"Terima kasih, sudah datang menyelamatkan aku," ujar Luna pelan.Brian tidak menjawab, ia hanya memeluk Luna dan menyandarkan di dadanya. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan untuk kembali ke hotel.Brian ingin membawa Luna ke rumah sakit, melihat keadaan Luna yang pucat dan lemah. Luna bahkan sempat pingsan selama beberapa menit, membuat Brian kalang kabut meminta bantuan. Untung saja, tidak berselang lama Luna kembali sadar, meski keadaannya tetap saja sangat lemas.Akan tetapi, Luna menolak untuk dibawa ke rumah sakit dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. Selain itu, Luna juga mengingat Bintang yang mereka tinggalkan sendirian di hotel."Bintang pasti mencariku," ujar Luna. Bintang adalah orang pertama yang diingatnya, mengingat ia meninggalkan Bintang sendirian di hotel."Tenang saja, ada pengawal yang menemaninya." Meski Brian juga khawatir karena sempat melupakan Bintang, tapi ia berusaha tetap tenang agar Luna juga bisa tenang.Brian bahkan baru mengingat Bintang saat Lun
"Brian, hentikan!" Luna berusaha menjauhkan wajah Brian, namun Brian begitu kuat merengkuh Luna."Brian! Bagaimana jika Bintang tiba-tiba pulang dan melihat kita," keluh Luna, masih juga berusaha menghentikan aksi Brian."Aku sudah mengirim pesan pada Adrian, agar ia tidak cepat pulang," jawab Brian disela-sela kegiatannya. Pada akhirnya, Luna hanya bisa pasrah di bawah Kungkungan Brian. Dan tentu saja Brian merasa senang jika Luna jadi penurut seperti sekarang, tidak lagi memberontak dan mencoba mencari alasan.Namun, ada saja gangguan yang datang. Brian terpaksa menghentikan kegiatannya dan mendengus, mengucapkan sumpah serapah pada orang yang terus membuat ponselnya berdering."Sely?" Brian mengernyitkan keningnya, melihat nama Sely terpampang di layar ponselnya.Melirik ke arah Luna yang menatapnya, Brian memilih menjauh untuk berbicara dengan Sely. Ia merasa kalau hal ini adalah penting, tidak biasanya Sely menelpon berulang kali.Berbeda dengan Luna, ia hanya menatap Brian yang
"Anda sudah datang?" tegur Adrian saat ia melihat Brian yang baru saja masuk ke ruang rawat inap yang ditempati Sely saat ini.Kecelakaan yang menimpah Sely tidak begitu parah, hanya ada beberapa luka kecil di bagian tangan juga kakinya. Sehingga Sely hanya mendapat perawatan untuk luka ringan. Selebihnya, Sely baik-baik saja.Hanya saja, Brian yang berlebihan karena merasa khawatir. Panggilan telpon dari orang tua Sely membuat Brian tidak bisa tenang jika keadaan Sely belum benar-benar membaik."Bintang sudah tidur?" tanya Brian, mengusap rambut Bintang yang berbaring di sofa, tempat Adrian ikut duduk."Dia tidur setelah menangis, Bintang terus mencari Luna," ujar Adrian."Bagaimana dengan Luna, mengapa Anda tidak membawanya kemari," ujar Adrian lagi, melihat Brian yang hanya datang sendiri, bukankah lebih baik jika Brian membawa serta Luna bersamanya. Dari pada Brian meninggalkan Luna sendirian di rumah.Brian hanya menghela napas, ia memilih duduk terlebih dahulu. Sangat jelas bahwa
"Apa yang kau katakan!" hardik Brian, ia tidak ingin percaya dengan hal tak masuk akal yang baru saja dikatakan Adrian. Lebih tepatnya, Brian berusaha menyangkal berita itu.Luna baik-baik saja, Brian percaya itu. Adrian hanya membohonginya. Brian bahkan masih melihat Luna saat kembali ke rumah, tadi."Luna ditikam oleh seseorang yang menyusup masuk ke rumah. Sekarang Luna sedang ditangani di IGD, luka tusuk di bagian perutnya tidak begitu dalam, namun Luna kehilangan banyak darah," jelas Adrian, dan akibatnya, ia mendapatkan satu hantaman kuat di pipinya. Brian memukulnya sebagai bentuk pelampiasan emosi, karena Brian tidak ingin mendengar kabar seperti itu."Apa yang kau bicarakan!" bentak Brian, "Luna baik-baik saja, jangan membohongiku," teriak Brian, murka.Sekuat apa pun Brian berusaha menyangkal, namun apa yang dikatakan Adrian membuatnya nyaris kehilangan kesadaran. Brian bahkan terlihat lunglai, seolah kakinya tidak mampu menahan berat tubuhnya sendiri. Brian tidak bisa berdir
