"Sayang, ayo makan bersama," ajak Brian yang tengah menikmati bekal makan siang yang dibawa Luna ke kantornya."Aku dan Bintang sudah makan, kamu saja yang habiskan," tolak Luna atas tawaran Brian.Brian kemudian lanjut menghabiskan makanannya, sedangkan Luna merebahkan tubuhnya di sofa. Beristirahat sejenak setelah melalui hari yang cukup melelahkan, dimana Luna harus menjemput Bintang di sekolahnya lalu berlanjut ke kantor Brian.Sudah satu minggu berlalu, sejak liburan di pantai yang terasa menyenangkan. Membuat Luna merindukan saat-saat itu.Dan sekarang, Luna mulai kembali ke rutinitas baru. Yaitu mengantar dan menjemput Bintang yang baru saja masuk sekolah untuk pendidikan anak usia dini."Haruskah kita membeli apartemen yang ada di dekat sekolah Bintang? Agar kamu tidak kelelahan." Brian yang sudah selesai makan, menghampiri Luna, mengangkat kepala Luna agar menjadikan paha Brian sebagai bantal."Tidak perlu!" tolak Luna cepat, sebelum Brian mulai dengan kegilaannya dalam mengha
Luna tertegun, melihat wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya. Meski sudah pernah bertemu sebelumnya, namun Luna merasa auranya kali ini berbeda."Iya, Bi," ujur Luna gugup, berjalan mendekati Bibi Megan yang menatapnya. "Omah." Bintang yang juga melihat kehadiran sang nenek, segera berlari dan memeluknya."Omah, Bintang rindu pada omah. Mengapa omah tidak pernah lagi menemui Bintang?" oceh Bintang, mengutarakan kerinduan pada sang nenek yang baru ditemuinya lagi setelah sekian lama.Bibi Megan tidak menjawab, namun Ia membawa Bintang untuk ikut bersamanya, berjalan keluar dan meninggalkan ruangan Brian. Begitu pula dengan Luna, Ia mengekor di belakang Bibi Megan."Bintang bisa bermain dengan paman ini." Bibi Megan menunjuk pada asistennya yang segera menghampiri, "paman ini memiliki banyak mainan untuk Bintang," ujar Bibi Megan."Benarkah?" Mendengar kata mainan sudah cukup membuat Bintang langsung tersenyum dengan cerah, menghampiri asisten Bibi Megan yang mengeluarkan banyak
"Apa yang aku pikirkan? Mengapa ini terasa menyakitkan!" bisik Luna pada dirinya sendiri, sesekali menekan pada dadanya yang membuat ia merasa sesak."Mengapa aku sangat bodoh, padahal aku tahu kalau semua ini pasti akan terjadi. Aku sudah sekuat tenaga menghindar, mengapa tetap saja aku jatuh ke dalamnya." Luna berulang kali mengusap wajahnya yang sudah dibanjiri oleh air mata.Setelah bertemu dengan Bibi Megan di restauran, Luna tidak langsung pulang ke kantor Brian. Luna mencoba untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Sedangkan Bibi Megan sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu.Untung saja, Bibi Megan memesan ruangan VIP. Sehingga tidak perlu ada orang lain yang melihat Luna menangis. Bukankah itu akan jadi lebih menyedihkan, menangis dan ditatap oleh beberapa orang dengan perasaan penasaran. Dan saat kau mencoba mengatakan kalau kau baik-baik saja dengan senyuman. Namun air matamu terus mengalir, seolah tidak merestuimu untuk berbohong.Karena itulah, Luna lebih memilih untuk
"Sayang, kamu marah?" tanya Brian sembari memeluk Luna, mengikuti setiap gerakannya yang berjalan ke sana-kemari.Setelah kepulangan mereka dari kantor Brian, kemarin. Brian merasakan ada yang berbeda dari Luna. Seolah Luna menyembunyikan sesuatu darinya. Luna juga jadi lebih banyak diam dan acuh padanya.Brian sudah berulang kali bertanya, namun Luna tak menjawab. Terkadang menjawab tapi hanya sebatas deheman. Brian sendiri tidak bisa menerka-nerka, alasan dibalik diamnya Luna."Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padamu, dan aku tidak ingin mengatakan sesuatu saat itu," ujar Brian memberi pembelaan atas diamnya saat Luna bertanya. Sepertinya, hanya alasan itu yang membuat Luna jadi sedikit berubah. Karena Brian tidak menjawab pertanyaannya yang kemarin."Memangnya kamu ingin aku mengatakan apa, hm?" tanya Brian lagi.Brian merasa bingung dengan sikap Luna yang tiba-tiba berubah. Brian bahkan tidak tahu dimana letak kesalahannya, mengapa Luna tiba-tiba bersikap cuek seperti dulu
Melihat bagaimana Luna yang mengangguk pelan, membuat Brian bingung. Meski selanjutnya ia kembali menyaksikan Luna yang menggerakkan kepalanya, menggeleng."Aku hanya sedih untuk suatu hal, bukan karena kamu," ujar Luna sembari memberikan seulas senyuman pada Brian, menunjukkan pada Brian kalau bukan Brian yang membuatnya menangis. Tapi, dirinya sendiri."Benar?" tanya Brian, dan Luna mengangguk sebagai jawaban."Jangan berbohong, katakan padaku yang sebenarnya. Jika ada hal yang membuat kamu tidak suka dengan apa yang aku lakukan, katakan langsung padaku. Agar aku bisa memperbaikinya," ujar Brian sembari menggenggam erat tangan Luna, meminta Luna untuk percaya padanya.Luna kembali tersenyum. Bukan senyum bahagia, tetapi bukan pula senyuman yang menunjukkan kekecewaannya. Luna sendiri tak tahu, alasan mengapa ia tersenyum saat mendengar pernyataan yang disampaikan oleh Brian."Aku…." ragu, Luna berucap dengan sesekali menatap wajah Brian."Kenapa, hm? Katakan saja," ujar Brian lembut.
