“Kamu harus bantuin dia, Lex,” kata Bu Titik. “Kasihan banget Al–”“Maleslah, Bu,” sahut Alex seraya beranjak. “Aku nggak mau ikut campur urusan orang. Aku berangkat ke kantor lagi.”Bu Titik menghela napas panjang. Dia menghampiri Alya dengan tatapan penuh arti.“Maaf, Bu. Tapi saya nggak bisa stand by di sini terus. Paling cuma bisa ke sini siang dan langsung pulang setelah selesai,” kata Alya.“Nggak apa,” jawab Bu Titik. “Al–”“Ya?”“Kalau butuh bantuan jangan sungkan ya,” kata Bu Titik.Meski tak tahu kenapa Bu Titik tiba-tiba mengatakan itu, Alya mengangguk sambil tersenyum.Selesai itu, dia berpamitan dan berjanji akan datang lagi besok siang. Saat dalam perjalanan, Alya baru sempat membaca pesan yang masuk. Jantungnya berdetak lebih cepat. Hendra mengatakan sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan–hanya tinggal menunggu diproses. Bukan perceraian yang ditakutkan Alya, tapi hak asuh Naya. Dengan kondisi sekarang, rasanya pengadilan juga tidak akan membiarkan Naya berada di
Bu Lastri mengambil ponsel Andin–duduk di depan meja makan, memandangi ponsel itu dengan tatapan berbinar. Jemarinya yang mulai keriput sibuk menggulir komentar demi komentar di akun media sosial yang baru saja dibuat Andin untuknya."Bu, lihat deh di situ! Banyak yang komentar kalau Ibu masih cantik dan awet muda," ujar Andin.Bu Lastri membacanya dengan saksama."Wah, Ibu kayak anak gadis! Sehat-sehat ya, Bu!""Keren banget Bu Lastri masih gesit! Respect!""Gaya ibu mirip artis tahun 80-an, manis banget!"Di antara komentar-komentar itu, ada beberapa akun yang memasang foto lelaki matang dengan pujian yang lebih manis."Ibu Lastri, kalau masih sendiri, saya boleh kenalan? Hehehe...""Cocok nih jadi ibu sambung buat anak-anak saya.""Aduh, jadi malu," kata Bu Lastri seraya menepuk pipi, tetapi senyumnya tak bisa disembunyikan.Andin menyembunyikan smirk kecilnya. Tentu dia adalah orang yang paling tahu dari mana komentar-komentar itu berasal."Nah, makanya, Bu, kita harus lanjut biki
“Rumah itu sudah terjual dan akan dirobohkan oleh pembeli,” kata Hendra tanpa merasa bersalah sedikit pun.Alya berdiri mematung–kakinya seperti tidak bisa bergerak. Tangannya bergetar. Dadanya sesak. Dia mengangkat wajah, menatap Hendra yang kini duduk dengan santai di sofa, memainkan ponselnya seolah tak ada yang terjadi."Kamu jual rumah orang tuaku tanpa seizinku?" Suaranya bergetar menahan emosi.Hendra mendengus. "Jangan pura-pura lupa ingatan terus, Alya! Rumah itu atas namaku. Aku punya hak penuh untuk menjualnya–nggak perlu izin darimu, paham? Lagipula, buat apa kamu ngotot mempertahankan rumah tua itu? Kita hidup butuh uang, Alya.”Alya mengepalkan tangannya. "Bukan kita, tapi kamu! Aku nggak minta sepeser pun darimu! Aku hanya ingin rumah itu tetap ada! Itu satu-satunya peninggalan orang tuaku!"Hendra mendengus sinis. "Jangan pura-pura suci, Alya. Aku tahu kamu marah karena aku tidak memberimu bagian dari hasil penjualan ini. Kalau butuh uang, bilang saja, jangan pakai ala
Alex menghembuskan napas panjang seraya menatap ibunya. Sejak awal, dia tidak ingin ikut campur dalam urusan orang lain, apalagi yang menyangkut pertengkaran rumah tangga. Namun, melihat bagaimana Bu Titik begitu menyayangi Alya, dia tidak tega menolak."Kenapa kayak berat banget gitu sih?" Bu Titik tidak yakin saat melihat Alex berulang kali menghembuskan nafas kasar. "Alya itu wanita yang baik. Dia sering nolongin Ibu, bahkan waktu sakit kemarin, dia yang ngerawat Ibu pas kamu lagi sibuk kerja. Masak kamu tega lihat dia kehilangan rumah peninggalan orang tuanya? Hidupnya udah sangat kasihan, Lex."Alex mengusap wajah dengan telapak tangan. Dia teringat bagaimana wajah Alya sembab tadi–berusaha tegar, tapi sorot matanya tidak bisa berbohong. Ya, dia terlihat benar-benar hancur.“Iyaaa … Aku janji bakal bantuin buat cari tahu siapa pembelinya, Bu," kata Alex akhirnya. "Tapi aku nggak janji bisa dapetin rumah itu lagi. Kadang kalau udah berpindah tangan, susah lagi buat nego."“Jangan
“Sedang apa kamu di sini? Aku suruh kamu memilih perhiasan, sudah?” tanya Alex yang masih menelpon.“Itu–aku bingung mau pilih yang mana. Aku ‘kan nggak tahu buat siapa juga,” jawab Alya.Lelaki yang memakai setelan baju formal itu menghela napas–mengakhiri panggilan dan mengajak Alya kembali masuk. Saat itulah mereka berpapasan dengan Hendra yang baru saja selesai melakukan pembayaran.Dua lelaki dengan tinggi yang hampir sejajar itu saling pandang, tapi itu tidak berlangsung lama. Alex segera menarik tangan Alya agar tidak terlalu lama membuang waktu."Jadi, buat Bu Titik ‘kan?”“Yaaa,” jawab Alex malas.“Bu Titik suka model yang seperti apa?" tanya Alya, mengabaikan lirikan Hendra yang tak kunjung beranjak dari tempatnya berdiri.Alex melirik Alya sekilas sebelum menelusuri etalase yang berisi cincin, kalung, dan gelang berkilauan. "Nggak tahu. Kamu pilih saja, yang menurutmu bagus."Alya mengernyit. "Kok aku yang pilih? Kamu kan anaknya. Harusnya lebih tahu selera ibumu."Alex men
Alex sampai terkejut melihat kemampuan Alya yang lain dari lainnya. Ibaratkan saat ini dia sedang melihat artis bermain peran saja. Semudah itu membalikkan keadaan meski sejatinya sedang tidak baik-baik saja.“Ibu sudah siap mau diperiksa ‘kan?” tanya Alya.“Iya, kata dokter sekitar setengah jam lagi,” jawab Bu Titik.Alya mengangguk seraya tersenyum, tapi nyatanya itu tidak mampu menipu Bu Titik yang tanpa sadar sudah hafal gerak gerik Alya. Wanita yang kini memakai baju pasien itu tersenyum tulus. “Kamu punya Ibu yang bisa diandalkan.”Alya tersenyum kecil–menatap langit-langit agar air matanya tidak jatuh. Dia tidak mungkin membebani Bu Titik terus menerus, apalagi kondisinya saat sedang persiapan untuk periksa bagian kepala.Dan benar saja, tak lama setelah itu datang dua suster ke kamar. Mereka membawa Bu Titik ke ruang MRI untuk melakukan pemeriksaan lebih detail.Alex dan Alya mengikuti di belakang dan hanya bisa menunggu dari luar–melihat dari balik kaca. Dalam diam, Alex mem
“Kamu–”“Apa?! Kamu yang nggak bisa menuhin semuanya, tapi melimpahkan kesalahan padaku. Apa itu pantas?” Alya menyela. “Coba kamu tanya sama pria-pria di luar sana yang punya istri cantik, mereka kasih nafkah seberapa banyak ke istrinya!”Hendra terdiam mendengar hal itu. Dia memang tidak pernah memberikan nafkah dengan layak sejak maraknya orang menabung dengan membeli emas. Awalnya berpikir untuk masa depan keluarga kecilnya, tapi makin lama malah hilang arah hingga lupa kalau kewajibannya adalah memberikan nafkah yang layak.“Kenapa nggak mau jawab?” Alya kembali bertanya.Hendra menghela napas panjang dan melipat tangan di dada. "Aku nggak suka kamu datang cuma bikin ribut di rumah ini. Ingat–kamu bukan siapa-siapa lagi di sini, Alya."Alya mengepalkan tangan. "Ya, baiklah. Anggaplah aku bukan siapa-siapa, lalu kamu dan Andin yang tinggal seatap tanpa ikatan pernikahan, itu apa namanya? Kumpul kebo?"Rahang Hendra mengatup erat, sementara Andin langsung berdiri dengan wajah memer
Entah rasa cemburu atau apa, yang jelas Hendra tidak bisa menahan diri. Dia gelap mata–menggebrak meja dengan napas memburu. Tak ada kata apa pun yang bisa mewakili sesuatu dalam dirinya.Namun, itu tak berlangsung lama. Dengan senyum sinis, dia menyerahkan foto-foto itu pada Andin."Ini bisa kita pakai buat bikin Naya semakin membenci ibunya," ujar Hendra dengan nada puas.Andin memandangi foto-foto itu dengan senyum licik. "Kalau dia tahu ibunya serumah sama laki-laki lain, pasti dia nggak akan mau ikut Alya lagi. Apalagi kalau kita kasih tahu dengan cara yang tepat.""Kita kasih lihat fotonya pelan-pelan, biar Naya sendiri yang ambil kesimpulan," Hendra menambahkan. "Aku mau Alya kehilangan segalanya, termasuk anaknya."***Hari yang ditunggu pun tiba. Sidang pertama perceraian Alya dan Hendra akhirnya dimulai. Ruang sidang dipenuhi atmosfer yang menegangkan. Alya duduk di kursinya dengan wajah tegang, sementara Hendra di seberangnya terlihat lebih santai, seakan sudah mengantisipa
Naya terus menangis hingga kelelahan. Sayangnya, Hendra tidak mengetahui bagaimana kondisi putrinya karena terlalu frustasi memikirkan keuangan yang membengkak. Pulang dari bekerja, lelaki itu langsung mengurung diri di kamar dan tidak keluar lagi–seolah tak ingin bertemu dengan siapapun di rumah.***Restoran Alya semakin berkembang, setiap meja hampir selalu terisi, dan pesanan datang tanpa henti. Alya sibuk memantau operasional, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu nama—Naya.Sudah beberapa hari tidak bertemu dan Alya mulai merasakan rindu yang menyakitkan. Dia ingin tahu bagaimana keadaan putrinya, apakah Naya baik-baik saja?Saat Alya tengah berdiri di dekat kasir, seorang pelayan datang dengan wajah sedikit ragu.“Bu Alya, ada tamu yang ingin bertemu.”Alya mengerutkan kening. "Siapa?"“Seorang wanita, katanya penting. Waktu saya tanya namanya siapa malah marah-marah karena nggak kenal sama dia.”Alya meng
Hendra masih berdiri terpaku di tengah ruangan dengan tangan mengepal. Napasnya memburu, pikirannya berputar tanpa arah. Dia baru saja menyaksikan ibunya menjadi bahan tertawaan di media sosial, seorang wanita tua yang ditipu habis-habisan oleh kekasih online yang bahkan belum pernah dia temui secara langsung.Ini semua serasa tidak masuk akal baginya.Uang puluhan juta yang dikirimkan Bu Lastri ke lelaki asing itu bukan hanya berasal dari rekening pribadinya, tapi juga dari kartu kredit yang Hendra berikan. Wajar jika kini, kartu kredit itu tidak bisa digunakan lagi karena menyentuh limit maksimal.Dunia Hendra semakin gelap. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini kepada bank nanti. Dia harus segera mencari cara agar masalah ini tidak semakin membesar.Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berbunyi.Sebuah panggilan masuk–dari bank.Dengan tangan gemetar, Hendra mengangkat telepon. Suara seorang pegawai bank menyapanya dengan nada sop
“Gimana?” Bu Lastri memamerkan kartu yang kini ada di tangannya.“Good job!” Andin mengacungkan jempolnya dengan senyum puas. “Emang paling bisa kamu tuh cari cara. Kirain selama ini Hendra udah kasih hampir semua uang gajinya, ternyata enggak. Emang dasar anak itu perhitungan banget!” kata Bu Lastri.Andin menatap Bu Lastri lekat. Tidak sia-sia usahanya selama ini dalam mendekati Bu Lastri. Rasanya, dia tak perlu status sebagai istri kalau semua orang di rumah bisa dikendalikan seperti ini.Setelah hari itu, Hendra tidak lagi mendapat tuntutan menikah. Semua berjalan normal–hampir sama ketika ada Alya di sana. Rumah rapi, makanan tersedia di jam makan, dan yang jelas wajah tiga wanita beda usia di rumah terlihat lebih nyaman dipandang. Hendra merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang.Kuncinya benar-benar di uang. Itulah anggapan Hendra saat ini. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena hal yang tidak diinginkan akhirnya terjadi.---Hendra duduk di ruang kerjanya dengan ekspre
“Hen–dra? Ka-kamu kok belum tidur?” tanya Bu Lastri dengan suara tergagap. Dia mencengkram bajunya dengan kuat.Hendra berjalan dengan langkah lebar, merampas ponsel yang ada di genggaman ibunya. Panggilan video yang sempat terdengar tadi sudah berakhir. Dia menatap tajam ke arah ibunya dan dengan suara lantang bertanya, “Apa yang sedang Ibu lakukan?!”“Ibu nggak ngapa-ngapain, cuma–”“Cuma apa, Bu?! Jawab!”Hendra terus menatap sang ibu. Tanpa sadar air matanya menetes. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu apa yang sedang diperbuat oleh ibunya. Entah kenapa dia yang merasa malu. Dia bukan mau menyalahkan ibunya, tapi malah teringat dengan kesalahan yang dia perbuat sendiri. Hanya saja, dia tidak tahu alasan dari sang ibu melakukan hal tersebut. Setelah terjadi pembicaraan serius yang cukup lama, akhirnya Bu Lastri mengaku tidak sadar melakukan hal yang melanggar norma tersebut. Dia terbuai rayuan lelaki yang dikenalnya melalui media sosial. Jelas Hendra kalap. Dia mengambil kuasa atas
Alya berdiri di depan pintu, menatap punggung kecil Naya yang berjalan menuju mobil Hendra. Hatinya terasa berat. Baru saja dia kembali merasakan kehangatan bersama putrinya, tapi waktu sudah memaksanya untuk merelakan perpisahan lagi.Naya tidak menoleh. Tidak ada lambaian tangan atau sekadar senyum perpisahan. Hanya punggung kecil yang menjauh, masuk ke dalam mobil, lalu pergi begitu saja.Alya menghela napas panjang, berusaha menenangkan dadanya yang sesak. Namun, matanya tetap terpaku pada jalan yang kini kosong, berharap keajaiban terjadi—bahwa mobil itu akan berbalik dan membawa Naya kembali ke pelukannya–tapi, tidak.Keajaiban itu tidak datang.“Jangan berdiri di situ terlalu lama.” Suara Alex terdengar dari belakang, datar seperti biasa. Baju formal sudah melekat sempurna di tubuh tingginya. “Dia pasti akan kembali lagi nanti.”Alya menoleh, menatap Alex yang kini bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Pria itu tampak tenang, tapi Alya tahu, meski dingin, Alex se
“Bunda.”Lagi-lagi suara itu terdengar dan makin jelas. Alya memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. Senyumnya mengembang sempurna ketika melihat sosok yang dia bayangkan berdiri tak jauh dari sana Alya terdiam beberapa saat. Sejenak, waktu terasa berhenti. Dia seperti tidak ada kekuatan untuk berlari menghampiri Naya.Hendra berjalan masuk dengan langkah tenang, menyilangkan tangan di dada. “Aku tahu kamu ingin bertemu dengan Naya. Jadi, aku membawanya.”Alya tak bisa menahan diri lagi. Dia langsung berlari ke arah putrinya dan berlutut di depannya.“Naya…” suaranya bergetar.Naya menatap Alya dengan ragu. Matanya berkaca-kaca, seakan ingin memeluk ibunya, tapi ada sesuatu yang menahannya.Dia menunduk, menggigit bibirnya. Air mata sudah menggantung di pelupuk matanya.“Bunda,” suara lirihnya kembali terdengar. Dan saat itulah pertahanannya runtuh.Naya langsung melemparkan dirinya ke pelukan Alya, menangis tersedu-sedu. “Bunda, aku–”Alya memeluk putrinya erat, membiarkan air
“Kalian terlalu sibuk dengan media sosial sampai lupa kalau ada anak kecil di rumah ini! Kalian boleh lupa ada aku, tapi tidak kalau itu Naya! Menyiapkan sarapan yang layak untuk Naya saja apa kalian nggak becus?!”Andin bangkit dari duduknya, wajahnya penuh kekesalan. “Kenapa sih marah-marah terus? Kalau mau Naya makan enak, kenapa nggak masak sendiri?”“Kamu pikir selama ini aku nggak pernah masak untuk anakku? Kamu yang bilang kalau ingin menjadi bagian dari keluarga ini, tapi bisa-bisanya kamu nggak peduli dengan Naya!”Andin melipat tangan di dada. “Statusku masih belum jelas, kan? Kalau aku sudah jadi istri kamu, tentu aku akan lebih bertanggung jawab, Mas. Jangan bisanya komplen ini itu, tapi lupa apa janjimu padaku!”Hendra menatap Andin tajam. “Jadi kamu sengaja tidak melakukan apa pun hanya karena belum menikah denganku?”Andin tersenyum penuh kemenangan. “Tepat sekali. Lagian kamu masih mau nunggu apalagi sih, Mas? Kamu dan Alya ‘kan udah resmi bercerai.”Hendra terdiam. Di
Naya hanya diam, seolah enggan untuk mendengar ucapan ayahnya. Dia tidak mau tahu apa pun tentang sang ayah yang selama ini sibuk dengan dunianya sendiri–tak peduli pada perasaannya.–Malam semakin larut, tapi Hendra masih duduk di ruang tamu dengan wajah gelap. Rasanya ada begitu banyak beban yang singgah di bahu. Namun, setidaknya dia bisa tenang karena Naya sudah tertidur setelah makan bubur buatannya. Ya, meski awalnya anak itu terlihat enggan untuk menyantapnya. Hendra sendiri merasa pikirannya terus berputar pada dua hal—Alya dan keluarganya yang kini berantakan.Dilihatnya jarum jam dinding yang terus berputar. Hari semakin malam, tapi Ibunya dan Andin belum juga pulang. Dia mengecek ponselnya, tidak ada pesan masuk. Saat ia bertanya tadi, Naya hanya mengatakan kalau Bu Lastri dan Andin pergi entah ke mana, meninggalkannya sendirian di rumah. Itu sudah cukup membuat darahnya mendidih.Bagaimana bisa mereka meninggalkan anak sekecil itu sendirian?Hendra menarik napas panjang–
“Ayah, aku laper,” kata Naya. Hendra mengusap wajah kasar. Dia berjongkok mengimbangi tinggi putrinya, lalu mengusap rambut Naya pelan. Rasa bersalah yang muncul membuat emosinya seketika hilang. Setelah meminta Naya menunggu, Hendra segera ke dapur untuk membuatkan makanan seadanya. Namun, kondisi dapur yang berantakan dan tidak ada stok apa-apa membuat Hendra kembali emosi. Pada akhirnya dia mengajak Naya untuk makan di luar, tak peduli pada dua wanita dewasa di rumah itu. — Malam semakin larut, tapi Hendra tidak bisa tidur. Dia terduduk di ruang kerjanya, kepalanya tertunduk dalam, sementara segelas kopi di meja telah dingin tanpa sempat dia sentuh. Pikirannya terus berputar pada kejadian tadi. Rumah berantakan. Naya kelaparan. Andin yang cuek. Ibunya yang sibuk dengan kehidupan cintanya sendiri. Dan yang paling menghantamnya–bayangan Alya. Wanita itu dulu ada di sini. Dia yang selalu memastikan kondisi rumah rapi, memastikan Naya makan tepat waktu, memastikan segala