Akira yang panik hanya bisa memeluk lututnya sendiri di bawah sofa, saat Noah datang penampilan Akira sudah seperti orang yang ketakutan. Noah merengkuh tubuh kekasihnya dengan lembut, "Aku sudah datang, Sayang kamu aman sekarang," ujar Noah kepada Akira yang kini menatap pemuda itu dengan erat. "Dia datang, Noah, dia juga masuk rumahku, dia......" Akira terisak karena ketakutannya yang besar, "Dia sudah pergi sayang, aku akan menjaga kamu tetapi kamu juga harus ikutin saran aku, lebih baik pulang ke rumah orang tua kamu saja, di sana kamu akan aman." Akira mengangguk dengan ucapan Noah. Pemuda itu melihat kotak kado yang sama dengan kado waktu Akira ulang tahun. "Dia memberikan aku itu lagi, aku takut Noah." Kamu pulang ya sayang, biar Gabriel yang antar kamu pulang, dia dalam perjalanan. Noah melepaskan pelukan Akira dan beralih dengan kotak tersebut, Di dalamnya, ada kalung berliontin safir biru, tatapan mata Noah langsung gelap saat melihat kotak itu. "Ini sudah keterlal
Malam di apartemen Noah begitu sunyi, tetapi ketegangan terasa kental di udara. Akira tertidur dengan gelisah di pelukan Noah, sementara pemuda itu menatap langit-langit kamar dengan mata yang tak bisa terpejam. Pikiran Noah berputar, penuh kemarahan dan kekhawatiran. Adrian sudah melewati batas. Mengirim hadiah ke rumah Akira, masuk tanpa izin, dan kini berani muncul di gala amal dengan wajah penuh ejekan. Itu bukan sekadar peringatan. Itu tantangan. Keesokan paginya, Noah bangun lebih dulu. Dia membiarkan Akira tidur lebih lama, tetapi pikirannya sudah dipenuhi rencana. Dengan langkah pelan, dia turun ke ruang kerja pribadinya, membuka laci meja, dan mengeluarkan sebuah ponsel lain—ponsel yang hanya digunakan untuk urusan yang lebih… gelap. Noah menekan nomor yang sudah lama tidak dia hubungi. Suara di ujung telepon menjawab dengan singkat. "Aku butuh bantuan," ujar Noah tanpa basa-basi. Suara itu tertawa pelan, "Akhirnya kau meneleponku juga. Apa yang kau inginkan, Noah?" "Ca
Pagi itu, sinar matahari samar menelusup melalui tirai apartemen Noah, menghangatkan ruangan yang sunyi. Akira masih terlelap di sofa, sementara Noah duduk di meja dapur, menyesap kopi hitam dengan tatapan kosong.Ketegangan semalam masih membekas di benaknya. Pikirannya terus berputar pada satu nama: Adrian Lawson. Pria itu sudah melampaui batas, dan Noah yakin, ini baru permulaan.Namun, suasana yang nyaris tenang itu terusik ketika ponsel Akira yang tergeletak di meja ruang tamu tiba-tiba berdering. Layar ponsel menyala, menampilkan satu inisial yang membuat Noah langsung waspada:A.Noah memicingkan mata. Rahangnya mengeras, tatapannya gelap. Dia tahu siapa yang menelepon. Tanpa berpikir panjang, Noah meraih ponsel itu dan melihat panggilan tak terjawab yang bertubi-tubi.Tepat saat Noah akan menekan tombol tolak, Akira terbangun. Rambutnya berantakan, wajahnya masih terlihat lelah, tetapi begitu melihat ponselnya di tangan Noah, dia langsung tersadar."Noah… siapa yang menelepon?
Langit malam di apartemen Noah tampak tenang, tetapi atmosfer di dalamnya begitu tegang. Akira duduk di sofa, memeluk lututnya sendiri, menatap layar ponselnya yang baru saja bergetar untuk kesekian kalinya. Sebuah pesan tanpa nama kembali muncul.["Kamu pikir sudah aman? Aku akan membuat semuanya hancur. Bahkan Noah tidak akan bisa melindungi orang-orang yang kamu cintai…"]Tangan Akira gemetar, wajahnya pucat. Noah yang baru keluar dari kamar mandi langsung menyadari perubahan ekspresi kekasihnya."Ada apa, Sayang?" tanya Noah, mendekati Akira dengan cepat.Akira menyerahkan ponselnya tanpa kata. Noah membaca pesan itu, rahangnya langsung mengeras, mata hitamnya dipenuhi kemarahan yang menakutkan."Dia sudah melarikan diri," gumam Noah, lebih kepada dirinya sendiri."Apa maksudmu?" suara Akira terdengar gemetar.Noah menatapnya, mencoba menenangkan, tetapi kali ini, ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan. "Adrian… Dia berhasil melarikan diri. Aku sudah menjebak bisnis gelapnya,
Suasana malam di apartemen Noah dan Akira begitu tenang. Lampu kamar yang temaram menciptakan kesan hangat, sementara suara angin yang berbisik lembut di balik jendela seolah menjadi melodi pengantar tidur. Noah memeluk Akira erat, seperti enggan melepaskannya barang sejenak. Namun, di balik ketenangan itu, jiwa Akira justru terombang-ambing dalam kekacauan. Dia terjebak dalam mimpi yang begitu nyata, begitu menakutkan… Dalam mimpi itu… Akira berdiri di tengah ruang megah yang dipenuhi mawar merah, namun wangi bunga itu terasa menusuk, seperti racun yang merayap perlahan. Dia mengenakan gaun pengantin putih, tetapi wajahnya pucat, mata sembab, dan bibir gemetar. Dia hadapannya berdiri seorang pria yang dulu pernah menghantui masa lalunya--Adrian. Adrian, pria yang pernah dijodohkan dengan Akira oleh ayahnya semasa Akira masih muda, dulu adalah sosok yang penuh pesona, hingga membuat Pak Hermawan mau menjodohkan putrinya. Namun, di balik senyumnya yang menawan, tersembunyi ambisi k
Malam setelah Akira bermimpi buruk, Noah izin untuk ke London karena urusan pekerjaan, dia ke London bersama dengan Gabriel yang merupakan sepupu sekaligus rekan kerjanya."Sayang, kamu aku tinggal beberapa hari ya, jika ada apa-apa hubungi aku, aku akan datang untuk membantu kamu," ujar Noah kepada kekasihnya.Akira mengangguk dengan senyum manis, "Tentu, aku akan baik saja selama ada di apartemen kamu ini, jaga diri kamu ya, Noah!""Iya, aku akan cepat pulang jika urusan pekerjaan selesai.""Aku menunggu kamu sayang."Pagi itu, suasana di apartemen milik Noah terasa begitu sunyi. Noah sudah berangkat ke London untuk mengurus proyek besar yang tak bisa ditinggalkan. Meskipun mereka sempat berjanji akan tetap saling menghubungi, kekosongan tanpa Noah di sisinya membuat Akira merasa tidak tenang.Dia masih terbayang mimpi buruk beberapa malam lalu--tentang Adrian, Noah yang terluka, dan dirinya yang dipaksa menikah dengan pria yang seharusnya sudah menjadi masa lalu. Akira berusaha mey
Langit Jakarta sore itu mendung, seakan menggambarkan suasana hati Akira yang gelisah. Sudah seminggu sejak Noah berangkat ke London, dan selama itu pula Adrian terus menghantui kehidupannya. Pria itu tidak pernah berhenti menunjukkan kekuasaannya, membuat Akira merasa seperti hidup dalam sangkar emas yang sewaktu-waktu bisa runtuh. Setiap kali dia ingin menghubungi Noah, Akira ragu. Noah pasti sibuk, dan dia tak ingin terlihat lemah. Terakhir Akira chat dengan Noah, laki-laki itu juga tidak merespon chatnya. Tapi tanpa Akira sadari, Noah selalu memantau setiap gerak-gerik Adrian dari jauh. Dan kini, setelah menyelesaikan proyek besarnya, Noah akhirnya kembali ke Indonesia--berniat mengakhiri permainan kotor Adrian sekali untuk selamanya. Noah turun dari pesawat dengan langkah tegap. Setelan kasual hitamnya, lengkap dengan mantel panjang, membuatnya tampak seperti seseorang yang baru saja pulang dari pertempuran, bukannya perjalanan bisnis. Tatapan matanya dingin dan tajam, penuh d
Setelah Adrian pergi dari mansion, suasana rumah keluarga Hermawan akhirnya kembali tenang. Namun, ketegangan yang dialami Akira selama seminggu terakhir telah meninggalkan jejak yang lebih dalam dari yang ia sadari.Akira mencoba bersikap normal di depan Noah dan orang tuanya, tetapi tubuhnya mulai memberikan sinyal bahwa dirinya sudah melewati batas kemampuannya."Noah… aku hanya butuh istirahat sebentar," ujar wanita muda itu dengan suara pelan ketika Noah mengurangi pelukannya dan mengajaknya duduk di sofa.Namun, baru beberapa detik setelah dia berkata demikian, pandangannya mulai berputar, dan sebelum Akira sempat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya merosot ke pelukan Noah."Akira!" Noah langsung menangkap tubuhnya yang limbung, panik melihat wajah kekasihnya yang kini memucat.Bu Selena dan Pak Hermawan yang melihat kejadian itu segera berlari menghampiri."Akira!" Bu Selena menjerit, mencoba membangunkan putrinya.Noah meraba dahi Akira dan mengernyit ketika merasakan panas y
Senja menyelimuti markas utama Phoenix of Gold. Gedung kaca yang menjulang tinggi itu memantulkan warna jingga dari matahari yang perlahan tenggelam. Di dalam ruang observasi, Arka duduk diam menatap layar hologram, meninjau ulang data-data yang berhasil direbut dari Leo.Di sampingnya, Vanya membungkuk memeriksa pola-pola anomali dalam algoritma yang digunakan Leo untuk menyalin blueprint milik Hydra Star Corp.“Leo bekerja sendiri?” tanya Vanya, masih menatap layar.Arka menggeleng pelan. “Enggak. Pola enkripsinya bukan gaya Leo. Ini lebih kompleks. Lebih... khas Dragunov.”Vanya menegakkan tubuh. “Tapi Dragunov udah dihancurkan, Ka. Kita sendiri yang mengakhiri jaringan mereka.”Arka mengangguk. “Iya. Tapi sisa-sisanya masih berkeliaran. Dan aku curiga... mereka tidak pernah benar-benar hancur. Hanya bersembunyi.”Belum sempat Vanya menjawab, pintu ruang observasi terbuka cepat. Gabriel masuk dengan ekspresi tegang.“Kalian harus lihat ini.”Mereka mengikuti Gabriel menuju ruang ko
Tiga minggu telah berlalu sejak insiden pelabuhan. Dunia mulai menaruh perhatian besar pada dua sosok remaja jenius, Arka Mahendra dan Vanya Laurent. Tak hanya karena keberanian mereka melawan jaringan Black Shadow, tetapi karena simbol baru yang mereka wakili—harapan generasi masa depan.Media internasional menjuluki mereka sebagai Phoenix Twins, mengacu pada nama perusahaan keluarga Arka, Phoenix of Gold, dan kebangkitan mereka dari ancaman masa lalu. Namun, bagi Arka, popularitas bukanlah sesuatu yang ia nikmati. Ia lebih memilih duduk di ruang riset, berkutat dengan sistem keamanan, memantau jejak sisa kelompok Rio yang kini menghilang dari radar.Sementara itu, Vanya, yang mulai tinggal di markas Phoenix sebagai bagian dari program rehabilitasi dan perlindungan, tak kunjung merasa nyaman. Meskipun Arka membelanya di depan seluruh dewan direksi Phoenix, beberapa anggota senior perusahaan—terutama dari pihak investor lama Mahendra Corp—masih mencurigainya.
