Back to Anisa Pov"Halo Nis, bisa ke rumah Ibu sekarang?" Suara Ibu terdengar bergetar di panggilan telepon."Ibu, Ibu kenapa?" tanyaku yang mulai khawatir, entah kenapa perasaanku merasa tidak enak, Mas Adrian juga belum pulang. Apa mungkin dia ke rumah Vivi."Tolong kamu ke rumah ibu sekarang ya Nis," ucapnya lagi."Iya, Bu, Nisa langsung kesana ya." Panggilan telepon terputus dan aku langsung memesan ojeg online kemudian bersiap memasukkan dompet, ponsel, ke dalam tas, dan berganti baju. Tak berapa lama ojeg pesananku sudah tiba di depan rumah.Aku pun langsung meluncur ke rumah Ibu, sepanjang perjalanan aku sudah dibuat takut, dari suara Ibu di telepon tadi aku merasa Ibu sedang tidak baik-baik saja. Mungkinkah sakit jantungnya kambuh? Ya Tuhan semoga Ibu baik-baik saja.Sepanjang perjalanan aku terus berdoa untuk beliau.Sepuluh menit perjalanan akhirnya aku sampai di rumah Ibu, Alhamdulillah pengemudi ojeg online itu bisa diandalkan, ia mengebut sesuai pintaku.Betapa terkejutn
Pelan netra tua itu mengerejap, melirik sekeliling ruangan serba putih ini, bau obat menyengat memenuhi indera penciumanku.Aku dan Dania sedang makan malam di sofa tak jauh dari ranjang ibu."Nisa, Dania," panggilnya lirih saat melihat kami tak berada jauh darinya."Alhamdulillah Ibu sudah bangun, Ibu nggak apa-apa?" tanya Dania yang langsung mendekati Ibu, pun denganku.Ibu menghela napas. Netra itu perlahan berembun."Mas-mu sudah keterlaluan Ni," ucap Ibu lirih. Dania menggenggam erat telapak tangan ibu. Menguatkan."Sudah Bu, tak usah terlalu di pikirkan dulu, ibu tenang ya, Mbak Nisa aja kuat kok, ya kan, Mbak!" Dania menyenggol lenganku."Iya Bu, Nisa nggak apa-apa.""Maafkan Ibu Nduk, Ibu telah gagal mendidik Adrian." Ibu terisak. Aku bisa melihat kekecewaan mendalam dari sudut matanya."Buk, Seperti apapun sikap Mas Adrian, itu semua bukan salah Ibu, Ibu sudah hebat mendidik Dia, hanya mungkin godaannya terlalu kuat hingga ia terlena." "Iya Bu, Mbak Nisa benar, semua bukan
Aku ingat, logo dan nama perumahan ini adalah perumahan dimana Vivi tinggal. Aku langsung membuka map itu, tertera di sana tanggal dan rincian angsuran serta beberapa berkas lainnya. Semuanya atas nama Mas Adrian.Ini sudah menjadi bukti jelas kalau rumah itu memang milik Mas Adrian.Hebat sekali kamu Mas, aku yang mendampingimu selama tiga tahun ini kau beri tempat tinggal rumah kontrakan, tapi dia? perempuan yang datang saat kau sudah mulai mampu membeli rumah walau dengan di cicil, kau tempatkan dia di rumah yang baru kau beli, status kepemilikan yang jelas.Aku menggeleng tak percaya. Tanpa sadar aku meremat erat map yang ada di tangan. Enak sekali dia, shit! Sial! umpatku. Aku merapikan semua ke dalam satu koper besar, biar nanti aku urus semuanya, aku pastikan Vivi akan angkat kaki dari rumah itu. Mau tinggal di mana juga terserah! Sedari dulu aku ikhlas menerima semuanya karena memang keadaannya begini, tapi jika sekarang kau telah mampu mencicil rumah, tapi rumah justru di t
"Nia, kamu ini apa-apaan sih? Maksud kamu apa? Vivi akan tinggal di sini? Yang benar saja? Astaghfirullah." Aku menarik cepat lengannya masuk ke dapur dan langsung kutanyakan maksud ucapanya. "Tenang dulu Mbak, tenang! Mbak Nisa dengan semua yang sudah mereka lakukan? Terus nyerah gitu aja sampai di sini? Mereka akan merasa menang Mbak! Bahkan si Vivi itu akan tertawa melihat Mbak keluar dari rumah ini. Jangan lemah Mbak! Dengan Vivi tinggal di sini, kita akan lebih mudah membuat dia merasa tak nyaman, biar dia tau rasa telah berani masuk dalam rumah tangga Mbak Nisa dan Mas Iyan.""Udah Mbak tenang aja, nanti kita jalani aja semuanya sesuai rencanaku," imbuhnya lagi.Aku diam sejenak, ada benarnya juga ini anak, toh juga rumah itu adalah rumah milik Mas Adrian, dia enak hidup tenang, nyaman, tanpa ada yang mengusik di rumah itu. Dengan dia tinggal di sini Vivi akan merasakan neraka di sini.Perlahan aku tersenyum menyetujui usul Nia."Sudah paham? Mbak Nisa jangan khawatir disini Mb
"Alhamdulillah, sekarang Ibu sudah mau menerima Vivi kan, insya Allah hidup kita akan makin lengkap karena sebentar lagi cucu yang Ibu tunggu akan segera hadir di tengah-tengah kita, Bu." Mas Adrian merangkul pinggang Vivi, lekas aku menoleh membuang pandangan.Tak bisakah dia berempati sedikit ada aku di sini. "Ya sudah, ayo bawa masuk barang-barang kamu, Vi," sahut Ibu. Kemudian Mas Adrian pun membawa masuk dua tas besar milik Vivi ke dalam."Eh, eh tunggu Yan, mau di bawa masuk kemana itu tasnya?" tanya Ibu tiba-tiba membuatku menoleh ke belakang yang ternyata Mas Adrian sudah ada diambang pintu kamarku."Ya ke kamar lah Bu.""Iya, tapi kan itu kamarnya Nisa, mana bisa kalian bertiga tidur satu ranjang disitu, ya nggak muat lah! Biarkan Vivi tidur di depan Tivi sementara sampai ruang dapur di sekat buat kamar Vivi nanti."Aku tercengang. Hah, ruang dapur?Ada rasa senang sekaligus ingin tertawa mendengar ucapan ibu mertuaku.Ruangan dapur memang lumayan luas, jika di sekat bisa ja
"Mas, kamu bisa pulang cepat nggak hari ini?" Suara Vivi sepertinya ia menelpon Mas Adrian untuk pulang lebih cepat hari ini."Ya, pokoknya aku nggak suka Mas masak kamar kita begitu sih!" sungut Vivi, masih dengan raut wajah di tekuk, dan aku ingin tertawa melihat ekspresinya itu."Ehm boleh nggak sih Mas kalau aku tuker kamar sama Mbak Nisa, biar Mbak Nisa aja lah yang di belakang itu!"Aku terkesiap mendengar ucapannya itu.Hah, yang benar saja, kalaupun dia minta tukar kamar, tentu aku menolak mentah-mentah."Ya! Jam lima seperti biasa ya, ya udah deh. Pokoknya nanti kamu bujuk Mbak Nisa tuh biar mau tuker kamar.""Iya, Wa'alaikumusalam."Aku yang sedang duduk membuka resep-resep kue di buku catatanku di kamarku, pintu tak sepenuhnya tertutup rapat, jadi aku bisa mendengar siapapun yang tengah berbincang di ruang tengah."Ehm Mbak Nisa, boleh aku masuk," ucap Vivi yang kepalanya sudah menyumbul di balik pintu."Hem, ada apa? Aku sibuk, besok aku sudah mulai mau buat kue."Vivi han
"Oh gitu! Terus aja Mas kamu banding-bandingin aku sama Mbak Nisa! Tentu saja aku beda sama dia, aku lagi hamil anak kamu lho! Sedangkan dia? Dia mandul! Kamu harusnya bersyukur sama aku kamu bisa dapat keturunan Mas!""Sstt, cukup Vivi! Kamu selalu menjelek-jelekkan Nisa!" ucap Mas Adrian. Entah apa yang terjadi pada Mas Adrian dia terus saja membelaku padahal Vivi sedang marah sekarang ini."Jadi kamu sekarang belain dia? Oke, aku pergi dari sini, jangan harap kamu bisa melihat anak kamu selamanya Mas!" ancam Vivi. Membuat Mas Adrian terdiam, air mukanya berubah."Vivi, tunggu, jangan pergi dari sini, oke, Oke, Mas minta maaf, mungkin Mas juga lagi capek, jadi begini, kamu jangan pergi, aku ingin melihat anakku tumbuh bersama kita di rumah ini." Vivi yang sudah balik badan pun tersenyum puas."Please, jangan pergi. Maafkan Mas ya." Mas Adrian memeluk pinggang Vivi, pelan mengelus lembut perutnya."Oke, aku nggak suka kamu banding-bandingin aku sama Mbak Nisa lagi, ingat itu Mas!"
"Vivi, ngapain kamu kesini?" tanya Mas Adrian."Aku yang seharusnya tanya sama kamu Mas, ngapain kamu disini? Mau tidur sama Mbak Nisa? Kamu tadi bilang mau keluar ada urusan, ternyata urusannya sama Mbak Nisa di kamar ini? Iya?!" suara Vivi menggelegar memenuhi ruangan ini."Apa-apaan kamu ini, Nisa juga masih sah istriku, sah-sah saja jika aku menyentuhnya," ucap Mas Adrian."Cih, bilangnya sudah mati rasa dengan Mas Adrian, tapi nyatanya mau juga kau disentuh Mbak! Munafik!" Vivi berdecak kesal.Serasa seperti tertusuk belati saat Vivi mengucapkan itu. Aku juga tak ingin di sentuh, meski sebenarnya yang aku lakukan itu berdosa karena Mas Adrian masih berhak atas diri ini."Kau tanyakan sendiri sama Mas Adrian Vi, apa aku menggodanya? Dia sendiri datang ke kamar ini, toh aku ini istri sahnya, salahnya dimana?"Ada rasa puas tersendiri melihat Vivi uring-uringan. Asal kau tahu Vi, bukan aku yang ingin di sentuh, tapi Mas Adrian lah yang merindukan aku."Halah, munafik!""Cukup Vi! Ay
Dua bulan sudah terhitung sejak Adrian mulai datang hampir setiap hari ke rumah Yulia untuk membantu segala sesuatu kebutuhan Anita.Merawat orang lumpuh ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Tanpa rasa sungkan Adrian membantu mengangkat tubuh Anita jika hendak ke kamar mandi. Barulah setelah di bawa ke kamar mandi urusan mandi atau buang air akan di bantu oleh Yulia atau Sumi.Adrian duduk termenung di ruang tamu menunggu Anita yang sedang dimandikan oleh Yulia di dalam.Sebenarnya ia tak masalah membantu sampai sejauh ini, Adrian ikhlas. Hanya saja kalau Anita tetap tak merestui hubungan mereka, apa semua yang sudah ia lakukan ini akan sia-sia belaka?"Kenapa? Kok ngelamun? Kamu capek? Bantu Aku dan Mama?" Adrian terkejut tiba-tiba Yulia ada di sebelahnya."Oh, nggak aku lagi menikmati pemandangan bunga-bunga di halaman aja." Adrian berkilah."Oh. Kalau di rasa sudah tak sanggup membantu, katakan saja, aku nggak apa-apa."Adrian terdiam. Baginya cinta yang sudah terlanjur tumbuh
"Selamat pagi Tante," sapa Adrian hari Minggu pagi ini ia datang ke rumah Yulia. Kini Yulia sedang membawa ibunya yang duduk di kursi roda, bermaksud untuk menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Sebuah rutinitas yang tak pernah terlewatkan setiap pagi, agar tubuhnya Anita lebih segar.Adrian datang dengan membawa buah dan kue red Velvet kesukaan Anita.Anita diam, dari raut wajahnya masih memperlihatkan ketidaksukaannya pada Adrian, meski ia tahu Adrian adalah orang yang menolong nyawanya ketika waktu ia butuh transfusi darah. Anita tetap keras kepala, sekali tak suka maka sampai kapanpun ia tetap tak suka.Adrian tersenyum, ia paham dirinya masih belum diterima oleh Anita."Mulai sekarang Saya akan sering datang untuk menemui Tante. Jadi kalau ada apa-apa yang dibutuhkan, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Tante."Anita mendelik mendengar ucapan Adrian."Memangnya kamu siapa?! Nggak! Nggak perlu kamu datang kemari sering-sering! Bikin mata sepet aja!" sentak Anita.Sedangkan Y
Semenjak hari itu Yulia benar-benar sulit ditemui, bahkan di kantornya, Adrian tak dapat menemuinya. Gadis itu benar-benar serius dengan ucapannya, yaitu ingin instrospeksi diri juga berpikir lebih jernih mengenai hubungan mereka ke depan.Jangan tanya bagaimana suasana hati Adrian. Tidak bisa mendengar suara Yulia, tak bisa melihat senyumannya, tentu rasanya sangat menyiksa.Ternyata sesakit diabaikan. Apa kabar dengan hati Yulia yang menunggu selama berbulan-bulan, menyembunyikan perasaannya sampai pada akhirnya Adrian menyambut cinta itu.Adrian tak pernah menyerah, ia kembali mencoba menghubungi Yulia melalui sambungan telepon.Namun tetap sama, tidak diangkat.Hingga lebih dari dua minggu kondisi ini berlalu. Adrian menyerah tak lagi mengubungi gadisnya. Ia sudah pasrah. Jika memang mereka ditakdirkan bersama maka insya Allah nanti mereka akan bersama-sama. Tapi jika memang takdir tak menyatukan mereka maka Adrian akan berusaha ikhlas.Ikhlas adalah titik terdalam sebuah perasaa
Mendadak wajah Adrian pucat, ia terlihat gugup menatap Yulia yang menatapnya tajam."Ehm, Li, aku akan jelasin ke kamu semuanya, dan kamu jangan dulu salah paham, oke." Yulia masih terdiam menunggu penjelasan seperti apa yang akan Adrian katakan.Setelah keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat, Adrian meneguk jus alpukat miliknya."Aku khilaf telah bermain api di belakang Anisa," ucap Adrian jujur. Sebenarnya ia tak tahu lagi dari mana ia harus memulai bercerita, kata-kata seperti apa yang harus ia rangkai dan ia katakan pada Yulia.Ia tak ingin Yulia jadi salah tangkap dan jadi membencinya, Adrian tak sanggup jika harus kehilangan Yulia. Baginya Anisa sudah menjadi masa lalu, dan sekarang ia ingin menggapai masa depan bersama gadis manis yang tengah merajuk ini."Khilaf sampai berselingkuh dengan sepupunya istrimu, Yan?!" Yulia menggeleng tak percaya.Adrian tercekat, ia tak mampu membantah karena memang itu faktanya."Aku nggak nyangka kamu ternyata setega itu Yan. Apa kehadiran
"Aku pamit pulang ya Kak, kasihan Mama, pasti sudah menungguku pulang." Jari sudah hampir gelap, Yulia pun pamit untuk pulang.Putri mengantar Yulia hingga ke depan pintu gerbang, saat sebuah taksi mobil yang dipesan Yulia tiba di depan rumah Putri, Yulia langsung naik dan berlalu pulang ke rumahnya.Sepanjang perjalanan, perasaan Yulia gampang, antara tetap melanjutkan atau memilih mundur pada hubungannya dengan Adrian. Sesungguhnya jauh di lubuk hatinya, Yulia sangat mencintai laki-laki itu, sejauh ini, walaupun mamanya menentang keras hubungan mereka, selama ini ia tetap berdiri tegak, teguh pada pendiriannya, yaitu memperjuangkan cinta.Tapi menilik akan kisah masa lalunya Adrian, apakah laki-laki itu benar-benar bisa tulus mencintainya sepanjang hidup mereka? Seperti cintanya pada Adrian.Bagaimana kalau tiba-tiba Adrian mengulangi kesalahan yang pernah ia lakukan pada Anisa? Tentu saja hati Yulia akan hancur.Orang bilang sekali saja laki-laki berselingkuh maka tak menutup kemu
Mendadak raut wajah Putri berubah. Ia merasa kurang nyaman membahas lagi tentang masa lalunya."Ehm maaf Kak, maaf banget. Aku bukan bermaksud untuk mengingatkan Kak Putri tentang masa lalu Kakak, tapi aku sangat butuh informasi tentang Adrian." Yulia berkata dengan sungguh-sungguh.Ia tak ada maksud apapun, ia hanya ingin tahu tentang Adrian. Ia tak ingin salah dalam melangkah.Putri menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia meraih cangkir teh-nya, menyesapnya pelan, berharap ia bisa merasa lebih rileks sebelum memulai bercerita tentang mantan suaminya."Ehm, memangnya Yulia kenal Adrian dimana?" tanyanya yang merasa heran bagaimana bisa sosok Yulia yang terlahir dari keluarga terhormat, tumbuh menjadi gadis cantik, berpendidikan tinggi, dan kini memiliki karir yang bagus di perusahaan tempatnya bekerja, tiba-tiba saja kenal dengan Adrian yang notabenenya hanya laki-laki biasa.Yulia tersenyum kecil."Mas Adrian ... Dia calon suami Yulia Kak," jawabnya.Seketi
