"Jaga bicara Anda dokter! Anda tidak mengetahui apa pun, jadi lebih baik Anda diam!" tekan Adrian, ada kemarahan yang ia tunjukkan dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya. Adrian marah atas apa yang dituduhkan Dokter Rio. Sedangkan Dokter Rio, ia hanya tertawa melihat reaksi Adrian yang marah. Dokter Rio begitu menyukai reaksi itu. Karena, itu membuatnya semakin yakin atas apa yang ada di kepalanya.Berbeda dengan Brian, ia lebih memilih untuk pergi dari sana. Meninggalkan Adrian dan Dokter Rio yang tampak bersitegang. Brian bahkan melupakan tujuan utamanya yang ingin mengobati luka di wajahnya.Brian lebih memilih menemui Luna yang masih asik memejamkan mata. Wajah pucat Luna yang tengah berbaring, membuat Brian mengusap wajahnya dengan sedikit kasar, ada penyesalan yang mendekam dalam dadanya.Brian lalu menarik sebuah kursi untuk ia duduki. "Maaf." Brian menggenggam tangan Luna yang terpasang selang infus."Seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian, seharusnya aku menemanim
"Ayo bercerai, Brian!"Andai saja Luna mampu melontarkan kalimat itu dihadapan Brian. Nyatanya tidak, kalimat itu hanya terus terbayang-bayang di kepala Luna, namun tidak berani ia ungkapan. Karena pada kenyataannya, hanya dengan menatap netra coklat Brian yang menatapnya sendu, sudah mampu melemahkan akal sehat Luna. Dan baru Luna sadari, bahwa netra coklat itulah yang membuatnya telah jatuh pada lubuk paling dalam yang namanya perasaan."Ada apa, hm? Kau membutuhkan sesuatu?" Brian menjentikkan jarinya di depan wajah Luna, membantu Luna keluar dari lamunannya."Tidak." Luna spontan menjawab, sebelum ia kembali menutup mulut dan menatap Brian.Luna menghirup udara yang banyak, lalu ia hembusan dengan pelan. "Kapan aku diperbolehkan keluar?" tanya Luna. Sudah ada satu minggu berlalu sejak kejadian Luna ditikam oleh seorang perempuan yang pernah menjadi teman dekatnya. Dimana motif penikaman itu dia lakukan karena dendam pribadi, dan hal itu didukung oleh seorang oknum yang menjadi te
"Aku mencintaimu, Luna," ucap Brian setelah mereka selesai melakukannya. Memberi beberapa kecupan di kening dan pipi Luna.Sedangkan Luna, ia tidak menjawab. Napasnya masih memburu, membuktikan bahwa ia benar-benar kelelahan dengan aktivitas yang baru saja mereka lakukan.Meski Brian mengatakan bahwa ia akan melakukannya dengan pelan karena Luna yang masih belum sepenuhnya sehat. Tetapi, bagi Luna itu bukanlah hal yang dikategorikan pelan. Luna bahkan tidak bisa membayangkan jika mereka melakukannya saat tidak dalam keadaan Luna yang sakit. "Brian, sempit!" Ranjang pasien yang dikhususkan hanya untuk satu orang terasa sempit saat ada dua orang dewasa yang berbaring di atasnya.Dan, Brian tidak mempedulikan itu. Bahkan saat Luna sudah berusaha mendorongnya untuk menjauh, Brian malah semakin mengeratkan pelukannya. Membuat Luna hanya pasrah dan tidak lagi mencoba untuk mendorong Brian yang begitu kuat.Dalam waktu yang sudah cukup lama, mereka masih sama-sama diam, mencoba mengatur napa
"Kapan kamu bertemu dengan Dokter Rio?" tanya Brian, ia memegang kartu nama Dokter Rio yang baru saja ia temukan di dompet Luna.Luna yang sedang membereskan tempat tidur, menoleh. Melihat Brian yang mengotak-atik isi dompetnya. "Sewaktu aku akan keluar dari rumah sakit, Dokter Rio datang dan memberikan itu," jawab Luna, kembali fokus pada pekerjaannya.Dua pekan berlalu sejak Luna akhirnya bisa keluar dari rumah sakit, dan semuanya berjalan dengan baik. Luna merasa sudah bisa beraktivitas kembali, meski tidak yang dalam kategori berat."Sayang, bagaimana jika kita mempekerjakan asisten rumah tangga untuk membantumu?" Panggilan Brian untuk Luna sudah berubah, menunjukkan kedekatan mereka yang tanpa batas lagi."Tidak perlu, lagi pula sudah ada cleaning servis yang akan datang setiap tiga hari sekali untuk membersihkan rumah," jawab Luna, menolak tawaran Brian."Tapi tetap saja, kamu masih tidak bisa melakukan aktivitas yang berat-berat. Aku bahkan merindukan masakanmu." Brian beranjak,
"Kau harus menikah agar bisa merasakannya juga!" seru Brian pada Adrian yang kini sudah berpindah, bergabung bersama Bintang, menemaninya bermain."Saya ingin menikah, tapi dengan Luna. Bagaimana?" goda Adrian, membuat Brian langsung melotot tak terima."Kau mau mati!" hardik Brian, meski ia tahu kalau Adrian hanya bergurau dan tidak akan mungkin melakukannya. Tapi tetap saja, Brian kesal.Dan Adrian hanya tersenyum menanggapi kemerahan Brian.Kedatangan Adrian kali ini sudah bisa ditebak seisi rumah. Yaitu meminta Brian untuk kembali bekerja. Hampir setiap hari Adrian mengeluh karena semuanya harus ia lakukan sendiri, sedangkan Sely. Dia tidak mengetahui apa pun."Brian, kapan Anda akan kembali bekerja?" ucap Bintang saat melihat mulut Adrian sudah bergerak hendak mengatakan sesuatu.Bintang bahkan sudah sangat hapal dengan apa yang akan dikatakan Adrian. Membuat tiga orang dewasa yang berada di dekatnya langsung melirik ke satu sumber yang hanya tersenyum."Paman Adrian selalu mengat
"Sayang, bukankah sudah lama sejak kita terakhir kali mengunjungi pantai?" tanya Brian, berbaring di atas pantai dengan menggunakan paha Luna sebagai bantalnya.Luna tidak menjawab pertanyaan Brian, pandangannya fokus ke depan. Menatap pada Bintang yang asik bermain air dengan Sely, tidak jauh dari mereka ada Adrian yang mengawasi."Apa yang kamu lihat?" Karena tidak mendapatkan jawaban dari Luna, Brian kemudian mengikuti arah pandang Luna yang menatap pada dua orang yang berada di bibir pantai."Akhirnya mereka bisa dekat juga, setelah sekian lama Bintang begitu tidak menyukai Sely. Entah bagaimana Sely membuat Bintang luluh," ujar Brian, membuat Luna menatapnya, sebuah tatapan yang sulit dimengerti. "Apa kamu merasa senang melihat Bintang yang. mulai dekat dengan Sely?" tanya Luna dengan pelan, pandangannya kembali fokus ke depan.Entah mengapa, Luna jadi tidak senang melihat kedekatan Bintang dan Sely. Bagaimanapun juga, Bintang adalah kunci dalam hubungan mereka. Bagaimana jika Bi
"Sayang, ayo makan bersama," ajak Brian yang tengah menikmati bekal makan siang yang dibawa Luna ke kantornya."Aku dan Bintang sudah makan, kamu saja yang habiskan," tolak Luna atas tawaran Brian.Brian kemudian lanjut menghabiskan makanannya, sedangkan Luna merebahkan tubuhnya di sofa. Beristirahat sejenak setelah melalui hari yang cukup melelahkan, dimana Luna harus menjemput Bintang di sekolahnya lalu berlanjut ke kantor Brian.Sudah satu minggu berlalu, sejak liburan di pantai yang terasa menyenangkan. Membuat Luna merindukan saat-saat itu.Dan sekarang, Luna mulai kembali ke rutinitas baru. Yaitu mengantar dan menjemput Bintang yang baru saja masuk sekolah untuk pendidikan anak usia dini."Haruskah kita membeli apartemen yang ada di dekat sekolah Bintang? Agar kamu tidak kelelahan." Brian yang sudah selesai makan, menghampiri Luna, mengangkat kepala Luna agar menjadikan paha Brian sebagai bantal."Tidak perlu!" tolak Luna cepat, sebelum Brian mulai dengan kegilaannya dalam mengha
Luna tertegun, melihat wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya. Meski sudah pernah bertemu sebelumnya, namun Luna merasa auranya kali ini berbeda."Iya, Bi," ujur Luna gugup, berjalan mendekati Bibi Megan yang menatapnya. "Omah." Bintang yang juga melihat kehadiran sang nenek, segera berlari dan memeluknya."Omah, Bintang rindu pada omah. Mengapa omah tidak pernah lagi menemui Bintang?" oceh Bintang, mengutarakan kerinduan pada sang nenek yang baru ditemuinya lagi setelah sekian lama.Bibi Megan tidak menjawab, namun Ia membawa Bintang untuk ikut bersamanya, berjalan keluar dan meninggalkan ruangan Brian. Begitu pula dengan Luna, Ia mengekor di belakang Bibi Megan."Bintang bisa bermain dengan paman ini." Bibi Megan menunjuk pada asistennya yang segera menghampiri, "paman ini memiliki banyak mainan untuk Bintang," ujar Bibi Megan."Benarkah?" Mendengar kata mainan sudah cukup membuat Bintang langsung tersenyum dengan cerah, menghampiri asisten Bibi Megan yang mengeluarkan banyak