"Sekarang Ibu di mana, Mbok?" Suri mengikuti langkah bergegas Mbok Inah menuju pintu utama. Benaknya penuh dengan segala kemungkinan yang ia tidak tahu jawabannya. "Ada di ruang tamu bersama Pak Pras," jawab Mbok Inah gelisah. Sedari tadi ia mendengar Pras terus saja menjelek-jelekkan Suri. Mbok Inah khawatir kalau Bu Siswoyo nantinya akan memarahi Suri."Wira?" tanya Suri lagi. Ia tidak suka kalau Wira menyaksikan perdebatan mereka nanti. Suri tidak ingin Wira ketakutan."Wira baru saja tidur. Bu Siswoyo mengeloninya sampai tertidur tadi. Karena ada Bu Siswoyo, saya menunggu Ibu di pagar depan. Saya takut nanti Ibu kaget saat mendapati Bu Siswoyo ada di ruang tamu," terang Mbok Inah lagi."Terima kasih ya, Mbok? Untung Mbok memberitahu saya duluan. Saya jadi mempunyai sedikit waktu untuk menenangkan diri." Suri mengucapkan terima kasih pada Mbok Inah. ART yang sudah lima tahun ikut bersamanya ini sungguh sangat setia. Ia beruntung memiliki ART sebaik dan seloyal Mbok Inah. "Sudah m
Suri menarik selembar tissue basah dari tas tangannya. Ia kemudian menghapus bedak padat di pipi kanannya. Sebenarnya dengan diulas bedak padat pun memar-memar itu masih cukup jelas terlihat. Dan kini setelah bedak padat terhapus semuanya, memar-memar di pipinya makin jelas terlihat. Suri juga membuka mulutnya memperlihatkan luka pada pipi bagian dalamnya. Pras membuang muka. Ia tidak menyangka kalau tamparannya berakibat cukup fatal pada Suri. Padahal ia hanya menggunakan seperempat tenaganya."Mas Pras memukul saya bukan karena saya menantang-nantang Mas Pras, Bu. Tapi karena kami bertengkar dan Mas Pras digugat oleh nuraninya sendiri. Mas Pras itu sudah lama berselingkuh dengan Bu Murni, atasannya sendiri. Saya dan Wira sudah dua kali memergoki Mas Pras sedang berdua-duaan dengan atasannya itu. Saya juga punya videonya kalau Ibu ingin melihatnya." Suri memutuskan untuk menceritakan semuanya saja. Ia tidak mau Bu Siswoyo hanya tahu dari sisi Pras, yang tentu saja membela dirinya se
"Ibu pulang dulu ya, Ri? Ingat baik-baik pesan Ibu, jangan membuat keputusan di saat kamu sedang emosi. Endapkan dulu emosimu beberapa waktu. Baru setelahnya lanjutkan apa yang baik menurutmu." Bu Siswoyo menepuk-nepuk pelan bahu Suri. Keprihatinan tergambar jelas di raut wajah tuanya. Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa. Pras dan Suri sudah dewasa. Sebagai seorang ibu, ia hanya bisa memperingati dan menasehati keduanya. Namun segala keputusan tetap ada di tangan mereka berdua. "Untuk segala kepahitan yang kamu alami karena ulah Pras, Ibu minta maaf. Ibu sudah memperingatinya kemarin. Pras berjanji bahwa ia tidak akan main tangan lagi padamu. Namun masalah Murni, sayangnya Pras tidak menjanjikan apa-apa. Sekali lagi, Ibu minta maaf ya, Ri? Ibu tidak berhasil menyadarkan Pras akan kesalahannya," ucap Bu Siswoyo sungguh-sungguh. Sebagai seorang ibu ia sudah berusaha keras. Mulai dari membujuk sampai akhirnya mengancam Pras. Tapi apa mau dikata, anaknya tetap tidak mau mendengarkan
