Alana sudah meninggalkan sekolah. Ia tak lekas pulang ke rumah, tetapi pergi ke kota untuk membeli berapa pot dan bibit bunga mawar siap tanam. Setelah semua di dapat, Alana pergi ke sebuah percetakan untuk membuat spanduk. "Semoga anak-anak belum bubar, ya, Bi?" ucap Alana saat duduk di belakang kemudi. Jelas saja ia cemas karena perjalana ke kota cukup jauh, belum lagi membeli pot dan bunga. "Kalaupun sudah, pasti mereka menunggu di sekolah, Bu.""Iya, Bibi benar."Mobil sedan Alana meluncur membelah jalanan kota menuju desa. *Wajah Alana tampak cemas saat melewati jalanan desa karena pasalnya sedari tadi ia berpapasan dengan anak-anak yang sedang dalam perjalanan pulang. Ia berharap kedua putrinya tidak protes, terutama Ilana. Akhirnya mobil terparkir tepat di dekat gerbang sekolah. Alana bergegas turun dan masuk. Dari jauh, Alana melihat Liana dan Ilana tengah asyik bermain dengan seroang murid perempuan. Tak jauh dari mereka ada kepala sekolah yang memperhatikan. "Sayang,
Setelah hari itu, Alana memutuskan untuk menambah kuota bunga yang dijualnya. Tak hanya bunga mawar saja. Ada ragam bunga hias yang bisa di simpan di dalam ruangan dan tanaman hias gantung. Hanya saja, Alana belum bisa membangun tempat yang bagus untuk menyimpan bunga-bunganya. Terkadang kalau hujan deras, ia dan Sumi akan memindahkan sebagian ke teras rumah. Seperti pagi ini. Dari semalam hujan turut sangat lebat disertai angin kencang. Dari teras, Alana memantau sisa-sisa bunga yang dibiarkannya di halaman. Ada beberapa pot yang terjatuh dan ada pula beberapa bunga yang patah. Alana hanya bisa pasrah. Ia anggap ini sebagai musibah dan risiko yang harus ia tanggung. Hari semakin siang. Hujan pun sudah reda. Langit gelap pun berubah menjadi terang. Alana dibantu Sumi membereskan semua kekacauan. "Semangat, Mami!" seru Liana di gazebo bersama Ilana dan Alina. Alana tersenyum. "Siap, komandan!"Liana dan Ilana terkekeh-kekeh. Setelah bergelut selama dua jam, akhirnya semua sudah ta
Alana berlari dan kembali duduk di gazebo sambil memegang dadanya. Roy yang semula mengikuti di belakang, berbalik arah mengejar Alana. "Ada apa?" Roy terlihat panik. Alana menceritakan apa yang terjadi di desanya itu. "Dan ternyata, pabrik yang hendak di bangun di sini adalah milik Mas Kevin.""Dari mana kamu tau?""Di alat berat itu tertulis 'PT. Chandra Gemilang Apparel. Itu perusahaan milik Mas Kevin."Alana mengguncang lengan Roy. "Gimana, ini, Kak? Kalau Mas Kevin tau aku di sini bisa gawat. Bisa saja dia mengambil anak-anak dariku!"Roy meminta Alana untuk tenang. Sejenak ia terdiam, berpikir apa yang harus ia lakukan untuk Alana. Roy mendapatkan ide walaupun menurutnya akan sedikit membuat Alana kecewa. Pria itu memberi saran, untuk sementara waktu Alana berhenti berjualan bunga. Dengan demikian kegiatan di sekitar rumah tidak terlalu mencolok. Apalagi, posisi rumah Alana yang tepat berada di pinggir jalan dan hanya satu-satunya akses bisa mencuri perhatian jika saja pihak
Alana duduk di kursi ruang tunggu oeprasi dengan perasaan kalut. Bagaimana tidak? Korban kecelakaan itu ternyata Kevin. Ia terpaksa ikut ambulan --mengantar ke rumah sakit karena polisi tidak menemukan identitas Kevin. Polisi menduga ada yang menjarah barang berharga milik Kevin. "Ini kunci mobil Anda."Alana berdiri, lalu menerimanya. "Terima kasih, Pak.""Sama-sama, Bu."Alana bisa merasa tenang perihal ketiga putrinya, karena seorang polisi mengambil alih mobil Alana dan bersedia mengantarkan mereka pulang, sementara dirinya ke rumah sakit. "Jadi, Anda ini istri korban?""I-iya, Pak," jawab Alana ragu. Ingin sekali dirinya menjawab bukan, tetapi statusnya dengan Kevin masih suami-istri. Polisi itu mencatat identitas lengkap Alana, lalu berpamitan pergi. Alana kembali duduk. Sesekali ia melihat lampu ruang operasi yang tak kunjung padam. Alana menunduk dan memejamkan mata. Pikirannya bergelut. Haruskah ia memberi tahu Yuni dan Melani? Akan tetapi, ia sendiri tidak tahu nomor p
Alana meninggalkan ruang makan. "Ha-halo?" Alana menyapa lawan bicaranya dengan gugup. "Halo? Dengan Ibu Alana?""I-iya, betul."Alana merasa lega tenyata dari pihak rumah sakit bukan memberikan kabar buruk, melainkan Alana dipinta untuk datang karena ada beberapa administrasi yang harus dipenuhi.Alana melanjutkan sarapan dengan perasaan tenang. Walaupun dalam hati kecilnya terselip rasa khawatir. Apakah uangnya cukup untuk biaya perawatan Kevin? Semalam saja ia mengeluarkan uang cukup besar. Tidak mungkin juga mengandalkan pihak tertentu, karena berdasarkan informasi dari pihak berwajib bahwasanya Kevin mengalami kecelakaan tunggal. Sarapan sudah selesai. Saatnya anak-anak berangkat sekolah. "Bu, lalu gimana potnya? Apa tetep dipindah?" tanya Sumi saat Alana hendak keluar. "Biarkan saja, Bi. Kita tetap buka lapak saja."Sumi mengangguk. "Baik, Bu.""Oh, iya, Bi, titip Alina, ya? Dibawa juga kasian masih tidur. Lagipula saya mau ke rumah sakit sebentar." Alana pun berpesan agar
Alana benar-benar tidak enak hati kepada Toni. Kata Maaf terus terucap karena sudah lancang dengan merebut ponsel dan mematikan sambungannya. Mau tidak mau Alana menceritakan atas apa yang menimpa rumah tangganya. Ia meminta agar Toni mau bekerjasama dengannya. Beruntung, Toni sangat bersedia membantu Alana. "Terima kasih banyak, Pak Toni.""Tidak usah sungkan, Bu. Saya, walaupun seorang pria bisa merasakan bagaimana jika di posisi Ibu.""Tapi, bagaimana kalau mertua saya atau Melani ...,"Toni yang mengerti kekhawatiran Alana pun dengan cepat angkat bicara, "Ibu jangan takut. Pak Kevin memang datang ke desa ini dalam waktu yang cukup lama, yakni satu bulan.""Kalau dalam satu bulan ternyata suami saya belum sadar, gimana, ya, Pak Toni?" Alana terlihat putus asa. "Kita percaya keajaiban Tuhan itu ada, Bu. Semoga Pak Kevin segera sadar."Alana menangguk lemah. "Iya, Bapak benar. Semoga Tuhan memberikan kesembuhan untuk suami saya.""Dan jikalau buruknya dalam satu bulan Pak Kevin be
Alana segera turun. Pikiran yang tidak fokus membuatnya tak menyadari jika ada anak kecil yang tiba-tiba saja menyebrang. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Alana panik sambil berjongkok. "Tidak, Tante. Maaf, ya, aku nyebrang gak liat-liat dulu.""Untung saja Anda rem tepat pada waktunya!" ucap seorang warga berjenis kelamin laki-laki. "Anak ini memang sering begini. Mencari perhatian dari siapa saja!"Alana mengusap pipi anak itu. Usianya mungkin tak jauh dengan Liana. Akhirnya, Alana menuntun anak itu ke tepian, sementara dirinya memindahkan mobil ke sisi kiri agar tidak terjadi kemacetan. "Namamu siapa?""Aura.""Apa benar apa yang dikatakan Bapak tadi?"Anak itu terdiam dengan kepala menunduk. "Habisnya Ibu sama Ayah gak pernah perhatiin aku, Tante.""Orang tuamu kerja?"Aura menggeleng. "Lalu?""Ayah sibuk sama ponselnya dan Ibu sibuk sama pacarnya."Alana terbelalak saking kagetnya. "Apa?!" Alana mengesah panjang. Anak sekecil ini harus menanggung derita akibat ulah orang tu
Dua minggu sudah berlalu. Kemarin, dokter mengabarkan bahwa Kevin sudah sadarkan diri. Pagi ini, Alana tengah bersiap menjenguknya. Tak hanya bersiap dengan penampilannya saja, tetapi ia menyiapkan hatinya. Ya, setelah mendengar pengakuan dari Toni, ketulusan hati Alana untuk merawat Kevin seketika runtuh. "Bi, titip anak-anak, ya?" kata Alana. "Iya, Bu. Titip salam untuk Bapak."Alana tersenyum. "Iya, Bi."Alana sengaja tidak berpamitan kepada anak-anaknya, karena sudah pasti mereka merajuk ingin ikut. Tidak mungkin juga jika dirinya mengatakan akan pergi ke rumah sakit, karena ujungnya mereka akan bertanya siapa yang sakit. Alana tidak ingin membohongi putirnya. Daripada berbohong, lebih baik tidak diberitahu sekalian.Dengan memakai T-shirt berwarna merah yang dipadankan celana jeans berwarna hitam, serta rambut yang diikat bak ekor kuda, Alana bergegas meninggalkan kediamannya menggunakan mobil sedan kesayangannya.*Minggu siang ini jalanan di kota padat merayap membuat Alana
Alana mendorong tubuh Kevin sekuat tenaga. Berhasil, pria itu terdorong dari tubuhnya. Alana segera bangkit sambil mengusap bibirnya. Ia merasa jijik karena bibir Kevin meluncur bebas di sana. Namun, alih-alih segera pergi dari sana, Alana dikejutkan dengan Kevin yang tertelungkup di lantai. "Mas Kevin?" sapa Alana, "Mas?"Alana membatin. "Apa dia pingsan?" Alana berjongkok untuk memastikan. Sambil menepuk-nepuk pundak Kevin, Alana terus memanggil nama pria itu. Akan tetapi, nihil. Kevin tak kunjung bangun. "Bi? Bi Sumi!" teriak Alana panik. Tidak berselang lama Sumi datang. "Iya, Bu, ada ap --ya Tuhan, Bapak kenapa?" Sumi tak kalah panik. "Gak tau, Bi. Tolong bantu angkat, Bi!"Kini, Kevin sudah terbaring di kasur. Rupanya ia pingsan. Setelah tadi Alana menciumkan wewangian, Kevin sadarkan diri. Alana menghela napas lega. Pantas saja ketika Kevin menindih tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Kevin pingsan. Menurutnya pingsan Kevin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa bibir Ke
Dua hari setelah Alana tahu sebuah kebenaran tentang Melani, akhirnya pagi ini ia akan mengambil keputusan. Alana meminta Fadli untuk datang. Apalagi kalau bukan untuk merepotkan dokter itu lagi. "Ada apa?" tanya Fadli saat duduk di teras. "Kapan ada waktu senggang?""Kebetulan hari ini. Ada apa?""Tolong antar Mas Kevin ke Jakarta.""Jadi, sudah mengambil keputusan?"Alana mengangguk. Hatinya sudah yakin jika berpisah dengan Kevin adalah jalan terbaik. Ia tidak mau Liana terus-menerus bersikap dingin terhadapnya. Niat hati datang ke desa untuk memperbaiki mental putrinya. Akan tetapi, karena ulah Alana sendiri yang merawat Kevin justru memperburuk keadaan. "Apa kamu bersedia aku bikin repot lagi?""Tentu saja. Selama aku mampu, aku akan membantumu. Apa pun itu!"Alana tersenyum, lalu memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Kevin yang sudah ia siapkan sedari malam. "Tapi, tolong ... jangan katakan kepada siapapun, baik itu mertuaku atau Melani kalau aku yang menolong M
Alana pun bercerita kepada Fadli jika dokter kandungannya menceritakan hal yang sama. Bahkan Melani berkonsultasi kepada hampir semua dokter kandungan yang ada di Jakarta dan hasilnya sama. Ia mandul. Alana berdecak lidah. "Ya, aku baru ingat! Bahkan ruangan dokterku waktu itu sangat berantakan dan dokumen atas nama Melani berceceran di lantai.""Dan kita semua mendapat perlakuan sama dari si Melani itu," tutur Fadli. "Tapi, sepertinya aku yang lebih apes. Kena lemparan vas bunga. Untung hanya lebam saja. Kalau sampai keningku robek, aku seret dia ke kantor polisi," lanjutnya dengan kesal mengingat itu. Alana terkekeh-kekeh. "Kenapa Melani yang kita temui menyebalkan, ya?"Fadli terkekeh-kekeh. "He'em. Wanita itu sangat frustasi.""Kabarnya, dia mau hamil biar bisa menikah sama mantannya. Mau nebus kesalahannya di masa lalu gitu, deh, pokoknya," lanjut Fadli. Deg! Alana terdiam, membatin. Ceritanya sama persis dengan Melani, si mantan pacar Kevin. Ah, ataubhanya kebetulan saja?L
Sudah hampir satu bulan Kevin berada di desa. Secara fisik sudah terlihat bugar. Hanya saja, ingatannya belumlah pulih. Kini, pria itu tinggal serumah bersama Alana dengan kamar yang berbeda. Hampir setiap hari pula Fadli datang melihat kondisi pria itu. Seperti pagi ini, Fadli sudah siap mengantar Kevin untuk melakukan chek-up ke rumah sakit. "Sudah siap?" tanya Fadli. "Siap, Om Dokter!" jawab Liana dan Ilana kompak. Dua gadis kecil itu ikut bersama sekalian berangkat sekolah. Mobil pun melaju meninggalkan kediaman Alana. Tiba di sekolah, Liana dan Ilana segera turun setelah berpamitan kepada ibu dan sang pemilik mobil. Tak lupa, kecupan hangat dari Ilana untuk Kevin. Hanya Ilana saja, sedangkan Liana langsung bergegas turun. Ya, gadis itu tak hanya bersikap dingin kepada Kevin saja, tetapi kepada Alana karena sudah membawa Kevin tinggal bersama. Ia merasa keberatan. Perjalanan dilanjutkan, sampai akhirnya tiba di rumah sakit. Tak perlu menunggu lama, karena Fadli sudah membua
Malam itu Kevin sudah dipindahkan ke Puskesmas. Untungnya ada satu ruangan kosong sehingga tidak mengganggu aktivitas Puskesmas setiap harinya. "Sudah malam. Kalian pulanglah!" titah Fadli kepada Alana. "Kasian anak-anak.""Baiklah. Kami pulang dulu."Fadli mengangguk, lalu mengantar mereka sampai teras. "Dadah, Om!" Liana melambaikan tangan. Fadli membalas lambaian tangan Liana. "Dadah, Kakak!""Besok ketemu lagi, ya, Om?" timpal Ilana. "Iya, Ila cantik!"Fadli menutup pintu belakang setelah ia memasangkan sabuk pengaman pada kursi bayi Alina dan mobil pun melaju meninggalkan Puskesmas. Fadli bergegas ke dalam, menemui Kevin. "Anda mengenal istri saya, Pak Dokter?" tanya Kevin. Sambil memasang cairan infus baru Fadli menjawab, "Kami teman semasa SMA.""Apa Anda tau tentang kehidupan rumah tangga kami?"Fadli yang sedang mengatur aliran cairan infus seketika menoleh, lalu melanjutkan kembali aktivitasnya. "Kenapa Anda diam, Dokter? Istriku tadi mengatakan kami sedang proses ce
Alana sedikit membentak Liana yang membuat gadis itu marah dan meninggalkan kamar begitu saja. Fadli. Dokter tampan itu langsung mengikuti Liana yang ternyata sedang duduk di teras. "Anak cantik gak boleh marah. Nanti cantiknya ilang, loh!" goda Fadli. Liana yang cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada seketika menoleh. "Bukan urusan Om!"Fadli tersenyum. Ya, memang bukan urusannya. Ia memang terlalu kepo urusan orang. Ah, bukan ... Fadli tidak menganggap Alana orang lain sehingga apa pun yang terjadi dengannya ia selalu ingin tahu. Fadli ingin membalas kebaikan Alana tempo dulu. Kali ini saatnya, pikirnya. "Jadi, gak mau cerita sama Om, nih?" Fadli mencolek dagu Liana. "Jangan colek-colek aku, ya, Om?! Emangnya aku gadis apaan?"Fadli melongo, lalu tertawa terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal. "Hahahahah ... ya ampun ... ya ampun ...." Tawa Fadli mulai berhenti. "Kamu itu persis Mami kamu ternyata, ya?"Fadli mengembuskan napas kasar, lalu berdiri. "Ya udah kalo gak
Sore harinya, setelah Alana meminta paksa pulang Kevin, ia menemui rukun tetangga setempat yang tak jauh dari rumah. Ia menanyakan tentang keberadaan pelayanan kesehatan di desa tempatnya tinggal. Pasalnya, Alana akan menggunakan jasanya untuk merawat Kevin. "Ada dokter, Bu. Tapi hanya dokter kandungan. Itu pun baru praktek di sini beberapa bulan yang lalu.""Oh, begitu ya, Pak. Sebetulnya tidak masalah. Saya hanya perlu bantuan beliau untuk memasang dan lepas infus saja.""Loh, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?"Alana tersenyum canggung. "Sempat dirawat, Pak. Tapi, selain rumah sakit yang cukup jauh, saya juga punya tiga putri. Jadi, tidak mungkin untuk bulak-balik rumah sakit," dalih Alana. "Kalau boleh tau puskesmasnya di mana, ya, Pak?" lanjut Alana. Pria itu menjawab jika Puskesmas berada di ujung jalan pesawahan. Alana pun bergegas pulang dan akan ke sana menggunakan mobil agar menghemat waktu. "Mami mau ke mana lagi?" tanya Ilana saat melihat Alana menyambar kunc
Dua minggu sudah berlalu. Kemarin, dokter mengabarkan bahwa Kevin sudah sadarkan diri. Pagi ini, Alana tengah bersiap menjenguknya. Tak hanya bersiap dengan penampilannya saja, tetapi ia menyiapkan hatinya. Ya, setelah mendengar pengakuan dari Toni, ketulusan hati Alana untuk merawat Kevin seketika runtuh. "Bi, titip anak-anak, ya?" kata Alana. "Iya, Bu. Titip salam untuk Bapak."Alana tersenyum. "Iya, Bi."Alana sengaja tidak berpamitan kepada anak-anaknya, karena sudah pasti mereka merajuk ingin ikut. Tidak mungkin juga jika dirinya mengatakan akan pergi ke rumah sakit, karena ujungnya mereka akan bertanya siapa yang sakit. Alana tidak ingin membohongi putirnya. Daripada berbohong, lebih baik tidak diberitahu sekalian.Dengan memakai T-shirt berwarna merah yang dipadankan celana jeans berwarna hitam, serta rambut yang diikat bak ekor kuda, Alana bergegas meninggalkan kediamannya menggunakan mobil sedan kesayangannya.*Minggu siang ini jalanan di kota padat merayap membuat Alana
Alana segera turun. Pikiran yang tidak fokus membuatnya tak menyadari jika ada anak kecil yang tiba-tiba saja menyebrang. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Alana panik sambil berjongkok. "Tidak, Tante. Maaf, ya, aku nyebrang gak liat-liat dulu.""Untung saja Anda rem tepat pada waktunya!" ucap seorang warga berjenis kelamin laki-laki. "Anak ini memang sering begini. Mencari perhatian dari siapa saja!"Alana mengusap pipi anak itu. Usianya mungkin tak jauh dengan Liana. Akhirnya, Alana menuntun anak itu ke tepian, sementara dirinya memindahkan mobil ke sisi kiri agar tidak terjadi kemacetan. "Namamu siapa?""Aura.""Apa benar apa yang dikatakan Bapak tadi?"Anak itu terdiam dengan kepala menunduk. "Habisnya Ibu sama Ayah gak pernah perhatiin aku, Tante.""Orang tuamu kerja?"Aura menggeleng. "Lalu?""Ayah sibuk sama ponselnya dan Ibu sibuk sama pacarnya."Alana terbelalak saking kagetnya. "Apa?!" Alana mengesah panjang. Anak sekecil ini harus menanggung derita akibat ulah orang tu