Sindy mengamati layar ponselnya yang sunyi, meski sebenarnya ada beberapa pesan yang masuk dari Ardi, Mita, dan juga Nesi. Namun, pihak yang ditunggu-tunggu malah tidak hadir ke permukaan dan itu cukup membuat hati Sindy gelisah tidak nyaman. Sejak pengakuan di dalam mobil, hingga disepakati niat baik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, bahkan ketika keluarganya selesai berembug mengenai acara resepsi pernikahan, Zayyan jarang sekali menghubunginya. Interaksi mereka di restoran pun terlampau sedikit, sehingga terkadang Sindy merasa ragu dengan kesungguhan Zayyan yang berniat ingin menikahinya. Memangnya apa sih yang aku harapkan, batin Sindy sambil menjatuhkan dirinya ke tempat tidur, lalu memeluk bantal guling dengan erat. Kami sama-sama janda dan duda, masa iya mau mesra-mesraan kayak anak remaja? Saat sedang galau-galaunya melanda, tiba-tiba Sindy mendengar dering singkat dari ponsel miliknya. Dengan ogah-ogahan, dia mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel
Sindy menantang Ardi lewat sorot matanya yang setajam pisau. “Salah kamu sendiri karena nggak bisa jaga omongan di depan anak kecil,” desis Sindy dalam bisikan rendah. “Lebih nggak tahu malu mana dibandingkan kamu yang malah sayang-sayangan sama lelaki lain di depan Sisil?” “Siapa yang sayang-sayangan?” Sindy hampir saja menggebrak meja saking emosinya, tapi Rita buru-buru menengahi. “Ehem, sudah mau gelap ini, Di! Apa nggak sebaiknya kamu pulang dulu, dicariin ibu kamu nanti.” Ardi mengembuskan napas panjang, seolah baru saja berlari dari tempat yang lumayan menguras energi. “Nantinya aku akan sering-sering datang ke sini, Bu. Aku nggak mau Sisil melupakan aku sebagai ayah kandungnya ...” “Biarkan saja Sisil lupa, orang kamu juga melupakan kewajiban kamu sebagai ayahnya kok.” “Kewajiban apa?” “Kasih nafkah buat Sisil!” Menyadari jika nada bicara keduanya semakin lama semakin keras, Rita cepat-cepat mengajak Sisil untuk masuk ke dalam rumah. “Oh, itu ...” “Itu
Beberapa saat sebelum itu .... Mau tak mau, Mita terpaksa ikut keluarganya kembali ke rumah. “Berhasil rencana kalian?” tanya ayah Ardi yang sedang menikmati secangkir kopi ketika mereka tiba, terlihat begitu damai dan tenteram. Berbanding terbalik dengan seluruh anggota keluarganya yang tampak pias karena kegagalan rencana mereka. “Berhasil apanya, Yah?” gerutu Sani. “Dapat malu, iya.” “Kok bisa dapat malu?” “Tahu tuh Kak Mita, teriak-teriak terus kayak orang gila sampai kita dilihatin banyak orang ...” Mendengar Sani terus menerus menyalahkannya, tentu saja Mita tidak terima. “Kamu itu masih bau kencur, San! Kamu mana paham perasaan aku kayak gimana, apa kamu bisa bayangkan saat orang yang kamu sukai bersanding sama perempuan lain?” Sani melengos, dia justru bingung dengan pola pikir Mita. Usia masih begitu muda, tapi kenapa malah jatuh hati sama lelaki yang usianya jauh lebih dewasa di atasnya. Kayak nggak ada laki-laki lain saja, batin Sani. “Terus apa saja ya
Ekspresi wajah Sindy langsung berubah tegang. “Kok cepat amat, Ma?” “Tidak apa-apa kalau memang rejeki kalian, kan?” “Tapi aku masih mau kerja di resto, Ma. Syukur-syukur nanti bisa berkembang pesat dan buka cabang, sekalian nunggu Sisil agak besar. Mama tidak keberatan kan?” Keke tersenyum. “Tidak, kamu benar. Sisil juga masih butuh perhatian dari kalian berdua, atur saja deh.” “Terima kasih banyak, Ma. Semoga aku tidak pernah mengecewakan Mama sebagai menantu.” Keke mengusap bahu Sindy seraya tersenyum. “Kita saling memahami saja, meski tidak semudah mama ngomong.” Sindy mengangguk. “Ingatkan aku kalau ada salah, Ma.” Keke balas berbisik. “Sisil biar tidur sama mama, kamu sama Zayyan fokus saja.” Sindy merespons dengan semburat merah yang terlihat pada wajahnya. “Semoga kamu nyaman di kamar ini,” bisik Zayyan saat Sindy sedang sibuk menata pakaian-pakaiannya di dalam lemari. “Kalau ada perabotan yang kamu butuhkan, tinggal bilang saja.” “Beres, Pak Bos!” Zay
Zayyan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adik kembarnya. Mereka meneruskan obrolan, hingga keduanya memutuskan untuk pergi dari restoran Zayyan karena ingin kembali ke rumah. Mita ternyata masih berada di resto bersama teman-temannya dan ketika si kembar muncul, tatapan matanya tidak bergeser satu senti pun dari mereka berdua. Saat itu Mita terlalu bingung untuk menjatuhkan pilihannya kepada siapa. Dua-duanya punya kharisma dan wajah yang begitu mirip. Andai di negara ini poliandri dilegalkan, pikir Mita mulai ngelantur. “Mit, kamu nggak apa-apa?” tanya salah satu teman ketika melihat kebisuan Mita. “Kesambet mungkin dia ...” “Ngaco! Siang-siang begini mana ada kesambet.” “Setan mana ada pilih-pilih waktu, sih?” Mita tidak menghiraukan ucapan teman-temannya, dia justru fokus kepada dua laki-laki muda itu sampai mereka masuk mobil dan melaju pergi. “Aku jadi bingung pilih mana,” ucap Mita saat tiba di rumah, dia menjatuhkan diri di tempat dan berbarin
“kamu masih menyimpan foto ini, itu artinya kenangan itu sangat penting buat kamu kan?” Tanya Sindy lagi. “Memang penting, tadi kan sudah aku jelaskan sama kamu.” Sindy menarik napas, tentu saja itu bukan jawaban yang dia harapkan. Tadinya dia pikir Zayyan akan minta maaf dan berjanji untuk membuang benda masa lalu itu sesegera mungkin, tapi ternyata tidak demikian. “Ada lagi yang mau kamu tanyakan?” cetus Zayyan ketika melihat Sindy hanya terdiam bisu. “Tidak ada ...” “Ngambek?” “Tidaklah, buat apa ngambek. Kamu mandi saja, ini bajunya.” Sindy buru-buru mengulurkan satu setel baju ke tangan Zayyan. Selama Zayyan mandi, Sindy lebih memilih untuk berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Dia punya firasat jika suaminya masih terikat kuat dengan foto yang ditemukannya itu, terus apa gunanya mereka menikah jika masih kepikiran dengan masa lalu? Tujuan Sindy menikah lagi adalah untuk bisa memulai segalanya dari awal, dan foto itu merupakan bukti jika Zayyan memiliki pri
Ardi memutar bola matanya malas. “Gimana mau nabung, kan sebagian besar uang aku dipegang sama Ibu.” Dia mengingatkan. “Masa sih? Terus yang dipegang sama Sindy apa, masa dia nggak bisa menyisihkan sedikit buat ditabung?” Ratna masih saja menyangkal. “Sindy saja selalu bilang kalau uangnya kurang, kan dia memang dapatnya sisa gaji karena Ibu yang pertama kali ambil gajiku.” “Oh, ya wajar kan? Keluarga kamu yang utama, istri sudah seharusnya menerima berapa pun yang dikasih suaminya.” Ardi hanya bertopang dagu, selalu itu-itu saja yang Ratna tekankan kepadanya sejak awal meniti rumah tangga dengan Sindy. Dan polosnya, prinsip itu dia telan mentah-mentah tanpa disaring terlebih dahulu. Tidak heran jika rumah tangga Ardi jauh dari kata harmonis. *** “Akhir pekan ini kamu mau kita bulan madu ke vila puncak atau pantai?” tanya Zayyan ketika mobil yang dikemudikannya mulai melaju dengan kecepatan sedang. Mereka dalam perjalanan pulang dari restoran menuju rumah usai jam kerj
“Ekor apa dulu, Ma?” Zayyan yang menyahut. “Ekor ikan, tentu saja calon bayi lah!” “Doakan saja menantu Mama ini bersedia tanpa kebanyakan alasan buat bikin ...” “Aku tidak banyak alasan, tapi memang ada alasan logis.” Sindy membantah dengan segera. “Ya itu kan tetap saja namanya alasan, Sin.” Keke geleng-geleng kepala menyaksikan perdebatan anak dan menantunya. “Terserah kalian berdua prosesnya mau gimana, pokoknya mama terima beres saja.” Dia menengahi. Saat hari keberangkatan, Keke melepas kepergian Zayyan dan istrinya di pagi buta. “Nanti mama bilang Sisil kalau kalian ada urusan, sana berangkat.” “Terima kasih ya Ma, sudah mau jaga Sisil ...” “Sama-sama, ada om kembarnya juga, sudah sana.” Sindy tersenyum saat Keke mendorongnya masuk mobil. Perjalanan menuju lokasi berlangsung mulus karena hari masih pagi, sehingga belum banyak kendaraan yang beradu di jalanan. Zayyan ternyata sudah menyewa penginapan khusus untuknya dan Sindy dalam rangka suasana pengantin
Namun, dia tidak ingin Zayyan berpikir macam-macam tentangnya.Memang ada yang salah kalau Aftar dekat dengan Mita?“Kamu kenapa gelisah begitu?” tanya Zayyan seolah mengerti dengan gelagat istrinya. “Mungkin Aftar dan adiknya Ardi cuma teman biasa.”“Kamu yakin, Mas?”“Ya namanya juga pergaulan, kita tidak bisa ikut menyeleksi siapa-siapa saja yang berinteraksi sama adik-adikku. Kecuali terbukti ada yang membawa pengaruh buruk bagi mereka, baru di saat itulah aku akan bertindak.” Zayyan menjelaskan.“Semoga ini cuma prasangka buruk aku saja, mau gimana lagi ... Mita itu kan dulunya gencar sekali ngejar-ngejar kamu, aku curiga dia ...”Zayyan menunggu Sindy menyelesaikan ucapannya.“Takutnya Mita dekat-dekat Aftar cuma buat modus,” sambung Sindy dengan wajah muram.“Dia mau ngapain kek, yang penting aku tidak akan menanggapi. Jadi kamu tidak perlu khawatir, oke?”Sindy tidak menjawab.“Kok malah diam?”“Tidak apa-apa ...”“Jangan dipikirkan selama adiknya Ardi tidak mengus
Usai Affan pergi, Roni menoleh ke arah Sindy."Itu nggak apa-apa adiknya Pak Bos disuruh-suruh, Mbak?""Nggak apa-apa lagi, Mas. Mereka kan memang ngisi waktu libur di sini, sama Pak Bos juga digaji kok.""Wah, salut aku.""Kenapa, Mas?""Sejak muda sudah dididik cari uang, nggak semua begitu soalnya.""Iya, mungkin karena perbedaan prinsip atau latar belakang."Mereka berdua tidak lagi mengobrol, melainkan kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kak!"Sindy menoleh dan melihat salah satu si kembar muncul di dapur."Sebentar lagi matang, Fan!""Aku Aftar, Kak.""Oh, kamu ada pesanan?"Aftar menggeleng ragu. "Aku tadi pesan minum sama Mbak Nesi, tapi katanya tinggal bikin saja di dapur.""Memang iya, khusus pegawai nggak usah bayar di kasir." Sindy menjelaskan sambil menghias piring saji untuk ikan bakarnya. "Kamu bisa bikin kopi atau teh di sini, Tar."Sebelum Aftar menjawab, tiba-tiba muncul saudara kembarnya."Ngapain kamu, ada pesanan?" Tanya Affan.Sebelum Aftar menjawab, S
Sindy menatap Zayyan. "Namanya juga anak muda, Mas. Mungkin Aftar mau kumpul-kumpul selagi masih liburan di sini ...""Tapi biasanya anak itu lebih suka di rumah sama Affan, setahu aku libur mereka juga tidak terlalu lama. Ini sudah lebih dari dua mingguan kan?"Tidak berselang lama, terdengar deru suara motor yang melaju pergi meninggalkan rumah."Laki-laki mana ada yang anak rumahan, jarang." Sindy berkomentar."Mungkin, ya sudahlah. Kita lanjutkan, sampai mana tadi?""Belum sampai mana-mana ...""Kelamaan kan ini," kata Zayyan tidak sabar."Sabar ..." Sindy sedikit berdebar karena malam itu Zayyan menginginkan pengaman di antara mereka tidak perlu digunakan lagi. Ada rasa was-was jika penyatuan mereka langsung membuahkan hasil, jujur saja sindy belum merasa siap lahir batin.Keesokan harinya, dapur sudah ramai seperti biasa saat Sindy dan Zayyan turun untuk sarapan."Kemarin kamu pulang jam berapa?" Tanya Keke kepada Aftar, sementara satu tangannya terulur meraih tangan Sisil. "Cuc
"Cukup ya, aku sudah tahan-tahan sejak tadi. Tapi kamu semakin berburuk sangka sama sindy," tegas Zayyan habis sabar. Kalau bukan karena ada Sisil di dekatnya, dia pasti sudah membuat perhitungan dengan Ardi sedari tadi."Aku bicara kenyataan, sindy pasti sudah berhasil memengaruhi Sisil supaya nggak mau ikut aku menginap ...""Cukup, silakan pulang. Aku selalu rutin ajak Sisil jalan-jalan ke taman setiap sore, jadi tolong pengertiannya." Wajah Ardi semakin masam ketika Zayyan terang-terangan mengusirnya di depan Sisil dan Mita.**"Kalau Ardi tetap menggugat hak asuh Sisil melalui meja hijau bagaimana, Mas?"Sejak Zayyan memberi tahu tentang niat Ardi tentang perebutan hak asuh, hati Sindy semakin tidak tenang dari hari ke hari."Aku tidak bermaksud meremehkan ayahnya Sisil, tapi memangnya dia mampu?" "Begitulah, Mas ...""Kalau dia mampu secara keuangan, kenapa tidak memikirkan nafkah Sisil saja? Apa karena dia merasa bahwa semua kebutuhan Sisil sudah tercukupi sama kamu?" "Aku j
Sindy membelalakkan matanya mendengar permintaan Ardi.Lebih tepatnya tuntutan."Hak asuh Sisil? Beraninya kamu ...""Apa salahnya? Sisil anak kandung aku."Sindy melirik Zayyan, seolah meminta izin untuk mengamuk detik itu juga."Sebentar, ini tadi rencananya kan cuma mau bertemu Sisil. Kenapa jadi bahas masalah hak asuh anak?" Tanya Zayyan tidak senang."Sekalian saja mumpung kalian ada di sini, aku nggak mau kalau sampai Sisil melupakan aku sebagai ayah kandungnya atau lebih dekat sama orang lain yang bukan siapa-siapa."Sorot mata Ardi menyala-nyala ketika mengucapkan hal itu, seakan selama ini dia telah dipisahkan dengan sangat sadis oleh sindy."Sebaiknya kamu bawa Sisil kayak dulu," pinta Zayyan kepada Sindy."Iya, mas ...""Tunggu, mau dibawa ke mana anakku? Aku belum puas bertemu sama dia," protes Ardi keras."Kita tidak bisa membicarakan hal-hal seperti ini di depan Sisil," kata Zayyan tenang. "Jadi biarkan dia sama sindy di dalam dulu.""Tapi urusanku cuma sama sindy ...""
