Dita baru saja pergi. Alana melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda sambil menyusui Alina. "Ternyata kamu di sini!"Alana tidak menoleh, karena tahu siapa yang datang. Mendengar suara sang ayah, Alina menyudahi mimiknya. Bayi itu mengulurkan tangannya seolah-olah ingin digendong sang ayah. Kevin memangku bayinya itu. Setelah Alana merapikan baju, ia melanjutkan makan. "Lain kali menyusui jangan di tempat umum! Di mobil, kan, bisa!" kata Kevin sambil mencium gemas Pipi Alina. Alana anteng mengunyah karena memang ucapan Kevin tidak harus ia ladeni. Selain meja yang dipilih ada di pojokan juga sepi, Alana juga memakai kain penutup. "Anak-anak ke mana?" tanya Kevin sambil mengedarkan pandangan. "Sekolah!""Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?"Alana hanya mengangkat kedua bahunya saja. Kevin menghela napas panjang. Alana tampaknya benar-benar marah. Kevin mendudukkan bokongnya tepat di kursi depan Alana. Matanya mengernyit saat melihat ada satu cangkir kopi. Dengan siapa Alana
Melani tiba di sebuah rumah sakit. Tak perlu mengantri lama, karena dirinya sudah membuat janji. "Gimana kabarmu?" tanya sang dokter yang kebetulan teman Melani. "Ya, beginilah!"Tanpa diperintah, Melani langsung berbaring di hospital bed. "Cepatlah!" sungut Melani. Dokter tampan itu tersenyum, lalu duduk menghadap monitor. Melani juga meminta setiap tahap pemeriksaan dilakukan pengambilan foto. Sang asisten dokter pun melakukan sesuai perintah. Tidak berselang lama, sang dokter memberikan selembar hasil USG. "Bayinya sehat dan dipastikan laki-laki."Melani bangkit setelah merapikan bajunya. "Bagus! Kapan perkiraan lahiran?""Sekarang usia kandungannya pas lima bulan. Jadi sekitar empat bulan lagi. Bisa pas sesuai HPL, bisa lebih cepet, atau mungkin lebih.""Oke! Lakukan sesuai rencana!" Melani melengos pergi meninggalkan ruangan dokter setelah mendapatkan resep obat. Setelah menunggu sekian lama di konter apotek, akhirnya Melani mendapatkan obatnya berikut vitamin. Melani berg
"Heh, bangun!" Beni mengguncang tubuh Melani. "Ya ampun, tidurnya kayak kebo banget!" gerutu Beni. Ia merasa kesal karena sudah beberapa kali membangunkan, tetapi Melani tak kunjung membuka matanya. Tak hilang akal, Beni mengambil air di gayung dan memercikkannya di wajah Melani. Melani perlahan membuka matanya. "Iiiiiih, apa'an, sih, Ben?""Heh! Dari tadi hape'mu bunyi terus, berisik!"Dengan malas Melani merogoh ponselnya dalam tas. Matanya terbelalak saat tahu ternyata panggilan itu dari Kevin. Ada dua puluh panggilan yang tak terjawab. Ting! Sebuah pesan masuk. "Mas sama Ibu di luar!" Isi pesannya. "Gawat, gawat, gawat!" Melani panik. Ia bergegas turun dari ranjang. "Kenapa gak bangunin aku dari tadi, sih!" gerutunya sambil memukul pundak Beni. Beni mendelik kesal. "Yeeee, kamu aja yang tidurnya kaya mayat! Nyaman banget tidur posisi gitu."Sambil mengenakan bajunya, Melani berkata, "Iya'lahh. Gak mungkin, kan, aku tidur kayak gini kalo di rumah?!""Awas, tuh, kelupaan!"
"Papi?" panggil Ilana dari kejauhan. Ia tidak berani mendekat karena Yuni sudah memergokinya terlebih dahulu. Kevin yang tengah menyuap nasi menoleh. "Iya, Sayang, kemarilah!"Langkah kecil Ilana terkesan ragu dan takut. Untung saja Kevin peka dan memilih dirinya yang menghampiri. Kevin menggendong Ilana dan membawanya duduk. "Makannya udah?" tanya Kevin. Ilana yang ada dalam pangkuan Kevin mengangguk. "Lalu, Ila ke sini cuman cari Papi aja?"Lagi, Ilana hanya mengangguk. Terlalu takut baginya untuk bicara karena ada Yuni dan Melani di sana. "Ila mau main sama Papi?" Ilana tersenyum simpul. "Iya, Pi, Ila mau main sama Papi! Sama ...,""Sama?" Kevin balik bertanya karena Ilana tidak melanjutkan kalimatnya. Ilana melihat ke arah Yuni dan Melani sekilas, lalu mengatakan maksudnya menghampiri Kevin."Tapi, beneran, deh, Nek, ini bukan Mami yang minta. Ini maunya Ila yang mau bobok bareng Papi," cerocos Ilana sambil menatap Yuni dengan dua jari tangan yang ia angkat sebagai tanda j
Melani meninju kasur. Ia merasa kesal karena ternyata Kevin memilih mengejar Alana. "Sayang, tunggu!" Dengan cepat Kevin menuruni anak tangga. "Tunggu!" katanya lagi sambil mencekal lengan Alana. Alana menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ia berkata, "Maaf tidak bermaksud mengganggu. Aku pikir pintunya terbuka tidak ada orang. Aku hanya ingin mengambil sisa bajuku saja."Alana menarik tangannya. "Silakan lanjutkan saja!" Ia bergegas pergi. Masuk kamar, Alana segera mengunci pintu. Ia berlari ke kamar mandi. Sambil berdiri di depan cermin, akhirnya rasa sesak di dada terlampiaskan. Alana menangis. Ternyata, melihat sendiri mereka bercinta lebih menyakitkan daripada mendengar pengakuan Kevin. Alana terisak. "Tidak! Aku tidak boleh seperti ini! Air mataku terlalu mahal untuk menangisi pengkhianatan Mas Kevin!" Alana mengusap air matanya dan bergegas membasuhnya dengan air. Alana terus membasuh wajahnya sampai kiranya hidung tak terlihat merah dan matanya bengkak.Alana menarik nap
"Alana?! Bisa jaga anak, tidak?" Yuni tiba-tiba masuk kamar.Alana yang sedang merapikan mainan terhenyak dan panik melihat Ilana menangis. Ia melangkah cepat menghampiri. "Ada apa, Bu?""Kevin sama Melani mau ke Bali, mau baby moon. Anakmu merengek mau ikut!"Alana merangkul kedua putrinya. "Maaf, Bu. Yang penting, kan, mereka gak ikut, Bu!"Yuni mendelik. Wanita yang sudah memiliki keriput di wajahnya itu malah menghardik. "Memang tidak ikut. Dengan nangisnya anakmu, di sana Kevin pasti kepikiran. Bukannya senang-senang sama Melani malah banyak ngelamun!" Yuni membuang mukanya seraya pergi. Alana menghela napas. Kedua putrinya ia peluk, lalu melerainya. "Siapa yang mau ikut sama Mami jalan-jalan?!" tanya Alana penuh semangat. "Mau!" jawab Liana cepat. Ilana yang masih menangis pun turut bicara. "Ke mana, Mi?""Terserah! Yang jelas jangan ke luar negeri. Ke kebun binatang? Ke pantai? Ke villa? Pokoknya terserah Ila dan Kak Ana, deh!"Ilana mengusap air matanya seiring dengan ta
Lima hari sudah berlalu. Tepat pagi itu Kevin dan Melani tiba di rumah. Ya, semula yang hanya tiga hari ternyata bertambah dua hari karena Melani merengek ingin lebih lama di Bali.Lima hari tidak masuk kantor, tentu saja membuat pekerjaan menunggu Kevin di kantor. Setelah berganti pakaian, ia bergegas pergi. "Loh, Vin, baru saja nyampe, kok, pergi lagi?" protes Yuni. Kevin yang hendak masuk ke dalam mobil pun menoleh. "Banyak dokumen penting yang harus selesai hari ini, Bu.""Ah, baiklah! Hati-hati di jalan!"Kevin mengangguk, lalu segera pergi. ***Tiba di kantor, Kevin dihadang oleh seorang resepsionis sebelum ia memasuki ruangan. "Maaf, Pak. Ada surat untuk Anda."Sambil menerimanya, Kevin bertanya. "Dari siapa?""Maaf, saya tidak tahu, Pak. Kemarin orang pos yang mengantar.""Oke, terima kasih." Kevin bergegas masuk ke ruangannya. Kevin menyimpan amplop itu di dalam laci. Ia memilih untuk mengecek dokumen terlebih dahulu. Tak terasa jarum jam menunjuk pada angka dua belas