Pagi itu, langit kota London terlihat kelabu. Kabut menyelimuti kaca-kaca pencakar langit, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perubahan cuaca. Di salah satu ruangan paling aman di markas Phoenix of Gold, Arka sedang bersiap untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya—keluar dari perlindungan ayahnya.Ia telah meretas jalur khusus di dalam sistem bawah tanah milik Phoenix. Jalur itu dulunya hanya diketahui oleh Noah dan Gabriel, namun kini Arka telah berhasil menciptakan duplikat pintu masuk virtualnya sendiri. Ia tahu, jika ia ingin menyelamatkan Vanya dan menghentikan Rio, ia harus melangkah seorang diri.Dengan mengenakan pakaian khusus berteknologi ringan dan chip identifikasi palsu, Arka menyelinap keluar melalui lorong belakang, diiringi suara langkah robot pengawas yang nyaris tak terdengar. Ia tidak meninggalkan pesan, kecuali surat di bawah bantalnya yang bertuliskan satu kalimat,"Jangan cari aku. Aku akan kembali saat sudah bisa m
Pagi di kediaman keluarga Mahendra begitu tenang, nyaris terlalu tenang jika dibandingkan dengan malam sebelumnya. Burung-burung berkicau seperti tak tahu bahwa dunia di luar pagar besar itu tengah bersiap meledak dalam badai yang lebih besar dari sebelumnya.Di dalam ruang latihan rahasia, Arka yang kini berusia tujuh tahun, mengenakan seragam khusus dengan lambang Phoenix kecil di dadanya. Di depan layar kaca transparan, ia mempelajari ulang taktik bertahan, membaca kode sinyal, dan membedakan pola gerakan drone musuh. Noah berdiri tak jauh darinya, mengamati.“Kamu sudah makin cepat, Arka. Tapi ingat, bukan soal kecepatan. Ini tentang ketepatan dan niat.”Arka menoleh, berkeringat namun penuh semangat. “Papa, kenapa mereka mau menyakiti kita? Padahal kita tidak pernah mengganggu mereka.”Noah menarik napas. Ia tahu, anaknya terlalu cerdas untuk dibohongi, tapi juga terlalu muda untuk menanggung semua kebenaran.“Karena mereka takut. Karena kita punya sesuatu yang tidak bisa mereka
Malam itu langit Jakarta berwarna gelap pekat. Awan hitam menggulung seakan menyembunyikan badai yang akan datang. Di ruang observasi Phoenix of Gold, cahaya layar komputer menyala redup. Noah berdiri di tengah ruangan seperti bayangan diam yang sedang menyatu dengan gelap. Di hadapannya, lusinan monitor menampilkan gambar-gambar: aktivitas Black Shadow, pergerakan logistik Rio, dan pesan-pesan terenkripsi yang telah berhasil dibuka oleh sistem keamanan rahasia mereka.“Aku akan turun langsung,” gumam Noah.Akira yang berdiri di belakangnya mengernyit. “Maksudmu ke Montenegro? Noah, kamu baru saja menarik perhatian dunia. Kamu akan menjadi target utama jika kembali menyamar.”Noah memalingkan wajahnya. “Bukan menyamar. Aku akan kembali menjadi diriku yang dulu. Phantom. Hanya itu cara untuk menuntaskan semuanya.”Akira menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu masuk terlalu dalam… bagaimana caranya kamu kembali ke kami?”Noah melangkah pelan mendekati istrinya, menangkup wajahnya dengan ked
Phoenix of Gold kini menjadi sorotan dunia. Media internasional menyoroti perusahaan yang tak hanya bergerak di bidang energi hijau, tetapi juga menjadi simbol ketahanan keluarga di tengah ancaman global. Akira dan Noah menjadi pasangan fenomenal yang disegani—bukan karena kekayaan mereka, tapi karena integritas dan keberanian mereka mempertahankan nilai.Namun di balik sorotan itu, ada ketegangan yang terus menguat. Noah kini tidur hanya dua hingga tiga jam sehari. Sisanya ia habiskan untuk memperkuat keamanan digital, memperluas jaringan intelijen, dan yang paling penting: menyusun serangan balik terhadap Rio Vasilyev.Di ruang bawah tanah Phoenix of Gold—ruang yang tak diketahui siapa pun kecuali Akira dan beberapa orang kepercayaannya—Noah berdiri di hadapan layar besar yang menampilkan peta dunia.“Operasi Valkyrie akan dimulai dalam empat puluh delapan jam,” ucap Raka sambil menunjukkan serangkaian data. “Kami sudah menanam orang dalam di markas Rio di Montenegro. Namun mereka m
Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu, mendung menggantung berat seolah memantulkan perasaan yang memenuhi hati Akira. Ia berdiri di balkon rumahnya, menatap taman tempat anak-anak biasanya bermain. Namun hari ini, taman itu kosong. Arka sedang di kamar bersama tutor privatnya, sementara Eiden masih tidur dalam pelukan pengasuhnya.Akira baru saja menerima laporan bahwa kantor pusat Phoenix of Gold kembali diserang secara digital. Sistem keamanan mereka diretas, dan beberapa dokumen rahasia hampir bocor ke publik jika tim IT tidak sigap memblokir akses asing yang berasal dari luar negeri.“Noah, ini bukan cuma tentang bisnis lagi. Mereka sudah menjadikan Phoenix of Gold sebagai simbol. Dan kita adalah target berikutnya,” ucap Akira dengan nada serius saat Noah masuk ke balkon membawakan secangkir teh hangat untuknya.Noah meletakkan cangkir itu di meja kecil. “Aku tahu. Rio ingin menjatuhkan semua yang pernah kita bangun. Dia tak hanya menyasar bisnis kita, tapi juga keluarga kita.”
Matahari sore menyelinap di balik jendela besar kamar keluarga Noah dan Akira. Di ruang bermain yang hangat dengan karpet berbentuk awan, Eiden tertawa ceria saat Akira menyuapi potongan buah kecil ke mulutnya. Sementara itu, Arka duduk di pojok ruangan, menggambar dengan pensil warna yang ditekan kuat-kuat ke kertas.“Nooo! Itu apelku, Mama!” Arka tiba-tiba berseru, melihat potongan buah yang diberikan ke adiknya.Akira menoleh, sedikit kaget. “Sayang, kamu 'kan tadi sudah makan dua potong. Ini buat Eiden.”“Tapi aku mau sekarang juga!” Arka bangkit dan berjalan cepat, hampir mendorong Eiden yang sedang duduk di kursi bayi.“Arka!” Akira memanggil tegas. “Kamu tidak boleh dorong adikmu seperti itu.”Anak laki-laki berusia lima tahun itu memelototi adiknya. “Kenapa sih semuanya selalu tentang Eiden! Dia selalu dapat pelukan, buah, bahkan mainan baru. Aku ini anak pertama, kan?”Akira menelan ludah, hatinya perih. Ia tahu kecemburuan ini bukan muncul tiba-tiba, tapi sudah ia lihat seja
Pagi itu di rumah keluarga Noah Mahendra, suasana tampak seperti biasa—hangat, nyaman, dan penuh cinta. Namun di balik ketenangan itu, ada mata kecil yang memandang dengan diam-diam. Arka, anak pertama Noah dan Akira, berdiri di balik pintu ruang keluarga, memperhatikan sang ibu menyuapi adiknya, Eiden, sambil tertawa bahagia.“Eiden pintar banget sih… mama makin sayang sama adek,” kata Akira dengan lembut.Eiden tertawa kecil, tangan mungilnya menepuk-nepuk pipi Akira. Sementara itu, dada Arka terasa sesak. Ia tak mengerti mengapa dalam beberapa minggu terakhir, dirinya merasa seperti kehilangan tempat.Dulu, Akira selalu punya waktu untuknya. Dulu, Noah selalu mengajak Arka bermain catur atau membaca buku sebelum tidur. Tapi kini, semuanya seolah berubah. Segalanya tentang Eiden—jadwal makan, imunisasi, bahkan mainan terbaru.Arka tidak bodoh. Ia tahu adiknya masih bayi dan butuh perhatian lebih. Tapi kenapa ia merasa diabaikan?Di sekolah, Arka menjadi lebih pendiam. Gurunya bahkan