"Belum, Mbak. Paling juga sebentar lagi. Oh ya, saya mau bilang, tas-tas rajutnya habis semua lho, Mbak. Sisa delapan pieces yang model clucth itu, kemarin sore sudah terjual semua," lapor Ninik gembira. "Sweater dan syal, sisa beberapa piece saja. Itu juga sudah ada pemiliknya semua. Nanti sore atau besok akan diambil pemiliknya," lanjut Ninik lagi. "Alhamdullilah. Saya ada sisa dua lusin dengan warna berbeda di rumah beberapa perajut. Nanti sore atau besok pagi saya antar ya, Nik? Model-model lainnya insyallah lusa sudah selesai semua." Suri ikut gembira. Usaha rajutnya sekarang semakim laris. Begitu juga dengan online shopnya. Suri craft and Creations sekarang bisa mencapai omzet tujuh puluh juta dalam waktu dua minggu. Profitnya adalah setengah dari omzetnya tersebut. Setelah dipotong dengan biaya produksi, ia masih mengantongi sepersekian rupiah. Alhamdullilah."Selera customer di butik ini sudah bergeser ya, Nik? Dari yang tadinya menengah ke atas, jadi menengah ke bawah. Say
Suri tengah memilih-milih kain, ketika sebuah suara bariton menyapanya. Familiar dengan suara si penyapa, Suri menoleh. Damar Adhyatna."Lho Pak Damar? Sepertinya semesta sering sekali mempertemukan kita ya, Pak?" Demi menenangkan perasaannya yang bergolak, Suri mencoba berkelakar. Perseteruannya dengan Murni di depan Damar tadi membuatnya canggung. "Pertemuan kita ini bukan atas campur tangan semesta. Tetapi karena keinginan saya sendiri. Kalimat singkatnya, saya menguntitmu." Damar tertawa kecil. Diberi jawaban seterusterang ini membuat Suri salah tingkah. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban sejujur ini. "Saya... saya... tidak tahu harus menjawab apa. Karena saya tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu dari Bapak," ucap Suri jujur."Hahaha. Santai saja Suri. Saya tidak mengharapkan jawaban darimu kok. Saya hanya memberitahumu saja. Oh ya, agar hatimu tenang, saya akan mengatakan dengan runut soal dasar saya menguntitmu." Damar memutuskan akan menjelaskan s
Seiring uang yang dikirim, bulir air mata Suri berderaian. Pras bersedia menjual perannya sebagai istri seharga dua puluh juta rupiah demi ketentraman hati selingkuhannya. Suri tersedak air matanya sendiri. Baiklah. Air mata ini adalah air mata terakhirnya menangisi laki-laki tidak berhati seperti Pras. Sekarang tugasnya adalah bermain drama. Untuk itu ia dibayar bukan? Tidak apa-apa. Jikalau dirinya dibayar untuk bermain drama, ia akan membuat dramanya mempunyai rating tinggi. Minimal Murni dan Pras akan melihat akting terbaiknya. Lihat saja!***"Tumben kamu meminta nomor ponsel make up artis, Ri? Kamu mau ngapain? Kawin lagi? Perasaan cerai saja kamu belum?"Suri tertawa kecil. Tebakannya tepat. Wanti pasti penasaran tingkat propinsi melihatnya menghambur-hamburkan uang untuk tampil cantik sehari. "Aku akan menghadiri ulang tahan boss besarmu, Ti. Mas Pras bilang, Pak Bondan meminta semua staffnya datang beserta keluarga. Makanya Mas Pras bersikeras memintaku datang. Ia bahkan me
"Kamu pernah menghadiri acara di hotel-hotel bintang lima sebelumnya tidak, Ri?" tanya Pras gelisah.Suri melirik Pras yang berjalan tidak tenang di sampingnya. Saat ini mereka telah memasuki hotel Griya Adiwangsa. Tempat acara ulang tahun Pak Bondan digelar. "Belum, Mas. Mas 'kan tidak pernah mengajakku kalau kantor atau rekan-rekan Mas mengadakan acara di gedung-gedung mewah seperti ini," sahut Suri datar. Suri mengerti bahwa Pras takut kalau ia bertingkah norak di tempat yang prestisius seperti ini. Makanya Pras ingin memastikannya terlebih dulu."Oh. Ya sudah kalau begitu. Perhatikan caraku membawa diri. Kalau kamu tidak mengetahui akan sesuatu, lebih baik diam daripada membuat segala sesuatunya berantakan. Ingat, jangan mempermalukanku."Pras memperingati Suri sekali lagi. Kalau dihitung-hitung sudah dua belas kali Pras mengulangi kalimatnya sejak dari rumah tadi."Jangan khawatir, Mas. Aku telah mengenakan outfit dan aksesoris seharga dua puluh juta. Itu artinya attitudeku juga