"Bagiamana dengan operasinya?" Adrian langsung berdiri tatkala Dokter Rio keluar dari ruang operasi. "Semuanya baik-baik saja, meski sempat terjadi pendarahan. Pasien sudah dibawa ke ruang perawatan, kau bisa menemuinya di sana," ujar Dokter Rio menjelaskan."Baik, terima kasih atas kerja keras Anda," ucap Adrian.Saat dalam situasi darurat tadi, dimana Luna kembali mengalami pendarahan dan membutuhkan lebih banyak transfusi darah. Adrian menyempatkan diri untuk membawa Bintang ke ruang rawat inap Sely, agar Adrian tidak kewalahan."Adrian, apa aku bisa bertanya sesuatu?" tegur Dokter Rio saat melihat Adrian yang sudah akan pergi."Iya dok? Ada apa?" tanya Adrian.Dokter Rio merupakan salah satu orang yang sempat dekat dengan keluarga Brian, dan juga menjadi salah satu sahabat dekat Brian. Meski akhirnya mereka kembali asing, saat Dokter Rio memutuskan untuk melanjutkan studinya ke luar negeri. Dan baru kembali beberapa bulan ini."Mengapa kau bicara begitu kaku padaku, Adrian." Dokte
"Jaga bicara Anda dokter! Anda tidak mengetahui apa pun, jadi lebih baik Anda diam!" tekan Adrian, ada kemarahan yang ia tunjukkan dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya. Adrian marah atas apa yang dituduhkan Dokter Rio. Sedangkan Dokter Rio, ia hanya tertawa melihat reaksi Adrian yang marah. Dokter Rio begitu menyukai reaksi itu. Karena, itu membuatnya semakin yakin atas apa yang ada di kepalanya.Berbeda dengan Brian, ia lebih memilih untuk pergi dari sana. Meninggalkan Adrian dan Dokter Rio yang tampak bersitegang. Brian bahkan melupakan tujuan utamanya yang ingin mengobati luka di wajahnya.Brian lebih memilih menemui Luna yang masih asik memejamkan mata. Wajah pucat Luna yang tengah berbaring, membuat Brian mengusap wajahnya dengan sedikit kasar, ada penyesalan yang mendekam dalam dadanya.Brian lalu menarik sebuah kursi untuk ia duduki. "Maaf." Brian menggenggam tangan Luna yang terpasang selang infus."Seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian, seharusnya aku menemanim
"Ayo bercerai, Brian!"Andai saja Luna mampu melontarkan kalimat itu dihadapan Brian. Nyatanya tidak, kalimat itu hanya terus terbayang-bayang di kepala Luna, namun tidak berani ia ungkapan. Karena pada kenyataannya, hanya dengan menatap netra coklat Brian yang menatapnya sendu, sudah mampu melemahkan akal sehat Luna. Dan baru Luna sadari, bahwa netra coklat itulah yang membuatnya telah jatuh pada lubuk paling dalam yang namanya perasaan."Ada apa, hm? Kau membutuhkan sesuatu?" Brian menjentikkan jarinya di depan wajah Luna, membantu Luna keluar dari lamunannya."Tidak." Luna spontan menjawab, sebelum ia kembali menutup mulut dan menatap Brian.Luna menghirup udara yang banyak, lalu ia hembusan dengan pelan. "Kapan aku diperbolehkan keluar?" tanya Luna. Sudah ada satu minggu berlalu sejak kejadian Luna ditikam oleh seorang perempuan yang pernah menjadi teman dekatnya. Dimana motif penikaman itu dia lakukan karena dendam pribadi, dan hal itu didukung oleh seorang oknum yang menjadi te
"Aku mencintaimu, Luna," ucap Brian setelah mereka selesai melakukannya. Memberi beberapa kecupan di kening dan pipi Luna.Sedangkan Luna, ia tidak menjawab. Napasnya masih memburu, membuktikan bahwa ia benar-benar kelelahan dengan aktivitas yang baru saja mereka lakukan.Meski Brian mengatakan bahwa ia akan melakukannya dengan pelan karena Luna yang masih belum sepenuhnya sehat. Tetapi, bagi Luna itu bukanlah hal yang dikategorikan pelan. Luna bahkan tidak bisa membayangkan jika mereka melakukannya saat tidak dalam keadaan Luna yang sakit. "Brian, sempit!" Ranjang pasien yang dikhususkan hanya untuk satu orang terasa sempit saat ada dua orang dewasa yang berbaring di atasnya.Dan, Brian tidak mempedulikan itu. Bahkan saat Luna sudah berusaha mendorongnya untuk menjauh, Brian malah semakin mengeratkan pelukannya. Membuat Luna hanya pasrah dan tidak lagi mencoba untuk mendorong Brian yang begitu kuat.Dalam waktu yang sudah cukup lama, mereka masih sama-sama diam, mencoba mengatur napa
Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden