaan ayah dan ibunya. Siapa wanita yang akan ia kenalkan pada orang tuanya nanti? Lagi-lagi Fabian menghela napas berat. Saat ini satu-satunya wanita yang ada dalam pikirannya hanya Analea. Ia sendiri tidak mengerti kenapa sejak pertemuan pertama d
"Kenapa anda melihat saya seperti itu?" Kaisar menatap tajam pada Hamid. Pria itu juga heran, karena selama bekerjasama dengan PT. Bina Sanjaya, Kaisar tidak pernah berinteraksi langsung dengan karyawan di sana. Apalagi dengan Hamid yang hanya staf bawahan. "Hamid!" lirih Nandita sembari menyenggol lengan pria di sebelahmya. Suara Kaisar membuatnya terkejut. Ternyata Hamid sedang memandang tak suka pada Kaisar dan sekretarisnya. Sedetik kemudian Hamid tersadar. Rasa cemburu yang membakar jiwanya membuatmya kehilangan kendali. "M-maaf, Pak Kaisar.Maaf!" Hamid membungkuk meminta maaf. "Sebenarnya apa masalah Anda dengan sekretaris saya?" tanya Kaisar saat menyadari bahwa pandangan tajam Hamid beberapa detik yang lalu cukup lama pada Analea. "Oh, tidak ada apa-apa, Pak. Kemarin itu hanya salah paham. Saya minta maaf, Pak. Mari saya antar ke ruang Pak Fabian, Pak kaisar!" Hamid gelagapan. Ia baru saja membuat kesalahan yang hampir saja menghancurkan hidupnya. Tentunya ia tidak mau ke
"Ambilah Ini, hapus air matamu!" Analea terkejut mendengar suara yang tidak asing. Seketika ia mengangkat wajahnya. Tatapan dingin dan sangat lekat itu saat ini berada di hadapannya dengan jarak hanya beberapa senti dari tubuhnya. Sebuah tangan kekar berbalut jas mahal itu kembali menyodorkan sebuah saputangan padanya. "Tenangkan dirimu!" Suara bariton yang begitu dominan itu kembali berucap, sementara tatapannya belum beralih dari netra sendu milik Analea. "T-terima kasih ...!" lirih Analea pelan. Tangannya terangkat meraih sapu tangan berwarna krem itu. Lalu menunduk menghapus air matanya. Wangi maskulin khas pria bercambang lebat itu menguar dari saputangan yang digenggamnya. Menciptakan debaran-debaran aneh dalam dada Analea. "Kenapa? Apa dia mengganggumu lagi?" Sebuah pertanyaan Fabian yang terkesan ingin melindungi lagi-lagi menciptakan sesuatu yang menghangat di dalam sana. "Mmm ...." Analea baru akan menjawab, tiba-tiba seseorang datang menghampiri. "Kak Fabian? Kakak n