Pukul delapan malam, Oliver baru saja pulang. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah membawa paper bag di tangannya. Oliver membelikan kue pie untuk Alesha. Dia meminta bawahannya membelikan sebuah makanan manis yang paling disukai oleh Alesha. Namun begitu Oliver masuk ke dalam rumah, ternyata sangat sepi dan tidak ada yang menyambutnya selain Bibi Ruitz. "Mana Alesha... Apa dia sudah tidur?" tanya Oliver melepaskan jaket seragamnya. "Itu Tuan, Nyonya sedang marah." "Marah?" Oliver mengerutkan keningnya dan tersenyum. "Denganku? Soal candaanku pagi tadi?" "Benar sekali Tuan."Oliver menyergah napasnya panjang, ia langsung melangkah menuju lantai dua, namun Bibi Ruitz mengejarnya. "Tuan, Nyonya tidak ingin bertemu dengan Tuan. Nyonya Alesha... I-ingin pisah ranjang." Wanita itu menghadang Oliver. Kening laki-laki itu mengerut, tak suka dengan semua ini, Oliver langsung melewati Bibi Ruitz begitu saja. Ia memutar gagang pintu kamar Alesha dan membukanya. Di sana, Alesha t
Alesha berulang kali menghitung uangnya dan memasukkan ke dalam tas dengan wajah gelisah. Setelah Oliver berangkat bekerja, Alesha memutuskan untuk pergi ke rumah sakit mengecek kandungannya. Wanita muda itu duduk sendirian di antara para wanita yang ingin memeriksa kandungannya di rumah sakit. Namun bedanya, hanya Alesha yang tak ditemani oleh siapapun. "Nyonya Alesha? Istri Kapten Oliver, kan?" sapa seorang laki-laki berpakaian perwira yang kini tak sengaja lewat di hadapannya. Wajah Alesha terangkat, dia menatap Hubert yang tengah bersama istrinya. "Oh ya, selamat pagi," sapa Alesha tersenyum manis. "Nyonya Alesha ingin cek kandungan? Wahh... Sudah berapa bulan?" tanya Sonia, istri Hubert yang kebetulan mengenal Alesha. Dengan ragu Alesha mengangguk. "I-iya. Sudah empat bulan." Kedua orang di depannya itu bergeming, pernikahan dan kehamilan itu lebih tua usia kehamilannya. Namun mereka berdua tak terlalu menyeriusi hal itu. Melihat Alesha sendirian, lantas Hubert menoleh k
Dengan napas merintih, wajah berkeringat, Alesha menggenggam tangan Oliver dengan erat. Wanita itu menatap langit-langit dan diam sejak tadi. Oliver mengusap wajah Alesha dengan sapu tangannya, begitu pelan dan perhatian. Bahkan dia tidak beranjak sama sekali, setelah menghubungi Laksamana Fredrick dan mengatakan kondisi Alesha, Oliver diminta menjaga Alesha hingga sang istri benar-benar sembuh. "Enghh..." Alesha menggigit bibir bawahnya dan meringkuk ke arah Oliver. "Perutmu masih sakit, hem?" Oliver mengusap pelipis basah Alesha dengan sapu tangannya. Alesha mengangguk kecil dan menatapi wajah tampan Oliver. Dia tersenyum tipis, jemarinya menyentuh rambut pirang Oliver yang kini tak rapi lagi. "Ka-kau tidak ke pangkalan?" tanya Alesha lirih dan berbisik. "Tidak, aku akan menemanimu di sini. Aku akan menjagamu," bisik Oliver mengecup punggung tangan Alesha dengan lembut. Kedua pipi gadis itu memerah. Perlakuan Oliver sungguh hangat, Alesha merasa dicintai, disayangi, apakah sa
