Malam yang menyebalkan telah berlalu tanpa terasa. Laila yang seharusnya melanjutkan tidur, tak dapat memejamkan mata barang sedetik pun. Terlebih, karena dia tak tahu Pramoedya berada di mana tadi malam.
Alarm berbunyi nyaring. Namun, hari ini Laila tak merasa terbantu oleh suara yang selalu membangunkannya setiap pagi itu. Kali ini, alarm tersebut ‘bangun’ lebih terlambat dari dirinya. Laila juga tak memedulikan bunyi yang cukup memusingkan tadi. Dia hanya duduk termenung, sambil bersandar pada kepala tempat tidur.
Akan tetapi, lama-kelamaan Laila merasa terganggu. Kesal, wanita itu meraih jam digital dari meja tempat lampu duduk berada. Dilemparkannya benda berisik tersebut ke dekat pintu kamar.
Bersamaan dengan itu, Dara masuk. Jam digital tadi jatuh tepat di dekat kaki gadis manis
Pramoedya dan Widura sama-sama tercengang, atas ucapan Laila yang seakan tanpa dipikir terlebih dulu. Kedua pria itu saling pandang hingga beberapa saat, sebelum kembali mengarahkan perhatian kepada wanita yang tengah diliputi amarah. “Jangan bicara sembarangan, Sayang,” tegur Pramoedya pelan, tapi penuh penekanan. “Maaf bila dianggap ikut campur. Saya tidak tahu ada masalah apa antara Anda dengan Pak Pram. Akan tetapi, sebaiknya jangan mengambil keputusan dalam keadaan marah. Bukan tidak mungkin, itu akan menjadi hal yang paling Anda sesali di kemudian hari.” Widura mencoba mengingatkan Laila, agar tidak gegabah. “Saya sudah memikirkannya semalaman. Menurut saya, ini adalah keputusan yang paling tepat,” ujar Laila tetap pada pendiriannya. “Tepat menurutmu, belum tentu tepat bagi pasanganmu!” sergah Pramoedya. Dalam hati, dia sudah tak tahan ingin bertindak lebih tegas kepada Laila. Akan tetapi, Pramoedya berusaha tetap menahan diri.
“Kenapa kamu sangat berlebihan seperti ini?” Pramoedya mulai hilang kesabaran, dalam menghadapi sikap keras Laila.“Tidak ada yang berlebihan, Mas,” sanggah Laila. “Aku berhak mempertahankan keputusanku, karena kamu sendiri memilih untuk bersikap seperti itu. Mas lebih suka melindungi wanita itu, dibanding bersikap jujur padaku.” Laila menatap tajam pria tampan di hadapannya. “Apakah wanita yang bersamamu semalam adalah Rastanty?”Pramoedya tidak menjawab. Situasi seperti ini, membuat pria tiga puluh empat tahun tersebut menjadi benar-benar tak nyaman. Namun, entah mengapa Pramoedya merasa begitu berat untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Haruskah dia mengorbankan ikatan dengan Laila, demi tujuan yang sejak awal sudah direncanakan secara matang?“Ya, sudah. Semua sangat jelas untukku, Mas.” Laila menatap kecewa, sebelum akhirnya memalingkan muka. Dia berlalu dari hadapan Pramoedya, yang berdiri te
Setelah berbicara dengan Rastanty, Pramoedya kembali mengarahkan perhatian ke luar jendela. Pikiran pria tiga puluh empat tahun tersebut melayang jauh, pada sepenggal kenangannya bersama Laila. Kebersamaan mereka memang baru seumur jagung. Pantaslah jika belum adanya kepercayaan serta pondasi kuat, yang bisa menjadi alasan untuk mempertahankan ikatan.Pramoedya tak menyalahkan Laila yang terlalu cemburu padanya. Pria itu menyadari seperti apa kehidupan dia di masa lalu. Pertemuannya dengan Laila, bahkan bermula dari suatu kebiasan nakal yang tidak terpuji.Namun, Pramoedya belum bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya untuk saat ini. Awalnya, dia menutupi segala rencana yang telah disusun, demi menjaga kelangsungan hubungan dengan Laila. Namun, siapa sangka bahwa sang istri justru memergokinya bersama Rastanty.
“Mama.” Laila mendekat kepada Naheswari, lalu memeluk wanita itu beberapa saat. Setelah itu, dia beralih kepada Wilhelm. “Kapan datang?” tanya istri Pramoedya tersebut.“Kami baru tiba kemarin,” jawab Naheswari seraya duduk kembali. “Maaf, karena Mama dan papa baru bisa menjengukmu sekarang.”Laila tersenyum lembut. “Terima kasih. Aku sangat terkesan, karena Mama dan papa mau datang jauh-jauh kemari.” Laila menggenggam erat tangan ibu mertuanya. Dia tak merasa canggung lagi. Bagi Laila, Naheswari sudah seperti ibu kandung yang tak dia rasakan kasih sayangnya, akibat perpisahan bertahun-tahun.“Mana mungkin kami tak bisa meluangkan waktu untukmu, Laila,” ucap Wilhelm penuh wibawa. “Bagaimana keadaanmu sekarang?” tany
Laila terus berbincang dengan Naheswari. Mereka membicarakan banyak hal. Tak hanya tentang Pramoedya, tapi juga mengenai sesuatu yang dirasa menarik untuk dibahas antar sesama wanita.Tanpa terasa, senja menjelang. Naheswari dan Wilhelm berpamitan dari sana, dengan diantar oleh Laila dan Widura.Sepeninggal ayah dan ibu mertuanya, Laila langsung masuk kamar. Dia begitu lelah dan ingin segera beristirahat. Namun, kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Laila justru termenung, sambil menatap langit-langit kamar.Sunyi. Laila merasakan kesendirian yang memuakan. Sebenarnya, dia tidak menyukai situasi seperti saat ini. Entah mengapa, kisah hidup justru kembali membawa cerita tak menyenangkan untuknya.Tanpa terasa, kantuk datang menyergap. Laila mulai mem
Pramoedya membalikkan badan. Dia bermaksud menuju mobilnya. Namun, baru dua langkah, pria tampan itu langsung tertegun. Pramoedya segera menoleh, saat mendengar seseorang memanggilnya. Antara bahagia dan terkejut bercampur menjadi satu. Raut wajah Pramoedya menyiratkan perasaan serba salah. Pria tampan itu jadi terlihat kikuk, saat orang yang memanggilnya berjalan menghampiri. “Sayang?” Panggilan yang dalam beberapa waktu terakhir dia berikan kepada Laila, sang istri tercinta. “Kenapa tidak bilang dulu kalau kamu mau kemari?” tanya Pramoedya. Sesuatu yang dia sesali dan ingin diralat olehnya. Ya. Pertanyaan tadi, hanya akan membuat citra Pramoedya makin buruk di mata Laila. “Memangnya kenapa? Jika Mas merasa terganggu, aku bisa langsung pulang. Lagi pula, aku hanya kebetulan lewat dan tidak sengaja melihatmu tadi.” Nada bicara serta sorot mata Laila benar-benar tidak bersahabat. Itu menandakan, bahwa wanita cantik tersebut tidak berniat melakukan perdamaian dengan sang suami. “Apa
“Apa maksudmu, Mas!” sentak Laila. Hatinya semakin panas, ketika Pramoedya melontarkan kata-kata yang sangat melukai harga diri. Itu merupakan penghinaan besar baginya dan mendiang sang ayah. “Teganya kamu menuduh ayahku sebagai penipu!” sentak Laila lagi. Terlebh, Pramoedya tak menanggapi bantahannya. Pria rupawan itu hanya menatap tajam, dengan wajah memerah menahan amarah yang teramat besar. “Apa salahku?” Nada bicara Laila makin meninggi. Wanita itu tak kuasa mengendalikan diri. Dia seakan tak peduli, bahwa di sana ada beberapa petugas WO yang tengah menyelesaikan menghias tempat itu dengan bunga. Mereka sempat menoleh kepada Laila dan Pramoedya, meski akhirnya meneruskan pekerjaan masing-masing. Sadar bahwa pertengkaranya dengan Laila menjadi pusat perhatian, Pramoedya segera mendekat. “Itu kenyataannya. Kakekku salah dalam memberikan kepercayaan pada ayahmu! Beliau mengajari Pak Reswara berbisnis mulai dari nol. Namun, sayangnya ayahmu justru mengkhianati kakekku!” balas Pramoe
