Dion kembali menatap Shella bahkan tak berkedip sekalipun, ia begitu terkejut melihat sang istri yang tiba-tiba saja ada di tempat itu.Pasalnya hal itu terasa mengherankan bagi Dion, karena Bella tidak pernah sekalipun singgah ke tempat lain setelah pulang dari sekolah Shetta, bahkan jika diingatpun wanita itu tidak begitu menyukai tempat ramai dan memilih untuk segera kembali ke kediamannya dan bermain bersama Shetta.Dion lantas mengerjapkan mata lalu segera menggendong tubuh sang puteri kecilnya dan kemudian berkata, "Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyanya kepada Shella.Alih-alih menjawab, Shella justru terdiam membisu, bibirnya seakan-akan kelu dan tak mampu menjawab pertanyaan Dion yang kini menatapnya serius."Bagaimana ini? Aku harus menjawab apa!? Bisa-bisanya ketahuan seperti ini," batinnya dengan sejuta pikiran kalut yang menguasai dirinya.Shella bingung, menatap ke sembarang arah."Tunggu!!"Lalu di tengah-tengah situasi tersebut, terdengar suara bariton bersama dengan
Shella mengedarkan pandangannya di ruang makan sesaat setelah ia selesai memasak dan membawa masakan itu untuk makan malam.Akan tetapi ia merasa heran, pasalnya ia belum melihat suaminya, hanya Shetta lah yang menduduki kursi seolah telah siap untuk makan malam bersama.Shella lantas menatap anak perempuannya lalu bertanya, "Papa mana, Nak?"Shetta yang tengah memainkan sendok dan garpu yang ia ketuk-ketukkan di atas piringpun mengerjap dan mengangkat wajahnya, "Oh? Papa tadi pamit sebentar ke ruang kerjanya, Ma."Untuk sesaat Shella pun terdiam, "Di ruang kerja? Apa pekerjaannya belum selesai?"Seketika muncul berbagai pertanyaan dalam benak diri perempuan itu, pasalnya ini merupakan kali pertama saat waktunya makan malam, Dion justru melipir bahkan tidak mengatakan apapun kepadanya.Sementara di ruang kerja pribadi yang terletak di lantai atas, Dion tengah duduk di atas kursi putar miliknya.Ya! Lelaki itu memang tengah asyik mengotak-atik komputernya, namun bukan untuk menyelesaik
Tanpa berpikir panjang, Dion segera meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja, dengan cekatan jari jemarinya mencari kontak yang bernama Vena.Lalu Dion menekan tombol hijau untuk memulai panggilan, seketika saja suara seperti kereta api mulai terdengar melalui indera pendengarannya.Dion menunggu, meski sedikit lama sampai akhirnya suara sosok wanita itupun mulai terdengar.["Hallo, Dion-"]"Vena? Maaf aku menganggumu malam-malam begini," sela Dion seakan-akan sudah tidak sabar mengutarakan suaranya.["Ya, santai saja. Ada apa?"]Dion pun terdiam, berusaha menyusun kata-kata yang ingin ia sampaikan. Pun mengatur pernapasannya yang kini terasa memburu."Umm ... apa kau kenal dengan pria bernama Hans?" tanya Dion perlahan.Untuk sesaat keheninganpun melanda perbincangan tersebut, Vena pun tak langsung menjawab pertanyaan Dion yang sedikit membuatnya heran."Aku dengar dia teman lama Shella, dan kalian?" jelas Dion dengan memperjelas perkataannya.["Teman lama? kata siapa? Aku
