Hari ini Munah libur untuk pertama kalinya sejak Resto tempatnya bekerja buka, dan perempuan itu berencana untuk bertemu seorang Ibu yang bernama Ela, dia adalah perempuan paruh baya yang dijumpainya di sebuah Mall. Ada benda milik perempuan itu yang tertinggal saat ia menabraknya dulu. Dan meski Munah telah menghubunginya, namun baru hari ini Munah akan memberikannya karna baru bisa meluangkan waktu untuk bertemu.
Bersiap-siap untuk pergi, Munah baru menyadari kamar kost nya terasa sangat sepi. Fira tidak pulang entah sudah berapa hari, dan perempuan itu tak memberinya kabar. Mungkinkah dia bersama dengan 'Dady' nya? tapi hal itu sangat diluar kebiasaan karena temannya itu punya prinsip-prinsip yang selalu dijaganya, dan dia tak pernah sekalipun bermalam hanya berduaan dengan lelaki yang menjadi sugar dady nya itu.
Mengabaikan keadaan Fira yang masih belum jelas, Munah akhirnya pergi. Ela memintanya bertemu di food court Mall saat kemarin mereka berkenalan sehingga ia akan menuju kesana.
Hari ini Munah memakai setelan rok sederhana berwarna abu-abu dengan rambut yang ia cepol asal namun cukup rapi, dan ia tak memakai riasan apapun karena ia memang tak suka berdandan dan lebih suka tampik apa adanya. Setelah menghabiskan waktu cukup lama berjibaku dengan kemacetan jalanan ibukota, perempuan itu akhirnya tiba di tempat yang telah disepakati bersama Ela.
Seorang perempuan paruh baya cantik melambai ke arah Munah saat ia tengah bingung mengedarkan pandangan ke seluruh tempat foodcourt. Tersenyum manis, Munah mendatangi perempuan itu dan buru-buru mengecup punggung tangannya. Ela nampak terkejut dengan sikap Munah tapi perempuan itu segera menyembunyikannya dengan raut biasa saja.
"Pa kabar, bu?" tanya Munah dengan ramah. Ela memandangnya dengan tatapan menilai, menantunya itu sangat cantik walaupun tidak memakai riasan apapun. Wajahnya putih, hidungnya mancung, dan matanya yang berwarna hijau berbinar ceria. Ela menyambut kehadiran Munah dengan senyum manis.
"Alhamdulillah, nak. Ibu baik-baik saja. Duduklah, maaf, ibu sudah memesan makanan terlebih dulu tanpa nungguin kamu, semoga kamu suka dengan menu pilihan Ibu, dan ibu yang traktir ya, jangan merasa sungkan, oke?" Munah mengangguk dan menarik kursi untuk duduk di depan Ela.
"Sudah, jangan bengong. Kita makan dulu ya ...," ucap Ella, dan lagi-lagi Munah hanya mengangguk. Ela makan dengan anggun, sangat khas dengan style orang kaya, saat makan. Munah hanya bisa membatin dalam diam dan sesekali memandang sosok di depannya dengan sungkan. Selain anggun, Ela juga terlihat seperti orang yang baik, ramah, sama sekali tak ada kesan sombong yang melekat di dirinya.
"Kamu kerja di mana?" tanya Ela, membuat Munah terkesiap.
"Di Resto, Bu. Aku bagian di dapur jadi Koki, tapi kadang juga bisa jadi pramusaji melayani pengunjung kalau pas rame."
"Wah, benarkah? berarti kamu pinter masak ya? jarang sekali perempuan sekarang yang bisa memasak, tapi kamu lain, sudah cantik, pinter masak juga," puji Ela. "Berarti sekarang libur? ga berangkat?" ucap perempuan itu lagi.
Munah mengangguk, wajahnya merona mendengar pujian dari perempuan di depannya. "Aku masih belajar dan terus belajar masak kok, Bu. Aku belum seperti koki terkenal yang sudah mahir, Bu. Dan ya, hari ini aku libur. Makanya baru bisa ketemu Ibu sekarang untuk mengwmbalikan barang Ibu yang tertinggal, kemarin-kemarin belum sempat," jawab Munah sambil tersenyum.
"Ya, ga pa-pa. Santai saja, Ibu malah ga sadar telah kehilangan gelang seperti yang kamu sebutkan, taunya setelah kamu telepon, baru sadar, gelang Ibu sudah ga ada."
"Ya, Bu, bentar tak ambil dulu barangnya." Munah meletakkan sendoknya dan membuka tasnya, lalu mengambil gelang berkilau dari dalam tasnya, ia pun menyodorkan benda itu pada Ela.
"Sebenarnya, benda ini tak terlalu berharga." Ela menimang-nimang gelang di tangannya, ia memandang Munah cukup lama sebelum akhirnya menyerahkan gelang itu kembali pada Munah.
"Ini buat kamu saja." Munah melongo. Tapi Ela memakaikan gelang itu di tangan kirinya. "Tapi Bu.. ini- ini
"Waktu di telpon sebenarnya Ibu mau bilang gelang itu buat kamu saja, tapi karna kesepian di tempat anak Ibu yang sibuk bekerja, jadi Ibu minta ketemu sama kamu biar bisa ngobrol menghabiskan waktu."
"Tapi .... Tapi ini pasti sangat mahal ... aku gak bisa menerimanya." Ela menggeleng.
"Ibu senang ketemu sama kamu. Ibu kira saat datang ke Jakarta, Ibu akan bosan dan sendirian tanpa teman, tapi begitu ketemu kamu, Ibu sangat senang. Terima saja ...."
Munah memandangi gelang yang sudah melingkari tangannya, bentuknya cantik sekali.
"Terima kasih," ucapnya tulus. Ela mengangguk seraya tersenyum manis.
"Berarti ibu bukan dari Jakarta? tapi di kartu nama yang kemarin, tertera alamat Ibu di pondok indah."
"Sebenarnya Ibu tinggal di Semarang, di Pondok Indah, rumah lama, sekarang sedang ditempati saudara. Ibu kesini jenguk anak sulung ibu yang terlalu sibuk tak pernah berkunjung ke Semarang. Ibu benar-benar kesepian."
"Ibu gak punya menantu?" tanya Munah tiba-tiba. Ela hampir tersedak makanannya, dan perempuan itu buru-buru mengambil air minum.
"Ibu ga papa?" Munah bangkit dari duduknya dan beralih ke kursi di samping Ela, lalu ia mengelus bagian punggung perempuan di sampingnya dengan pelan. Ela terpana dengan perlakuan Munah.
"Ibu ga papa," ucapnya menghentikan gerakan tangan Munah dan perempuan itu beralih menggenggamnya lembut.
"Kamu mau jadi menantu Ibu?" tanya Ela toba-tiba. Munah tergagap, ia kaget di todong pertanyaan seperti itu.
"Maaf, Ibu bercanda kan?" Ela menggeleng. Ia menatap Munah lembut."Ibu ga bercanda, Ibu serius. Ibu sedang mencari menantu. Dan kamu sepertinya perempuan yang baik, pinter memasak juga penyayang. Ibu serius."
"Maaf, Bu ... aku sebenarnya sudah menikah, memang sedang ada sedikit masalah sehingga kami tak tinggal bersama. Tapi, aku belum menyelesaikan masalahku dan suami. Maafkan aku ... lagi pula, kita baru saling kenal ... aku tak sebaik yang Ibu pikir."
"Kamu perempuan baik, nak. Aku yakin akan hal itu. Ya sudah ga papa, habis ini temani ibu belanja ya ..." Munah mengangguk dan mereka melanjutkan makan dalam diam. Setelah selesai, merekapun jalan-jalan berdua untuk berbelanja, Munah hanya menemani Ela saja karna ia sama sekali tak berniat membeli apapun karena kondisi keuangannya yang pas-pasan.
Dalam sekejap Munah dan Ela menjadi sangat akrab. Mereka bahkan begitu nyaman mengobrol hal-hal yang ringan bersama, hingga Ela merasa tak akan melepaskan Munah untuk berpisah dari Alga jika suatu saat mereka bertemu dan menyelesaikan urusan pernikahan mereka.
"Ini buat kamu." Ela menyodorkan dua bungkusan baju yang tadi dibelinya pada Munah. Munah kaget, tadi saat di counter pakaian, Munah memang disuruh untuk mencoba dua baju yang sangat bagus. Munah pikir Ela akan membelikan baju itu untuk anaknya dan Munah hanya sebagai contoh karena ia pikir postur tubuh ansk Ela sama dengannya. Rupanya Munah salah sangka. Baju itu benar-benar untuknya.
"Ga ada penolakan. Kamu harus menerimanya," tegas Ela. Akhirnya Munah pun menerimanya dengan sungkan.
"Terimakasih, Bu," ucap Munah tulus. Ela tersenyum dan mengangguk.
"Ibu pulang dulu ya ...." pamit Ela kemudian saat mereka sudah sampai di luar Mall.
Ibu dari mana?" Alga menatap kedatangan Ela yang nampak tersenyum bahagia, raut Ibunya itu berseri-seri dan sejak ia membuka pintu apartemen, Ibunya terdengar bersenandung lirih. Kening Alga berkerut. Tetapi Ibunya hanya melewatinya begitu saja dan langsung menghilang ke dalam kamar."Ibu ...," teriak Alga."Bu ...." Kali ini Alga memelankan suaranya. Lelaki itu berulang kali mengetuk kamar pelan. Setelah tiga kali ketukan, pintu akhirnya terbuka, dan Ibunya tampak sudah berganti baju santai."Ibu habis jalan-jalan. Di sini sendirian tuh sepi, makanya tadi keluar ketemuan sama kenalan Ibu." Ela keluar dari kamar dibawah tatapan heran puteranya."Siapa? memang Ibu punya kenalan?" Tanya Alga heran. Ela hanya mengangkat bahu."Kenalan ibu itu perempuan cantik, masih muda, pinter masak lagi, dia juga orang baik." Alga memutar bola mata malas, meyakini Ibu nya hanya berbohong untuk memprovokasinya. Sejak kapan Ibunya berteman dengan perempuan mud
Munah mengedarkan pandangan. Ia berada di tempat yang tak ia ketahui. Bangunan kuno dengan cat putih yang kusam menjadi pemandangan di sekelilingnya saat matanya yang tertutup kain hitam di lepaskan oleh orang-orang yang membawanya."Ini di mana? kenapa aku di bawa kesini?!" tanya Munah cemas. Dan seringaian dari dua lelaki besar yang membawanya yang menjadi jawaban atas pertanyaannya. Munah diam. Ia tak lagi ingin mengatakan apapun karena yakin takan mendapatkan jawaban yang memuaskan.Dua lelaki yang membawa Munah, menyeret tubuh perempuan itu dan mendorongnya agar duduk di sebuah sofa lusuh berwarna toska pudar. Dengan tangan yang masih terikat, perempuan itu terus berdoa agar tak terjadi hal-hal buruk yang menimpanya. Kemudian seorang lelaki gendut dengan kepala hampir tanpa rambut yang Munah kenali sebagai 'Dady' nya Fira muncul dari balik pintu tengah. Matanya menyorot tajam, seakan menelanjangi dan menebarkan aroma ketakutan pada dirinya."Di mana Fira
Munah berada di ruangan Leo, Bos nya di Resto. Hari ini ia berangkat pagi-pagi sekali karena ingin bicara hal yang penting dengan lelaki muda itu. Dia berniat meminjam uang, ya ... setelah semalaman memikirkan masalah yang ditimbulkan Fira, Munah tak memiliki cara lain untuk bisa mendapatkan uang, ia akhirnya akan meminjam uang pada Bos nya itu, berapapun nantinya yang bisa ia dapatkan, ia akan kumpulkan sambil mencari uang di tempat lain.Leo masuk ke kantornya setelah tadi keluar untuk menerima telepon. Lelaki itu duduk di kursinya dan memandang Munah lekat."Ada apa?" tanya lelaki itu dengan kening berkerut. Dipandangi seperti itu, Munah menjadi gugup. Ia garuk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal."Sebenarnya aku kemari untuk meminjam uang, Mas," ucap Munah lirih. Wajahnya tertunduk menahan malu."Berapa?" tanya Leo. Muna
Alga keluar dari Resto Leo setelah berkeliling mengamati keadaan Resto calon partnernya tersebut. Harapannya untuk menggali informasi tentang Maemunah sejak dari rumah, sirna berganti kekesalan yang memuncak saat Leo mengatakan Munah adalah milik lelaki itu. Terlebih saat ia melihat istrinya hanya berduaan dalam satu ruangan saat ia pertama kali masuk ke kantor Leo. Perasaannya gusar,Sebenarnya ada hubungan apa diantara mereka berdua? apakah mereka berpacaran? mungkinkah Munah meninggalkannya dulu karena ingin menjalin kasih dengan lelaki itu? tapi itu tak mungkin. Leo bilang menyukai Munah saat pertama kali melihatnya melamar kerja di tempatnya dan itu berarti belum lama mengingat Restonya adalah Resto baru.Alga menghela nafas kasar, pikirannya begitu kalut.Hingga sampai di kantornya lelaki itu memerintahkan sekretarisnya Lina melarang siapapun yang akan menemuinya. Ia ingin menyendiri.Alga membuka berkas-berkas di atas meja kerjanya. Ia mencoba
Munah baru pulang saat maghrib menjelang. Dia membuka pintu kamar kostnya dengan perasaan lelah yang luar biasa. Begitu masuk, dihempaskannya tubuhnya di atas kasur tipis yang setia menemani hari-harinya di kost ini selama beberapa bulan terakhir.Mata perempuan itu terpejam, hari ini dia pergi dengan lelaki bernama Heru setelah pulang dari Resto karena kebetulan jadwalnya shift pagi, Heru adalah sosok yang cukup tampan tetapi dungu. Yah, dia berhasil mengerjainya dengan membuatnya mabuk dan menghilang setelah mendapat uang hasil pembayaran karena menemani lelaki itu di tempat karoeke, sehingga ia tak perlu lagi melayani lelaki itu melebihi batas yang mati-matian dijaganya.Munah memang mulai mencari pekerjaan sampingan agar bisa mendapatkan banyak uang untuk mencicil pada Toni, dan membuka jasa kencan online adalah sesuatu yang muncul begitu saja di otaknya saat ia merasa buntu untuk berpikir, hanya sebatas kencan, tak lebih. Pekerjaan itu
Alga tengah melamun saat Hani bicara panjang lebar tentang banyak hal. Mereka sedang makan malam romantis berdua. Meskipun enggan, Hani berhasil memaksa Alga untuk menemaninya, dan sepanjang waktu yang dilakukan lelaki itu hanya melamun atau memainkan ponselnya. "Aku merasa sangat diabaikan," ucap Hani jujur melihat tingkah kekasihnya. Alga yang saat itu tengah bermain game terdongak reflek dan memperlihatkan wajah tak mengerti. "Aku memperpanjang waktu liburanku demi bisa selalu bersamamu, tapi apa yang kudapat, kamu sepertinya tak senang saat bersamaku." Mata Hani menatap tajam mencari kebenaran. Alga mengerutkan keningnya. Mau tak mau lelaki itu meletakkan ponselnya ke saku bajunya. "Ada apa?" Alga bertanya datar. "Aku yang harus bertanya ada apa? ada apa denganmu? ada apa dengan hubungan kita? aku merasa sepertinya aku yang selalu mengambil inisiatif di sini," gerutu Hani. "Sudah satu tahun seperti ini terus ...," ucap
Alga mempermainkan cincin yang ia kenakan di jari manisnya. Cincin sepasang dengan yang ia berikan pada Munah saat pernikahannya dulu, tak ada yang istimewa dengan bentuknya, saat itu ia hanya asal memesan dan pegawai galeri perhiasan yang memilihkannya dengan edisi yang terbatas, entah mengapa setelah sekian lama ia simpan, ia ingin memakainya hari ini, hari disaat Hani mengajaknya makan malam romantis, tapi ia yakin perempuan yang masih menjadi kekasihnya itu tak menyadarinya.Setelah ia pulang dari rumah Hani untuk berbicara panjang lebar dengan Gunawan-- Papa perempuan itu, ia benar-benar merasa begitu lega. Lelaki paruh baya itu merupakan sosok yang yang bijaksana, bukan tipe orang tua yang suka mendikte dan memaksakan kehendak, dan diam-diam Alga begitu bersyukur sehingga tak terbebani bila akan mengakhiri hubungannya dengan Hani suatu saat nanti.Kini ia harus berupaya bisa bertemu dengan Munah istrinya, bicara dengan perempuan itu untuk menyel