Brian, sedekat apa pun Luna dengannya, Luna tidak benar-benar tahu latar kehidupan Brian. Dan, Brian juga tidak pernah tertarik untuk menceritakan pada Luna. Hanya tentang Bella, sang saudara kembar yang pernah diceritakan. Selebihnya, Luna hanya tahu beberapa. Itu pun hanya menerka-nerka.Brian, ia seolah membuka akses untuk Luna. Namun, ia jelas memberi batasan untuk hal-hal yang tak seharusnya bisa dijangkau Luna.Seperti sebelumnya, Brian lagi-lagi tak menjawab pertanyaan Luna yang menanyakan tentang sosok dokter Rio. Brian hanya menghindar dan mengalihkan pembicaraan.Meski sekarang, Luna juga tidak lagi begitu penasaran. Ah, kadang kala Luna memang masih sering kelepasan dan melupakan batasan diantara mereka. Seharusnya, Luna mengingat hal itu setiap saat, agar ia tidak lagi begitu lancang menanyakan hal-hal yang tidak seharusnya dia tahu."Brian, lihatlah. Aku hanya mengganggu kamu jika aku ikut ke kantor," ujar Luna pelan, memainkan jari-jemarinya di kepala Brian yang berada di
Senyum cerah tak juga luntur dari wajah Luna, meski sedari tadi Brian memerintahkannya untuk melakukan banyak hal. Namun, Luna menurutinya dengan senang hati."Kamu begitu bahagia, hanya karena aku memperbolehkanmu untuk bekerja?" tanya Brian sembari tersenyum memandangi Luna yang memasangkan dasinya. Senyuman Luna bahkan membuat Brian tertular untuk menarik sudut bibirnya ke atas."Iya, aku sangat senang." Luna bahkan memberikan sebuah kecupan di pipi Brian, membuat Brian mematung.Untuk pertama kalinya, Luna melakukan itu. Bahkan tanpa diminta oleh Brian, dan Brian merasa sangat senang sehingga ia membalas dengan mengecup pipi Luna berulang kali."Sudah, aku juga harus membantu Bintang bersiap," ujar Luna sembari mendorong Brian, dan membuat Brian langsung mendengus.Luna lalu berjalan menuju kamar Bintang. Tadi, Bintang sudah mandi sendiri, seharusnya sekarang sudah selesai. Dan benar saja, Bintang bahkan sudah memakai seragam sekolahnya, meski jadinya tidak begitu rapi karena ia m
"Brian, mengapa hanya menatapku seperti itu," tegur Luna, "panggil Bintang, mengapa dia tidak juga membuka pintu kamarnya." Luna mulai khawatir, Bintang bahkan tidak menyahut dari dalam sana.Seolah tersadar, barulah Brian ikut menyerukan nama Bintang sembari mengetuk pintunya."Bintang," panggil Brian, namun lagi-lagi tidak ada sahutan dari Bintang."Bintang, buka pintunya sayang. Mama sedih kalau Bintang tidak membuka pintunya," ujar Luna, ia bahkan memasang ekspresi sedih di wajahnya, seolah Bintang akan melihatnya."Bintang!" Suara Brian naik beberapa oktaf, saat tidak juga mendapat jawaban dari Bintang. Rasa khawatir mulai menyerangnya.Brian yang mulai resah dan khawatir, berniat menabrakkan tubuhnya pada pintu, mendobrak. Namun, Luna menahannya."Kamu tidak memiliki kunci lain?" tanya Luna.Luna menyayangkan jika pintu harus didobrak dan mengalami kerusakan. Selain itu, Luna juga khawatir jika saja Bintang ada di balik pintu, dan Bintang akan terluka.Brian tidak menjawab, namun
Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden