Hari sudah gelap, Oliver seharian ini berada di rumah dan sibuk di ruangan kerjanya hingga sampai larut malam. Pukul sebelas malam laki-laki itu keluar dari dalam ruangan kerjanya. Oliver menyunggar rambut pirangnya dan melangkah hendak menaiki anak tangga, namun langkahnya terhenti saat melihat Alesha duduk sendirian di ruang makan. "Kau sedang apa sendirian di sini?" Suara Oliver membuat gadis itu mendongak, Oliver tiba-tiba muncul di belakang Alesha yang tengah melamun. "Aku ingin membuat susu cokelat hangat, tapi pinggang dan tubuhku masih sakit, perutku juga tidak nyaman sejak kemarin-kemarin." Wajah Alesha begitu kelelahan, Oliver bediri menatapnya dan menyandarkan tubuhnya di meja makan. Tangannya terulur mengusap pipi putih Alesha. "Diamlah di sini, aku akan membuatkannya untukmu," ujar Oliver. Alesha mengangguk, hatinya merasa senang mendapatkan perhatian dari sang suami. Sampai akhirnya Oliver melangkah ke dapur, diam-diam Alesha mendekat saat melihat laki-laki yang
"Akhirnya kau sudah kembali, menantuku! Kapten Oliver!" Dengan bangganya Laksamana Fredrick tersenyum lebar dan menepuk pundak Oliver seraya tertawa puas. Di sana, ada beberapa orang penting di kediaman Laksamana Fredrick. Dan Oliver tidak datang sendirian, ia mengajak Alesha bersamanya pagi ini. "Bagaimana perjalananmu? Aku dengar dari Kapten Lionil, pundak kirimu terluka?" tanya Laksamana Fredrick. "Ya, hanya luka kecil saja, Tuan," jawab Oliver. Tatapan mata Laksamana Fredrick lekat-lekat seolah meminta untuk tidak lagi memanggil dengan sebutan Tuan. "Ada banyak tamu dan rekan bisnisku, Oliver. Jangan memanggilku dengan sebutan Tuan," bisik Laksamana Fredrick pada Oliver. Oliver mengangguk, sementara di sampingnya sejak tadi Alesha berdiri diam dan menundukkan kepalanya saja memeluk lengan Olivier. Sang Ibu, Rena tengah mengobrol dengan istri dari para pejabat militer yang sedang berkunjung ke kediaman Laksamana Fredrick siang ini. "Bergabunglah dengan Ibumu, jangan terus
Oliver tak bisa tidur dengan tenang malam ini. Meskipun Alesha nampak lelap di sampingnya. Wanita itu meringkuk memeluk lengannya seperti anak kecil. Oliver berulang kali mencuri kecupan di wajah cantik Alesha. "Istirahatlah, Alesha..." Oliver berucap lirih.Selimut tebal putih tersibak, baru saja ia hendak beranjak. Tangan Alesha bergerak mencengkeram lengannya. "Mau ke mana?" tanya Alesha dengan mata kiyip. "Ada sesuatu yang harus aku urus, istirahatlah sendiri..." Alesha malah terbangun, duduk menggenggam telapak tangan besar Oliver seperti anak perempuan yang hendak ditinggal pergi oleh Ayahnya. Oliver paham betul, wanita cantik ini tidak mau ditinggalkan. "Aku tidak punya penyakit kulit yang menular, kau bisa tidur di sini sepanjang malam. Berbagi ranjang denganku, kita kan sepasang istri dan suami," ujar Alesha menahan.Lucu sekali, ekspresi gadis ini menggemaskan di mata Oliver. Dalam kamar yang gelap dan remang-remang dari cahaya malam, wajah putih Alesha masih begitu b
"Permisi... Nyonya, Tuan, maaf mengganggu!" Suara ketukan pintu kamar yang kencang, sungguh menghancurkan pagi indah Oliver dan Alesha. Kedua mata indah Alesha langsung terbuka, gadis itu mendengarkan Bibi berteriak mengetuk pintu kamarnya. "Bibi," lirih Alesha, dia masih dalam dekapan Oliver. "Wanita tua berisik!" umpat Oliver kesal. "A-ada apa, Bibi?!" pekik Alesha menjerit tanpa bisa melepaskan diri dari dekapan sang suami. "Ada Tuan Thomas di luar, beliau ingin mengambil pesanan bunga, Nyonya!" pekik Bibi dari luar. Saat itu juga Alesha tersentak. Dia baru ingat kalau dirinya membuat janji dengan seorang pembeli bunga. "Ya Tuhan, bagaimana bisa aku lupa!" Alesha merutuki dirinya sendiri. Namun dirinya kini masih terperangkap di dalam dekapan hangat Oliver. Bagaimana bisa Alesha lolos dari laki-laki ini?"Oliver..." "Heemm?" "Tolong lepaskan pelukannya, aku ada janji dengan seorang pembeli bunga. Dia membeli bunga yang sangat banyak dan-""Seorang laki-laki?" Oliver memb
Pukul delapan malam, Oliver baru saja pulang. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah membawa paper bag di tangannya. Oliver membelikan kue pie untuk Alesha. Dia meminta bawahannya membelikan sebuah makanan manis yang paling disukai oleh Alesha. Namun begitu Oliver masuk ke dalam rumah, ternyata sangat sepi dan tidak ada yang menyambutnya selain Bibi Ruitz. "Mana Alesha... Apa dia sudah tidur?" tanya Oliver melepaskan jaket seragamnya. "Itu Tuan, Nyonya sedang marah." "Marah?" Oliver mengerutkan keningnya dan tersenyum. "Denganku? Soal candaanku pagi tadi?" "Benar sekali Tuan."Oliver menyergah napasnya panjang, ia langsung melangkah menuju lantai dua, namun Bibi Ruitz mengejarnya. "Tuan, Nyonya tidak ingin bertemu dengan Tuan. Nyonya Alesha... I-ingin pisah ranjang." Wanita itu menghadang Oliver. Kening laki-laki itu mengerut, tak suka dengan semua ini, Oliver langsung melewati Bibi Ruitz begitu saja. Ia memutar gagang pintu kamar Alesha dan membukanya. Di sana, Alesha t
Alesha berulang kali menghitung uangnya dan memasukkan ke dalam tas dengan wajah gelisah. Setelah Oliver berangkat bekerja, Alesha memutuskan untuk pergi ke rumah sakit mengecek kandungannya. Wanita muda itu duduk sendirian di antara para wanita yang ingin memeriksa kandungannya di rumah sakit. Namun bedanya, hanya Alesha yang tak ditemani oleh siapapun. "Nyonya Alesha? Istri Kapten Oliver, kan?" sapa seorang laki-laki berpakaian perwira yang kini tak sengaja lewat di hadapannya. Wajah Alesha terangkat, dia menatap Hubert yang tengah bersama istrinya. "Oh ya, selamat pagi," sapa Alesha tersenyum manis. "Nyonya Alesha ingin cek kandungan? Wahh... Sudah berapa bulan?" tanya Sonia, istri Hubert yang kebetulan mengenal Alesha. Dengan ragu Alesha mengangguk. "I-iya. Sudah empat bulan." Kedua orang di depannya itu bergeming, pernikahan dan kehamilan itu lebih tua usia kehamilannya. Namun mereka berdua tak terlalu menyeriusi hal itu. Melihat Alesha sendirian, lantas Hubert menoleh k
Dengan napas merintih, wajah berkeringat, Alesha menggenggam tangan Oliver dengan erat. Wanita itu menatap langit-langit dan diam sejak tadi. Oliver mengusap wajah Alesha dengan sapu tangannya, begitu pelan dan perhatian. Bahkan dia tidak beranjak sama sekali, setelah menghubungi Laksamana Fredrick dan mengatakan kondisi Alesha, Oliver diminta menjaga Alesha hingga sang istri benar-benar sembuh. "Enghh..." Alesha menggigit bibir bawahnya dan meringkuk ke arah Oliver. "Perutmu masih sakit, hem?" Oliver mengusap pelipis basah Alesha dengan sapu tangannya. Alesha mengangguk kecil dan menatapi wajah tampan Oliver. Dia tersenyum tipis, jemarinya menyentuh rambut pirang Oliver yang kini tak rapi lagi. "Ka-kau tidak ke pangkalan?" tanya Alesha lirih dan berbisik. "Tidak, aku akan menemanimu di sini. Aku akan menjagamu," bisik Oliver mengecup punggung tangan Alesha dengan lembut. Kedua pipi gadis itu memerah. Perlakuan Oliver sungguh hangat, Alesha merasa dicintai, disayangi, apakah sa
Pagi hujan membasahi bumi, Alesha membuka mata saat Oliver tidak ada di sampingnya. Mungkin suaminya pergi bertugas. Alesha beranjak bangun, ia turun dari atas ranjang dan berjalan mendekati jendela kamar inapnya. Menatap pemandangan pagi, hujan yang turun membawa angin pagi yang sejuk dari arah laut. "Syukurlah nak, kau tidak papa," lirih Alesha menunduk mengusap perutnya. Dress rumah sakit berwarna biru itu, membuat perut Alesha terlihat begitu berisi. Lucu sekali. Alesha menyandarkan kepalanya pada kayu bingkai jendela dan menatap hujan pagi ini. "Kau pasti sekarang sedang tersenyum dan bahagia, kan? Ibu tahu itu... Emm, jangan Ibu, tapi Mami, atau Mommy? Mommy," ucap Alesha terkekeh. Akhir-akhir ini dia sering berbicara sendiri, tapi sesungguhnya Alesha berbicara dengan anaknya yang selalu menemani Alesha dalam segala situasi. "Anak Mommy sedang tidur, kah?" Alesha kembali menunduk dan tersenyum. "Mommy juga senang, sekarang... Adik sekarang punya Ayah. Kapten Oliver sangat