Alana sudah berada di rumah. Rasa lelah yang semula mendera, kini perlahan hilang tergantikan rasa kesal. Sejenak Alana terdiam. Ia harus mencari cara agar perceraian itu terjadi. "Ah, Ibu!" serunya, ketika menemukan sebuah ide. Ya, Alana yakin jika Yuni akan senang dan mendukungnya. Dengan demikian mertuanya itu akan mendesak Kevin untuk berpisah dengannya. Alana memastikan jika ketiga putrinya tertidur lelap, lalu ke luar kamar untuk menemui Yuni. "Bi, liat Ibu, gak?" tanya Alana yang berpapasan dengan Sumi. "Ada di kamar atas, Bu. Bantu Bu Melani pindahan kamar."Alana mengangguk. "Makasih, ya, Bi." Alana bergegas menaiki anak tangga. Tiba di sana, rupanya ada beberapa tukang yang sedang merombak kamar tersebut. Alana memastikan tidak ada Kevin di sana. "Bu? Boleh bicara sebentar?" tanya Alana saat melihat Yuni di dekat pintu. Yuni menoleh. Keningnya mengerut lalu balik bertanya, "Apa penting?""Sangat, Bu!"Alana mengajak Yuni sedikit menjauh dari kamar."Bu, tolong bujuk
Alana mendorong tubuh Kevin sekuat tenaga. Berhasil, pria itu terdorong dari tubuhnya. Alana segera bangkit sambil mengusap bibirnya. Ia merasa jijik karena bibir Kevin meluncur bebas di sana. Namun, alih-alih segera pergi dari sana, Alana dikejutkan dengan Kevin yang tertelungkup di lantai. "Mas Kevin?" sapa Alana, "Mas?"Alana membatin. "Apa dia pingsan?" Alana berjongkok untuk memastikan. Sambil menepuk-nepuk pundak Kevin, Alana terus memanggil nama pria itu. Akan tetapi, nihil. Kevin tak kunjung bangun. "Bi? Bi Sumi!" teriak Alana panik. Tidak berselang lama Sumi datang. "Iya, Bu, ada ap --ya Tuhan, Bapak kenapa?" Sumi tak kalah panik. "Gak tau, Bi. Tolong bantu angkat, Bi!"Kini, Kevin sudah terbaring di kasur. Rupanya ia pingsan. Setelah tadi Alana menciumkan wewangian, Kevin sadarkan diri. Alana menghela napas lega. Pantas saja ketika Kevin menindih tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Kevin pingsan. Menurutnya pingsan Kevin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa bibir Ke
Dua hari setelah Alana tahu sebuah kebenaran tentang Melani, akhirnya pagi ini ia akan mengambil keputusan. Alana meminta Fadli untuk datang. Apalagi kalau bukan untuk merepotkan dokter itu lagi. "Ada apa?" tanya Fadli saat duduk di teras. "Kapan ada waktu senggang?""Kebetulan hari ini. Ada apa?""Tolong antar Mas Kevin ke Jakarta.""Jadi, sudah mengambil keputusan?"Alana mengangguk. Hatinya sudah yakin jika berpisah dengan Kevin adalah jalan terbaik. Ia tidak mau Liana terus-menerus bersikap dingin terhadapnya. Niat hati datang ke desa untuk memperbaiki mental putrinya. Akan tetapi, karena ulah Alana sendiri yang merawat Kevin justru memperburuk keadaan. "Apa kamu bersedia aku bikin repot lagi?""Tentu saja. Selama aku mampu, aku akan membantumu. Apa pun itu!"Alana tersenyum, lalu memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Kevin yang sudah ia siapkan sedari malam. "Tapi, tolong ... jangan katakan kepada siapapun, baik itu mertuaku atau Melani kalau aku yang menolong M
Alana pun bercerita kepada Fadli jika dokter kandungannya menceritakan hal yang sama. Bahkan Melani berkonsultasi kepada hampir semua dokter kandungan yang ada di Jakarta dan hasilnya sama. Ia mandul. Alana berdecak lidah. "Ya, aku baru ingat! Bahkan ruangan dokterku waktu itu sangat berantakan dan dokumen atas nama Melani berceceran di lantai.""Dan kita semua mendapat perlakuan sama dari si Melani itu," tutur Fadli. "Tapi, sepertinya aku yang lebih apes. Kena lemparan vas bunga. Untung hanya lebam saja. Kalau sampai keningku robek, aku seret dia ke kantor polisi," lanjutnya dengan kesal mengingat itu. Alana terkekeh-kekeh. "Kenapa Melani yang kita temui menyebalkan, ya?"Fadli terkekeh-kekeh. "He'em. Wanita itu sangat frustasi.""Kabarnya, dia mau hamil biar bisa menikah sama mantannya. Mau nebus kesalahannya di masa lalu gitu, deh, pokoknya," lanjut Fadli. Deg! Alana terdiam, membatin. Ceritanya sama persis dengan Melani, si mantan pacar Kevin. Ah, ataubhanya kebetulan saja?L
Sudah hampir satu bulan Kevin berada di desa. Secara fisik sudah terlihat bugar. Hanya saja, ingatannya belumlah pulih. Kini, pria itu tinggal serumah bersama Alana dengan kamar yang berbeda. Hampir setiap hari pula Fadli datang melihat kondisi pria itu. Seperti pagi ini, Fadli sudah siap mengantar Kevin untuk melakukan chek-up ke rumah sakit. "Sudah siap?" tanya Fadli. "Siap, Om Dokter!" jawab Liana dan Ilana kompak. Dua gadis kecil itu ikut bersama sekalian berangkat sekolah. Mobil pun melaju meninggalkan kediaman Alana. Tiba di sekolah, Liana dan Ilana segera turun setelah berpamitan kepada ibu dan sang pemilik mobil. Tak lupa, kecupan hangat dari Ilana untuk Kevin. Hanya Ilana saja, sedangkan Liana langsung bergegas turun. Ya, gadis itu tak hanya bersikap dingin kepada Kevin saja, tetapi kepada Alana karena sudah membawa Kevin tinggal bersama. Ia merasa keberatan. Perjalanan dilanjutkan, sampai akhirnya tiba di rumah sakit. Tak perlu menunggu lama, karena Fadli sudah membua
Malam itu Kevin sudah dipindahkan ke Puskesmas. Untungnya ada satu ruangan kosong sehingga tidak mengganggu aktivitas Puskesmas setiap harinya. "Sudah malam. Kalian pulanglah!" titah Fadli kepada Alana. "Kasian anak-anak.""Baiklah. Kami pulang dulu."Fadli mengangguk, lalu mengantar mereka sampai teras. "Dadah, Om!" Liana melambaikan tangan. Fadli membalas lambaian tangan Liana. "Dadah, Kakak!""Besok ketemu lagi, ya, Om?" timpal Ilana. "Iya, Ila cantik!"Fadli menutup pintu belakang setelah ia memasangkan sabuk pengaman pada kursi bayi Alina dan mobil pun melaju meninggalkan Puskesmas. Fadli bergegas ke dalam, menemui Kevin. "Anda mengenal istri saya, Pak Dokter?" tanya Kevin. Sambil memasang cairan infus baru Fadli menjawab, "Kami teman semasa SMA.""Apa Anda tau tentang kehidupan rumah tangga kami?"Fadli yang sedang mengatur aliran cairan infus seketika menoleh, lalu melanjutkan kembali aktivitasnya. "Kenapa Anda diam, Dokter? Istriku tadi mengatakan kami sedang proses ce
Alana sedikit membentak Liana yang membuat gadis itu marah dan meninggalkan kamar begitu saja. Fadli. Dokter tampan itu langsung mengikuti Liana yang ternyata sedang duduk di teras. "Anak cantik gak boleh marah. Nanti cantiknya ilang, loh!" goda Fadli. Liana yang cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada seketika menoleh. "Bukan urusan Om!"Fadli tersenyum. Ya, memang bukan urusannya. Ia memang terlalu kepo urusan orang. Ah, bukan ... Fadli tidak menganggap Alana orang lain sehingga apa pun yang terjadi dengannya ia selalu ingin tahu. Fadli ingin membalas kebaikan Alana tempo dulu. Kali ini saatnya, pikirnya. "Jadi, gak mau cerita sama Om, nih?" Fadli mencolek dagu Liana. "Jangan colek-colek aku, ya, Om?! Emangnya aku gadis apaan?"Fadli melongo, lalu tertawa terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal. "Hahahahah ... ya ampun ... ya ampun ...." Tawa Fadli mulai berhenti. "Kamu itu persis Mami kamu ternyata, ya?"Fadli mengembuskan napas kasar, lalu berdiri. "Ya udah kalo gak
Sore harinya, setelah Alana meminta paksa pulang Kevin, ia menemui rukun tetangga setempat yang tak jauh dari rumah. Ia menanyakan tentang keberadaan pelayanan kesehatan di desa tempatnya tinggal. Pasalnya, Alana akan menggunakan jasanya untuk merawat Kevin. "Ada dokter, Bu. Tapi hanya dokter kandungan. Itu pun baru praktek di sini beberapa bulan yang lalu.""Oh, begitu ya, Pak. Sebetulnya tidak masalah. Saya hanya perlu bantuan beliau untuk memasang dan lepas infus saja.""Loh, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?"Alana tersenyum canggung. "Sempat dirawat, Pak. Tapi, selain rumah sakit yang cukup jauh, saya juga punya tiga putri. Jadi, tidak mungkin untuk bulak-balik rumah sakit," dalih Alana. "Kalau boleh tau puskesmasnya di mana, ya, Pak?" lanjut Alana. Pria itu menjawab jika Puskesmas berada di ujung jalan pesawahan. Alana pun bergegas pulang dan akan ke sana menggunakan mobil agar menghemat waktu. "Mami mau ke mana lagi?" tanya Ilana saat melihat Alana menyambar kunc
Dua minggu sudah berlalu. Kemarin, dokter mengabarkan bahwa Kevin sudah sadarkan diri. Pagi ini, Alana tengah bersiap menjenguknya. Tak hanya bersiap dengan penampilannya saja, tetapi ia menyiapkan hatinya. Ya, setelah mendengar pengakuan dari Toni, ketulusan hati Alana untuk merawat Kevin seketika runtuh. "Bi, titip anak-anak, ya?" kata Alana. "Iya, Bu. Titip salam untuk Bapak."Alana tersenyum. "Iya, Bi."Alana sengaja tidak berpamitan kepada anak-anaknya, karena sudah pasti mereka merajuk ingin ikut. Tidak mungkin juga jika dirinya mengatakan akan pergi ke rumah sakit, karena ujungnya mereka akan bertanya siapa yang sakit. Alana tidak ingin membohongi putirnya. Daripada berbohong, lebih baik tidak diberitahu sekalian.Dengan memakai T-shirt berwarna merah yang dipadankan celana jeans berwarna hitam, serta rambut yang diikat bak ekor kuda, Alana bergegas meninggalkan kediamannya menggunakan mobil sedan kesayangannya.*Minggu siang ini jalanan di kota padat merayap membuat Alana
Alana segera turun. Pikiran yang tidak fokus membuatnya tak menyadari jika ada anak kecil yang tiba-tiba saja menyebrang. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Alana panik sambil berjongkok. "Tidak, Tante. Maaf, ya, aku nyebrang gak liat-liat dulu.""Untung saja Anda rem tepat pada waktunya!" ucap seorang warga berjenis kelamin laki-laki. "Anak ini memang sering begini. Mencari perhatian dari siapa saja!"Alana mengusap pipi anak itu. Usianya mungkin tak jauh dengan Liana. Akhirnya, Alana menuntun anak itu ke tepian, sementara dirinya memindahkan mobil ke sisi kiri agar tidak terjadi kemacetan. "Namamu siapa?""Aura.""Apa benar apa yang dikatakan Bapak tadi?"Anak itu terdiam dengan kepala menunduk. "Habisnya Ibu sama Ayah gak pernah perhatiin aku, Tante.""Orang tuamu kerja?"Aura menggeleng. "Lalu?""Ayah sibuk sama ponselnya dan Ibu sibuk sama pacarnya."Alana terbelalak saking kagetnya. "Apa?!" Alana mengesah panjang. Anak sekecil ini harus menanggung derita akibat ulah orang tu