Pagi hujan membasahi bumi, Alesha membuka mata saat Oliver tidak ada di sampingnya. Mungkin suaminya pergi bertugas. Alesha beranjak bangun, ia turun dari atas ranjang dan berjalan mendekati jendela kamar inapnya. Menatap pemandangan pagi, hujan yang turun membawa angin pagi yang sejuk dari arah laut. "Syukurlah nak, kau tidak papa," lirih Alesha menunduk mengusap perutnya. Dress rumah sakit berwarna biru itu, membuat perut Alesha terlihat begitu berisi. Lucu sekali. Alesha menyandarkan kepalanya pada kayu bingkai jendela dan menatap hujan pagi ini. "Kau pasti sekarang sedang tersenyum dan bahagia, kan? Ibu tahu itu... Emm, jangan Ibu, tapi Mami, atau Mommy? Mommy," ucap Alesha terkekeh. Akhir-akhir ini dia sering berbicara sendiri, tapi sesungguhnya Alesha berbicara dengan anaknya yang selalu menemani Alesha dalam segala situasi. "Anak Mommy sedang tidur, kah?" Alesha kembali menunduk dan tersenyum. "Mommy juga senang, sekarang... Adik sekarang punya Ayah. Kapten Oliver sangat
Alesha berdiri di ambang pintu rumah, pukul enam sore tepat dia menunggu Oliver datang. Setelah pulang dari rumah sakit, Alesha merasa ingin terus bersama suaminya. Tapi memang Tuhan ada di pihaknya, Oliver datang, mobilnya sampai. "Dia pulang," lirih Alesha tersenyum lebar. Laki-laki itu keluar dari dalam mobil, dia menyunggar rambut pirangnya dan menatap Alesha seraya tersenyum miring. "Selamat malam, Nyonya Vorgath?" sapa Oliver berdiri di hadapan Alesha yang berjinjit mengulurkan kedua tangannya. "Kau mau apa, hem?" "Mengecupmu," jawab Alesha tanpa malu-malu. Oliver terkekeh, dia membungkukkan badannya dan membiarkan Alesha mengecup pipinya. Benar kata Lionil, gadis ini akan memberikan segalanya saat Oliver memberikan sedikit saja ruang di hatinya untuk Alesha. Gadis yang baik. "Kau wangi sekali, hem?" Oliver melingkarkan satu tangannya merengkuh pinggang Alesha dan mengecup wajah cantik itu. "Yaa... Bibi membantuku mandi," jawab Alesha terkikik geli. "Sial, harusnya aku
"Syukurlah, kondisi Nyonya Alesha dan janin Nyonya sudah lebih baik. Tapi jangan sampai kelelahan, ya?" Dokter Teodora tersenyum manis setelah memeriksa Alesha yang kini berbaring di atas ranjang kamarnya. Wajah Alesha sangat cemas, satu tangannya memegangi telapak tangan Oliver yang menemaninya. "Sungguh kah dok, anakku tidak papa?" tanya Alesha memastikan. "Tidak papa Nyonya. Jangan khawatir, dia akan tumbuh dengan baik." Dokter Teodora merasa lega. Oliver tersenyum tipis mendengarnya, laki-laki itu mengusap kening Alesha. "Bisakah dokter ke sini setiap bulan, atau dua minggu sekali untuk memantau kondisi istri dan bayi kami?" tanya Oliver setengah berdiskusi. "Bisa Kapten Oliver, saya akan usahakan menjadi dokter utama untuk Nyonya Alesha." Dokter Teodora mengangguk setuju. "Terima kasih banyak." Oliver pun tersenyum lega. Dokter Teodora berpamitan pergi setelah tugasnya selesai. Wanita itu segera keluar dan menutup pintu kamar Alesha. Di sana, Alesha tersenyum-senyum sen
Setelah memutuskan untuk kembali ke kota untuk memenuhi tugas dari Laksamana Fredrick, Oliver pun mengajak Alesha ke Firenze. Selain itu, kota tersebut juga tempat di mana keluarga Oliver berada. Tetapi amanat yang Bibi Ruitz berikan pada Alesha, kalau dirinya tidak boleh macam-macam dengan keluarga Oliver. "Kita sebentar lagi akan tinggal di mana? Di hotel, kah?" tanya Alesha seraya menatap jalanan dari jendela mobil. "Di rumahku," jawab Oliver dengan santainya. "Aku juga punya rumah di sini, satu pekarangan dengan keluargaku." "Ah begitu ya," cicit Alesha, dia mulai tak tenang. Sementara sepanjang jalan menuju kediaman Oliver, Alesha tak henti-hentinya menenangkan diri. Meskipun Oliver tak melepaskan genggaman tangannya. Syukurlah Alesha meminta pada Oliver untuk mengajak Bibi Ruitz ikut dengan mereka, agar Alesha tidak kerepotan melakukan apapun sendiri. "Hemmm..." Alesha tiba-tiba menyandarkan kepalanya di pundak Oliver dengan wajah lesu. Ekor mata biru laki-laki itu melir
"Aku ingin menemui istri Oliver. Di mana dia?" Suara Elina, Ibu Oliver di depan pintu kamar membuat Alesha cepat menoleh ke arah pintu. Gadis itu berjalan dengan ragu membuka pintu dan melihat ada Ibu mertuanya bersama dengan Bibi Ruitz di hadapannya. "Selamat pagi, Ibu," sapa Alesha menundukkan kepala dengan tangan terkepal pelan. Elina, wanita itu menatap tubuh Alesha dari ujung kepala hingga ujung kaki, sampai terfokus pada perut Alesha yang menyembul. "Di mana suamimu, Alesha?" tanya Elina menatapnya lekat. "Oliver sedang bersiap, sebentar lagi dia ada undangan penting Bu," jawab Alesha menatap wanita itu dengan sedikit ragu. "Hem, bilang pada suamimu aku tunggu sarapan di rumah," ujar Elina memerintah. "Iya Bu..." "Tapi tidak denganmu! Aku tidak mengajakmu!" Wanita itu mengatakannya seraya berjalan menjauh. Kedua mata Alesha melebar perlahan, rautnya kecewa dan ia tetap diam tak bisa berkata-kata. Bibi Ruitz yang berdiri di samping Alesha, wanita itu tersenyum manis da
Cuaca pagi yang sangat cerah, Alesha berada di taman luas rumahnya bersama Baby Noah dan Leah. Setiap pagi ia selalu menghangatkan dua malaikat kecilnya. Udara sejuk yang tak terlalu dingin, aroma pepohonan pinus di sekitar sana masih khas dengan kesejukan di tempat itu, juga bunga-bunga bermekaran di musim ini. "Tak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat," ucap wanita itu menunduk menatap bayi-bayi mungil yang kini terlelap. Dua bayi itu berada di dalam keranjang rajut dari rotan, dengan selimut tebal dan lembut sebagai alasnya. "Hai Sayang... Bangun juga akhirnya," bisik Alesha mengusap ujung jari telunjuknya di pipi Noah. Sedangkan Leah, bayi itu masih tertidur dan merasa nyaman dengan hangatnya sinar matahari. "Bangun Leah, kau tidur terus sepanjang hari, Cantik."Pipi gembil Leah yang memerah, persis seperti pipi milik Kakaknya, Louis. Alesha sangat yakin kedua anak ini akan tumbuh lucu dan menggemaskan. "Mami...!" Suara teriakan Louis membuat Alesha menoleh ke belakan
"Aiko... Aku punya dua adik sekarang! Adikku nangisnya lebih keras dari adikmu!" Louis menatap teman perempuannya yang kini duduk di sampingnya. Padahal sudah berbulan-bulan lamanya mereka membahas tentang adik, dan baru sekarang Louis menunjukkan adiknya, tepatnya setelah dua adik kembarnya lahir. Teman perempuannya itu menoleh dengan mata mengerjap. "Terus, mereka laki-laki atau perempuan, Louis?" tanya Aiko. "Laki-laki dan perempuan. Yang satu Noah dan yang satu Leah. Kau harus kenalan dengan adik-adikku!" Louis mengatakan dengan bangga. Aiko pun menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tengah menunggu jemputan, Louis mengatakan pada semua teman-temannya hari ini kalau dia punya adik bayi. Ia sangat bangga dan senang, dirinya menjadi seorang Kakak. Selang beberapa menit, mobil putih berhenti di depan Louis dan Aiko. "Woii, Big Boss! Ayo masuk!" Suara Ares membuka kaca jendela mobil. Louis pun turun dari duduknya. "Aku duluan, Aiko!" "Iya Louis, hati-hati ya..." Anak peremp
Beberapa hari Alesha berada di rumah sakit. Hari ini ia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, ia disambut dengan hangat oleh putranya. Louis meminta Ares untuk menghias kamar adik bayinya, itu semua juga pemerintah Oliver pada mulanya. "Horee... Adik pulang! Akhirnya kita sampai rumah, Leah dan Noah harus lihat kamar barunya, Kakak kerja keras buat menghias kamar kalian!" seru Louis berjalan mengekori Rena yang kini menggendong satu bayi milik Alesha. "Benarkah Kakak yang menghias kamar adik?" tanya Alesha pada si kecil. Louis dengan antusias menganggukkan kepalanya. "Iya Mami, tanya saja pada Papi! Louis yang menghias kamar adik, sekarang jadi bagus sekali!" seru anak itu mengacungkan jempolnya. "Wahh, terima kasih banyak, Kakak Louis." Mereka masuk ke dalam kamar, Alesha dibantu oleh Oliver duduk di tepi ranjang. Dua bayinya berada di sampingnya dan Louis juga mendusal pada Alesha terus-menerus. Oliver sibuk sendiri, dia menjadi super aktif menangani ini dan itu. Bahk
Louis datang ke rumah sakit bersama dengan Ares, di sana ia bertemu dengan Papinya yang kini melambaikan tangan ke arah anak itu. "Papi...! Mana adikku?!" pekik Louis mengulurkan kedua tangannya. "Adik masih di dalam," jawab Oliver tersenyum mengecup pipi Louis. "Wahhh, mereka seperti apa Pi? Lucu mana sama Louis?" tanya anak itu terus tak sabaran. Oliver terkekeh. "Sama-sama lucu!" jawab Laki-laki itu. Ares dan Lilith tersenyum manis mendengar ocehan Louis. Anak itu sangat penasaran dengan adik kembarnya. "Laksamana Fredrick tidak ke sini, Tuan?" tanya Ares pada Oliver. "Ke sini, tapi mereka sudah pulang. Sebentar lagi ke sini lagi membawa peralatan bayi, aku tidak bisa meninggalkan Alesha." Oliver menoleh dan menatap Ares. Akhirnya, pintu di depan mereka terbuka. Dan muncul seorang suster menatap Oliver yang berdiri paling depan. "Tuan, silakan masuk," ucap suster itu mempersilakan Oliver masuk ke dalam sana. Oliver pun langsung bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut. Lo
"Mami... Mami kenapa?!" Louis membuka pintu kamar orang tuanya dan anak itu mendapati Maminya yang kini nampak kesakitan di atas ranjang. Dia berlari mendekati Alesha dengan wajah panik dan ketakutan. "Mami... Huwaa Mami kenapa sih, Mi?!" pekik Louis berteriak. "Louis, tolong panggilkan Papi ya," pinta Alesha kesakitan. "Iya Mi." Anak laki-laki itu berlari keluar secepatnya. Papinya yang kini tengah berada di dalam ruangan kerja bersama dengan Ares. "Papi! Huwaa Papi ihhh ke mana sih..!" Louis berteriak sekeras-kerasnya. Oliver dan Ares berjalan keluar dan melihat Louis berdiri di depan pintu kamar Alesha dengan wajah setengah menangis. Bocah manis itu menunjuk ke dalam kamar. "Mami nangis, perut Mami sakit!" teriaknya sambil menangis. "Ya Tuhan, Alesha!" Oliver bergegas masuk ke dalam kamar. Sementara Louis digendong oleh Ares. Anak itu menangis ketakutan, baru kali ini Louis melihat Maminya kesakitan sampai menangis. "Res, aku titip Louis padamu. Aku akan membawa Alesha
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Pagi ini Alesha duduk di kursi kayu ukiran yang berada di teras samping rumahnya. Wanita cantik dengan perut besar itu memperhatikan suami dan putranya yang tengah bermain di taman. Louis mengamuk ingin bermain bersama Oliver, hingga mau tidak mau waktu kerja pun tersita. "Huhhh, Papi curang! Louis kalah!" teriak anak itu marah saat bola yang ia lemparkan tertangkap oleh Oliver."Ya sudah kalau tidak mau kalah jangan main!" balas Oliver mengusap rambut pirang Louis. Bibir anak itu langsung cemberut seketika. Alesha yang melihat mereka berdua pun hanya tersenyum saja. Lucu sekali Papa dan anak itu. Louis berlari ke arahnya, ia mengambil botol minum di pangkuan Alesha. "Kalau kalah tidak boleh marah, Sayang..." "Emmm, tidak mau pokoknya!" serunya memeluk perut besar sang Mami. "Nanti kalau adik sudah lahir, kalau Louis masih nakal seperti ini, bagaimana?" Alesha mengusap pipi basah Louis karena keringat. Oliver terkekeh mendekati mereka, lak
Oliver melangkah santai masuk ke dalam rumah. Sudut bibirnya terangkat begitu senang melihat kepulangannya kali ini disambut oleh istrinya tercinta yang tengah berdiri di ambang pintu. "Hemm, tumben menyambutku di depan pintu langsung seperti ini, hem?" Alesha masih bergeming, ia mendorong pipi suaminya saat Oliver hendak mengecupnya hingga laki-laki itu langsung mengerutkan keningnya. "Kenapa lagi, Sayang?" tanya Oliver bernada lelah. "Mau mau tanya dulu, kau sering menghukum anak kita, ya?! Menjewernya? Memintanya angkat tangan, berapa jam?!" pekik Alesha berkacak pinggang. Wanita cantik ini menunjukkan sisi garang dan galaknya sebagai seorang istri sekaligus Ibu. Alesha yang sedang hamil memang sangat sensitif dan agresif, bahkan dia tidak sungkan mendorong dan memukul Oliver sekuat tenaganya. "Hooohh ayolah! Jangan bilang si bocah itu mengadu, heh?" Oliver menantang. Alesha berdecak kesal dan ia memukul dada bidang Oliver dengan kuat. "Astaga Alesha..." "Aku kan sudah bil
Hari sudah gelap, Alesha berjalan keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu melangkah menuju ke kamar milik Louis. Alesha membuka pintu kamar putranya pelan-pelan dan ia melihat putranya yang tertidur sendirian di atas ranjang. Perasaan tak tega menyelimuti Alesha, baginya Louis terlalu kecil untuk punya adik, namun bagi Oliver anak itu bisa dilatih untuk lebih bertanggung jawab sejak dini. "Louis," lirih Alesha mendekati ranjang. Jemari tangan Alesha mengusap rambut pirang Louis dan mengecup lembut pipi putranya. "Maafkan Mami ya Sayang, Mami tidak bisa mengurus Louis sepenuh hati seperti dulu," ujar Alesha sedih. "Mami akan tetap menjadi sandaran terbaik buat Louis, jangan khawatir." Kecupan lembut Alesha berikan di pipi Louis. Ia tidak ingin beranjak pergi saat ini, Alesha memutuskan untuk berbaring di sana, di samping Louis. Alesha memeluk tubuh mungil putranya hingga gerakan lembutnya membuat Louis terbangun. "Mami..." "Iya Sayang, Mami di sini." Kedua mata indah Louis terb
"Mami mau diambilkan air minum?" Louis mendekati Alesha yang duduk di sofa ruang keluarga di lantai dua. Wanita itu tersenyum dengan kebaikan hati putranya. "Tidak usah Sayang, nanti Mami ambil sendiri saja." "Emm, Mami jangan jalan-jalan, nanti adikku sakit!" seru Louis berlari lebih dulu mengambil botol minum. Alesha merasa tersentuh, setiap hari selama ia hamil Louis dan Oliver seperti sengaja berlomba-lomba untuk membantunya dan mendapat hatinya. Baru saja Alesha selesai makan siang, Louis pun langsung mengambilkan air minum untuknya dan membawa piringnya ke dapur di lantai satu. Alesha terdiam memperhatikan. 'Apa ini ajaran Oliver? Kalau Louis kelelahan nanti dia bisa sakit,' batin Alesha. "Ck! Jangan-jangan sungguh Oliver yang mengajarkannya!" Saat itu juga Alesha langsung melangkah turun ke lantai satu, ia melihat Louis di dapur bersama Bibi Ruitz, anak itu nampak memakan roti selai yang ia buat sendiri. Bibi Ruitz di sampingnya terlihat seperti membujuk Louis untuk