Mutia bangun pagi seperti biasanya, melakukan rutinitas pagi juga seperti biasanya. Salat subuh, mandi, sarapan dan pergi bekerja. Ketika melalui rumah di sebelahnya, dia sedikit termenung melihat pintu teralis yang sudah terpasang kokoh di sana. Sedikit penasaran apakah penghuni baru sudah ada di dalam atau belum? Tetapi dia juga tidak harus begitu penasaran, sehingga langsung melangkahkan kaki menuju ke bawah menuruni tangga. Mutia menatap mobil sedan mewah yang masih terparkir di halaman dekat lobi, sepertinya pemilik mobil itu menginap di perumahan ini, atau justru penghuni tetap perumahan ini? Sampai lobi ternyata dia bertemu dengan Walimar yang juga sudah bersiap-siap berangkat ke tempat kerja di showroom mobil terlihat dari seragam yang dia kenakan. "Mut, mau berangkat kerja?" "Iya, Mbak." "Kita naik kereta saja, Yuk. lebih irit." "Saya aku naik bis saja, Mbak. soalnya mau mampir dulu di rumah sakit menjenguk nenek," ujar Mutia sambil melihat jam ditangannya yang b
Berjalan dengan pak Sultan sungguh terasa seperti berjalan dengan seonggok patung. Dhea yang duduk di samping terasa sangat canggung, dinginnya AC terasa bertambah dingin dengan sikap Sultan yang hanya fokus menyetir mobil. Sampai di depan supermarket, Pak sultan langsung menuju ke parkiran di halaman supermarket, setelah mobil berhenti, Sultan langsung membuka pintu, sehingga Mutia juga mengikuti atasannya itu dengan berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa map. Mutia bukannya tidak pernah ke supermarket ini, dia hapal benar posisi office nya ada di lantai tiga. Dulu ketika masih berkerja di Sanjaya Sejahtera, dia sering mengunjungi supermarket ini untuk menjalin kerja sama dengan direktur supermarket, yakni Rio Dewanto. Ketika sampai office, Sultan mengkonfirmasi kehadirannya pada sekretaris Rio, sang sekretaris meminta mereka menunggu karena Rio Dewanto sedang ada tamu. Sekretaris itu seorang wanita yang berusia sekitar akhir tiga puluhan, dengan garis wajah halus dan terliha
"Baiklah, saya harus kembali ke pabrik lagi. Mutia, kalau sudah selesai kamu bisa kembali ke pabrik sendiri, kan? Karena ada berkas yang harus kamu selesaikan." "Baik, Pak. Saya bisa memakai taksi ke pabrik." Setelah Sultan keluar dari kantor, Rio menatap Mutia dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti, Mutia menunggu Rio dengan sabar, apa yang akan lelaki ini bicarakan. Namun setelah beberapa saat menunggu, ternyata belum satu katapun keluar dari mulut Rio. Lelaki itu tampaknya bingung untuk memulai kata-katanya. "Apa yang akan Pak Rio katakan?" tanya Mutia akhirnya. "Ah, aku hanya ingin tahu keadaanmu." Akhirnya Rio memberanikan diri mengatakan sesuatu. "Anda bukannya mau bertanya soal perusahaan Sanjaya Sejahtera?" "Aku hanya ingin mengetahui masalah pribadimu. Maaf jika lancang, tetapi aku benar-benar tidak tahu kabar tentangmu. Bukan apa-apa, aku hanya ingin istriku Novita tenang mengetahui tentang keadaanmu. Istriku itu selalu bertanya tentang dirimu, sedang aku send
"Kenapa berdiri di situ terus?" tanya lelaki itu sambil tersenyum smirk. "Apa?" Mutia yang merasa tertangkap basah memperhatikan lelaki itu jadi salah tingkah. Lelaki itu melangkahkan kaki mendekatinya, setelah berjarak kurang lebih satu meter, dia menghentikan langkahnya. Tatapannya masih tertuju kepada Mutia, tanpa berpaling sedikit pun. "Sudah jam dua belas, sudah saatnya makan siang," ujar lelaki itu. Mutia hanya bengong menatap lelaki itu dengan tatapan bingung tak mengerti. "Ayo kita makan siang bersama. Jangan menolak, aku bisa marah besar! hargai aku yang sudah menunggumu lama di sini." "Eh?" Mutia melebarkan matanya, sungguh kah dia menunggunya di sini dari tadi? "Ayo!" Diaz akan meraih tangan Mutia, tetapi wanita itu mengelaknya. Tidak enak dilihat orang jika saling berpegangan tangan di tempat umum seperti ini, walaupun tampak gurat kecewa di wajah lelaki itu. "Aku akan pergi bersamamu, tidak perlu menyeretku seperti itu," ujar Mutia Diaz hanya membalikk
"Maksud Anda, Pak?" "Kalau kamu serius berterima kasih, cium aku!" "Apa?" Walaupun Mutia sudah sering mendengar lelaki ini bicara seperti itu, tetapi dia masih saja merasa terkejut. Dia wanita yang tidak berdaya, tetapi apakah harus membayar hutang budinya pada lelaki ini dengan tubuhnya seperti ini? Tentu saja Mutia sangat keberatan, sisi hatinya benar-benar menangis sedih dengan kejadian ini. Diaz yang melihat Mutia terbelalak dan merasa terkejut sangat heran melihat reaksinya, sisi hatinya yang jahil bahkan mereka ingin membully wanita ini. Dengan Tania aba-aba, tangan lelaki itu langsung menarik pinggang Mutia dan mendatarkan ciuman langsung di bibir wanita itu. Ciuman itu begitu keras sehingga Mutia tersentak, matanya bahkan terbelalak. Tidak puas hanya mengulum bibir wanita itu, Diaz berusaha memasukkan lidahnya pada mulut mungil itu dan menghisapnya dengan kuat. Tentu saja Mutia yang tidak memiliki persiapan megap-megap seperti ikan yang terdampar di daratan, kehabisa
"Bu Leli? apa kabar?" tanya Mutia ketika menemukan Bu Leli di bagian kemasan. "Mutia, kabarku bagus, bagaimana denganmu?" "Saya sendirian tinggal di lantai tiga itu, Bu. Kenapalah ibu pakai pindah, kemungkinan saya juga akan pindah kalau kontrakan sudah selesai," jawab Mutia. "Eh, jangan pindah. Bertahan saja dulu, nanti juga akan ada yang pindah ke sana." "Maksud, Ibu?" Bu Leli mengibaskan tangannya sambil tertawa jengah, Mutia merasa wanita paruh baya ini terlihat gugup, tetapi kenapa harus gugup? "Aku rasa akan ada orang yang menempati rumah ibu, pemilik baru rumah itu." "Loh, rumah Bu Leli dijual? kenapa dijual, Bu? katanya tidak akan menjual rumah itu?" "Aku menjualnya untuk membeli rumah baru. Kalau tidak menjual rumah lama, bagaimana aku mau membeli rumahku?" "Apa rumah ibu dekat dari sini? kapan-kapan aku boleh, ya mampir ke rumah ibu." "Oh iya, boleh sekali." "Eh, bagaimana kalau pulang kerja nanti? sekalian syukuran rumah baru, gimana, Bu?" tiba-tiba r
Mutia menegakkan tubuhnya bersiap-siap menyambut lelaki itu jika dia akan menyerangnya seperti tadi siang. Tetapi apa yang terjadi, lelaki itu berjalan tanpa berhenti, bahkan melewatinya, membuat mata Mutia semakin terbelalak. Dengan santai lelaki itu mengambil sesuatu dari kantong celananya, itu sebuah kunci. Dengan gerakan natural lelaki itu memasukkan kunci di pintu anti maling rumah sebelah, rumah yang dulu di tempati oleh Bu Leli. Dengan sekali putar, pintu sudah terbuka. "Pak ... Pak Diaz!" Akhirnya walaupun dengan gugup, Mutia tetap harus bertanya pada lelaki itu. Diaz yang akan melangkah ke dalam rumah, berhenti sejenak dan menoleh ke arah Mutia. "Apa ... Apa anda tinggal di sini?" tanya wanita itu dengan bibir gemetar, buku kuduknya tiba-tiba merinding membayangkan orang kaya itu akan tinggal di rumah tua seperti ini. "Memangnya kenapa?" tanya lelaki itu dengan kepala dimiringkan, sementara bibirnya terlihat menyeringai. Jika pertanyaan di jawab juga dengan pertanyaa
Diaz duduk di sofa kecil yang dimiliki rumah ini, dia hanya memainkan ponselnya dengan mengulik akun sosial media yang entah sejak zaman kapan tidak pernah dia sambangi. Mutia dengan serius menjahit dua buah kancing kemeja milik lelaki itu dengan duduk di bangku plastik di sudut ruangan. Sesekali diam-diam Diaz memperhatikan wajah serius wanita itu, entah kenapa kalau lagi mode serius seperti itu saya tariknya semakin menjadi-jadi. Ketika Mutia sudah selesai menjahit dengan cepat kancing kemeja itu, Diaz juga pura-pura kembali lagi ke arah ponselnya. "Ini, Pak. Sudah selesai," ujar Mutia sambil mengulurkan baju tersebut "Eh, sudah selesai, ya? kok cepat banget?" jawab lelaki itu dengan wajah yang tidak rela. "Iya, sudah. Em, sudah malam sepertinya saya perlu istirahat," ujar Mutia dengan suara yang sungkan. Diaz jelas tahu apa makna perkataan Mutia yang secara halus mengusirnya. Namun siapa yang mau diusir begitu saja sedangkan dia sudah begitu susah mencari alasan datan