Malam semakin larut, tak terasa pula Dion telah menghabiskan malam dengan hanya berdiam diri di dalam ruang kerjanya, tanpa melakukan apapun.Bahkan pekerjaan teramat banyak yang ia akui kepada Shella pun rupanya hanya sebagai alasan agar Shella percaya dan membiarkannya sendiri di dalam ruangan yang berukuran cukup besar tersebut.Tetapi nyatanya? Yang dilakukan Dion hanyalah diam dan merenung, hingga semua hal yang sempat terjadi di dalam kehidupannyapun turut hadir dalam ingatannya.Dion pun terkejut kala ia tak sengaja melirik jam kecil yang berada di atas mejanya telah menunjuk pada angka 11."Astaga, rupanya aku sudah berjam-jam berada di sini," ucapnya sembari menepuk jidatnya sendiri.Lelaki itu telah hanyut dalam lamunannya, hanya karena pertemuannya dengan sosok pria asing yang membersamai istrinya"Apa mereka sudah tidur?" terkanya, "Bisa-bisanya aku lupa menemani Shetta bermain malam ini."Rasa sesalpun muncul begitu saja, Dion terlalu fokus pasa pikirannya sampai-sampai m
"Kenapa pintu ini terbu-" Ucapan Shella terhenti kala ia mendekati pintu tersebut dan melihat sosok lelaki yang tengah berada di dalam sana.Bahkan Shella terkejut, melihat bahwa suaminya sendirilah yang berada di kamar itu."Mas--Dion? Sedang apa dia di sana?" tanyanya dalam hati.Tetapi tak lama kemudian Shella mendapat jawabannya sendiri, pun ia menyadari apa yang sedang dilakukan oleh suaminya di dalam kamar mantan madunya. Melalui celah pintu yang sedikit terbuka, sayup-sayup Shella melihat Dio yang tengah fokus memandangi sebuah bingkai kecil yang berada pada genggaman tangannya.Tatapannya terlihat dalam, bahkan sesekali lelaki itu mengusap bingkai tersebut. Hal itu sontak membuat Shella menyadari sesuatu, bahwa masih ada rasa yang tersisa di dalam hatinya untuk penghuni kamar tersebut meski sedikit.Seketika itu pula Shella tertunduk lemas, tangan yang sedari tadi menempel pada knop pintu perlahan melemah dan turun dengan sendirinya."Yah ... Manusia tentu tidak akan berubah
Dion masih berjongkok dengan tatapan tak terlepas dari sosok anak laki-laki yang berdiri di hadapannya. Ya! Anak laki-laki yang disinyalir merupakan anak dari mantan istrinya."B-bukankah dia ... Askara?" gumamnya dengan kedua mata yang mulai menyipit.Bahkan Dion tanpa sengaja membiarkan Shetta setelah ia membantunya berdiri dan terdiam tanpa mengatakan apapun. Namun di tengah-tengah situasi tersebut, seketika saja Mona menyambar tangan Askara yang masih berdiri di hadapan Dion."Sayang! Sini, Nak," panggil Mona dengan cepat menarik tangan Askara dan mendekapnya.Tatapan tajamnya berhasil menyadarkan Dion hingga mengerjap. Lelaki itu lantas berdiri dan berusaha bersikap tenang. Dion sangat mengerti dengan sikap Mona yang tiba-tiba menjauhkan Askara darinya, karena seperti yang telah diketahui, Dion tidak pernah mengakui bahwa Askara merupakan anak kandungnya."M-maaf!" Mona membungkukkan tubuhnya dan melanjutkan perkataannya, "Maaf karena Aska tidak sengaja telah menabrak anak anda,
Suasana mulai ramai, berbagai tamu undangan yang hadir dari kalangan elit, entah itu rekan kerja antar perusahaan, bahkan ada pula klien-klien yang berasal dari luar negeri. Untuk sesaat Dion termenung, melihat suasana acara yang begitu meriah."Hebat juga dia, bisa mengundang kenalannya sekalipun kali ini hanya acara lamaran saja," gumamnya dalam hati, "Entah bagaimana dengan acara pernikahannya nanti."Dion kemudian menoleh ke arah samping, tepat pada jajaran keluarga dari pihak perempuan, lagi-lagi kedua matanya terfokus pada sosok wanita dan anak laki-laki yang tak lain dan bukan adalah Mona dan Askara.Lelaki itu menyipitkan matanya, "Kenapa mereka duduk di sana? Jika mereka di undang papa bukankah harusnya mereka duduk bergabung dengan kami?"Sungguh, Dion dibuat begitu heran dengan situasi tersebut. Perhatiannya kembali teralihkan saat pembawa acara mulai kembali mempersilakan Bryan untuk maju dan berdiri di depan.Bryan, sosok lelaki bertubuh tinggi dan berbadan kekar, mengena
Acara pun berlanjut dengan begitu meriah, alunan musik yang tak berhenti berdendang, dengan beberapa tamu undangan menikmati santapan yang telah tersedia. Mereka saling bercengkrama menciptakan keakraban yang sangat menghangatkan suasana.Tampak di tengah-tengah itu, sembari menggandeng tangan sang calon istri, Bryan tampak berbincang dengan para rekan bisnisnya, membahas beberapa hal yang terkait acara mewah tersebut."Yah, semoga acara Pak Bryan dengan Bu Arumi lancar sampai hari pernikahan tiba," ujar salah seorang rekan bisnisnya.Bryan pun tersenyum sembari menganggukkan kepalanya, "Aamiin, terima kasih do'anya."Arumi hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan tersebut, namun sesekali melihat-lihat seisi ruangan seperti tengah mencari keberadaan seseorang di sana."Aku yakin, aku sempat melihatnya duduk di dekat Mama Rose dan Papa Handi. Tetapi kenapa sekarang mereka menghilang?" batinnya menduga-duga, "Apa aku hanua salah lihat saja?"Ya! Rupanya Arumi sempat menyadari bahwa soso
Kerutan pada keningnya kini mulai tampak jelas, kala lelaki itu membalikkan amplop putih yang ternyata mempunyai lambang yang menggambarkan salah satu lambang Laboratorium terkemuka di kota itu.Mulanya Dion merasa aneh hingga bertanya-tanya dalam benaknya. Tanpa menunggu lama lagi Dion lantas mulai membuka isi amplop dan memgeluarkan secarik kertas putih dengan beberapa deretan huruf dan angka di dalamnya."Surat apa ini?" tanyanya masih menerka-nerka bahkan belum menyadarinya.Perlahan namun pasti, Dion kini mulai membaca kata demi kata yang tertulis di dalam surat tersebut. Untuk sesaat ia kembali heran, terlebih ketika lelaki itu menyadari terdapat beberapa nama yang tidak asing lagi baginya tertera di dalam tulisan tersebut."Kenapa ada nama anakku di sini!? Arshetta Puteri Santoso!?"Ya! Rasa penasaran lelaki itu semakin meluas, bahkan merasa begitu heran mengapa nama itu ada di dalamnya. Ia pun lekas membaca dengan lebih teliti lagi, kata demi kata yang menjelaskan terkait hasi
Seperti rencana sebelumnya pagi ini Hans akan melancarkan aksinya dengan memberi pelajaran pada Dion dan Shella terkait Kejadian beberapa malam yang lalu yang membuat dirinya merasa dipermalukan di hadapan semua orang bahkan di tempat yang selalu ia kunjungi. Lelaki itu telah bersiap dengan pakaian rapinya dan segera meluncur meninggalkan kediamannya menggunakan mobil mewah miliknya yang berharga milyaran rupiah.Dengan ditemani sopir pribadinya Hans segera saja menuju perusahaan milik Dion yang berada di pusat kota tersebut. Raut wajahnya kini menampakkan bahwa dirinya sangat percaya diri dengan rencana ini bahkan Hans sangat yakin bahwa ia akan segera membuat Dion menderita dan bisa memiliki Shella seutuhnya."Tunggu saja, Dion, aku akan menunjukkan Siapa yang paling kuat di antara kita dan aku akan membuktikan siapa yang paling pantas berada di samping Shella, " ucapnya dengan penuh keyakinan dan percaya diri.Tak butuh waktu beberapa jam untuk bisa tiba di kawasan perusahaan elit
Sudah berhari-hari Hans selalu melamun, asyik dengan pikirannya sendiri. Ya! Setelah perdebatannya bersama Dion dan Shella malam itu, ia kini lebih banyak diam dari biasanya, ponsel yang selalu ia mainkanpun kini hanya tergeletak tak karuan di atas meja kerjanya.Ia sungguh tidak berselera untuk melakukan apapun, bahkan ia hanya melakukan beberapa pekerjaan kantornya dan pulang tepat waktu. Tanpa mampir ke sebuah tempat atau melakukan sesuatu seperti biasanya."Ini terasa membosankan, aku hanya dian seperti ini dan tidak melakukan apapun."Hans lalu merebahkan dirinya di atas kursi santai di sebelah kolam renang miliknya, menandangi langit malam yang gelap dan penuh dengan berbagai cahaya bintang menghiasinya.Tak dapat dipungkiri, beberapa ucapan serta cibiran yang ia terima dari Shella tentu berdampak buruk dan cukup panjang hingga membuaynya seperti ini. Lelaki itu semakin terlarut dalam lamunannya sendiri membayangkan semua rentetan kejadian yang secara tidak langsung telah menyin
Bryan baru saja tiba di kantornya dengan suasana hati yang sedikit kurang baik. Setelah perbincangan bersama pamannya yang terjadi semalam, Bryan tentu saja kini merasa bingung dengan saran yang diberikan oleh Handi.Bagaimana tidak? Saran yang dikatakan oleh Handi telah cukup membuat Bryan kembali berpikir, lagi dan lagi.Ia merasa cemas dan takut dengan keadaan Arumi yang belum sepenuhnya merasa lebih baik, bahkan saat terakhir ia makan siang dengan Arumi, wanita itu masih saja terlihat murung, menjawab pertanyaan Bryan seperlunya."Ini benar-benar membuatku pusing," ucap Bryan kala ia menduduki kursi kerjanya dan hendak memulai aktifitasnya.Tetapi, alih-alih segera menggarap beberapa pekerjaannya, lelaki itu justru hanya diam dengan kedua mata terfokus menatap layar komputernya.Diam ... dan tidak bergeming ....Di dalam pikirannya kini hanya terdapat berbagai macam hal yang tentang Arumi dan Askara."Bagaimana kalau tante Rose berbuat nekad dan bersikukuh menginginkan Askara? Lan
Hari-hari setelah malam itu, Shella kini terlihat murung. Meski ia tetap menemani Vena membuka tempat karaokenya, namun semuanya tidak berjalan seperti sebelumnya. Wanita itu jadi lebih pendiam, senyuman manis yang ia miliki kini hanya tertuju untuk para customer.Ya! Shella cukup profesional dalam mengelola emosinya kali ini.Akan tetapi tetap saja, terlihat sekali perbedaan sikap dalam dirinya. Vena pun merasakan hal itu, merasa iba melihat sahabatnya yang harus berada dalam situasi seperti ini."Hmm, saituasi macam apa lagi ini!? Aku benar-benar tidak habis pikir ... "Semua terjadi jelas karena Dion, lelaki yang tiba-tiba datang mengacau. Hal itu membuat Vena memutuskan untuk melakukan sesuatu."Aku harus segera bertindak, karena seperti ini saja sudah membuatku lelah."Ya! Pagi ini lebih tepatnya sesaat setelah matahari muncul dari ufuk timur, para orang-orang yang memulai aktifitasnya, Vena telah bersiap dan segera pergi menuju kantor Dion. Vena berjalan mengendap-endap melewati
Kini, Handi tengah duduk tegap di sebuah ruang tamu yang terdapat pada rumah mewah bergaya modern tersebut. Lelaki itu tak berhenti mengatur pernapasannya, dan juga mengatur beberapa bahasan yang akan ia katakan pada keponakannya.Ia ingin mengulur waktu, memikirkan lagi semuanya hingga terasa tepat untuk disampaikan. Tetapi Bryan sepertinya tidak akan memberinya kesempatan."Baiklah, Om. Apa yang membawa Om hingga malam-malam begini mendatangiku?" tanya Bryan langsung pada intinya.Bryan yang memang sedari dulu tak begitu menyukai basa-basi serta selalu membahas inti dari setiap permasalahan tentu sudah menjadi hal biasa bagi Handi, dan lelaki itu tak pernah menunjukkan aksi protesnya.Handj lalu membenahi posisi duduknya, sebelumm akhirnya menbahas apa yang membuat pikirannya mengganjal."Maaf sebelumnya kalau Om tiba-tiba menanyakan ini padamu," ucap Handj sedikit ragu, "Apa rencanamu saat kalian berdua resmi menikah?"Bukannya lekas menjawab, Bryan justru dibuat bingung dengan per
Handi kini telah tiba di sebuah kawasan perumahan elite di bilangan Jakarta. Entah apa yang ada di pikiran lelaki paruh baya itu hingga ia menjalankan mobilnya dengan secepat kilat dan tiba di rumah keponakannya.Saat lelaki itu menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah besar tersebut seketika itu pula ia disambut oleh seorang satpam yang bekerja di rumah itu."Selamat malam, Apakah ada yang bisa saya bantu? " tanya satpam tersebut."Apakah Bryan sudah pulang?" tanya Handi sesaat setelah ia menurunkan kaca jendela mobil miliknya.Satpam itu pun menganggukan kepalanya dan kemudian menjawab, "Kebetulan sekali Tuan Bryan baru saja pulang dari kantor beberapa menit yang lalu."Mendengar itu tentu saja membuat Handi merasa lega karena dia bisa langsung menemui keponakannya di dalam rumah itu meski ia sendiri belum tahu apa yang akan dia bicarakan saat ini dengan Bryan.Tanpa berlama-lama lagi satpam itu pun lekas mempersilahkan Handi untuk memasuki pekarangan rumah Bryan yang tamp
"Apa aku memang terlalu kejam? Apa aku salah karena menginginkan sesuatu yang sudah kubuang sendiri?"Pikiran itu terus menerus mengganggunya, terngiang-ngiang sampai tak dapat disingkirkan lagi.Entah mengapa, malam ini Rose terasa sulit sekali untuk tidur, ia telah pergi ke kamar mandi, minum beberapa tegukkan ari mineral, bahkan melakukan hal beberapa saat, tak membuatnya merasakan kantuk sekalipun.Rose terus saja terpikirkan beberapa hal yang selama ini mengusiknya. Bahkan sesaat setelah ia bertemu Dion dan membicarakan terkait tes DNA itu, Rose tak mampu lagi berkata apapun."Apa aku turuti saja kemauan Dion untuk melupakan hal ini?" pikirnya lagi.Hingga sesaat kemudian Rose kembali menggelengkan kepalanya."Tidak, tidak. Aku tidak boleh mundur, aku harus membuktikannya sendiri kalau dugaanku benar," ucapnya lagi.Ya! Rose memang selalu bersikeras mendapatkan apa yang ia inginkan, bahkan lautanpun akan ia sebrangi asalkan pada akhirnya ia mendapatkan hal tersebut.Saat ini, Ros
"Tunggu, Mas!! Aku bisa-""Diamlah, aku sudah tidak ingin mendemgarkanmu lagi," sergah Dion memotong ucapan Shella dan lekas pergi dari sana.Shella tentu tidak ingin melewatkan kesempatan ini, ia segera meraih tangan Dion dan menggenggamnya erat, namun seketika itu pula Dion menghempaskannya, seolah benar-benar tidak ingjn tersentuh lagi oleh Shella. Lelaki itu lekas pergi dari hadapan Shella, tetapi lagi dan lagi, sosok perempuan tiba-tiba saja muncul dan menghentikan langkah lelaki itu."Ck! Tolong minggir, aku harus pergi."Tetapi wanita itu tentu tidak mendengar dan terus berdiri tepat di hadapannya."Ada apa ini!?" tanya wanita tersebut bernada dingin, "Apa kau yang membuat kericuhan di tempatku?""Aku??" Dion kemudian berdecih lalu kembali menoleh ke belakang, "Aku hanya berniat memastikan sesuatu dan pergi, tapi lihat? Aku malah menemukan sesuatu yang menarik di sini."Vena pun terdiam, mengikuti arah pandang Dion dan menatap sosok pria bertubuh tinggu berdiri tepat di sampin