"Yulia, boleh Tante ngobrol sebentar?" tanya Maya setelah Adrian pamit pulang."Ada apa Tante?" Yulia mendaratkan bobotnya di sebelah Maya.Maya mengulas senyum lembut pada gadis disebelahnya. Yulia memang cantik, dia juga sangat penurut."Gimana kerjaan kamu? Lancar?" tanya Maya sekedar basa-basi."Alhamdulillah lancar Tante." Yulia menatap lekat wajah Maya, ia seakan bisa membaca gurat ekspresi tantenya yang terlihat sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan."Ada apa Tante? Ada yang ingin Tante katakan sama Yulia?" tanya Yulia langsung pada intinya. Maya pun kembali mengulas senyum."Iya ada sedikit yang ingin Tante tanyakan." Yulia menegakkan tubuhnya seakan ia telah siap untuk mendengarkan apa yang hendak Maya tanyakan."Kamu serius sama laki-laki itu? Siapa itu tadi namanya, ehm ....""Adrian Tante.""Ah ya, Adrian. Apa kamu benar-benar serius dengan hubungan kalian?" "Iya Tante. Yulia sama dia sih serius, tapi masalahnya ada sama Mama, Mama nggak merestui hubungan kami, padaha
Semenjak hari itu Anita lebih banyak diam, tak lagi membahas tentang perjodohan pada Yulia.Sampai pada hari ini rumah Anita kedatangan sepupunya, yang tak lain adalah Maya–ibunya Raffi.Beberapa kali Maya datang ke rumah, dan dua kali menjenguk di rumah sakit. Melihat kondisi sepupunya yang kini terbaring di tempat tidur membuat Maya sedih, karena biasanya saat ada acara kumpul keluarga, Anita selalu menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah mereka. Tapi kini semenjak ia mengalami kecelakaan, Anita seakan tersisih dari keluarga besarnya."Gimana keadaan kamu sekarang Mbak?" tanya Maya. Ia datang sendiri dengan di temani supir."Ya beginilah May, tak ada perubahan apapun, aku cuma wanita tua yang lumpuh, dan merepotkan," ketus Anita.Maya yang memang sudah sangat mengerti karakter Anita pun biasa saja."Sabar Mbak, namanya juga ujian. Alhamdulillah Yulia gadis yang baik, aku lihat dia merawatmu dengan baik."Anita hanya menghela napas. Putrinya memang gadis yang baik, cantik, ta
"Makan dulu Ma." Yulia menyuapi bubur untuk Anita. Namun Anita masih diam tak bergeming."Ma, makanlah sedikit," pinta Yulia lagi, pasalnya semenjak sadar dari komanya mamanya lebih banyak diam, tak mau makan.Akibat kecelakaan yang menimpanya dan masalah pada saraf otaknya, menyebabkan kedua kaki Anita tak bisa digerakkan. Lumpuh.Segala sesuatunya harus di bantu. Yulia jadi sering ijin tak masuk kantor, untungnya pihak kantor berbaik hati memberikan dispensasi karena selama mengabdi pada perusahaan kinerja Yulia bagus."Kamu nggak masuk kerja lagi?" tanya Anita.Beruntung meski kakinya lumpuh, dalam berbicara Anita masih lancar, tak ada masalah."Nggak usah pikirkan tentang kerjaanku Ma, yang penting sekarang Mama harus makan biar cepat sembuh," sahut Yulia."Assalamualaikum, selamat pagi." Tiba-tiba pintu ruang rawat Anita terbuka, menampakkan sosok Adrian.Melihat kehadiran Adrian, Anita langsung membuang muka."Ini aku bawakan buah-buahan dan brownies untuk Tante Anita." Adrian m