"Tidak apa-apa, Suri. Ini namanya insiden, alias kejadian yang tidak terduga. Lupakan."Insiden yang menyenangkan dan membuat jantung berdebar maksudnya. Damar tertawa. Padahal dalam hati, jantung Damar jumpalitan tidak karuan. Dirinya bukan abege lagi. Ia tahu perasaan apa yang tengah bergejolak di hatinya. Ia sedang kasmaran untuk pertama kalinya. Ya, pertama kali. Karena dengan Murni dulu, ia dijodohkan sedari kecil. Otomatis sejak masa akil baligh, ia telah membuat dinding pembatas untuk lawan jenisnya.Dirinya adalah lelaki yang teguh pada janji. Sekalinya ia mengamini keinginan kedua orang tuanya, maka ia akan memegang teguh janjinya. Setiap rasa tertarik pada lawan jenisnya muncul, maka ia akan langsung membuangnya.Begitu juga dulu. Kala ia tertarik pada buruh jahit Murni di pabrik. Seorang gadis manis berwajah lugu dan berbuntut kuda. Yang dengan rajinnya terus bekerja tak kenal waktu. Ia ingat, gadis manis itu bernama Suri Hidayah. Orang yang sama dengan yang kali ini, ia j
"Kamu ada kegiatan lain tidak, Ri?" Damar menyusun strategi."Seharusnya satu jam lagi saya menjemput Wira di tempat les. Tapi karena mobil saya di bengkel, Mas Pras yang menjemputnya. Mas Pras bilang akan sekalian membawa Wira jalan-jalan. Sudah lama ia tidak jalan-jalan dengan Wira katanya." Lagi-lagi Suri menjawab dengan jujur."Ehm, kamu mau tidak menemani saya mengikuti seminar di hotel Santika satu jam lagi? Kebetulan saya menjadi salah satu nara sumber di sana.""Seminar? Tapi saya belum pernah mengikuti kegiatan-kegiatan yang seperti itu." Suri ragu. Ia takut kalau dia akan mempermalukan Damar di sana."Nah, inilah saatnya kamu belajar supaya menjadi pernah. Untuk ke depannya kamu harus sering-sering mengikuti seminar-seminar seperti ini. Karena acara-acara seperti ini, akan mengasah wawasan dan kemampuanmu untuk berinteraksi dengan orang banyak. Selain itu kamu akan bertemu dengan banyak penguasaha di sana. Inilah kesempatan baik bagimu untuk membangun koneksi dengan para pen
Suri mendengarkan Damar memberi ceramah sebagai nara sumber dengan seksama. Selain ia sangat suka belajar hal-hal baru, ia juga menyukai cara Damar memberikan materi. Damar memberi masukan dengan bahasa yang lugas dan gampang dimengerti oleh berbagai kalangan. Bahasanya membumi. Lihatlah, bahwa dirinya yang hanya tamatan SMP pun mampu menyimak materi-materinya."Begitulah rekan-rekan sekalian. Jika kita ingin menjadi seorang wirausahawan yang sukses, kita harus memiliki tiga komitmen kuat. Yaitu hati, pikiran dan tindakan. Ketiganya harus seiring sejalan. Tanpa ketiganya, tidak akan tercipta seorang pengusaha sukses. Karena pengusaha sukses harus bisa membuat usahanya berkembang dan maju. Tidak stagnan, apalagi jalan di tempat."Suri terpesona. Lihatlah cara Damar berbicara seraya mengepalkan tangan kanan ke udara. Damar menciptakan suasana yang positif di antara para peserta seminar. Cara bicara Damar tidak berapi-api seperti layaknya motivator-motivator, yang tampak sekali memaksak
Suri mengalihkan topik pembicaraan. Bukan apa-apa. Ia melihat Damar beberapa kali melirik mereka berdua. Memang kurang sopan rasanya, di saat seseorang tengah berbicara, peserta malah saling berbisik-bisik dan asyik sendiri."Siap, Mbak Suri. Memang tujuan saya menghadiri seminar ini adalah untuk mencari ilmu menjadi seorang entrepreneur sejati."Syifa memfokuskan pandangan ke depan. Ia menyimak pembicaraan nara sumber lainnya dengan serius. Kali ini pembicaranya adalah seorang pengusaha wanita yang bergerak dalam bidang otomotif. Bu Sartika Erningpraja. Pemilik showroom-showroom mobil mewah berlogo tiga berlian berwarna merah.Sementara Suri, alih-alih ikut memfokuskan pandangan seperti Syifa, ia malah mengeluarkan ponselnya diam-diam dari dalam tas. Suri penasaran dengan kata entrepreneur yang diucapkan oleh Syifa tadi. Ia ingin tahu apa artinya entrepreneur. Oleh karenanya ia pun membrowsing arti kalimat tersebut melalui ponsel.Disebutkan bahwa entrepreneur adalah orang yang bisa
"Bundaaaa..." Wira melepaskan genggaman tangan Pras dan berlari menghampiri Suri. Matanya sembab dengan bibir melekuk turun. Kedua tangannya membentang lebar. Siap untuk melesakkan pelukan ke haribaan sang bunda."Lho... lho... lho... kok jagoan Bunda, nangis sih? Ada apa, Nak?"Suri bangkit dari sofa. Ia kemudian berjongkok di hadapan Wira, agar posisinya sejajar dengan kepala Wira. Suri memang membiasakan kontak mata dengan Wira. Dengan begitu ia akan mengetahui apa yang dirasakan oleh putranya. "Ayah bohong." Air muka Wira kembali mendung. Bibirnya bergerak-gerak sedih dengan mata berair. Siap mengeluarkan air mata."Bohong kenapa? Bunda selalu bilang bukan, kalau menceritakan sesuatu jangan separuh-separuh. Nanti ceritanya jadi lain." Masih dalam keadaan berjongkok Suri mengusap pipi lembab Wira."Ayah kemarin bilang, kalau Ayah akan mengajak Wira berenang berdua saja. Sampai lama. Pokoknya sampai Wira sendiri yang meminta pulang," adu Wira sedih."Begitu. Lantas, kalian tidak j
Dengan apa boleh buat Pras pun pasang badan untuk Murni. Jujur, sebenarnya ia melakukan ini bukan hanya karena dipaksa oleh Murni. Tetapi ia membawa unek-uneknya sendiri, yang ingin ia lampiaskan pada Suri. Akhir-akhir ini sebenarnya ia sudah mencoba berdamai dengan kenyataan. Bahwa memang sudah sewajarnya Suri meminta cerai, karena ia menduakan Suri. Bahwa ia harus menggendong penyesalannya dalam-dalam ketika ia melihat Suri sudah keluar dari kepompong, dan menjelma menjadi kupu-kupu yang cantik. Ia sudah mencoba menerima kenyataan, bahwa akibat dirinya sendiri lah, kini ia hanya bisa memandangi Suri dari kejauhan.Tetapi hari ini, ia merasa penyesalannya sia-sia. Ternyata Suri meminta cerai bukan hanya karena kesalahannya. Melainkan karena Suri juga sudah menyusun skenario dengan baik dan menjalankan perannya dengan apik. Suri sudah mempunyai target untuk menaklukkan Damar. Suri sudah melihat peluang. Mantan istrinya ini segera mengeksekusinya, begitu ada kesempatan. Dirinya dan S
Suri mengamati tingkah Wira dari spion tengah mobil. Wira yang duduk di barisan kedua terus saja mencuri-curi pandang pada Damar yang tengah menyetir. Suri tahu apa ada dalam benak putra kecilnya ini. Wira pasti memikirkan apa yang dikatakan oleh Murni tadi. Bahwa mulai hari ini dirinya tidak bisa berdua-dua saja dengan bundanya. Makanya Wira terus saja mencuri pandang pada Damar dengan air muka masam. "Om, ini siapa sih? Pacar Bunda ya?" Suri ternganga. Ia sama sekali tidak menduga kalau Wira berani mengajukan pertanyaan seperti itu pada Damar yang baru pertama sekali dilihatnya. Lebih jauh lagi, dari mana Wira mendapat kosa kata ala orang dewasa tersebut?"Wira. Dari mana kamu mendapatkan kata-kata seperti itu, Nak?" Suri panik. Ia jadi merasa tidak enak pada Damar. Bagaimana kalau Damar tersinggung? Kepanikannya ini berbanding terbalik dengan Damar yang seketika tergelak. Suri menarik napas lega. Syukurlah, Damar tidak marah. Sebaliknya Damar malah mengedipkan sebelah matanya pa
"Ehm, iya, Wira. Tapi tidak semudah itu juga ayah dan bunda Wira memutuskan untuk mempunyai pasangan baru. Mereka berdua pasti akan bertanya kepada Wira terlebih dahulu. Apakah Wira setuju apabila mereka menikah? Oke, Wira?" Damar menjelaskan semuanya secara rinci sesuai dengan usia Wira."Mengerti, Om." Kepala mungil Wira mengangguk. Air mukanya kini terlihat tenang. Tidak murung dan sedih seperti tadi. "Eh tapi pertanyaan Wira tadi belum Om jawab?" Wira tiba-tiba saja mengacungkan jari telunjuknya. Ciri khasnya jika teringat akan sesuatu."Wira. Sudah, Nak. Pertanyaan-pertanyaanmu, nanti di rumah akan Bunda jawab semuanya. Kasihan Om Damar kalau kita tidak jalan-jalan. Om Damar masih banyak kesibukan, Nak." Suri panik. Suri tahu pasti, pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh Wira pada Damar. "Tidak apa-apa, Suri. Biarkan Wira menanyakan hal yang mengganjal di hatinya." Damar menenangkan Suri yang seketika terlihat panik. Damar mengerti, Suri takut kalau Wira akan menanyakan hal-h
"Bagaimana keadaan Ibu?" Suri menghampiri sang ibu yang terbaring di ranjang." Dirinya memang langsung pulang kampung setelah kakaknya mengabari kalau ibu mereka sedang sakit. "Lho kamu kok tiba-tiba ada di sini, Ri? Kamu datang dengan siapa? Damar?""Dengan Pak Min, Bu. Mas Damar besok baru menyusul. Ada rapat tahunan perusahaan. Keadaan Ibu bagaimana?" Suri menggenggam tangan sang ibu. "Seperti yang kamu lihat. Ibu baik-baik saja. Pasti kamu ya yang mengadu pada Suri, Las? Ibu tidak apa-apa kok?" Bu Niken memelototi Sulastri. Putri sulungnya ini sedikit-sedikit selalu mengadu pada Suri."Tidak apa-apa bagaimana? Orang Ibu nyaris stroke kemarin?" bantah Sulastri."Itu 'kan kemarin. Sekarang Ibu toh baik-baik saja. Lain kali jangan sedikit-sedikit mengadu pada Suri. Suri baru beberapa bulan melahirkan. Repot ke mana-mana membawa bayi." "Tidak repot kok, Bu. Kan ada Mbok Inah. Lagi pula sekalian Wira ingin bertemu dengan Pras. Rindu katanya. Kebetulan sekolahnya libur dua hari karen
Suri merapikan gaun hamil babydollnya karena tegang. Saat ini MC tengah membacakan nama-nama pengusaha yang masuk dalam nominasi Anugerah Wirausaha Indonesia atau AWI. Anugerah Wirausaha Indonesia itu sendiri adalah satu acara penghargaan yang diberikan kepada para pengusaha di Indonesia. Kompetisi dan penghargaan AWI ini biasanya dilaksanakan setiap tahunnya. Dan malam ini adalah acara AWI yang ke-22. Yang mana acara diselenggarakan pada ballroom Adi Daya Graha Hotel. Dalam acara AWI tahun ini, Damar yang mewakili PT Karya Tekstil Adhyatna masuk dalam 26 nominasi AWI yang terpilih. "Santai saja, Sayang. Jangan tegang. Nanti anak kita ikutan tegang di dalam sana." Damar menggenggam tangan Suri yang saling terjalin di pangkuan. Astaga, tangan Suri dingin sekali."Saya tidak tegang, Mas. Saya cuma tidak tenang. Masa nama Mas tidak disebut-sebut sih!" Suri mendecakkan lidah. MC dari tadi hanya membacakan nama-nama nominasi pengusaha yang lain."Sabar dong, Sayang. Nominasi yang harus
Dokter Aslan tersenyum tipis. Ia teringat pada Murni Eka Cipta. Sang pendonor yang juga mantan teman sekolahnya. Pada mulanya dokter Aslan tidak mengetahui kalau pendonor kornea mata Pras adalah Murni, teman SMP-nya dulu. Sampai sosok tubuh kaku Murni didorong masuk ke ruang operasi. Berdampingan dengan Pras. "Sudah lama meniatkan kornea matanya untuk saya? Siapa orangnya, Pak Dokter? Pras mengerutkan dahi. Ia penasaran. Siapa orang ini sampai-sampai meniatkan mendonor mata padanya? "Nanti Pak Pras akan tahu sendiri." Dokter Aslan menepuk ringan bahu Pras."Baiklah. Karena operasi ini telah berhasil dengan baik, saya akan memeriksa pasien lain lagi. Nanti siang, Pak Pras sudah bisa keluar dari rumah sakit. Saya ingatkan, besok pagi Bapak harus kembali kontrol ke poli mata untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Gunakan obat tetes mata sesuai dengan anjuran. Hindari menekan atau mengusap bagian mata, dan jangan mengendarai kendaraan bermotor. Tambahannya makanlah makanan yang bergizi s
Pras duduk di sisi ranjang seraya membuka mata perlahan. Ia mengikuti instruksi dokter Aslan. Perban yang membungkus matanya selama dua hari ini akhirnya dibuka juga. Sehari setelah operasi keratoplasti alias cangkok kornea mata, dirinya hanya mengganti perban dan mengecek kondisi mata. Setelah dinyatakan kalau hasil operasinya bagus, baru pada hari kedua inilah ia akan membuka mata hasil keratoplasti. Ia sungguh berterima kasih kepada siapa pun orang yang telah mendonorkan kornea mata padanya.Pras mencoba mengikuti instruksi dokter Aslan. Matanya masih terasa sedikit lengket. Padahal tadi dokter Aslan telah mengusapkan semacam cairan sejuk yang melembabkan matanya. Setelah matanya terbuka, Pras mengedip-ngedipkannya sebentar. Samar-samar ia mulai melihat cahaya terang. Sebuah tirai jendela berwarna hijau muda. Pras terbata-bata mengucap syukur. Akhirnya ia mampu melihat cahaya setelah tiga tahun bergelut dalam kegelapan."Ayah? Ayah sekarang sudah bisa melihat belum?"Suara Wira, p
"Ya sudah, Wira baik-baik di sana ya? Jangan nakal." Suri mengelus puncak kepala Wira. Sang putra mengangguk patuh. "Wira masuk ke dalam mobil dulu sana. Papa ingin berbicara pada bunda." "Siap, Pa." Wira bergegas masuk ke dalam mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menunjukkan bingkisan pada sang ayah. Karena konon katanya ayahnya sudah bisa melihat sekarang."Mas pergi dulu ya, Ri? Kamu dan Dimas baik-baik di rumah. Mas tidak lama. Setelah semua urusan selesai, Mas dan Wira akan langsung pulang ke rumah." Damar mengecup kening Suri mesra. Setelahnya ia mencium sayang pipi anak laki-lakinya.Damar kemudian berjongkok sembari mengelus perut Suri yang sedikit membukit. Ya, Suri tengah mengandung muda. Dirinya dan Suri memang kejar setoran. Usia mereka berdua sudah tidak muda lagi. Untuk mereka berusaha secepat mungkin memiliki keturunan."Adek bayi juga baik-baik di dalam sana ya? Jangan buat Bunda susah ya, Nak ya?" Damar mencium perut Suri. Mengelus-elusnya sebentar. "Ri, jangan kela
Tiga tahun kemudian.Seorang lelaki tua mengecup kening putri kesayangannya untuk yang terakhir kalinya. Setelahnya ia menatap nanar ketika jenazah sang putri didorong masuk ke ruang operasi. Sejurus kemudian satu brankar juga didorong masuk. Pintu kemudian ditutup, bersamaan dengan air matanya yang menetes perlahan. "Selamat jalan, putriku. Ayah bangga padamu karena telah berjuang hingga kamu tidak mampu lagi bertahan. Ayah juga akan melaksanakan pesan terakhirmu. Doakan agar Ayah kuat kehilanganmu. Karena masih ada satu pesanmu lagi yang harus Ayah emban hingga Ayah tutup usia."Air mata sang lelaki tua terus menetes, tanpa sang lelaki tua itu sadar. Ia menangis tanpa suara tanpa emosi. Selama tiga tahun menemani putri tunggalnya ini berjuang melawan penyakit-penyakitnya, tidak sekalipun ia menangis. Ia tidak mau putrinya melihatnya patah semangat.Namun hari ini, semua emosi yang selama ini ditahan-tahannya sendiri luruh. Ia telah kehilangan istrinya bertahun lalu. Dan kini ia ju
Dengan besar hati Murni meminta maaf atas semua kesalahannya. Dua minggu belakangan ini ia sudah menyadari semua kesalahannya. Ia juga sudah meminta maaf pada Pras, walau yang bersangkutan tidak bersedia menerima teleponnya. Menurut orang tua Pras, sekarang Pras kerap mengurung diri di kamar. Pras sedang menjalani fase-fase terburuk dalam hidupnya. "Saya maafkan, Bu. Saya juga minta maaf kalau selama ini tanpa sengaja saya telah menyakiti hati Ibu. Kita akhiri saja semua perseteruan tiada guna ini ya, Bu?" "Iya, Ri." Murni mengangguk mengiyakan. Ia setuju dengan rekonsiliasi Suri ini. Sudah cukup semua pertikaian yang pada mulanya ia picu."Sebaiknya kita memang menghentikan segala pertikaian dan menjalin hubungan silaturahmi demi tumbuh kembang anak-anak kita. Mas Damar sudah berjanji bahwa ia akan tetap menjadi ayah Chika sampai kapan pun, walau ayah kandungnya ada. Martin telah memiliki istri dan juga anak-anak. Saya harus mempertimbangkan perasaan Lidya, istri Martin."Suri ters
"Boleh saya berbicara berdua denganmu, Ri?" Murni memajukan kursi roda. Menghampiri Suri dan Damar yang sedianya akan ke lokasi perhelatan."Tidak bisa, Murni. Kami akan segera ke ballroom. Lagi pula, saya tidak mengizinkan kamu hanya berdua saja dengan Suri. Terlalu riskan soalnya." Damar dengan cepat menghalangi laju kursi roda Murni. "Saya hanya ingin berbicara sebentar saja dengan Suri sebagai sesama perempuan. Sepuluh menit saja, Mas. Lagi pula keadaan saya sekarang seperti ini. Bagaimana mungkin saya bisa menyakiti Suri?" Murni memandang Damar kecut, seraya menunjuk kursi roda dengan tatapan mata. Di mana dirinya terduduk lemah dengan hanya satu kaki normal. Kaki lainnya tinggal sebatas lutut yang ditutupi oleh kain menyerupai rok batik panjang."Menyakiti tidak hanya selalu dalam bentuk fisik, Murni." Damar menggeleng. Ia tetap tidak mengizinkan Suri berduaan dengan Murni. Istimewa di resepsi pernikahan mereka. Damar tidak mau sampai Murni melukai perasaan Suri di hari bahagi
"Oh iya. Saya akan membawa tas kecil berisi ponsel saja. Mbak Husna bisa tolong ambilkan tas tangan saya?" pinta Suri pada Mbak Husna. Suri tidak berani memandang wajah Damar yang tengah tersenyum lebar. Ia malu."Bisa dong, Ri. Ini." Mbak Husna meraih tas tangan mewah bertabur swarovski milik Suri di atas meja. Ia kemudian mengulurkan tas tangan berkilauan itu pada sang empunya tas."Mbak Husna tidak ikut keluar sekalian?" Suri yang masih grogi ingin agak Mbak Husna ikut berjalan bersama. Sebagai seorang perias pengantin, sudah menjadi kewajiban Mbak Husna untuk mendampinginya."Kamu keluar bersama Pak Damar dulu. Mbak akan mempersiapkan tas kecil untukmu touch up nanti, kalau diperlukan. Kamu duluan saja, Mbak akan segera menyusul." Mbak Husna memberi kesempatan pada Damar untuk membimbing Suri. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan lebih lama, Mbak Husna tahu bahwa Suri belum seratus persen percaya diri menyandang status sebagai istri Damar. Oleh karenanya Mbak Husna