"Sayang…." panggil Brian, tatkala Luna tidak menghiraukannya dan kembali memeluk Bintang."Aku tidak tahu kalau kamu akan ke sini," ujar Brian.'Lantas, kalau kamu tahu. Kamu tidak akan menemui perempuan itu, dan membicarakan tentang pernikahanmu dengan Sely?' batin Luna.Tapi, kenapa juga Luna harus marah hanya karena itu. Padahal tidak ada yang salah dengan pertemuan Brian dan perempuan tersebut. Dan mengenai apa yang mereka bicarakan, bukankah Luna memang sudah tahu, kalau Brian hanyalah milik Sely. Dan, sebentar lagi mereka akan kembali bersatu."Brian, lebih baik kamu kembali bekerja. Aku dan Bintang ingin tidur dulu," ujar Luna yang sudah memejamkan matanya."Kamu marah?" tanya Brian, masih enggan meninggalkan Luna."Marah? Kenapa aku marah? Apakah ada sesuatu yang membuat aku harus marah? Sepertinya tidak ada! Semuanya baik-baik saja 'kan." Luna sengaja balik bertanya, menatap Brian dengan seulas senyuman. Agar Brian tidak berpikir kalau Luna benar-benar marah.Setelah mendengar
"Apa yang kau katakan?" tanya Brian dengan suara lantangnya. Brian tidak lagi berbaring. Mendengar apa yang baru saja diucapkan Luan dengan lirih, membuat Brian seolah kehilangan kendali. Ia menatap Luna dengan tatapan tajamnya."Coba ulangi, apa yang baru saja kau katakan?" geram Brian. Rahangnya mengeras, dengan tangan yang terkepal kuat."Luna!" bentak Brian, saat melihat Luna yang menutup rapat mulutnya setelah mengucapkan kata yang sangat dibenci oleh Brian.Ini kali kedua, Brian mendengar permintaan Luna yang mengajaknya berpisah. Yang pertama, mereka benar-benar berpisah selama beberapa saat, meski akhirnya mereka kembali bersama. Dan kali ini, Brian tidak akan membiarkan hal itu terulang kembali."Brian," lirih Luna, memanggil Brian sembari menunduk. Luna berusaha agar Brian tidak melihat air matanya yang perlahan menetes.Tidak mudah untuk Luna, meninggalkan Brian dan juga Bintang. Namun, apa yang bisa membuat Luna bertahan? Sedangkan Brian, sebentar lagi ia akan kembali pada
Luna menatap kesal pada Adrian yang hanya menyunggingkan senyum mengejek untuk Luna.Seharusnya Luna tidak langsung percaya begitu saja 'kan pada Adrian? Hanya karena Adrian memperlihatkan data dirinya yang masih lajang, dan tidak memiliki anak. Bisa saja Adrian memiliki anak diluar nikah yang berusaha ia sembunyikan.Lagi pula, tidak mungkin Dokter Rio mengatakan demikian jika tidak ada isu yang sampai di telinganya. Tapi, Luna juga tidak bisa membuktikan kalau Adrian memang sudah memiliki anak."Selamat malam, sayang."Ah, seharusnya bukan itu yang dipikirkan Luna sekarang. Karena masalah terbesarnya, adalah orang yang sekarang tengah berdiri di hadapannya. "Malam," balas Luna dengan malas-malasan.Sejak permintaan Luna untuk berpisah dari Brian, membuat Luna menjadi peliharaan Brian sepenuhnya. Seolah permintaan Luna saat itu, menjadi kutukan tersendiri untuk Luna. Karena, Brian jadi membatasi pergerakan Luna, sehingga Luna tidak bisa lagi pergi keluar rumah tanpa seizin Brian. Hi
Luna tidak tahu lagi, harus dengan kata-kata seperti apa yang ia gunakan untuk membuat Brian mengerti. Apa yang dikatakan oleh Dokter Rio, benar adanya. Brian, dia itu licik. Tentu saja dia tidak akan masalah baik dengan ada atau tidak adanya Luna. Sekali pun Luna tetap ada sebagai istrinya, Brian masih bisa tetap menikah dengan Sely. Dan, yang akan menjadi korban adalah Luna dan Sely."Si*lan! Sebenarnya apa yang dia inginkan!" geram Luna, menatap punggung Brian yang sudah menjauh darinya."Aku akan dibunuh oleh Bibi Megan kalau masih ada di sini," racau Luna, memijat kepalanya yang terasa berdenyut nyeri.Luna berjalan kedepan, mencoba melihat keadaan di luar sana. Luna bahkan belum pernah keluar rumah sejak pembicaraan terakhir mereka di kantor Brian. Luna merasa seperti terkurung."Sebanyak itu?" gumam Luna, melihat jumlah pengawal yang menjadi lebih banyak dari sebelumnya.Luna berbalik, menghela napas berat. Luna sudah memikirkan banyak jalan untuk keluar dari sini, tapi Luna ti
Luna menatap wajah Bintang yang tengah terlelap. Ingin membangunkannya, akan tetapi Bintang tampak begitu nyenyak dalam tidurnya, membuat Luna mengurungkan niatnya.Berlama-lama memandangi wajah Bintang, membuat Luna mengingat kejadian semalam. Saat Bintang menolak untuk tidur dengannya, dan lebih memilih untuk bersama dengan Sely.Itu seakan menjadi pukulan telak untuk Luna, bahwa Luna tidak bisa lagi untuk bersama dengan Brian. Bahkan, Bintang saja sudah memilih Sely dibandingkan Luna."Sehat-sehat terus ya, sayang," bisik Luna sembari mengecup puncak kepala Bintang."Mungkin waktu yang kita habiskan bersama sudah cukup sampai di sini, berbahagialah selalu dengan Bibi Sely yang akan menjadi mama Bintang." "Jika Bintang tidak keberatan, tolong jangan lupakan Mama Luna. Jika Bintang tidak ingin mengingat Mama Luna sebagai mama, maka cukup ingat saja sebagai seorang perawat yang pernah merawat Bintang."Luna berdiri, menadahkan pandangannya ke atas, berusaha menahan air matanya yang he
"Brian, kita hanya terus berputar-putar di sini. Sebenarnya apa yang ingin kamu beli!" seru Luna yang sudah lelah mengikuti langkah kaki Brian.Setelah perdebatan pagi tadi, Brian mengajak Luna untuk berjalan-jalan di mal setelah ia selesai bekerja. Brian hanya mencoba menghibur Luna, karena bagaimanapun juga Brian tidak bisa mengusir Sely yang membuat Luna merasa tak nyaman."Menurut kamu, apa yang harus kita beli?" tanya balik Brian, yang membuat Luna menghembuskan napas untuk yang kesekian kalinya."Lebih baik kita pulang saja," ajak Luna sembari menarik tangan Brian."Tapi, kita belum membeli barang apa pun," protes Brian yang masih tidak ingin pulang.Bayangkan saja, mereka sudah berada di mal sejak pukul empat sore. Dan sekarang jarum jam sudah menunjuk pada angka delapan, yang artinya mereka telah menghabiskan waktu sekitar empat jam di mal. Dan belum ada barang apapun yang mereka beli.Hal benar yang mereka lakukan, hanyalah menonton dan makan malam berdua. Sedangkan yang lainn
"Sely, apa-apaan ini!" marah Brian, menarik Sely untuk menjauh dari keluarga mereka yang sedang berkumpul di ruang tamu.Brian masih tidak menyangka, bahwa hari ini rumahnya akan kedatangan tamu, yaitu orang tua Sely beserta Bibi Megan yang mewakili keluarga Brian."Bukankah kita akan menikah? Jadi wajar saja jika harus ada pertemuan dua keluarga, lagian itu bukanlah masalah yang harus kau besar-besarkan, Brian," sanggah Sely.Brian mengusap wajahnya, gusar. Merasa geram dengan sikap Sely yang berubah. "Sel, aku tahu kalau bukan ini yang kamu inginkan," bantah Brian."Mengapa kamu tiba-tiba seperti ini, atau kamu memang ingin membuat aku dan Luna benar-benar berpisah?" geram Brian, berusaha sekuat mungkin menahan amarahnya.Sely tidak langsung menanggapi, ia hanya membuang muka, melihat ke arah lain. Sely tidak dapat menyangkal apa yang dikatakan oleh Brian. Pada kenyataannya, memang bukan ini yang diinginkan Sely. Namun, Sely tidak punya pilihan lain."Semua orang yang mengenal kita
"Apa maksudnya, Brian. Mengapa kau ingin bertanggung jawab atas kesalahan orang tuamu?"Brian menoleh, mendapati Luna yang sekarang menatapnya dengan tatapan kosong. Sedangkan Bibi Megan, ia sudah pergi setelah puas mengamuk dan melampiaskan semua amarahnya pada Brian."Jadi, apa yang dikatakan petugas kepolisian yang menangani kecelakaan orang tuaku saat itu, adalah kebohongan? Alasan mengapa tidak ada saksi mata, karena semua sudah diatur sebaik mungkin? Seperti itu?" Luna menghampiri Brian, menatap Brian dalam. Mencari kebenaran."Luna, tidak seperti itu," sela Brian cepat."Lalu, seperti apa! Seperti apa, Brian! Jelaskan padaku yang begitu bo*oh sampai tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi!" teriak Luna, tidak dapat lagi menahan air matanya.Luna merasa hidupnya hancur setelah kepergian kedua orang tuanya, berpikir kalau orang tuanya sengaja menabrakkan mobilnya sesuai dengan informasi yang ia dapatkan. Namun, ternyata semua itu salah.Dan, itu membuat Luna semakin merasa se
Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden