Alesha berdiri di ambang pintu rumah, pukul enam sore tepat dia menunggu Oliver datang. Setelah pulang dari rumah sakit, Alesha merasa ingin terus bersama suaminya. Tapi memang Tuhan ada di pihaknya, Oliver datang, mobilnya sampai. "Dia pulang," lirih Alesha tersenyum lebar. Laki-laki itu keluar dari dalam mobil, dia menyunggar rambut pirangnya dan menatap Alesha seraya tersenyum miring. "Selamat malam, Nyonya Vorgath?" sapa Oliver berdiri di hadapan Alesha yang berjinjit mengulurkan kedua tangannya. "Kau mau apa, hem?" "Mengecupmu," jawab Alesha tanpa malu-malu. Oliver terkekeh, dia membungkukkan badannya dan membiarkan Alesha mengecup pipinya. Benar kata Lionil, gadis ini akan memberikan segalanya saat Oliver memberikan sedikit saja ruang di hatinya untuk Alesha. Gadis yang baik. "Kau wangi sekali, hem?" Oliver melingkarkan satu tangannya merengkuh pinggang Alesha dan mengecup wajah cantik itu. "Yaa... Bibi membantuku mandi," jawab Alesha terkikik geli. "Sial, harusnya aku
"Syukurlah, kondisi Nyonya Alesha dan janin Nyonya sudah lebih baik. Tapi jangan sampai kelelahan, ya?" Dokter Teodora tersenyum manis setelah memeriksa Alesha yang kini berbaring di atas ranjang kamarnya. Wajah Alesha sangat cemas, satu tangannya memegangi telapak tangan Oliver yang menemaninya. "Sungguh kah dok, anakku tidak papa?" tanya Alesha memastikan. "Tidak papa Nyonya. Jangan khawatir, dia akan tumbuh dengan baik." Dokter Teodora merasa lega. Oliver tersenyum tipis mendengarnya, laki-laki itu mengusap kening Alesha. "Bisakah dokter ke sini setiap bulan, atau dua minggu sekali untuk memantau kondisi istri dan bayi kami?" tanya Oliver setengah berdiskusi. "Bisa Kapten Oliver, saya akan usahakan menjadi dokter utama untuk Nyonya Alesha." Dokter Teodora mengangguk setuju. "Terima kasih banyak." Oliver pun tersenyum lega. Dokter Teodora berpamitan pergi setelah tugasnya selesai. Wanita itu segera keluar dan menutup pintu kamar Alesha. Di sana, Alesha tersenyum-senyum sen
Setelah memutuskan untuk kembali ke kota untuk memenuhi tugas dari Laksamana Fredrick, Oliver pun mengajak Alesha ke Firenze. Selain itu, kota tersebut juga tempat di mana keluarga Oliver berada. Tetapi amanat yang Bibi Ruitz berikan pada Alesha, kalau dirinya tidak boleh macam-macam dengan keluarga Oliver. "Kita sebentar lagi akan tinggal di mana? Di hotel, kah?" tanya Alesha seraya menatap jalanan dari jendela mobil. "Di rumahku," jawab Oliver dengan santainya. "Aku juga punya rumah di sini, satu pekarangan dengan keluargaku." "Ah begitu ya," cicit Alesha, dia mulai tak tenang. Sementara sepanjang jalan menuju kediaman Oliver, Alesha tak henti-hentinya menenangkan diri. Meskipun Oliver tak melepaskan genggaman tangannya. Syukurlah Alesha meminta pada Oliver untuk mengajak Bibi Ruitz ikut dengan mereka, agar Alesha tidak kerepotan melakukan apapun sendiri. "Hemmm..." Alesha tiba-tiba menyandarkan kepalanya di pundak Oliver dengan wajah lesu. Ekor mata biru laki-laki itu melir
"Aku ingin menemui istri Oliver. Di mana dia?" Suara Elina, Ibu Oliver di depan pintu kamar membuat Alesha cepat menoleh ke arah pintu. Gadis itu berjalan dengan ragu membuka pintu dan melihat ada Ibu mertuanya bersama dengan Bibi Ruitz di hadapannya. "Selamat pagi, Ibu," sapa Alesha menundukkan kepala dengan tangan terkepal pelan. Elina, wanita itu menatap tubuh Alesha dari ujung kepala hingga ujung kaki, sampai terfokus pada perut Alesha yang menyembul. "Di mana suamimu, Alesha?" tanya Elina menatapnya lekat. "Oliver sedang bersiap, sebentar lagi dia ada undangan penting Bu," jawab Alesha menatap wanita itu dengan sedikit ragu. "Hem, bilang pada suamimu aku tunggu sarapan di rumah," ujar Elina memerintah. "Iya Bu..." "Tapi tidak denganmu! Aku tidak mengajakmu!" Wanita itu mengatakannya seraya berjalan menjauh. Kedua mata Alesha melebar perlahan, rautnya kecewa dan ia tetap diam tak bisa berkata-kata. Bibi Ruitz yang berdiri di samping Alesha, wanita itu tersenyum manis da
Oliver pulang pukul setengah enam, ia terlambat satu jam. Padahal sejak semalam dia sudah membuat janji dengan istri cantiknya untuk jalan-jalan. Tapi malam ini hujan turun cukup deras. Oliver masuk ke dalam rumah tanpa sambutan apapun, selain Bibi Ruitz yang berdiri di ujung bawah anak tangga membawa sebuah selimut milik Alesha. "Apa yang terjadi? Kenapa kau membawa selimut milik Alesha?" tanya Oliver seraya melepaskan tuxedo hitamnya. "Nyonya mual-mual, Tuan. Sejak siang Nyonya terlalu banyak minum teh manis sampai mual," jawab Bibi dengan wajah cemas. "Astaga Alesha..." Oliver langsung berjalan naik ke lantai dua, ia membuka pintu kamar di mana Alesha duduk diam menatap ke arah jendela. Dia tidak sadar dengan kedatangan Oliver. Gadis itu terkejut saat merasakan telapak tangan dingin menyentuh pipinya. "Kau sakit? Kata Bibi kau mual-mual," seru Oliver duduk di samping istrinya dan mengusap wajah Alesha. Alesha tetap diam dan bibirnya cemberut, gadis itu memegangi lengan Oli
Oliver meletakkan dagunya di pundak Alesha, terasa jelas suasana hati suaminya ini sedang buruk dan amarah membelenggu perasaan Oliver Vorgath. Kulit punggung Alesha yang hangat bersentuhan lekat dengan kulit tubuh Oliver, hingga terasa seperti sutera yang menempel di dada Oliver. "Kau sedang marah, ya?" tanya Alesha tanpa membalikkan badannya. "Mereka terlalu lancang," bisik Oliver menyilakan rambut panjang Alesha di leher jenjang gadis itu. "Aku benci milikku diganggu!" Kedua mata Alesha kembali terpejam, jemarinya meremas selimut saat bibir Oliver mendarat di sana. "Oliver... Jangan marah saat sedang seperti ini," pinta Alesha, kali ini wanita itu mengusap rahang Oliver tanpa menatapnya, karena laki-laki itu memeluknya dari belakang. Kembali Oliver terdiam, ia mengusap puncak lengan Alesha dan beranjak. "Istirahatlah, aku akan kembali nanti." Oliver menyahut kimono putihnya dan memakainya cepat. "Kau mau ke mana? Tidak papa meskipun kita melakukannya, asal jangan dengan mar
"Aku... Aku minta maaf, Alesha!" Livia dengan wajah kaku mengulurkan tangannya pada Alesha. Di sana, Alesha terdiam dan menerima jabatan tangan Kakak iparnya. Namun tak lama dari itu Livia langsung menyentak tangan Alesha dengan kuat dan berekspresi kesal. "Jangan kau ulangi lagi," desis Oliver pada sang saudari. Laki-laki itu menarik lengan Alesha dan diajaknya segera menjauh dari tempat di mana para wanita tadi masih terpaku dengan keadaan. Oliver menatap Alesha yang diam tertunduk. Alesha serba salah, mungkin Oliver akan memarahinya karena Alesha membuatnya malu.Sesampainya di rumah, Alesha kembali duduk di kursi teras. Dia menatap punggung tangannya yang luka terkena goresan injakan kaki Livia. "Kau pasti marah padaku kan?" tanya Alesha, dia menatap Oliver yang kini membersihkan punggung tangan Alesha. "Heem. Kau sudah aku peringatkan untuk tidak mendekati mereka, bukan? Tapi kau malah-""Dia mendatangiku, Oliver." Alesha menyela dan menarik tangannya. Tatapan mata biru O
Oliver dan Alesha sudah tiba di Sisilia. Seharian ini Alesha tidak melakukan kegiatan apapun selain berdiam diri ditemani Bibi Ruitz. Sementara Oliver, laki-laki itu sudah pergi sejak pagi bahkan sebelum Alesha bangun dari tidurnya. "Apa Oliver pergi ke pangkalan, Bi? Kenapa dia tidak membangunkan aku?" Alesha menatap Bibi Ruitz yang kini menuangkan teh di cangkir yang berada di hadapan Alesha. "Sepertinya iya Nyonya, tapi Tuan bilang pada saya kalau beliau akan segera kembali." "Hemm... Aku jadi kepikiran tentang semalam. Aku jadi takut untuk datang ke pesta lagi, suamiku pasti malu." Bibi Ruitz menyentuh pundak Alesha dengan lembut. "Nyonya tenang saja, saya yakin apapun yang terjadi, Tuan pasti akan berada di pihak Nyonya Alesha!" Wanita itu selalu menyemangati. Senyuman pun terukir di bibir Alesha, dia menganggukkan kepalanya. "Iya Bi," jawabnya lembut. Suara klakson mobil di depan membuat Alesha beranjak dari duduknya. Gadis itu menoleh ke arah pintu depan di mana mobil