Dara mengeluarkan isi dalam laci tadi, yang berupa obat-obatan. Sebagian ada yang sudah terpakai. Namun, ada pula yang masih utuh. “Obat apa itu?” tanya Laila, yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Dara. “Entahlah, Bu. Mungkin, ini obat-obatan bekas Pak Reswara,” pikir Dara. Pendapat yang masuk akal, berhubung obat-obatan tadi didapat di kamar sang pemilik bangunan megah yang kini telah tiada. “Coba kulihat.” Laila ikut menurunkan tubuh, kemudian mengambil obat-obatan tersebut. Dia mengamati nama yang tertera pada bungkusnya. “Obat apa ini?” tanyanya, seperti pada diri sendiri. “Saya juga tidak tahu, tapi ….” Dara teringat akan sesuatu. “Ya, Tuhan. Apakah ini yang Non Marinka maksud?” pikirnya. Laila menoleh. Dia menatap heran bercampur penasaran pada sang asisten. “Maksudmu?” “Um … Anda masih ingat dengan kejadian waktu ….” Dara menceritakan apa yang dia dengar, antara Marinka dengan Lena secara detail. “Saya lupa membe
Selagi Aries dan Dara saling mengungkapkan perasaan, Laila dan Pramoedya pun melakukan hal yang sama. Mereka memisahkan diri dari para kerabat, yang tengah bersuka ria dalam pesta itu. “Bagaimana perjalananmu tadi?” tanya Pramoedya lembut. Sesekali, dia menyingirkan anak rambut yang menutupi kening Laila. Sikap pria itu benar-benar manis sehingga membuat Laila tersanjung. “Tadinya, aku mau mandi dan beristirahat sebentar sebelum makan malam. Akan tetapi, tiba-tiba mama mengatakan bahwa Mas Pram mengalami kecelakaan.” Laila menatap sang suami penuh cinta. “Kamu sangat mengkhawatirkanku.” Pramoedya tersenyum kalem. Ada rasa bangga dalam hatinya, yang tak harus dia ungkapkan. Pria itu cukup memberikan bukti nyata, melalui perlakuan tak biasa kepada Laila. “Aku ingin menculikmu sebentar dari sini,” bisiknya.Laila tersipu malu. Dia tak memberikan jawaban. Namun, bahasa tubuh wanita cantik tersebut, menunjukkan bahwa dia setuju dengan keinginan Pramoedya.Tanpa banyak bicara, Pramoedya
Beberapa hari setelah itu, Laila dan Aries berangkat ke Belanda. Setelah melewati perjalanan panjang melalui jalur udara, akhirnya mereka tiba di Kota Amsterdam. Kebetulan, Pramoedya sudah menyiapkan sopir yang menjemput keduanya. Dari bandara, Aries dan Laila langsung menuju kediaman Wilhelm van Holst. “Selamat datang kembali, Laila,” sambut Wilhelm hangat. “Senang sekali kamu bisa datang lagi kemari, Sayang.” Naheswari memeluk erat Laila. Dia begitu bahagia atas kehadiran sang menantu di rumahnya. “Di mana Lara dan Zehra?” tanya Laila, seraya mengedarkan pandangan. “Um … mereka … mereka sedang pergi dengan Pram. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” jelas Naheswari sedikit tak nyaman. Sesekali, dia melirik sang suami yang menatap penuh arti padanya. “Ya, sudah. Sebaiknya, kalian beristirahat dulu.” Wilhelm berdehem pelan, seakan memberi kode rahasia kepada sang istri. Naheswari tersenyum lembut. Dia memanggil pelayan, lalu menyuruhnya mengantar Aries ke kamar yang sudah
“Mas akan tetap berangkat ke Belanda?” tanya Laila, dengan sorot harap-harap cemas.“Ya. Semua sudah siap,” jawab Pramoedya pelan, seraya menarik selimut. Dia menutupi tubuh polosnya dan sang istri, yang baru selesai bercinta. Pramoedya memejamkan mata.Laila mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita itu seperti menahan rasa kecewa. Ekspresi tadi terpancar jelas dari raut wajahnya. Namun, Laila tak berani mengungkapkan apa yang dia pikirkan.“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?” Pramoedya membuka mata. Dia menatap lekat Laila yang tampak memendam kesedihan.“Aku tidak ….” Laila seakan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia menatap Pramoedya dengan mata berkaca-kaca.“Apa?” Pramoedya menautkan alis, menunggu Laila menyelesaikan kata-katanya. Namun, sang istru justru membalikkan badan. Laila seperti menghindar dari perbincangan yang dirinya mulai.
