Ketika selesai salat, Mutia bergegas mandi dan memakai seragam pelayan. Dia buru-buru menyusul rekannya yang sudah bersiap di post masing-masing. Nanti sekitar jam dua belas siang, kapal akan kembali berlabuh di pelabuhan dan semua tamu akan turun untuk pulang ke rumah masing-masing. Post pelayanan Mutia berada di geladak kapal, ketika lagi hari ternyata geladak kapal sangat bagus dan indah, bahkan ada kolam renang yang sangat indah, semua tamu memakai pakaian renang dan wanita memakai bikini, berenang dan berpesta di geladak kapal. Mutia dan lima rekannya sibuk mengambil minuman dan kudapan untuk para tamu yang sedang bersantai dari aktivitasnya berenang. Di dekat kolam renang ada panggung kecil dan sebuah organ tunggal, dan ada seorang biduan artis yang menyanyikan lagu-lagu request dari tamu. Tidak Mutia sangka, Tommy dan Siska juga ikut hadir di sana, lelaki itu memakai celana pendek dengan kaos oblong hitam, Siska memakai rok mini dan kaos ketat, badannya yang semakin monto
Rais yang sudah tertawa ngakak tidak bisa mengendalikan diri, tetapi lelaki itu cepat tersadar untuk memantau Mutia sudah sampai mana menjalankan perintah managernya. Rais melihat wanita ayu itu tengah berjalan dengan anggung sambil membawa gelas jus berwarna ungu di atas nampan. Syukurlah, akhirnya dia harus tersenyum lega. Ancaman Diaz tidak akan dilakukannya. Mutia sebenarnya sangat malas menjalankan perintah Dianty yang berapi-api penuh semangat menyuruhnya membuatkan jus buah naga untuk orang besar yang spesial. Mutiara sendiri sebenarnya penasaran siapa orang besar yang dimaksud oleh Dianty. Ternyata lelaki itu adalah lelaki itu. Bagaimana Mutia tidak merutuk sendiri. Setelah melihat siapa lelaki yang duduk di bawah payung warna ungu, rasanya Mutia ingin kabur saja, tetapi sekali lagi ancaman Dianty yang menakutkan itu kembali lagi terngiang di telinganya. "Bawa jus itu pada tuan terhormat yang duduk di kursi santai payung warna ungu. Buat kesan yang baik, kalau sampai kau
Mata Diaz terbuka, lelaki itu terbatuk dan memuntahkan air yang sempat masuk ke perut dan juga tenggorokannya. Napasnya mulai teratur, dia mulai sadar tadi jika ada yang memberi napas buatan kepadanya, ketika di menoleh ke samping kirinya, di sana dia melihat Rais tengah berlutut di dekatnya, matanya tiba-tiba terbelalak dan menatap Rais dengan pandangan jijik. "Apa kau yang memberi napas buatan padaku?" tanya lelaki itu dengan wajah tidak suka. "Em, anu ... itu," Rais juga tidak tahu harus menjawab apa, sementara Mutia sudah memberi kode dengan menggeleng-gelengkan kepala. Tiba-tiba mata Diaz menatap Mutia yang berdiri tak jauh darinya, pertama pandangannya tampak begitu kecewa, tetapi setelah melihat penampilan Mutia yang basah kuyup dan berantakan itu, bibirnya spontan tersenyum. 'Ternyata dia yang menolongku? Karena di sini tidak ada yang pakaiannya basah kuyup selain dia,' ujar Diaz dalam hati, tiba-tiba suasana hatinya membaik seketika. "Rais, bawa aku ke kamar!" perin
"Eh, pak? itu gelas bekas saya? apa anda gak jijik?" ujar wanita itu sambil menatap lelaki itu dengan mata melebar. "Jijik? ini cuma bekas bibir kamu, langsung meminum dari mulut kamu saja aku tidak akan jijik, mulut kamu itu manis, membuatku kecanduan." Mendengar perkataan Diaz, Mutia hanya terpaku. Lelaki ini, benar-benar! Mutia seolah kehabisan kata-kata, walaupun tidak dipungkiri perasaannya sangat aneh, ada sesuatu yang menjalari setiap aliran darahnya, apalagi ketika melihat lelaki itu menjilati setiap sisi gelas, seolah-olah dia tengah menjilati bibirnya. Membuat Mutia otomatis menjilat bibirnya sendiri. "Tuangkan lagi, minuman yang kau buat ini rasanya kenapa enak sekali? Sepertinya apa yang ada padamu semua sangat enak sekali." "Eh?" Mutia bergidik mendengar perkataan ambigu lelaki itu. Sementara lelaki itu malah sengaja menggodanya dengan mengerlingkan matanya dengan genit. Dengan gugup Mutia langsung menuangkan wedang jahe dari teko ke gelas di tangan Diaz. Lelaki