Suri mengangkat bahu. Kesalahan teknis memang bisa terjadi di mana pun dan kapan pun bukan? "Wah... wah... wah... dunia sudah terbalik ya, Ri? Di mana-mana biasanya istri sah yang mengamuk apabila memergoki suaminya bermesraan dengan selingkuhan. Pada kasusmu ini berbeda ya?" Terdengar suara separuh berbisik di belakangnya. Tanpa memandang ke belakang pun Suri mengenal suara jahil yang disertai kekehan tawa ini. Wanti, sahabat sejatinya. "Beda dong, Ti. Aku 'kan istri sah yang istimewa. Biarkan saja mereka dengan urusannya. Mari kita bersenang-senang menikmati suasana pesta horang-horang kayah," cengir Suri kalem. Tebakannya benar. Memang Wanti yang berada di belakangnya. Di sudut lain Suri memindai wajah-wajah teman lamanya sesama buruh jahit dulu. Uci, Titik dan Nila."Hallo teman-teman lama. Tidakkah kalian ingin menyapaku?" seru Suri kenes.Suri bergegas menghampiri ketiga teman lamanya. Waktu telah mengubah segalanya. Uci yang dulu tomboy dengan rambut nyaris gundul, kini tam
"Bagaimana keadaan Ibu?" Suri menghampiri sang ibu yang terbaring di ranjang." Dirinya memang langsung pulang kampung setelah kakaknya mengabari kalau ibu mereka sedang sakit. "Lho kamu kok tiba-tiba ada di sini, Ri? Kamu datang dengan siapa? Damar?""Dengan Pak Min, Bu. Mas Damar besok baru menyusul. Ada rapat tahunan perusahaan. Keadaan Ibu bagaimana?" Suri menggenggam tangan sang ibu. "Seperti yang kamu lihat. Ibu baik-baik saja. Pasti kamu ya yang mengadu pada Suri, Las? Ibu tidak apa-apa kok?" Bu Niken memelototi Sulastri. Putri sulungnya ini sedikit-sedikit selalu mengadu pada Suri."Tidak apa-apa bagaimana? Orang Ibu nyaris stroke kemarin?" bantah Sulastri."Itu 'kan kemarin. Sekarang Ibu toh baik-baik saja. Lain kali jangan sedikit-sedikit mengadu pada Suri. Suri baru beberapa bulan melahirkan. Repot ke mana-mana membawa bayi." "Tidak repot kok, Bu. Kan ada Mbok Inah. Lagi pula sekalian Wira ingin bertemu dengan Pras. Rindu katanya. Kebetulan sekolahnya libur dua hari karen
Suri merapikan gaun hamil babydollnya karena tegang. Saat ini MC tengah membacakan nama-nama pengusaha yang masuk dalam nominasi Anugerah Wirausaha Indonesia atau AWI. Anugerah Wirausaha Indonesia itu sendiri adalah satu acara penghargaan yang diberikan kepada para pengusaha di Indonesia. Kompetisi dan penghargaan AWI ini biasanya dilaksanakan setiap tahunnya. Dan malam ini adalah acara AWI yang ke-22. Yang mana acara diselenggarakan pada ballroom Adi Daya Graha Hotel. Dalam acara AWI tahun ini, Damar yang mewakili PT Karya Tekstil Adhyatna masuk dalam 26 nominasi AWI yang terpilih. "Santai saja, Sayang. Jangan tegang. Nanti anak kita ikutan tegang di dalam sana." Damar menggenggam tangan Suri yang saling terjalin di pangkuan. Astaga, tangan Suri dingin sekali."Saya tidak tegang, Mas. Saya cuma tidak tenang. Masa nama Mas tidak disebut-sebut sih!" Suri mendecakkan lidah. MC dari tadi hanya membacakan nama-nama nominasi pengusaha yang lain."Sabar dong, Sayang. Nominasi yang harus
Dokter Aslan tersenyum tipis. Ia teringat pada Murni Eka Cipta. Sang pendonor yang juga mantan teman sekolahnya. Pada mulanya dokter Aslan tidak mengetahui kalau pendonor kornea mata Pras adalah Murni, teman SMP-nya dulu. Sampai sosok tubuh kaku Murni didorong masuk ke ruang operasi. Berdampingan dengan Pras. "Sudah lama meniatkan kornea matanya untuk saya? Siapa orangnya, Pak Dokter? Pras mengerutkan dahi. Ia penasaran. Siapa orang ini sampai-sampai meniatkan mendonor mata padanya? "Nanti Pak Pras akan tahu sendiri." Dokter Aslan menepuk ringan bahu Pras."Baiklah. Karena operasi ini telah berhasil dengan baik, saya akan memeriksa pasien lain lagi. Nanti siang, Pak Pras sudah bisa keluar dari rumah sakit. Saya ingatkan, besok pagi Bapak harus kembali kontrol ke poli mata untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Gunakan obat tetes mata sesuai dengan anjuran. Hindari menekan atau mengusap bagian mata, dan jangan mengendarai kendaraan bermotor. Tambahannya makanlah makanan yang bergizi s
Pras duduk di sisi ranjang seraya membuka mata perlahan. Ia mengikuti instruksi dokter Aslan. Perban yang membungkus matanya selama dua hari ini akhirnya dibuka juga. Sehari setelah operasi keratoplasti alias cangkok kornea mata, dirinya hanya mengganti perban dan mengecek kondisi mata. Setelah dinyatakan kalau hasil operasinya bagus, baru pada hari kedua inilah ia akan membuka mata hasil keratoplasti. Ia sungguh berterima kasih kepada siapa pun orang yang telah mendonorkan kornea mata padanya.Pras mencoba mengikuti instruksi dokter Aslan. Matanya masih terasa sedikit lengket. Padahal tadi dokter Aslan telah mengusapkan semacam cairan sejuk yang melembabkan matanya. Setelah matanya terbuka, Pras mengedip-ngedipkannya sebentar. Samar-samar ia mulai melihat cahaya terang. Sebuah tirai jendela berwarna hijau muda. Pras terbata-bata mengucap syukur. Akhirnya ia mampu melihat cahaya setelah tiga tahun bergelut dalam kegelapan."Ayah? Ayah sekarang sudah bisa melihat belum?"Suara Wira, p
"Ya sudah, Wira baik-baik di sana ya? Jangan nakal." Suri mengelus puncak kepala Wira. Sang putra mengangguk patuh. "Wira masuk ke dalam mobil dulu sana. Papa ingin berbicara pada bunda." "Siap, Pa." Wira bergegas masuk ke dalam mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menunjukkan bingkisan pada sang ayah. Karena konon katanya ayahnya sudah bisa melihat sekarang."Mas pergi dulu ya, Ri? Kamu dan Dimas baik-baik di rumah. Mas tidak lama. Setelah semua urusan selesai, Mas dan Wira akan langsung pulang ke rumah." Damar mengecup kening Suri mesra. Setelahnya ia mencium sayang pipi anak laki-lakinya.Damar kemudian berjongkok sembari mengelus perut Suri yang sedikit membukit. Ya, Suri tengah mengandung muda. Dirinya dan Suri memang kejar setoran. Usia mereka berdua sudah tidak muda lagi. Untuk mereka berusaha secepat mungkin memiliki keturunan."Adek bayi juga baik-baik di dalam sana ya? Jangan buat Bunda susah ya, Nak ya?" Damar mencium perut Suri. Mengelus-elusnya sebentar. "Ri, jangan kela
Tiga tahun kemudian.Seorang lelaki tua mengecup kening putri kesayangannya untuk yang terakhir kalinya. Setelahnya ia menatap nanar ketika jenazah sang putri didorong masuk ke ruang operasi. Sejurus kemudian satu brankar juga didorong masuk. Pintu kemudian ditutup, bersamaan dengan air matanya yang menetes perlahan. "Selamat jalan, putriku. Ayah bangga padamu karena telah berjuang hingga kamu tidak mampu lagi bertahan. Ayah juga akan melaksanakan pesan terakhirmu. Doakan agar Ayah kuat kehilanganmu. Karena masih ada satu pesanmu lagi yang harus Ayah emban hingga Ayah tutup usia."Air mata sang lelaki tua terus menetes, tanpa sang lelaki tua itu sadar. Ia menangis tanpa suara tanpa emosi. Selama tiga tahun menemani putri tunggalnya ini berjuang melawan penyakit-penyakitnya, tidak sekalipun ia menangis. Ia tidak mau putrinya melihatnya patah semangat.Namun hari ini, semua emosi yang selama ini ditahan-tahannya sendiri luruh. Ia telah kehilangan istrinya bertahun lalu. Dan kini ia ju
Dengan besar hati Murni meminta maaf atas semua kesalahannya. Dua minggu belakangan ini ia sudah menyadari semua kesalahannya. Ia juga sudah meminta maaf pada Pras, walau yang bersangkutan tidak bersedia menerima teleponnya. Menurut orang tua Pras, sekarang Pras kerap mengurung diri di kamar. Pras sedang menjalani fase-fase terburuk dalam hidupnya. "Saya maafkan, Bu. Saya juga minta maaf kalau selama ini tanpa sengaja saya telah menyakiti hati Ibu. Kita akhiri saja semua perseteruan tiada guna ini ya, Bu?" "Iya, Ri." Murni mengangguk mengiyakan. Ia setuju dengan rekonsiliasi Suri ini. Sudah cukup semua pertikaian yang pada mulanya ia picu."Sebaiknya kita memang menghentikan segala pertikaian dan menjalin hubungan silaturahmi demi tumbuh kembang anak-anak kita. Mas Damar sudah berjanji bahwa ia akan tetap menjadi ayah Chika sampai kapan pun, walau ayah kandungnya ada. Martin telah memiliki istri dan juga anak-anak. Saya harus mempertimbangkan perasaan Lidya, istri Martin."Suri ters
"Boleh saya berbicara berdua denganmu, Ri?" Murni memajukan kursi roda. Menghampiri Suri dan Damar yang sedianya akan ke lokasi perhelatan."Tidak bisa, Murni. Kami akan segera ke ballroom. Lagi pula, saya tidak mengizinkan kamu hanya berdua saja dengan Suri. Terlalu riskan soalnya." Damar dengan cepat menghalangi laju kursi roda Murni. "Saya hanya ingin berbicara sebentar saja dengan Suri sebagai sesama perempuan. Sepuluh menit saja, Mas. Lagi pula keadaan saya sekarang seperti ini. Bagaimana mungkin saya bisa menyakiti Suri?" Murni memandang Damar kecut, seraya menunjuk kursi roda dengan tatapan mata. Di mana dirinya terduduk lemah dengan hanya satu kaki normal. Kaki lainnya tinggal sebatas lutut yang ditutupi oleh kain menyerupai rok batik panjang."Menyakiti tidak hanya selalu dalam bentuk fisik, Murni." Damar menggeleng. Ia tetap tidak mengizinkan Suri berduaan dengan Murni. Istimewa di resepsi pernikahan mereka. Damar tidak mau sampai Murni melukai perasaan Suri di hari bahagi
"Oh iya. Saya akan membawa tas kecil berisi ponsel saja. Mbak Husna bisa tolong ambilkan tas tangan saya?" pinta Suri pada Mbak Husna. Suri tidak berani memandang wajah Damar yang tengah tersenyum lebar. Ia malu."Bisa dong, Ri. Ini." Mbak Husna meraih tas tangan mewah bertabur swarovski milik Suri di atas meja. Ia kemudian mengulurkan tas tangan berkilauan itu pada sang empunya tas."Mbak Husna tidak ikut keluar sekalian?" Suri yang masih grogi ingin agak Mbak Husna ikut berjalan bersama. Sebagai seorang perias pengantin, sudah menjadi kewajiban Mbak Husna untuk mendampinginya."Kamu keluar bersama Pak Damar dulu. Mbak akan mempersiapkan tas kecil untukmu touch up nanti, kalau diperlukan. Kamu duluan saja, Mbak akan segera menyusul." Mbak Husna memberi kesempatan pada Damar untuk membimbing Suri. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan lebih lama, Mbak Husna tahu bahwa Suri belum seratus persen percaya diri menyandang status sebagai istri Damar. Oleh karenanya Mbak Husna