Sore itu dengan terburu-buru Bu leli menyewa jasa angkut barang, sepertinya rumahnya benar-benar akan dikosongkan. Mutia yang melihat proses kepindahan bu leli cukup sedih, pasalnya dia cukup senang memiliki tetangga seperti Bu leli, karena selama ini Bu Leli ini dikenal sebagai tetangga yang baik. Apalagi Bu Leli lah yang telah mencarikan pekerjaan untuknya di pabrik roti. "Bu, aku sedih. Kenapa ibu musti pergi dari rumah ini? sekarang rumah di depanku dan disamping kosong. Aku tidak punya tetangga dan akan hidup sendirian," keluh Mutia. "Jangan sedih, aku sudah menjual rumah ini dengan orang lain, kemungkinan besar dia akan pindah secepatnya ke sini. Aku pindah karena rumah di sana lebih dekat dari pabrik, aku semakin tua, jadi tidak kuat jika tiap hari harus menempuh perjalanan jauh." Mutiara akhirnya merelakan bu Leli pergi, setelah mendengar alasan wanita itu pindah, dia juga harus memaklumi jika memang alasannya seperti itu. Rasanya lorong rumahnya menjadi sepi dan angker.
Setelah menjenguk neneknya di rumah sakit, Mutia kembali lagi ke rusun tua yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Keadaan di sebelah rumahnya masih terlihat begitu sibuk, beberapa orang tengah memasang pintu teralis anti maling dan beberapa tengah mengganti plafon. Menjelang malam, sepertinya suara berisik di rumah sebelah tidak juga berkurang, sepertinya orang-orang tersebut bekerja lembur. Jika berada di rumah lamanya, mungkin suara mereka akan sangat mengganggu, tetapi tinggal di rumah tua yang seluruh lantainya kosong membuat Mutia merasa nyaman karena ada yang menemani. Wanita itupun tidak menghiraukan suara palu yang dipukul atau suara mesin bor juga suara gergaji listrik. Hingga pagi hari, suara berisik itu tidak terdengar seramai tadi malam. Mutia hanya berharap setelah suara berisik itu, akan ada penghuni baru yang menjadi tetangganya. Pagi hari yang sama, dia akan melakukan pekerjaan yang sama, menjadi staf admin di pabrik roti. Rutinitas terjadi seperti biasa, te
"Apa? kok bisa?" Mutia jelas terkejut. Pantasan dari tadi Tasya tampak begitu terkejut dan sedih mendengar ceritanya, ternyata dia juga mengalami. "Entahlah! aku benar-benar sudah gila. Kemarin, ada acara famili gathering di kantor, Raid membawa istrinya dikenalkan dengan rekan-rekan kerjanya. Tatapan wanita itu benar-benar meremehkan aku. Walaupun satu kantor, selama ini hubunganku dengannya benar-benar hancur. Aku tidak pernah menegurnya, bahkan aku benar-benar menganggapnya musuh. Tetapi dia selalu mendekatiku dan meminta maaf, dia hilang tidak enak bermusuhan karena kamu satu divisi." sudut mata Tasya terlihat berair, seandainya jadi Tasya Mutia juga tidak akan sanggup, bagaimana bisa sanggup satu kantor bahkan satu divisi dengan mantan pacar yang mengkhianatinya di saat hari-hari akhir kan menikah? Mutia mungkin sudah resign dan mencari pekerjaan lain. Baru ditekan oleh Diaz sedikit saja dia sudah resign, menurut Mutia Tasya ini sangat bodoh, mau menyakiti diri sendiri walaup
Mutia bangun pagi seperti biasanya, melakukan rutinitas pagi juga seperti biasanya. Salat subuh, mandi, sarapan dan pergi bekerja. Ketika melalui rumah di sebelahnya, dia sedikit termenung melihat pintu teralis yang sudah terpasang kokoh di sana. Sedikit penasaran apakah penghuni baru sudah ada di dalam atau belum? Tetapi dia juga tidak harus begitu penasaran, sehingga langsung melangkahkan kaki menuju ke bawah menuruni tangga. Mutia menatap mobil sedan mewah yang masih terparkir di halaman dekat lobi, sepertinya pemilik mobil itu menginap di perumahan ini, atau justru penghuni tetap perumahan ini? Sampai lobi ternyata dia bertemu dengan Walimar yang juga sudah bersiap-siap berangkat ke tempat kerja di showroom mobil terlihat dari seragam yang dia kenakan. "Mut, mau berangkat kerja?" "Iya, Mbak." "Kita naik kereta saja, Yuk. lebih irit." "Saya aku naik bis saja, Mbak. soalnya mau mampir dulu di rumah sakit menjenguk nenek," ujar Mutia sambil melihat jam ditangannya yang b