“Mas,” sapa Laila, yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Wanita cantik tersebut sadar betul seperti apa penampilannya, meski Pramoedya pernah melihat dia dalam kondisi lebih acak-acakan dari itu.“Lihatlah, Pram. Laila menyiapkan semua menu untuk makan malam kita kali ini,” ujar Naheswari, seraya tersenyum lebar. Ibu tiga anak itu tahu, bahwa menantunya merasa canggung berhadapan langsung dengan sang putra. “Jangan katakan, jika Mama memaksa Laila mengerjakan ini semua,” tukas Pramoedya kalem. Dia menghadapkan tubuh pada Naheswari. Namun, ekor mata pria tampan itu justru tertuju pada Laila, yang sibuk sendiri menanggulangi rasa kikuk. Seulas senyuman muncul di sudut bibir Pramoedya. “Adakalanya kita harus memaksa, Sayang,” ujar Nahwswari, sambil berjalan mendekat pada putra sulungnya. “Mandi dan segeralah berganti pakaian. Setelah itu, kita makan malam sama-sama.” Wanita paruh baya tersebut menepuk pelan pipi Pramoedya, lalu berbalik pada Laila.
Laila berdiri terpaku, menyaksikan kepergian Pramoedya dengan sedan hitam yang dikendarai sendiri. Pria itu serius akan kata-katanya, tentang perceraian dan rencana kepergian dia ke Belanda. Karena, sang pengusaha tampan berdarah campuran tadi berlalu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Putra sulung pasangan Naheswari dan Wilhelm tersebut, seakan sudah pasrah menerima kisah cintanya yang tak berjalan mulus. Sementara itu, Aries masih berdiri di teras sambil menyandarkan lengan kiri pada pilar penyangga. Tatapan mantan suami Laila tersebut kosong, menerawang menembus kegelapan malam. “Kupikir, kamu sudah pulang.” Laila melangkah ke teras, lalu berdiri di sebelah Aries. Namun, dia tetap memberi jarak dari sang mantan suami. “Pak Pram memintaku agar tetap di sini, sampai dia mengirimkan pengawal pribadi untuk menjagamu,” balas Aries, seraya menoleh sekilas pada Laila yang memandang ke depan. “Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Laila tidak menyahut. Wanita cantik itu hanya menundukkan
“Mas,” panggil Laila lirih. Tak terkira betapa bahagia hatinya, saat melihat Pramoedya ada di sana. Dia dan Marinka yang sudah putus asa, kembali mendapat kekuatan. Terlebih, Pramoedya datang bersama Aries dan tiga pria berjaket kulit.“Hentikan, Pak Widura.” Nada bicara Pramoedya terdengar sangat tenang, tapi penuh wibawa. “Anda adalah orang yang cerdas. Anda pasti tahu seperti apa konsekuensi, bila tidak bisa bersikap kooperatif terhadap petugas.”“Petugas apa?” Widura menyeringai pada Pramoedya, yang tak memberikan jawaban.Pramoedya menoleh pada tiga pria berjaket kulit tadi. Dia mengarahkan tangannya ke arah Widura. “Silakan, Pak. Semua barang bukti sudah saya kantongi, dan akan segera diserahkan pada pihak yang berwajib,” ucap pengus
“Pertanyaan macam apa itu, Bu Laila?” Widura terkekeh pelan.“Jawab saja, Pak,” desak Laila. Sekilas, dia melirik Marinka yang terlihat tegang.“Apa saja yang Non Marinka ceritakan pada Anda?” Widura tak lagi seramah biasanya. Rait wajah pria itu berubah menakutkan. “Banyak,” jawab Laila singkat. Tatapannya lekat, tertuju pada Widura. “Salah satunya adalah tentang obat-obatan, yang tersimpan di laci kamar ayah saya.”Setelah mendengar ucapan Laila, Widura jadi makin tak bersahabat. Tak ada lagi sosok lembut, bijak, dan pelndung yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Widura bagaikan seekor singa yang menemukan mangsa, dan bersiap untuk menerkamnya.Melihat bahasa tubuh Widura, Marinka mundur perlahan. Dia berbalik, kemudian berlari menuruni undakan anak tangga menuju halaman. Namun, belum sempat Marinka melarikan diri, Widura sigap mencegahnya. Pria paruh baya itu mencengkeram erat tangan Marinka, hingga sepupu Laila tersebut meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Tua bangka!” umpat
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan