Siang itu, Tommy benar-benar membuktikan kata-katanya. Entah bagaimana lelaki itu mempersiapkan pernikahannya yang kedua dalam waktu singkat tersebut, tetapi pernikahannya cukup meriah. Bahkan semua karyawannya di undang, kolega bisnisnya juga diundang. Bahkan keluarga Mutiara juga diundang. Para selebriti rekan kerja dan teman Siska juga diundang.Mutiara datang dengan memakai gaun brokat warna biru Dongker, kulit putihnya kontras dengan warna gaun itu membuatnya semakin bersinar. Beberapa undangan yang baru mengetahui bahwa ini adalah pernikahan kedua mempelai pria begitu terkejut mana kala istri pertamanya juga datang menghadiri pesta pernikahan itu. Tidak tampak wajah sedih dan kecewa di wajah Mutiara, wanita itu bahkan tampak lega menyaksikan pernikahan kedua suaminya ini.Banyak tamu yang melihat prihatin ke arah Mutiara, bahkan ada yang terang-terangan menghujat Siska, tetapi sepertinya Mutiara juga tidak peduli pada mereka."Padahal istri pertamanya lebih muda dan cantik begitu
Malam harinya Tommy dan Siska menginap di hotel tempat mereka melangsungkan acara. Mutiara memang mendadak sudah ijin pada Tommy untuk tinggal di rumah Mama Diana, tetapi Tommy sama sekali tidak mengizinkan. Bagaimana bisa mengizinkan, tujuannya membawa Siska ke rumah mereka memang untuk memanas-manasi Mutia, kok Mutia nya malah pindah. Tetapi Diana bersikeras, jika memang dia mendapat masalah dari Tommy, Diana akan menjadi tameng untuk Mutiara. Mendengar keputusan mertuanya yang keras kepala itu membuat Mutia sedikit lega, dia sangat bersyukur mendapat mertua yang begitu membelanya, tetapi dia hanya bisa terus beristighfar mendapat suami gila seperti Tommy. Selama dua hari Tommy berada di hotel, diam-diam Mutia juga pindah ke rumah Diana. Ketika Tommy kembali ke rumah itu bersama Siska, rumah dalam keadaan kosong, kamar yang biasa ditempati Mutiara juga kosong. "Mbak Mutia ke mana sih, Mas? Aku capek dan lapar, dia sudah tahu kan kita akan datang? kok ya nggak disambut dengan hida
Ketika Mutiara pulang ke rumah Diana, di ruang tamu sudah menunggu sosok yang selalu ingin dihindarinya. Pria itu tengah merokok dan mengepulkan asap hingga ruangan tersebut penuh dengan asap. Mutiara terdiam sejenak sebelum menemuinya, dia harus bersiap untuk memulai perdebatan kembali."Baru pulang?!" pertanyaan lelaki itu terdengar seperti interogasi, tatapannya tajam menyelidik."Ya," jawab Mutiara dengan lemah."Apa kau tidak mendengar apa yang kubilang? aku sama sekali tidak mengijinkan kamu tinggal di sini. Sekarang, ayo cepat kembali!" perintah lelaki itu dengan suara dingin.Mutiara terperangah, mana mungkin dia Sudi kembali ke rumah yang sudah dikuasai wanita lain. dia hanya mendesah dengan kasar."Cepat, kenapa masih diam di situ?" bentak lelaki itu dengan tidak sabaran."Pak Tommy, aku tidak akan kembali ke rumah itu. Bukankah seharusnya kamu bahagia hidup berdua dengan istri barumu tanpa ada yang mengusik? tenang saja, aku akan giat bekerja membuat rekeningmu semakin gendu
Siska meradang mendengar perkataan Mutiara. Bukannya dia tidak berusaha agar Tommy menceraikan wanita itu, segala bujuk rayuan sudah dia kerahkan, tetapi lelaki itu terus mengatakan tidak akan pernah menceraikan Mutia. Selama ini dia merasa menang, karena Tommy kembali ke rumah yang mereka huni bersama, lelaki itu selalu pulang tepat waktu. dia mengira jika hari Tommy sudah dia dapatkan sepenuhnya, entah bagaiman dia mendengar jika Muria memakai alat kontrasepsi. Kapan mereka melakukannya? Apakah mereka mencuri waktu senggang? atau ketika mereka bersama di kantor? Siska tentu saja tidak akan membiarkan wanita itu sampai hamil, perkataan wanita itu sangat menyakitinya, seolah-olah Tommy begitu mencintainya hingga tidak ingin melepaskan dirinya. "Lihat saja, Mutia. Selama ini aku bersikap terlalu lembek kepadamu. sekarang aku akan bertindak tanpa memikirkan etika lagi. Yang bisa membuat Tommy menceraikan dirimu hanya satu caranya, aku akan membuat Tommy membencimu dan hilang kepercaya
"Insya Allah!" Keduanya berbincang dengan seru, menceritakan hal-hal konyol masa lalu, masa di mana walaupun banyak beban tetapi dia masih bisa bebas mengekspresikan keinginannya, tidak seperti sekarang, dia memang lah menikahi pria ya sangat salah.Ketika Mutia selesai makan, tak sengaja dua melihat dia sosok wanita yang sangat dikenalnya tengah memasuki cafe. Kenapa mertuanya datang ke sini bersama Clarisa? ada hubungan apa mereka?"Bagaimana pernikahanmu? apakah kau bahagia menikahi anak pengusaha?" tanya Tasya tiba-tiba. "Pernikahan yang dipaksakan apakah bisa membuat pelakunya bahagia? bukan hanya aku saja yang tidak bahagia, Tommy juga sepertinya sangat terpaksa menjalani pernikahan ini. Makanya dia akhirnya menikah lagi dengan mantan pacar yang selama ini dia cintai.""Ha?!" Tasya yang sedang minum air putih hampir saja tersedak mendengar perkataan sahabatnya ini. "Dia menikah lagi?!" tanya gadis itu dengan tatapan tak percaya."Ya."Tasya memperhatikan Mutia dengan seksama.
"Mutia, kamu tidak boleh seperti ini. Kamu harusnya ikhlas menerima semua ini, toh kamu juga belum bisa memberi Tommy keturunan. Tommy tidak akan menikahi Clarisa, nanti kalau bayi Clarisa lahir, Mama ingin kamu yang merawatnya.""What? apa yang Mama katakan?" "Tunggu Mama di rumah, kita akan membahas masalah ini!" perintah Diana."Tidak, tidak perlu dibahas lagi. Mama menginginkan aku merawat anak selingkuhan suamiku? apa selama ini kurang penderitaan ku? memiliki suami tukang selingkuh, sekarang aku harus merawat anaknya? Maaf, sepertinya anda sudah tidak layak menjadi mertuaku.""Mutia! jaga bicaramu! selama ini kamu juga belum layak menjadi istri yang baik, belum juga memberikan keturunan, jadi lakukan saja sesuatu yang berguna."Mutia tertawa mendengar perkataan Diana, ternyata inilah wajah asli mertuanya. Selama ini dia selalu heran, bagaimana orang sebaik Diana memiliki putra seperti Tommy, ternyata gen memang tidak pernah tertukar, wanita paruh baya ini ternyata hanya berpura
"Sebelum ibu resign, sebaiknya ibu selesaikan tugas terlebih dahulu, kita akan ada pertemuan dengan dinas perdagangan terkait, Bu. sudah itu produk baru kita akan segera didaftarkan, apa ibu tidak bisa menunggu?""Tidak, Ren. Kalau bisa, besok aku langsung resign."Renita hanya memaklumi, walaupun nanti tugas yang akan dia emban semakin berat tanpa adanya Mutia, tetapi dia juga tahu bagaimana kondisi atasannya selama ini. Ketika hari sudah menjelang siang, Renita segera mengajak Mutia untuk menemui pegawai dinas perdagangan. Ada beberapa produsen makanan yang juga diundang oleh dinas perdagangan ke kantornya, mereka membicarakan kemungkinan perusahaan untuk melakukan ekspor produk ke beberapa negara.Pertemuan berlangsung hingga malam, karena yang dibahas bukan masalah perusahan eksportir yang bekerja sama dengan perusahaannya, tetapi juga mengenai regulasi dan kewajiban pajak PPN dan juga pajak bea cukai. Ketika keluar dari kantor dinas perdagangan tersebut, hari sudah menjelang pet
"Eng, anu ... sore itu, Bu Mutia masuk ke ruangan Bapak," jawab cleaning servis itu sesuai fakta yang dia lihat."Kurang ajar! apa ini cara kamu menghancurkan perusahaan ini, Mutia! awas saja kamu!"Tangan Tommy mengepal, jelas kemarahan tergambar di wajahnya. Dia benar-benar heran dengan istri pertamanya ini, kenapa sekarang jadi banyak tingkah seperti ini, padahal selama ini dia gampang sekali menekan dan membuat wanita itu tak berkutik. Sepertinya dia sudah nggak peduli sama neneknya, ya? Lihat saja apa yang akan dia buat nanti.*****Pagi ini Mutia bangun tidur dengan perasaan hampa, bagaimana nasibnya ke depan benar-benar dia tidak tahu. Dia sudah resign dari perusahaan Tommy, dia juga akan segera menggugat perceraian nanti siang sekiranya kantor PA sudah buka. Mutia segera mengambil air wudhu yang ada di kamar mandi luar, di kamar kosnya ini, kamar mandi hanya ada satu dipakai oleh enam kamar, jadi dia harus bergegas keburu keduluan penghuni lain. Setelah salat subuh, Mutia be
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me