Berjalan dengan pak Sultan sungguh terasa seperti berjalan dengan seonggok patung. Dhea yang duduk di samping terasa sangat canggung, dinginnya AC terasa bertambah dingin dengan sikap Sultan yang hanya fokus menyetir mobil. Sampai di depan supermarket, Pak sultan langsung menuju ke parkiran di halaman supermarket, setelah mobil berhenti, Sultan langsung membuka pintu, sehingga Mutia juga mengikuti atasannya itu dengan berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa map. Mutia bukannya tidak pernah ke supermarket ini, dia hapal benar posisi office nya ada di lantai tiga. Dulu ketika masih berkerja di Sanjaya Sejahtera, dia sering mengunjungi supermarket ini untuk menjalin kerja sama dengan direktur supermarket, yakni Rio Dewanto. Ketika sampai office, Sultan mengkonfirmasi kehadirannya pada sekretaris Rio, sang sekretaris meminta mereka menunggu karena Rio Dewanto sedang ada tamu. Sekretaris itu seorang wanita yang berusia sekitar akhir tiga puluhan, dengan garis wajah halus dan terliha
"Baiklah, saya harus kembali ke pabrik lagi. Mutia, kalau sudah selesai kamu bisa kembali ke pabrik sendiri, kan? Karena ada berkas yang harus kamu selesaikan." "Baik, Pak. Saya bisa memakai taksi ke pabrik." Setelah Sultan keluar dari kantor, Rio menatap Mutia dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti, Mutia menunggu Rio dengan sabar, apa yang akan lelaki ini bicarakan. Namun setelah beberapa saat menunggu, ternyata belum satu katapun keluar dari mulut Rio. Lelaki itu tampaknya bingung untuk memulai kata-katanya. "Apa yang akan Pak Rio katakan?" tanya Mutia akhirnya. "Ah, aku hanya ingin tahu keadaanmu." Akhirnya Rio memberanikan diri mengatakan sesuatu. "Anda bukannya mau bertanya soal perusahaan Sanjaya Sejahtera?" "Aku hanya ingin mengetahui masalah pribadimu. Maaf jika lancang, tetapi aku benar-benar tidak tahu kabar tentangmu. Bukan apa-apa, aku hanya ingin istriku Novita tenang mengetahui tentang keadaanmu. Istriku itu selalu bertanya tentang dirimu, sedang aku send
"Kenapa berdiri di situ terus?" tanya lelaki itu sambil tersenyum smirk. "Apa?" Mutia yang merasa tertangkap basah memperhatikan lelaki itu jadi salah tingkah. Lelaki itu melangkahkan kaki mendekatinya, setelah berjarak kurang lebih satu meter, dia menghentikan langkahnya. Tatapannya masih tertuju kepada Mutia, tanpa berpaling sedikit pun. "Sudah jam dua belas, sudah saatnya makan siang," ujar lelaki itu. Mutia hanya bengong menatap lelaki itu dengan tatapan bingung tak mengerti. "Ayo kita makan siang bersama. Jangan menolak, aku bisa marah besar! hargai aku yang sudah menunggumu lama di sini." "Eh?" Mutia melebarkan matanya, sungguh kah dia menunggunya di sini dari tadi? "Ayo!" Diaz akan meraih tangan Mutia, tetapi wanita itu mengelaknya. Tidak enak dilihat orang jika saling berpegangan tangan di tempat umum seperti ini, walaupun tampak gurat kecewa di wajah lelaki itu. "Aku akan pergi bersamamu, tidak perlu menyeretku seperti itu," ujar Mutia Diaz hanya membalikk
"Maksud Anda, Pak?" "Kalau kamu serius berterima kasih, cium aku!" "Apa?" Walaupun Mutia sudah sering mendengar lelaki ini bicara seperti itu, tetapi dia masih saja merasa terkejut. Dia wanita yang tidak berdaya, tetapi apakah harus membayar hutang budinya pada lelaki ini dengan tubuhnya seperti ini? Tentu saja Mutia sangat keberatan, sisi hatinya benar-benar menangis sedih dengan kejadian ini. Diaz yang melihat Mutia terbelalak dan merasa terkejut sangat heran melihat reaksinya, sisi hatinya yang jahil bahkan mereka ingin membully wanita ini. Dengan Tania aba-aba, tangan lelaki itu langsung menarik pinggang Mutia dan mendatarkan ciuman langsung di bibir wanita itu. Ciuman itu begitu keras sehingga Mutia tersentak, matanya bahkan terbelalak. Tidak puas hanya mengulum bibir wanita itu, Diaz berusaha memasukkan lidahnya pada mulut mungil itu dan menghisapnya dengan kuat. Tentu saja Mutia yang tidak memiliki persiapan megap-megap seperti ikan yang terdampar di daratan, kehabisa