Munah pulang dari puskesmas ke tempat kosnya nenjelang sore setelah keadaannya cukup membaik. Ia tak menginap karena merasa sakitnya tak terlalu berat. Bidan mengatakan ia menderita gejala tipus, dan menyuruhnya untuk beristirahat dan jangan beraktifitas terlalu berat. Tetapi ia tak berencana mengikuti saran Bidan mengingat ia harus terus mencari uang karena anak buah Toni bisa sewaktu-waktu datang tak terduga. Perempuan itu baru berbaring di kasur ketika ponsel kentang yang ia beli khusus untuk pekerjaan sampingannya berbunyi. Sejak memutuskan untuk mencari sampingan membuka kencan online, ia memang membeli ponsel bekasan yang cukup murah dan memasang nomer baru untuk memperlancar usahanya. Perempuan itu langsung membuka chatnya. [Haii ... apa kabar? aku tahu nomermu dari seorang teman.] kening Munah berkerut membaca chat itu, tetapi tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung membalasnya. [Ya] tulisnya. [Bisakah aku m
Munah termangu di sebuah ruang perawatan. Di depannya terbaring lelaki yang masih tak sadarkan diri. Lelaki itu adalah Alga yang secara kebetulan mengalami kecelakaan. Tanpa saudara, tanpa kerabat, tanpa teman, tanpa istri, lelaki itu terbaring sendirian membuat Munah tak tahu apa yang harus ia lakukan terhadapnya.Haruskah ia menghubungi keluarga laki-laki itu? Tapi bagaimana ia bisa menghubunginya? Munah benar-benar merasa begitu bingung.Munah memandangi raut Alga yang terlihat lebam di beberapa bagian. Wajahnya terlihat menyedihkan dan tanpa sadar, perasaan bersalah mulai menjalari hati Munah. Kalau saja ia tak pergi dengan Leo ... teringat akan Bosnya itu Munah bermaksud untuk menghubunginya dan beralasan ia tak enak badan hingga memutuskan untuk pulang diam-diam ... tetapi baru mengambil ponselnya di dalam tas, benda pipih itu bergetar menandakan sebuah pesan masuk ke aplikasi mesenggernya.[Di mana?] Munah membaca kalimat singkat yang ternyata dari Leo tersebut. Mendesah untuk
Hari ini Munah pergi dengan Leo. Perempuan itu menemani Bosnya mengadakan pertemuan bisnis sekaligus makan malam. Ia sudah minta ijin Alga tak bisa memasak untuk lelaki itu, meski terkesan marah pada akhirnya Alga membolehkannya pergi. Sebenarnya Munah merasa tak enak pada lelaki itu, tetapi ia juga sudah terikat perjanjian dengan Leo untuk menjadi kekasih palsunya karena ia sudah menerima uang pemberian dari Bosnya itu.Munah sudah berdandan dengan ayu walaupun hanya memakai riasan yang natural dan memakai gaun yang sederhana, dan Leo sama sekali tak keberatan dengan penampilan Munah saat ini, sesuatu yang membuat perempuan itu bisa bernapas dengan lega.Mereka berdua telah duduk bersisian di sebuah meja yang telah direservasi sebelumnya, makanan yang mereka pesan pun sudah datang, tetapi rekan bisnis Leo belum juga muncul. Munah mendadak menjadi gelisah, seakan ia yang memiliki janji meeting hari ini, sedangkan Leo malah tak terlihat cemas, lelaki itu malah terkesan santai dan cuek
Langkah Munah terhenti membuat Alga heran. Lelaki itu menatap Munah bingung. "Kamu kenapa?" katanya. Munah reflek mencengkeram lengan Alga."Ada apa?" tanya lelaki itu kembali."Kita pergi dari sini saja!" Langkah Munah perlahan mulai mundur. Matanya menatap teras kostnya dengan waspada. Dua orang anak buah Toni yang sembari tadi duduk santai mulai berdiri melihat aksi perempuan yang berjarak hanya beberapa meter di depan mereka. Alga yang mulai memahami situasi karena curiga dengan keberadaan dua lelaki besar di depan teras kostan Munah bergerak cepat menarik lengan istrinya tersebut dan lari menuju mobilnya. Anak buah Toni langsung mengejarnya. Terseok-seok Munah mengimbangi langkah-langkah lebar kaki panjang Alga, dan pada akhirnya mereka bisa mencapai mobil lalu dengan gerak cepat Alga dapat menghidupkannya untuk segera melajukannya agar terhindar dari kejaran anak buah Toni. Terdengar teriakan dan makian dua orang bertubuh besar itu ketika incarannya berhaasil kab
Jam kerja hampir berakhir. Munah terus memikirkan berbagai macam cara untuk menolak secara halus ajakan Leo. Ia tak bisa membayangkan akan bertemu dengan keluarga lelaki itu meski hanya untuk membantunya bersandiwara. Lagi pula ia sudah punya rencana pergi ke tempat kos nya untuk mengambil barang-barangnya. Arrgh ... kepala perempuan itu mendadak begitu pening, ia pun memijit mijitnya berharap semua yang berjejal di otaknya menghilang, tetapi hal itu tak jua berhasil hingga akhirnya ia segera melanjutkan pekerjaannya agar segera selesai meski dengan otak yang begitu penuh.Munah sedang membereskan dapur, mencoba fokus dengan yang ia kerjakan ketika terdengar suara langkah kaki mendekatinya. Kegiatan perempuan itu menjadi terhenti. Ia bisa menduga siapa yang mendatanginya."Ehemm ... pekerjaannya sudah selesai?" Suara yang Munah kenali sebagai milik Leo terdengar begitu lembut. Dugaannya tak meleset, tetapi Munah tak segera berbalik, ia masih membelakangi Bosnya itu. Ma
"Munah ... berhenti ... jangan lari ....!" Teriakan itu menggema menebarkan ketakutan di dada Munah. Perempuan itu terus berlari meski keringat bercucuran membasahi tubuhnya."Munah berhenti!" Suara itu terdengar semakin dekat. Diantara deru napasnya yang memburu, Munah berulangkali menoleh ke belakang tuk memastikan sosok yang mengejarnya sudah jauh. Tetapi sosok tinggi itu semakin dekat, meski tenaganya sudah ia kerahkan sekuat mungkin, nyatanya bukan senakin jauh tetapi sosok itu semakin dekat hingga hanya beberapa langkah saja bisa menyamainya."Jangan dekat-dekat!" seru Munah putus asa."Aku takan menyakitimu.""Orang lain yang akan melakukannya kalau aku tidak pergi.""Berhenti!""Tidak!"Munah terus mempercepat larinya saat sosok itu kian dekat mengejarnya. Wajahnya pucat pasi hingga ia tak lagi memperdulikan keadaan dan ia terjebak di tepi sebuah jurang. Wajahnya menatap batu terjal di bawah ujung jalannya. Otaknya menjadi bun
Alga sedang menyantap masakan yang sudah Munah selesaikan ketika perempuan itu terus menatapnya dalam diam. Mereka duduk berhadapan di meja makan kecil di dekat dapur."Enak ...," komentar Alga. Munah menatap tak percaya karena makanan yang ia sajikan kini adalah sesuatu yang tak selesai ia masak tadi siang. Munah hanya mengolahnya lagi agar tidak menjadi sia-sia."Aku gak bohong. Coba kamu juga mencicipi hasil masakanmu alih-alih hanya terus memperhatikanku seperti itu," ucap Alga lagi dengan tersenyum.Munah masih memicingkan matanya seakan curiga Alga hanya berbohong. Tetapi akhirnya perempuan itu mulai menuruti Alga dengan mengambil sendok dan mulai memasukkan sedikit sup ke dalam mulutnya."Bagaimana? enak kan?"Munah menelan supnya hati-hati dan lelaki di depannya memang tidak berbohong. Supnya enak. Untuk lebih memastikan dirinya sendiri, perempuan itu mengambil jenis makanan lain dan ternyata rasanya sama, teta
Munah tak memberikan jawaban apapun atas penawaran Alga untuk tinggal di apartemennya. Perempuan itu hanya diam sehingga Alga membawa mobilnya menuju tempat saat ia mengantar Munah pulang setelah berkencan dengannya kemarin.Sesungguhnya Alga tak percaya Munah bisa tinggal di lingkungan yang kurang nyaman hingga ia mengira perempuan itu hanya menutupi tempat tinggal yang sebenarnya, agar tak diketahui oleh orang lain juga agar tak diketahui olehnya. Alga berharap menemukan jawaban itu hingga bertanya pada Leo tadi. Tapi rasa keingintahuannya tak menemukan jawaban hingga lelaki itu kemudian terhenyak dari lamunannya saat Munah memintanya berhenti.Alga memelankan laju kendaraannya, dan Munah memintanya berhenti di tempat yang sama seperti pagi tadi."Kamu benar-benar tinggal di sini?" tanya Alga ragu. Munah mengangguk. Perempuan itupun bergegas membuka pintu mobil dan hendak turun saat netranya melihat sekilas dua sosok lelaki kekar yang barusan
Munah sudah berada di Resto Leo. Perempuan itu memutuskan berangkat bekerja meski ia masih merasa lelah setelah pulang dari apartemen Alga. Lelaki itu mengantarnya hanya sampai di ujung gang tempat tinggalnya atas permintaan Munah.Munah harus mengkonfirmasi uang yang Leo transfer untuknya sehingga begitu sampai di Resto dia langsung menuju kantor Leo. Lelaki itu terlihat sedang sibuk membuka banyak berkas di depannya sebelum kemudian senyumnya merekah melihat kedatangan Munah."Sudah sehat?" tanya lelaki itu padanya. Munah mengangguk kendati ia merasa keadaannya semakin memburuk dibanding hari kemarin."Masuklah ...," perintah lelaki itu. Dengan pelan dan menahan perih Munah mendekati Leo dan duduk di depan lelaki itu. Rasa perih pada area sensintifnya masih terasa kendati ia sudah berendam dengan air hangat sebelum berangkat kerja."Aku yakin kamu kesini mau mengatakan menerima untuk menjadi kekasihku kan?" ucap Leo seraya tersen
Airmata Munah bercucuran, tetapi Alga menganggap hal itu hanya sebuah kamuflase yang coba istrinya tunjukkan agar ia bersimpati padanya, dan menghentikan apa yang tengah dilakukannya. Alga membentengi dirinya dengan membuang jauh rasa empatinya, hanya amarah memuncak yang ia biarkan menguasai dirinya saat ini, amarah karena Munah menolaknya padahal ia berhak atas perempuan itu, tetapi Alga sangka Munah tidak menolak banyak lelaki yang telah menidurinya.Alga terus mencium Munah, bukan hanya di bibirnya, tetapi di semua tempat, telinganya, lehernya, selangkanya, lalu menyesap di beberapa titik, meninggalkan bekas kissmark yang begitu jelas, kemudian satu tangannya bergerak cepat menyingkirkan baju yang melekat di tubuh Munah dan begitu semua terlepas, lelaki itu menjamah tubuh istrinya kemudian begitu puas, ia mulai bergerak memasukinya, Munah terpejam dengan airmata masih berlinang dan meringis merasakan perih dan kesakitan saat sesuatu yang keras berusaha memasukinya.