"Assalamualaikum, Ma!"Aku dan Abian memasuki rumah Abian."Wa'alaikumussalam! Tyas, kamu datang Sayang, Alhamdulillah, kamu kemana aja Sayang, nomer kamu nggak aktif belakangan ini. Kamu sehat?"Sambutan hangat langsung aku rasakan begitu Bertemu dengan Tante Suryani. Beliau langsung memelukku, mencium pipi kanan dan kiriku."Alhamdulillah Tyas baik Mah, Sehat. Mama gimana? Sehat?""Alhamdulillah Mama juga sehat, kamu lagi nggak marahan sama Abi kan?" tanya Tante Suryani kemudian melirikku dan Abian secara bergantian.Aku langsung. Aku langsung menoleh pada Abian, ia tersenyum."Enggak lah Ma! Tyas memang sedang sibuk aja Ma. Jadi nggak bisa di ganggu. Ya kan Sayang?""Hem, oh, iya Ma. Betul sekali kata Abian, akhir-akhir ini memang Tyas sibuk Ma. Maafkan Tyas ya Ma.""Iya sudah nggak apa-apa. Jangan terlalu diforsir, jaga kesehatan kamu ya."Aku mengangguk tersenyum."Iya Ma. Makasih ya.""Ya sudah yuk, jadi jalan sekarang?" tanya Abian."Jadi dong! Yuk jalan sekarang! Sebentar Mama
"A–Abian."Ia masih menatapku dalam. Aku sampai tak mampu berkata-kata lagi. Laki-laki yang kini bersimpuh di hadapanku adalah dia yang sudah menungguku sekian lamanya. Dia yang menyimpan rasa di hatinya bahkan ketika aku telah bersama dengan pria lain. Dan selama itu pula ia tak pernah melabuhkan cinta ke hati yang lain. Bahkan ia menutup rapat perasaannya itu, sampai-sampai aku sendiri baru tahu belakangan ini.Aku terharu sekaligus tak percaya. Dia, lelaki hebat itu, memilihku untuk menjadi pendamping hidupnya. Menjalani sisa hidup ini bersama, mengarungi bahtera dalam suka maupun duka.Ada rasa bahagia, juga bingung. Entahlah, aku sendiri tak mengerti. Satu sisi terkadang aku merasa tak pantas bersanding dengannya. Terlepas dari masalah cinta segitiga antara aku, dia dan Amel. Ada beberapa hal yang terkadang menjadikan aku bimbang. Perbedaan status, dia seorang perjaka, sedangkan aku hanya seorang janda.Dia seorang CEO muda, calon penerus tahta perusahaan milik ayahnya. Sudah ten
Aku berjalan dengan di gandeng oleh Bu Agustin, menuju tempat dimana dua keluarga berkumpul untuk menyaksikan acara ini. Aku menoleh sekeliling. Mereka yang tengah asyik berbincang, dan ada juga yang sedang menikmati hidangan yang sudah disediakan. Dan ketika Mc menyuarakan penyambutan atas diriku, riuh tamu undangan seketika meredam, di saat yang sama, semua mata seolah tertuju padaku yang tengah berjalan pelan bersama Bu Agustin menuju kursi yang sudah disiapkan. Di sana Abian dan Tante Suryani juga Papa sudah duduk menungguku. Senyum merekah di bibirku, melihat wajah tenang Papa terlihat begitu gagah penuh wibawa tak dapat menyembunyikan aura kebahagiaan yang tengah ia rasakan kini. Disebelahnya ada Abian yang juga mengenakan jas dengan warna senada dengan kebaya yang kukenakan. Ia terlihat begitu mempesona, senyum menghiasi bibirnya, kedua netranya menatapku. Ketika aku balas menatap irish hitam itu, tatapan mata kami bertemu. Pun dengan Tante Suryani yang duduk dengan angg
Abian Pov. Ada pelangi menyambut dengan warna indah, setelah hujan badai menerpa. Laksana hujan yang turun di gurun pasir yang gersang nan panas, seketika berganti dengan kesejukan yang luar biasa Hal itu yang aku rasakan ketika Pak Aditama menghubungiku, memberitahukan bahwa Tyas telah selamat. Ia berhasil kabur dari para penculik itu. Aku lega luar biasa. Aku langsung meminta alamat dimana Tyas berada, biar aku yang menjemputnya pulang. Tapi ternyata Tyas tak memberitahu keberadaannya. Ktnya ia akan pulang sendiri diantar oleh orang yang menolongnya. Tak masalah bagiku, yang terpenting sekarang, Tyas selamat, dia akan kembali. Keesokan harinya, aku datang ke rumah Pak Aditama, menunggu Tyas pulang. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, menahan rindu yang tak tertahankan sejak ia memutuskan untuk pergi sendiri. Aku tahu, dia melakukan ini untuk menghindariku, dengan dalih ingin menenangkan diri. Oke, aku berusaha memahami itu. Aku sabar menunggu ia kembali, walau pada
Abian pov. "Stefy! Stefy!" panggilku seraya mengetuk pelan pintu kamar gadis manja itu. Hening. Tak ada sahutan. "Stefy! Buka pintunya Nak! Ini ada Abian nih," ucap Tante Melia sambil mengetuk pintunya. "Stefy, udah yuk keluar." Tante Melia tak menyerah, terus meminta Stefy membuka pintu. "Memang kenapa sama Stefy Tante?" tanyaku, kenapa bisa dia ngambek, pasti ada penyebabnya. "Tadi pagi saat Tante kasih kabar tentang kamu yang mau melamar Tyas. Dia kaget dia marah, dan ngamuk-ngamuk, Bi. Maksud Tante kan mau ngajak dia untuk ikut ke acara kamu melamar Tyas." Tentu ucapan Tante Melia seketika membuat dahiku mengerenyit. "Kenapa ngamuk?" "Aduh, Abian, kenapa sih, kamu ini jadi laki-laki kok ya nggak peka sama sekali sih!" sungut Tante Melia padaku yang memang tak paham mengapa dia ngambek, apa hubungannya denganku? "Ya memang Abi nggak tahu Tante, tiba-tiba dia ngambek gitu." Tante Melia membuang napas. "Dia itu sakit hati melihat kamu melamar Tyas, Abi! Dia itu
"Tapi aku maunya cuma Mas Abi, Budhe!" sentaknya kemudian beranjak dari duduknya dan berlari masuk ke dalam kamarnya.Aku dan Mama saling pandang. Aku menggeleng tak mengerti, ada ya orang seperti itu. "Ayo Ma kita pulang aja. Abi, pusing juga lama di sini," ajakku pada Mama."Eh, ya nggak bisa gitu dong Bi! Kamu harus tanggung jawab!" ketus Tante MeliaNetraku membeliak, makin tak mengerti dengan Tante Melia ini."Lho kenapa Abi? Abi nggak ngapa-ngapain kenapa suruh tanggungjawab." Aku berdecak kesal."Ya iya, Stefy jadi begini kan gara-gara kamu nggak balas cintanya. Ya, paling nggak, kamu bujukin dia dulu Bi! Jangan malah di tinggal pergi gitu aja!" sungut Tante Melia lagi.Astaghfirullah mimpi apa aku ini, mengapa jadi begini."Tante, ini juga sudah malam, Abi dan Mama ingin istirahat, jadi kami mau pulang saja." Aku yang sudah capek, ingin istirahat, justru di sini di buat seperti ini, tentu saja emosiku naik."Eh, enggak-enggak! Mbakyu, ayolah tolong saya ini, tadi Stefy sudah
"Tapi aku maunya cuma sama kamu Mas. Aku rela jadi istri kedua kamu Mas. Aku janji akan akur dengan Tyas, berjanjilah setelah menikah dengan Tyas, kamu juga akan menikahiku Mas.""Astaghfirullah, Stefy! Kamu ini benar-benar konyol! Ayo Ma pulang! Abi udah nggak tahan Ma, Stefy benar-benar menguji kesabaran kita. Maaf Stefy, aku bukan benci atau tak suka sama kamu, aku sayang sama kamu, tapi rasa sayang sebagai Kakak pada adiknya. Aku mohon kamu jangan mengartikan yang berbeda! Aku mencintai Tyas, nggak mungkin aku juga menikahi kamu! Kamu jangan seperti ini!" ucapku tegas dengan deru napas memburu.Astaghfirullah! Aku hanya manusia biasa, mana mungkin aku bisa melakukan poligami. Sedangkan mimpiku sejak dulu, hanyalah aku ingin hidup bersama Tyas, sampai nanti menua bersama, membesarkan anak-anak kami bersama-sama kelak. Sebuah impian untuk merajut cinta setiap hari, menggapai ridho Allah, dan mencapai surga Allah bersama. Mana mungkin aku tega menghadirkan orang ketiga dalam rumah t
"Abian, ayo cepetan!" Pagi-pagi sekali Mama sudah mengetuk pintu kamarku mengajakku ke rumah sakit.Ya, Semalam Stefy mencoba mengiris pergelangan tangan kanannya dengan sebuah pisau.Benar-benar konyol!"Iya Ma, iya! Sebentar!" Aku dengan tergesa-gesa mengenakan kaos dan celana.Semalam aku memutuskan untuk tidur tanpa membuka pesan dari Tante Melia.Dan selepas subuh tadi Mama membangunkanku, menunjukkan sebuah foto Melia sudah tak sadarkan diri dengan kondisi pergelangan tangan kanannya berlumuran darah.Untung saja Tante Melia cepat mengetahui, kalau tidak sudah dipastikan Stefy bisa tak tertolong akibat kehabisan darah.Astaghfirullah! Dia benar-benar nekat. Dan hal ini bukan membuatku makin simpati, yang ada aku justru semakin muak dengan tingkahnya.Maksudnya apa? Dia mau bunuh diri? Begitu? Astaghfirullah, betapa dia sangat pendek sekali cara berpikirnya. Apa dia pikir dengan mengakhiri hidupnya, akan selesai semua masalah? Dia tak menyadari justru hal itu akan jadi titik awal
"Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
"Selamat sore, Mbak Hasna," sapa pria itu.Hasna sedikit terkejut. Ke apa laki-laki itu bisa tahu namanya. Dari gelagatnya dia seperti tidak berniat untuk membeli sesuatu di toko."Sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya teman lama Iqbal. Namaku Fauzan. Saya baru dengar tentang kejadian yang menimpa keluargamu."Hasna terdiam sejenak. Ada rasa kekhawatiran, jangan-jangan kakaknya punya hutang pada temannya ini dan sekarang dia datang untuk menagih hutang. Begitu pikir Hasna."Oh, begitu. Ada yang bisa saya bantu? Maaf Mas Iqbal tidak ada di rumah."Fauzan mengangguk pelan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ibumu. Aku tahu bahwa apa yang terjadi dengan Iqbal pasti bagi kalian."Hasna memandang pria itu dengan sedikit rasa waspada. Ia memang pernah mendengar nama Fauzan dari Iqbal, tapi mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tentu saja, setelah semua yang terjadi dengan kakaknya, ia sulit untuk langsung mempercayai siapa pun, terutama orang yang datang tiba-tiba tanpa diduga.H
POV Author. Jalan Terjal Kehidupan keluarga Iqbal."Makan dulu Bu." Hasna menyuapi ibunya–Wina dengan telaten.Nasi putih dengan tekstur sedikit lembek dan sayur Sop ayam. Biasanya ibunya akan sangat suka dengan menu satu ini. Tapi hari ini Bu Wina seperti tak ada nafsu makan."Bu, lagi ya." Bu Wina menggeleng. Hasna menghela napas."Ya sudah sekarang minum obatnya, ya." Hasna bergegas menuju ke kamar ibunya, membuka laci nakas tempat ia menyimpan obat.Setelah kejadian Bu Wina jatuh stroke, Hasna memilih resign dari kantor dan fokus di rumah mengurus ibunya.Ia membawa Wina kembali ke rumah lamanya. Sedangkan Bu Maryam dan Bapaknya pindah dari rumah itu, tinggal tak begitu jauh dari rumah Bu Wina."Ini Bu obatnya." Setelah selesai mengurusi ibunya, Hasna membawa ibunya ke depan teras rumah, udara pagi yang sejuk, juga sinar matahari pagi bagus untuk kesehatan ibunya."Hasna buka warung dulu ya." Bu Wina hanya mengangguk. Sebenarnya Bu Wina masih bisa bicara walau ada sedikit terb
"Halo Sayang, aku sekarang bagi diperjalanan pulang ke Jakarta." Aku mengabari Tyas melalui sambungan telepon."Iya Mas hati-hati. Gimana tadi ketemu sama Pak Bambang?""Ketemu Sayang.""Terus?""Nanti aku ceritakan di rumah ya. Assalamualaikum."Panggilan selesai. Aku fokus mengemudi dengan karena jalan berbelok-belok dan berbatu.Aku kembali ke Jakarta dengan menggenggam luka. Kesaksian Pak Bambang, tentu memberi titik terang sekaligus memberikan luka. Betapa Martin sangat jahat. Padahal Papa sudah sangat percaya padanya.Ternyata dia tega mengkhianati kepercayaan Papa. Sungguh ini sakit sekali."Ya Allah Pa. Lihat kan Pa, orang yang selalu Papa bela mati-matian, orang selalu menjadi diri diantara hubungan kita. Ternyata dia adalah orang yang sangat busuk! Brengsek! Awas saja Kau Martino, aku pastikan kau akan mendekam di balik jeruji besi untuk waktu yang sangat lama," geramku, sambil memukul stir mobil beberapa kali.Aku berhasil keluar dari jalan desa, kini melewati jalanan yang