“Boleh minta, Nek?” Celetuk Sisil, perhatiannya terpecah saat menyaksikan Mita ngemil.“Tentu saja, Sisil ambil yang disuka.”“Terima kasih, nek.”“Sama-sama, Sayang.”Hati Ardi terasa aneh ketika melihat interaksi yang cukup akrab antara Sisil dan nenek barunya, padahal selama ini dia jarang sekali melihat Ratna bisa sedekat itu dengan sang cucu semata wayang.“Ayah, minum!” Kata Sisil ceria.“Iya, Sil ...” Meski canggung karena seolah Keke mengawasi, Ardi meneguk es sirup yang dihidangkan.Tidak berapa lama kemudian, mobil Zayyan menepi di depan halaman rumah. Begitu mesin mobil berhenti, sindy dan Zayyan langsung turun.“Itu Ibu sama papa Yayan!” Tunjuk Sisil, fokusnya kini teralihkan sepenuhnya kepada mereka berdua.Membuat Ardi kesal saja.“Jadi gimana, Sil? Mau ya ikut sama ayah menginap di rumah nenek Ratna?” Tanya Ardi tanpa bosan sementara Mita lebih memilih untuk melanjutkan ngemilnya.“Gak, Yah ...”“Kok nggak mau sih?”Kali ini Keke diam saja karena sindy dan
“aku akan telepon mama dan memintanya untuk tidak meninggalkan Sisil sendirian, kamu tenang ya?” Bujuk Zayyan, dia sangat mengerti dengan kegelisahan yang dirasakan sindy.“Cepat, Mas! Atau kamu bisa pulang duluan, aku benar-benar tidak tenang ini ...”Zayyan menyentuh lengan sindy sebagai isyarat untuk diam sejenak karena sambungan dengan Keke mulai terhubung.“Halo, Zay?”“Ma, ayah kandung Sisil mau datang ke rumah. Aku minta tolong jangan pernah tinggalkan Sisil sama dia, ini sindy sudah ketakutan setengah mati soalnya.”“Memangnya ada apa, Zay? Ayahnya Sisil Cuma datang buat bertemu, kan?”“Ceritanya panjang, ma. Pokoknya aku minta tolong jangan biarkan Sisil sendirian, tolong ya, Ma?”“Oke, kamu tenang saja. Mama akan jaga Sisil,” sahut Keke buru-buru.Usai pembicaraan dengan ibunya berakhir, Zayyan menoleh memandang Sindy.“Mama sudah aku kasih tahu soal Ardi, jadi kamu tenang saja.”Sindy hanya bisa mengangguk, meski dalam hati rasanya ingin cepat pulang ke rumah.“K
Sindy mengangguk, dia percaya jika Zayyan yang bicara.**Hari yang direncanakan tiba, Ardi harus menekan ego-nya sampai ke dasar demi bisa menemui putri semata wayangnya.Ditemani Mita, dia meluncur pergi ke restoran Zayyan sepulang kerja untuk meminta alamat rumah mereka."Resto sudah tutup belum ya jam segini, Mit?""Masih buka biasanya, kita kan cuma minta alamat rumah kakak bos. Malah lebih nyaman kalau kita bisa menemui Sisil tanpa kehadiran mereka kan, Kak?"Ardi mengangguk setuju. "Betul juga kamu, Mit.""Ayo kita berangkat sekarang, keburu pulang mereka nanti!"Ardi segera menyalakan motornya dan melaju kencang bersama menuju ke restoran Zayyan."Nes, panggil bos kamu sekarang." Ardi memerintah ketika dia tiba di resto dan langsung menemui Nesi di meja kasir."Ada urusan apa kalau boleh tahu?" Tanya Nesi formal."Ada deh, ini urusan aku sama bos kamu. Cepat panggil," perintah Ardi lagi, membuat wajah Nesi seketika masam. Meski begitu, dia langsung meraih gagang telepon dan me
Selama beberapa saat mereka berdua terdiam dan sibuk dengan isi pikiran masing-masing."Apa kita harus membutuhkan pengakuan langsung darinya kalau ingin meneruskan kasus itu?" Tanya Zayyan masih penasaran."Memang tidak harus, asalkan ada bukti yang kuat. Masalahnya adalah kita baru menyelidiki sendiri karena ternyata pihak berwajib kurang gesit dalam menangani kasus Anda, dalam kurun waktu tersebut saya yakin sudah banyak bukti yang entah tercecer, entah tersamarkan." Boby menjawab dengan raut wajah serius."Wah, wah, dia benar-benar bermain cantik dan rapi.""Lebih tepatnya karena didukung situasi juga, Pak. Anda yang saat itu kecelakaan cukup parah, kemudian lanjut terapi, sehingga Nyonya Keke hanya fokus terhadap kesembuhan Anda, dan dia datang sebagai malaikat penolong di saat yang benar-benar tepat."Zayyan mengangguk setuju. "Jadi dia memiliki alibi untuk berkelit kalau kita mendesaknya sekarang?""Saya pikir begitu, terpaksa kita harus bersabar dan tetap memantau pergerakan