Setalah keluar dari kamar Diaz, wajah Mutia masih terlihat malu hingga tampak bersemu merah. Lelaki itu memang gila, bisa membuat tubuh dan perasaannya tidak normal seperti ini. Tetapi entah kenapa senyum di wajahnya juga tidak bisa hilang dari bibirnya, membuat semua orang yang kenal dengannya juga ketularan senang. Walaupun mereka juga tidak tahu apa yang membuat wanita itu senang. Tak terasa kapal sudah berlabuh di pelabuhan, pada tamu berbondong-bondong keluar dari kapal dan mengendarai mobil mereka untuk pulang ke rumah masing-masing. Mutiara dan para pelayan lain keluar kapal terakhir, mereka menuruni tangga menuju pelabuhan dengan perlahan. Mutia menggendong tas ransel yang berisi pakaian. Upahnya dari sehari kemarin menjadi pelayan, sudah dibayar oleh Dianty. Rasanya sangat lega dan bahagia mendapatkan upah hari ini, empat juta rupiah selama dua hari, siapa yang tidak senang. Walimar yang berjalan di sini Mutia tak henti-henti bercerita tentang keinginannya untuk membel
"Jadi suamimu meninggal saat kamu baru selesai lahiran?" "Tidak, saat ayahnya anak-anak meninggal dunia, aku sedang hamil delapan bulan, sebulan kemudian aku lahiran. Tanya sangat nano-nano. "Kamu wanita hebat, aku selalu terharu jika mendengar kisah-kisah yang seperti ini." Mendengar itu Walimar tersenyum, sekretaris pria seperti lelaki di sampingnya ini sepertinya memang tipe lelaki yang bertanggung jawab, terlihat dia juga berdedikasi terhadap pekerjaannya "Temanmu itu sungguh kasihan, aku tidak bisa membayangkan jika kau berada di posisinya. Mulai saat ini aku akan hati-hati agar kau tidak kehilangan suami, kamu juga tidak menjadi janda yang kedua kalinya." Mutia hanya bengong mendengar perkataan lelaki ini, ngomong apa sih, dia?!Mutia pikir lelaki ini mengatakan Walimar itu kasihan sebagai seorang konglomerat dipikirnya dia akan menyumbang uang atau komersil lainnya, tepati malah mengungkit-ungkit dia sebagai calon istrinya. Mobil melaju mulus di jalan aspal, lelaki i
Sore itu dengan terburu-buru Bu leli menyewa jasa angkut barang, sepertinya rumahnya benar-benar akan dikosongkan. Mutia yang melihat proses kepindahan bu leli cukup sedih, pasalnya dia cukup senang memiliki tetangga seperti Bu leli, karena selama ini Bu Leli ini dikenal sebagai tetangga yang baik. Apalagi Bu Leli lah yang telah mencarikan pekerjaan untuknya di pabrik roti. "Bu, aku sedih. Kenapa ibu musti pergi dari rumah ini? sekarang rumah di depanku dan disamping kosong. Aku tidak punya tetangga dan akan hidup sendirian," keluh Mutia. "Jangan sedih, aku sudah menjual rumah ini dengan orang lain, kemungkinan besar dia akan pindah secepatnya ke sini. Aku pindah karena rumah di sana lebih dekat dari pabrik, aku semakin tua, jadi tidak kuat jika tiap hari harus menempuh perjalanan jauh." Mutiara akhirnya merelakan bu Leli pergi, setelah mendengar alasan wanita itu pindah, dia juga harus memaklumi jika memang alasannya seperti itu. Rasanya lorong rumahnya menjadi sepi dan angker.
Setelah menjenguk neneknya di rumah sakit, Mutia kembali lagi ke rusun tua yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Keadaan di sebelah rumahnya masih terlihat begitu sibuk, beberapa orang tengah memasang pintu teralis anti maling dan beberapa tengah mengganti plafon. Menjelang malam, sepertinya suara berisik di rumah sebelah tidak juga berkurang, sepertinya orang-orang tersebut bekerja lembur. Jika berada di rumah lamanya, mungkin suara mereka akan sangat mengganggu, tetapi tinggal di rumah tua yang seluruh lantainya kosong membuat Mutia merasa nyaman karena ada yang menemani. Wanita itupun tidak menghiraukan suara palu yang dipukul atau suara mesin bor juga suara gergaji listrik. Hingga pagi hari, suara berisik itu tidak terdengar seramai tadi malam. Mutia hanya berharap setelah suara berisik itu, akan ada penghuni baru yang menjadi tetangganya. Pagi hari yang sama, dia akan melakukan pekerjaan yang sama, menjadi staf admin di pabrik roti. Rutinitas terjadi seperti biasa, te