Keke terpekur cukup lama setelah Zayyan menceritakan tentang ulah Clara terhadap restoran miliknya.“Mama nggak tahu, Zay ... Mama pikir dia sanggup ...”“Dia memang sanggup, Ma. Sanggup menghancurkan restoran aku,” tegas Zayyan. “Kesalahan yang Clara perbuat sangat fatal, salah satunya adalah membuat Sindy.”“Apa? Sindy dipecat?” Keke terbelalak. “Clara nggak pernah kasih tahu mama sedikitpun, Zay! Setiap mama bertanya, dia selalu bilang kalau restoran aman terkendali.”Zayyan menarik napas panjang. Ingin menyalahkan Keke, tapi dia tidak sampai hati untuk melakukannya. Saat itu pasti pikiran mamanya hanya terfokus pada kecelakaan yang dialami.“Maafkan mama, Zay. Ini juga salah mama, kalau saja mama tidak percaya begitu saja ... Mama salah, maaf ...”Zayyan mengusap punggung tangan ibunya.“Mama nggak salah, aku paham seperti apa perasaan Mama saat lihat aku celaka ... Dan Clara datang di saat yang tepat, berpikir bahwa dia adalah dewi penolong kita. Ternyata apa yang dia perb
Sindy diam mendengarkan selama Zayyan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sejak kasus pemecatan yang Clara lakukan. “Sayang sekali ya, Pak? Padahal selama saya di sana, resto lumayan ramai karena banyak pelanggan.” Sindy berkomentar setelah Sindy selesai bercerita. “Berarti ini sama saja Anda harus berjuang dari awal lagi.” “Kamu benar, beruntung mental saya sedikit kuat. Kalau tidak, mungkin saya sudah tidak sanggup lagi.” “Jadi pengusaha memang berat, Pak. Saya saja pusing, padahal skala saya masih kecil-kecilan begini ...” “Tapi kamu masih bisa berkembang ke depannya.” “Doakan saja, Pak. Saya bikinkan minum dulu, ya? Makan siangnya jadi?” Zayyan mengangguk, karena dia butuh alasan untuk berada di rumah orang tua Sindy lebih lama lagi. “Anak kamu mana?” “Ke warung sama neneknya, biasa jajan.” Zayyan diam sambil mengamati Sindy yang begitu cekatan mengambil nasi dan lauk untuknya. “Ikan bakar legendaris,” ucap Sindy sambil menyajikan menu makan siang
“Pak Bos!”“Masuk saja, Mbak. Ini kami baru dari tempatnya Beni,” kata Roni memberi tahu. “Aku yang datangnya kebagian, Mas.”Sindy mundur untuk memberi jalan kepada Zayyan dan juga Roni. Tidak lama setelah itu, muncul Nesi yang langsung memeluk Sindy tiba-tiba.“Aku sudah lama nunggu kamu!”“Kok nggak langsung japri?”“Nggak berani, karena aku nggak punya uang buat bayar gaji kamu—argh!” Nesi meringis ketika mendapatkan jitakan dari Sindy.Beni muncul ketika hari mulai beranjak siang, sedangkan pegawai lain sudah asyik berdiskusi di seberang meja yang tidak terpakai oleh pelanggan.“Bagusnya kita ubah tatanan ruang ini, Pak.”“Hitung-hitung buang sial, gara-gara sempat dipegang sama Bu Clara ...”“Betul, Pak. Cukup tatanan ruang ini saja, kalau cat ulang kan butuh budget yang tidak sedikit.”Zayyan mendengarkan pendapat para pegawainya dengan saksama, setelah itu segera mengambil keputusan.“Kalau begitu kalian bisa lakukan perubahan saat restoran libur, terserah mau kal
Zayyan menatap Keke. “Mama menjanjikan apa sama Clara?”“Mama nggak pernah menjanjikannya apa-apa, Zay! Niat mama untuk membujuk kamu supaya mau rujuk itu tanpa sepengetahuan dia, jadi spontan saja.”Zayyan menoleh ke arah Clara. “Kamu dengar itu? Mamaku tidak pernah menjanjikan apapun sama kamu, niatnya membujuk aku adalah bentuk spontanitas saja.”“Sama saja itu adalah sebuah janji!” “Beda hukumnya, Cla! Tante bujuk Zayyan karena tante yang merasa utang budi, makanya tante inisiatif ... Tapi Tante tidak pernah menjanjikan kalau Zayyan pasti akan rujuk sama kamu, paham kan?” Keke berusaha meluruskan, tapi bukan Clara namanya jika menyerah begitu saja.“Tante sama Mas Zayyan sungguh zalim, tunggu saja. Karma akan secepatnya mendatangi kalian!” cecar Clara tidak terima, dia mengusap air matanya kemudian pergi begitu saja dari rumah Zayyan.Keke langsung merasakan tungkai kakinya lemas. “Mama!” Zayyan lebih khawatir saat melihat ibunya shock akibat mendengar ucapan Clara.“Kar
“Kami mau makan di sini, Mbak.”“Betul, soalnya warung di rumah Mbak Sindy tutup. Katanya kalau kami kepingin makan masakan dia, suruh mampir ke sini saja.”Nesi mengangguk paham. “Silakan duduk dulu, Ibu-Ibu.”Meta tergopoh-gopoh membawa catatan ketika tahu ada pelanggan yang datang.“Yang masakan Mbak Sindy yang mana saja, nih?”“Kami minta yang masak Mbak Sindy!”Meta melirik ke arah Nesi, karena ini baru pertama kali terjadi. “Biar saya saja yang ke dapur,” kata Zayyan kepada Nesi. “Jangan pernah tinggalkan kasir.”Nesi mengangguk mengerti dan meminta Meta untuk menjelaskan sebisanya.“Oh, kalau menu yang biasa dimasak Mbak Sindy ini ada ikan bakar, Ibu-Ibu! Salah satu menu kesukaan pelanggan,” jelas Meta dengan ramah. “Kalau tidak mau bakar, digoreng juga bisa. Lalapan dan sambalnya juga lengkap, dijamin Ibu-Ibu ketagihan makan di sini lagi!”Sekumpulan Ibu-Ibu itu mengangguk dan sibuk membaca daftar menu.“Sin, kamu bawa pasukan ke sini?”Sindy menoleh ketika Zayyan
Zayyan berdiri mematung mendengar ucapan Keke.“Aku kan cuma duda, Ma.”“Terus kenapa? Sindy malah sudah punya anak, paket lengkap kalau kamu nikah sama dia.”“Mama ini!”Keke tidak bisa menahan senyumnya melihat Zayyan tampak salah tingkah.“Bisa jadi dia pembawa rejeki, Zay. Memang rejeki itu Allah yang atur, tapi kita nggak pernah tahu akan lewat tangan siapa.”Zayyan garuk-garuk kepala.“Andai aku memang mau menikah, itu karena aku benar-benar niat untuk menyayangi dia dan anaknya seutuhnya, Ma. Bukan karena semata-mata ngejar rejeki.”“Lho, bisa menikah saja itu termasuk salah satu rejeki. Suami istri bisa saling menjadi jalan rejeki masing-masing,” ujar Keke. “Mama nggak akan memaksa kamu, sejak dulu begitu kan? Cuma kalau mama lihat, Sindy itu kandidat yang oke.”“Kandidat ... seperti pemilihan saja, Ma.”“Harus kan, memangnya kamu mau dapat uang tipe-tipe seperti Clara?”“Amit-amit, masa dapatnya itu lagi sih Ma?” Keke tertawa kecil. “Makanya, langsung gas saja ka
Sindy melirik Zayyan yang berdiri tepat di sampingnya, sementara lelaki berkacamata itu balas memberinya isyarat untuk mengiyakan apa saja yang dia katakan.“Kok Mbak Sindy ... ternyata selama ini kamu sudah nikung aku, Mbak?” Mita histeris, memantik reaksi yang beragam dari teman-temannya.“Jangan nuduh aku, Mit. Harusnya aku yang tanya sama kamu, jangan-jangan kamu punya niat menikung mantan kakak ipar kamu sendiri?” balas Sindy yang tidak mengerti apa-apa, sontak saja ucapan itu membuat teman-teman Mita berbisik satu sama lain.“Sekarang sudah jelas ya semua?” Zayyan menatap Mita dan komplotannya bergantian. “Saya sudah punya calon, jadi tolong jangan sebarkan hoax lagi kecuali mau mengubah di hotel prodeo.”“Jangan, Kak! Itu Mita yang suka gembar-gembor kalau dia punya calon bos resto!”“Betul itu, Kak! Mita yang selama ini meyakinkan kita ...”“Jadi salahkan Mita saja, kami nggak ikut-ikutan!”Mita menatap teman-teman yang sering nongkrong dengannya itu dengan tidak percay
Perlahan mobil Zayyan berhenti di depan resto, sengaja tidak memasuki halaman parkir khusus pelanggan.“Yang tadi itu ... bukan cuma sekadar skenario saja, Sin. Saya serius,” ucap Zayyan ketika Sindy hendak turun dari mobilnya.“Yang mana, Pak?”“Yang tadi itu ...”Sindy berpikir sebentar.“Yang Anda bilang ke Mita dan teman-temannya kalau Anda sudah punya calon?” tanya Sindy memperjelas. “Itu ternyata bukan skenario belaka?”“Bukan, itu serius.”“Kalau begitu selamat, Pak! Siapa calonnya?”“Kamu,” cetus Zayyan, membuat Sindy terkesiap.“Saya, Pak?” Zayyan mengangguk. “Semoga kamu mempertimbangkannya, Sin.”“Tapi ... saya janda, punya ekor satu.”“Saya juga duda, cuma bedanya saya tidak punya anak dari pernikahan sebelumnya.”Sindy terdiam, terjepit antara bingung dan juga kaget karena semua yang terlalu mendadak untuknya.“Saya rasa kita sudah selesai dengan masa lalu masing-masing, tidak ada salahnya kan?” ujar Zayyan lagi, dia memang tidak pandai merayu dengan kata-k
Namun, dia tidak ingin Zayyan berpikir macam-macam tentangnya.Memang ada yang salah kalau Aftar dekat dengan Mita?“Kamu kenapa gelisah begitu?” tanya Zayyan seolah mengerti dengan gelagat istrinya. “Mungkin Aftar dan adiknya Ardi cuma teman biasa.”“Kamu yakin, Mas?”“Ya namanya juga pergaulan, kita tidak bisa ikut menyeleksi siapa-siapa saja yang berinteraksi sama adik-adikku. Kecuali terbukti ada yang membawa pengaruh buruk bagi mereka, baru di saat itulah aku akan bertindak.” Zayyan menjelaskan.“Semoga ini cuma prasangka buruk aku saja, mau gimana lagi ... Mita itu kan dulunya gencar sekali ngejar-ngejar kamu, aku curiga dia ...”Zayyan menunggu Sindy menyelesaikan ucapannya.“Takutnya Mita dekat-dekat Aftar cuma buat modus,” sambung Sindy dengan wajah muram.“Dia mau ngapain kek, yang penting aku tidak akan menanggapi. Jadi kamu tidak perlu khawatir, oke?”Sindy tidak menjawab.“Kok malah diam?”“Tidak apa-apa ...”“Jangan dipikirkan selama adiknya Ardi tidak mengus
Usai Affan pergi, Roni menoleh ke arah Sindy."Itu nggak apa-apa adiknya Pak Bos disuruh-suruh, Mbak?""Nggak apa-apa lagi, Mas. Mereka kan memang ngisi waktu libur di sini, sama Pak Bos juga digaji kok.""Wah, salut aku.""Kenapa, Mas?""Sejak muda sudah dididik cari uang, nggak semua begitu soalnya.""Iya, mungkin karena perbedaan prinsip atau latar belakang."Mereka berdua tidak lagi mengobrol, melainkan kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing."Kak!"Sindy menoleh dan melihat salah satu si kembar muncul di dapur."Sebentar lagi matang, Fan!""Aku Aftar, Kak.""Oh, kamu ada pesanan?"Aftar menggeleng ragu. "Aku tadi pesan minum sama Mbak Nesi, tapi katanya tinggal bikin saja di dapur.""Memang iya, khusus pegawai nggak usah bayar di kasir." Sindy menjelaskan sambil menghias piring saji untuk ikan bakarnya. "Kamu bisa bikin kopi atau teh di sini, Tar."Sebelum Aftar menjawab, tiba-tiba muncul saudara kembarnya."Ngapain kamu, ada pesanan?" Tanya Affan.Sebelum Aftar menjawab, S
Sindy menatap Zayyan. "Namanya juga anak muda, Mas. Mungkin Aftar mau kumpul-kumpul selagi masih liburan di sini ...""Tapi biasanya anak itu lebih suka di rumah sama Affan, setahu aku libur mereka juga tidak terlalu lama. Ini sudah lebih dari dua mingguan kan?"Tidak berselang lama, terdengar deru suara motor yang melaju pergi meninggalkan rumah."Laki-laki mana ada yang anak rumahan, jarang." Sindy berkomentar."Mungkin, ya sudahlah. Kita lanjutkan, sampai mana tadi?""Belum sampai mana-mana ...""Kelamaan kan ini," kata Zayyan tidak sabar."Sabar ..." Sindy sedikit berdebar karena malam itu Zayyan menginginkan pengaman di antara mereka tidak perlu digunakan lagi. Ada rasa was-was jika penyatuan mereka langsung membuahkan hasil, jujur saja sindy belum merasa siap lahir batin.Keesokan harinya, dapur sudah ramai seperti biasa saat Sindy dan Zayyan turun untuk sarapan."Kemarin kamu pulang jam berapa?" Tanya Keke kepada Aftar, sementara satu tangannya terulur meraih tangan Sisil. "Cuc
"Cukup ya, aku sudah tahan-tahan sejak tadi. Tapi kamu semakin berburuk sangka sama sindy," tegas Zayyan habis sabar. Kalau bukan karena ada Sisil di dekatnya, dia pasti sudah membuat perhitungan dengan Ardi sedari tadi."Aku bicara kenyataan, sindy pasti sudah berhasil memengaruhi Sisil supaya nggak mau ikut aku menginap ...""Cukup, silakan pulang. Aku selalu rutin ajak Sisil jalan-jalan ke taman setiap sore, jadi tolong pengertiannya." Wajah Ardi semakin masam ketika Zayyan terang-terangan mengusirnya di depan Sisil dan Mita.**"Kalau Ardi tetap menggugat hak asuh Sisil melalui meja hijau bagaimana, Mas?"Sejak Zayyan memberi tahu tentang niat Ardi tentang perebutan hak asuh, hati Sindy semakin tidak tenang dari hari ke hari."Aku tidak bermaksud meremehkan ayahnya Sisil, tapi memangnya dia mampu?" "Begitulah, Mas ...""Kalau dia mampu secara keuangan, kenapa tidak memikirkan nafkah Sisil saja? Apa karena dia merasa bahwa semua kebutuhan Sisil sudah tercukupi sama kamu?" "Aku j
Sindy membelalakkan matanya mendengar permintaan Ardi.Lebih tepatnya tuntutan."Hak asuh Sisil? Beraninya kamu ...""Apa salahnya? Sisil anak kandung aku."Sindy melirik Zayyan, seolah meminta izin untuk mengamuk detik itu juga."Sebentar, ini tadi rencananya kan cuma mau bertemu Sisil. Kenapa jadi bahas masalah hak asuh anak?" Tanya Zayyan tidak senang."Sekalian saja mumpung kalian ada di sini, aku nggak mau kalau sampai Sisil melupakan aku sebagai ayah kandungnya atau lebih dekat sama orang lain yang bukan siapa-siapa."Sorot mata Ardi menyala-nyala ketika mengucapkan hal itu, seakan selama ini dia telah dipisahkan dengan sangat sadis oleh sindy."Sebaiknya kamu bawa Sisil kayak dulu," pinta Zayyan kepada Sindy."Iya, mas ...""Tunggu, mau dibawa ke mana anakku? Aku belum puas bertemu sama dia," protes Ardi keras."Kita tidak bisa membicarakan hal-hal seperti ini di depan Sisil," kata Zayyan tenang. "Jadi biarkan dia sama sindy di dalam dulu.""Tapi urusanku cuma sama sindy ...""
“Boleh minta, Nek?” Celetuk Sisil, perhatiannya terpecah saat menyaksikan Mita ngemil.“Tentu saja, Sisil ambil yang disuka.”“Terima kasih, nek.”“Sama-sama, Sayang.”Hati Ardi terasa aneh ketika melihat interaksi yang cukup akrab antara Sisil dan nenek barunya, padahal selama ini dia jarang sekali melihat Ratna bisa sedekat itu dengan sang cucu semata wayang.“Ayah, minum!” Kata Sisil ceria.“Iya, Sil ...” Meski canggung karena seolah Keke mengawasi, Ardi meneguk es sirup yang dihidangkan.Tidak berapa lama kemudian, mobil Zayyan menepi di depan halaman rumah. Begitu mesin mobil berhenti, sindy dan Zayyan langsung turun.“Itu Ibu sama papa Yayan!” Tunjuk Sisil, fokusnya kini teralihkan sepenuhnya kepada mereka berdua.Membuat Ardi kesal saja.“Jadi gimana, Sil? Mau ya ikut sama ayah menginap di rumah nenek Ratna?” Tanya Ardi tanpa bosan sementara Mita lebih memilih untuk melanjutkan ngemilnya.“Gak, Yah ...”“Kok nggak mau sih?”Kali ini Keke diam saja karena sindy dan
“aku akan telepon mama dan memintanya untuk tidak meninggalkan Sisil sendirian, kamu tenang ya?” Bujuk Zayyan, dia sangat mengerti dengan kegelisahan yang dirasakan sindy.“Cepat, Mas! Atau kamu bisa pulang duluan, aku benar-benar tidak tenang ini ...”Zayyan menyentuh lengan sindy sebagai isyarat untuk diam sejenak karena sambungan dengan Keke mulai terhubung.“Halo, Zay?”“Ma, ayah kandung Sisil mau datang ke rumah. Aku minta tolong jangan pernah tinggalkan Sisil sama dia, ini sindy sudah ketakutan setengah mati soalnya.”“Memangnya ada apa, Zay? Ayahnya Sisil Cuma datang buat bertemu, kan?”“Ceritanya panjang, ma. Pokoknya aku minta tolong jangan biarkan Sisil sendirian, tolong ya, Ma?”“Oke, kamu tenang saja. Mama akan jaga Sisil,” sahut Keke buru-buru.Usai pembicaraan dengan ibunya berakhir, Zayyan menoleh memandang Sindy.“Mama sudah aku kasih tahu soal Ardi, jadi kamu tenang saja.”Sindy hanya bisa mengangguk, meski dalam hati rasanya ingin cepat pulang ke rumah.“K
Sindy mengangguk, dia percaya jika Zayyan yang bicara.**Hari yang direncanakan tiba, Ardi harus menekan ego-nya sampai ke dasar demi bisa menemui putri semata wayangnya.Ditemani Mita, dia meluncur pergi ke restoran Zayyan sepulang kerja untuk meminta alamat rumah mereka."Resto sudah tutup belum ya jam segini, Mit?""Masih buka biasanya, kita kan cuma minta alamat rumah kakak bos. Malah lebih nyaman kalau kita bisa menemui Sisil tanpa kehadiran mereka kan, Kak?"Ardi mengangguk setuju. "Betul juga kamu, Mit.""Ayo kita berangkat sekarang, keburu pulang mereka nanti!"Ardi segera menyalakan motornya dan melaju kencang bersama menuju ke restoran Zayyan."Nes, panggil bos kamu sekarang." Ardi memerintah ketika dia tiba di resto dan langsung menemui Nesi di meja kasir."Ada urusan apa kalau boleh tahu?" Tanya Nesi formal."Ada deh, ini urusan aku sama bos kamu. Cepat panggil," perintah Ardi lagi, membuat wajah Nesi seketika masam. Meski begitu, dia langsung meraih gagang telepon dan me
Selama beberapa saat mereka berdua terdiam dan sibuk dengan isi pikiran masing-masing."Apa kita harus membutuhkan pengakuan langsung darinya kalau ingin meneruskan kasus itu?" Tanya Zayyan masih penasaran."Memang tidak harus, asalkan ada bukti yang kuat. Masalahnya adalah kita baru menyelidiki sendiri karena ternyata pihak berwajib kurang gesit dalam menangani kasus Anda, dalam kurun waktu tersebut saya yakin sudah banyak bukti yang entah tercecer, entah tersamarkan." Boby menjawab dengan raut wajah serius."Wah, wah, dia benar-benar bermain cantik dan rapi.""Lebih tepatnya karena didukung situasi juga, Pak. Anda yang saat itu kecelakaan cukup parah, kemudian lanjut terapi, sehingga Nyonya Keke hanya fokus terhadap kesembuhan Anda, dan dia datang sebagai malaikat penolong di saat yang benar-benar tepat."Zayyan mengangguk setuju. "Jadi dia memiliki alibi untuk berkelit kalau kita mendesaknya sekarang?""Saya pikir begitu, terpaksa kita harus bersabar dan tetap memantau pergerakan