Karena kejadian di dapur yang mengakibatkan Luna tidak dapat menyelesaikan masakannya, mereka harus menikmati makan malam dengan makanan yang mereka pesan dari restauran."Aku baik-baik saja Brian, sungguh. Aku bisa memegang sendok dengan tangan kananku." Luna berusaha menolak, namun Brian tetap kekeuh pada pendiriannya untuk menyuapi Luna.Padahal yang terluka adalah tangan sebelah kiri Luna, dan itu tidak begitu berpengaruh untuk Luna makan sendiri. Tapi, Brian yang tidak ingin dibantah, terus memaksa Luna untuk menyuapinya meski dalam diam.Tanpa mereka sadari, bahwa masih ada dua orang lainnya yang juga berada di meja makan. Mereka bahkan belum menyentuh makanannya sedikit pun, hanya menyaksikan apa yang tengah dilakukan Brian dan Luna."Mama dan papa sangat romantis," ujar Bintang yang menyaksikan aksi Brian dan Luna."Saya dan Bintang akan makan di taman belakang, sepertinya menyenangkan saat makan sembari melihat bintang-bintang bersama Bintang, iyakan Bintang?" Adrian yang juga
Sedikit cerita tentang orang tua Luna, membuat Brian luluh dan memahami apa yang dirasakan oleh Luna. Brian juga merasakan, bagaimana luka yang tidak terobati karena kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidup kita.Meski begitu, Brian tidak membenarkan pembelaan Luna atas tindakannya, karena itu adalah keputusan yang saat dan Brian tidak ingin jika Luna kembali berbuat seperti itu. Sebagai gantinya, Brian ingin Luna menganggapnya sebagai tempat untuk singgah dan menuangkan keluh kesahnya. Sekali lagi, Brian meminta Luna untuk menganggap Brian sebagai tempat untuk singgah! Singgah, bukan menetap!"Sayang, mengapa tidak besok saja? Hari ini kita menghabiskan waktu di rumah, Bintang juga tidak ke sekolah 'kan," bujuk Brian, berusaha menghalangi Luna agar tidak pergi bekerja dan tetap berasamanya di rumah."Sayang, aku sudah terlalu banyak bolos bekerja, bagaimana jika rekan-rekan kerjaku akan menggunjing karena aku yang suka seenaknya," bantah Luna. Ia cukup merasa ngeri jika haru
"Untuk apa kau datang ke sini? Kau tidak tahu malu, datang untuk menjemput istri orang," cibir Brian pada Dokter Rio yang berdiri di hadapannya. Setelah aksi pengusiran yang dilakukan beberapa pengawal atas perintah Brian, tidak membuat dokter Rio meninggalkan tempatnya. Karena itu, Brian terpaksa keluar dan menemuinya secara langsung, setelah meminta Luna untuk tatap berada di dalam rumah."Aku bisa sendiri mengantar istriku untuk bekerja, jadi kau tidak perlu repot-repot menjemputnya," lanjutnya saat Dokter Rio tidak juga menanggapi ocehan Brian.Dan yang membuat Brian semakin kesal adalah, Dokter Rio yang hanya tertawa seolah Brian baru saja membuat lolucon. Membuat Brian rasanya ingin menghajar Dokter Rio."Aku tidak benar-benar datang untuk menjemput istrimu, tapi siapa tahu dia mau ikut 'kan," ujar Dokter Rio, menggoda Brian setelah ia selesai tertawa."Ikut kepalamu! Pergi sana, aku tidak menerima tamu sepertimu," usir Brian, masih juga merasa kesal. Brian tidak bisa bersikap s
Setelah menghabiskan waktu seharian penuh di rumah, kemarin. Akhirnya hari ini Luna sudah mulai masuk bekerja. Bertemu dengan para rekan kerjanya yang mana mereka sudah saling mengenal, dan Luna masih selamat karena belum bertemu dengan kepala ruangannya, Bella. Sehingga Luna tidak perlu merusak paginya yang cerah dengan sindiran-sindiran yang diutarakan Bella."Kak Luna, aku dengar kak Luna sebelumnya sudah pernah bekerja di sini, lalu mengapa kak Luna berhenti?" tanya seorang rekan kerja Luna yang usianya lebih muda dari Luna."Ada sedikit masalah," jawab Luna lugas, wajar saja jika ada yang mempertanyakan hal itu. Karena di rumah sakit ini, tidak sedikit yang mengenal Luna sebagai perawat yang sering mendapatkan pujian dari beberapa dokter yang pernah ditemaninya bekerja."Ah, jadi rumor yang mengatakan kalau Kak Luna terlibat dengan beberapa rentenir, itu benar?" tanya rekan kerja Luna, lagi.Luna tidak menanggapi dan memperpanjang mengenai hal itu, Luna hanya membalasnya dengan se
"Karena itu ternyata, alasan mengapa dia kembali diterima bekerja di rumah sakit ini.""Apa dia seorang penggoda? Ah, tentu saja. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan uang, menggoda orang-orang yang lebih kaya.""Lebih murah dari harga ikan di pasar! Sepertinya dia tidak mendapatkan didikan yang baik dari orang tuanya! Aku lupa, dia 'kan sudah tidak punya orang tua."Luna berjalan sembari menunduk, rasanya ia tidak mampu untuk menunjukkan wajahnya. Semua orang yang dilaluinya berbisik-bisik saat melihat Luna, menggunjing dan mencaci tanpa tahu kebenarannya.Rasanya Luna ingin menangis, tapi ia tidak ingin menunjukkan kesedihannya dihadapan semua orang. Luna juga tidak bisa melawan, Luna bahkan tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan."Kalian tidak punya kerjaan selain berkumpul di sini!" "Bubar! Bukankah kalian seharusnya melihat pasien yang membutuhkan bantuan? Lalu, mengapa kalian malah berdiri di sini!""Kalian dibayar untuk bekerja! Bukan untuk menggunjing, cih!"Se
"Brian, kamu masih marah?" tanya Luna, mengikuti langkah kaki Brian yang baru saja keluar dari kamar Bintang. Brian baru selesai menidurkan Bintang."Aku sudah mengatakannya berulang kali, panggil aku sayang, bukan Brian. Kamu pikir aku temanmu yang bisa kau panggil dengan namanya saja," jawab Brian tanpa menoleh untuk melihat Luna.Brian menyukainya, saat Luna merasa bersalah dan terus membuntutinya seperti sekarang."Sayang, kamu marah? Aku 'kan sudah bilang, aku dan Dokter Rio tidak ada hubungan apa pun, itu hanya sebuah kebetulan," ucap Luna mengulangi ucapannya. Ia tidak ingin masalah ini terus berlarut-larut, masih banyak hal lain yang harus dipikirkan Luna."Tidak perlu menyebut namanya, membuat aku kesal saja," dengus Brian.Luna yang sedari tadi membujuk Brian, berusaha tetap tenang. Meski sikap Brian benar-benar menguji kesabarannya. 'Dibujuk malah seenaknya, tidak dibujuk semakin marah. Mau kamu apa sih, Brian!' geram Luna, membatin.Luna berusaha menghirup banyak oksigen s
Seharusnya Luna sudah tahu, kalau Brian itu licik. Bukan lagi sekedar licik, tapi sangat-sangat licik. "Luna, sungguh! Aku tidak tahu kalau suamimu adalah Brian Alferdo, orang yang memiliki pengaruh sangat besar dalam segala hal." Bella masih tidak menyangka, bahwa hari itu ia bisa melihat secara langsung sosok Brian Alferdo yang biasanya hanya bisa ia lihat di layar kaca."Bella, bisa tidak jangan menyebut namanya. Aku sedang kesal jika harus mengingat dia," gerutu Luna.Luna pikir, Brian tidak begitu berpengaruh dalam ranah rumah sakit yang merupakan milik Dokter Rio. Ternyata, Luna salah besar! Karena pada kenyataannya, Brian lah yang menjadi pengendali kemudi yang membuat keputusan besar di rumah sakit.Karena itulah, Brian menonaktifkan Dokter Rio dari jabatannya untuk sementara waktu. Dan, memecat Luna sebagai perawat yang bekerja di rumah sakit. Bukankah Brian sangat jahat? Dia bahkan tidak mengatakan apapun pada Luna."Tetap saja Luna, kau tidak boleh marah padanya. Andai saja
"Adrian, apa yang kau lakukan di sini?" sapa Luna, ia sengaja menghampiri Adrian.Adrian tampak terkejut, melihat Luna yang sudah berdiri di sebelahnya. "Saya kebetulan lewat sini setelah bertemu dengan klien, dan saya lihat anda belum ada di sini. Jadi, saya bermaksud sekalian menjemput Bintang jika kiranya Anda datang terlambat," jelas Adrian"Tapi, karena Anda sudah berada di sini. Maka, saya pamit. Saya harus kembali ke kantor, permisi," pamit Adrian, ia segera pergi dari sana tanpa menghiraukan Luna yang masih ingin berbicara dengannya.Hal itu membuat Luna hanya bisa menatap mobil Adrian yang sudah melaju, meninggalkan halaman sekolah."Mengapa dia begitu terburu-buru pergi saat aku sudah ada di sini, padahal sedari tadi dia santai saja menunggu," gumam Luna, merasa aneh dengan sikap Adrian barusan.Namun, Luna tidak ingin menjadikannya beban pikiran. Mungkin saja Adrian sedang sibuk. Lagi pula, masih ada banyak masalah lain yang mesti dipikirkan Luna. Bukan waktunya untuk penas
Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden