*Beberapa waktu sebelum kejadian*
“Waah!!” Suara bersemangat terdengar dari sosok Valency yang berdiri di tengah taman hiburan. “Jadi taman hiburan isinya seperti ini!!”
Jayden yang mendengar hal itu melirik ke arah sang istri. Sungguh, dia tidak menyangka sosok Valency yang biasa cukup tenang dalam menghadapi segala hal, ternyata bisa menampakkan wajah berbinar seperti sekarang.
‘Dia seperti anak kecil,’ batin Jayden dengan senyuman hangat di bibirnya, menikmati kebahagiaan yang terpancar jelas dari sang istri. “Kamu tidak pernah ke tempat seperti ini sebelumnya?” tanya pria tersebut.
Valency menggeleng, matanya masih terpatri pada berba
Hai kakak-kakak, terima kasih sudah memberi perhatian terhadap karya ini. Saya melihat beberapa komentar menyatakan bahwa bab 142 dan 143 memiliki isi yang sama. Namun, perlu diingat bahwa mungkin terjadi kesalahan saat pengunggahan yang memengaruhi cache ponsel kakak-kakak ya. Oleh karena itu, mohon refresh cache agar konten yang sebenarnya untuk bab 142 dan 143 bisa terlihat. Karena seharusnya isi kedua bab itu berbeda. Jika masih mengalami masalah, harap hubungi customer service GoodNovel untuk bantuan lebih lanjut. Maaf atas ketidaknyamanannya, dan terima kasih atas pemahaman kakak-kakak semua! 📚✨ Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman
Ucapan pria itu membuat kening Valency berkerut dalam. Dia sekali lagi menghindar dari uluran tangan sang pria, lalu mencoba mengingat nama pria tersebut. “James, ‘kan?” tanyanya, membuat James tersenyum lebar.“Wah! Kamu mengingatku! Apa jangan-jangan dulu kamu sempat suka kepadaku dan tidak bisa melupakanku sampai sekarang?” tanya James dengan nada menggoda dan bercanda, membuat dua teman lainnya tertawa selagi pasangan kencan James cemberut.Asumsi konyol. Jelas Valency mengingat nama James bukan karena hal tersebut!Alih-alih mengingat James karena dia tampan, pintar, atau karena Valency menyukainya, Valency mengingat pria itu karena dia sangat waspada dan membencinya!James adalah pembully nomor satu sekolah dan seorang pemain wan
Melihat sosok Jayden membuat James beringsut sedikit takut, tanpa sadarnya tubuhnya goyah dan mundur. Jelas saja pria di hadapannya ini tidak sebanding dengannya, tubuh pria itu bahkan terlihat masih kekar walaupun telah tertutupi kaos longgar. James menatap menyedihkan dirinya yang tersungkur di atas tanah hanya karena sekali dorongan dari pria itu. Pria itu berdiri dari posisi menyedihkannya dengan bantuan dari teman-temannya yang lain. “Apa masalahmu?!” James memberanikan dirinya membalas perbuatan Jayden, dia merasa harga dirinya tergores apalagi di depan teman-temannya. Setidaknya dia harus memberikan sedikit perlawanan. Tatapan Jayden menajam, ada bara kemarahan yang tampak jelas membara di kedua matanya. Tangannya terkepal erat bahkan menonjolkan urat-urat tangannya, membuat James yang tak sengaja melihat itu bergidik ngeri. Namun lagi-lagi James mementingkan harga dirinya dan memasang wajah garang dan menantang pada Jayden. “Masalahku?” desis Jayden sinis. Ia mendekati Ja
Jayden tersenyum miring saat semuanya telah terbongkar di depan James, membuat pria itu berkeringat dingin dan hanya bisa terdiam dengan wajah pucat. Kesombongannya seakan menghilang seketika. “Bagaimana? Coba saja hancurkan aku, jika kau bisa,” tantang Jayden kembali. “Tapi jika kamu tak berhasil ... aku yang akan menghancurkanmu.” Ia mengatakan kalimat tersebut dengan berbisik dan tubuh condong pada James. “Apa kita akan lanjut dengan permainan ini?”Melihat suasana yang mulai tak kondusif membuat Valency maju dan memegang tangan Jayden, ia juga menggunakan tangannya yang satu untuk memegang lututnya, mengisyaratkan ia lelah berdiri terlalu lama. Sontak Jayden menoleh, aura mengerikan yang sejak tadi menyelimutinya seketika mereda, tatapan dinginnya berganti menjadi tatapan khawatir. “Apa kamu sakit?” tanya Jayden khawatir. Valency menggeleng. “Aku baik-baik saja, Jay. Dibanding itu ... aku ingin segera pergi dari sini,” pinta Valency memelas. Jayden menggeleng tegas, jelas dia
Diancam seperti itu, kepala James mengangguk-angguk cepat sembari terus mengulangi, “Mengerti! Aku mengerti! Aku tidak akan mengulanginya lagi! Sekarang kumohon lepaskan aku!”Mendengar itu, Valency pun mendorong James ke belakang, membuat tubuh pria itu oleng dan terjatuh ke arah teman kencannya, tetapi wanita itu malah menghindari James dan membuat James kembali terjatuh di jalanan.Melihat James yang terjatuh menyedihkan membuat teman kencannya yang sedari tadi merasa diabaikan seketika memasang ekspresi jijik. “Rasakan itu! Dasar pria hidung belang!” makinya kesal, lalu melenggang pergi meninggalkan James.Di tempatnya, Valency mendengus. Pria itu memang pantas ditinggalkan seperti itu.Melihat perbuatan Valency membuat Alisha dan Marisa
Seolah tak terjadi masalah apapun sebelumnya, kini Valency dan Jayden melanjutkan kegiatan berlibur mereka. Kini senyum Valency telah kembali, beberapa kali ia tampak antusias menarik tangan Jayden untuk menaiki beberapa wahana pilihannya. Sementara Jayden sendiri hanya mengiyakan apapun yang diinginkan istrinya, untuk hari ini ia ingin membahagiakan Valency.“Aku mau naik itu, Jay!” ajak Valency girang, menatap Jayden antusias.Kening Jayden mengerut mengikuti arah tangan Valency yang menunjuk sebuah wahana, itu adalah komidi putar. Sepanjang Jayden melihat tak ada laki-laki dewasa yang menaiki wahana itu, kebanyakan adalah anak-anak dan gadis muda saja. Melihat Jayden terdiam membuat Valency menatap pria itu. Ah dia sangat bodoh, walaupun hari ini Jayden mengiyakan segala permintaannya, tetapi pria itu pasti punya cukup harga diri untuk tidak menaiki komidi putar.“Maaf. Aku naik wahana itu sendiri saja, kamu bisa menungguku,” ucap Valency meralat. Jayden menggeleng, ia kembali m
“Orang-orang yang kamu temui tadi adalah teman kelasku saat SMA. Tapi, menyebut mereka sebagai teman kurasa sangat tidak cocok melihat bagaimana hubungan kami di masa lalu yang jauh dari kata teman,” ucap Valency mulai bercerita. Jayden tampak mendengar dengan serius dan terus menatap ekspresi wajah Valency yang berubah-ubah. “Alisha dan Marisa terkenal sebagai anak yang populer di sekolah dulu, mereka memiliki banyak teman dari kalangan atas dan hanya mau berteman dengan yang setara. Tapi sebaliknya ... mereka juga menindas orang-orang yang mereka rasa berada di bawah mereka,” ucap Valency. Ingatannya kembali terlempar pada masa-masa sekolahnya. Bagaimana dulu dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari keduanya, bukan hanya dia tetapi juga banyak anak-anak lainnya yang senasib dengannya. “Karena kepintaranku, mereka selalu memaksaku untuk memberikan jawaban tugas-tugas setiap hari. Jika aku membuat kesalahan satu nomor saja atau terlambat memberi jawaban, mereka akan memukuli
Valency menatap Jayden dengan manik berkaca-kaca. Meski mereka sudah menikah, bahkan sudah menghabiskan banyak hal bersama. Akan tetapi, sebagai seorang wanita muda, hatinya tetap tersentuh ketika dilamar dengan cara semanis ini. Bianglala, pemandangan malam kota Evermore, dan seorang pria tampan yang kini berlutut di hadapannya dan melamarnya.Senyuman lebar pun terlukis di wajah Valency. “Mau …,” jawab gadis itu dengan suara lirih. Kepalanya mengangguk berkali-kali seraya dia memeluk leher Jayden dengan erat. “Aku mau menikah denganmu, Jay!”Jayden pun membalas pelukan istrinya itu. Dia membenamkan wajahnya di tengkuk leher Valency, menikmati aroma familier yang menenangkan dari wanita tersebut.Saat keduanya memisahkan diri, Jayden menyelipkan sebuah cincin permata di jari manis Valency. Cincin itu diukir dengan begitu indah dan teliti, dengan desain yang luar biasa unik. “I-ini–” Valency menatap Jayden, lalu menatap cincinnya lagi. “Apa ini desainmu?” Dia mengenali kekhasan desa
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
"Dan aku bilang kamu beruntung karena tinggal di sebelah rumahnya?"Usai mengatakan itu, Samuel kembali memandang Eric dengan tatapan asing. Ekspresi sepupunya itu tampak senang, sekaligus puas. Seakan-akan ia baru mendapatkan momen yang ia harapkan."Tunggu, Ric. Kamu tidak tahu?" tanya Samuel. "Manusia ini. Kamu tidak mendengarkan ceritaku ya!?"Eric mengibaskan tangannya. "Tidak penting."Hal itu membuat Samuel menggerutu. Mengatakan hal-hal seperti ia yang telah membantu Eric dan selalu siap sedia, tapi begini balasan Eric padanya. Eric bahkan tidak memperkenalkan Verena lebih awal padanya, dan sebagainya.Namun, Eric tidak mendengarkan. Ia sibuk menyusun rencana.Karena Verena kembali tidak membalas pesan Eric, entah kenapa. Pria itu jadi tidak bisa mengurusi persoalan mereka yang belum selesai.Kalau Verena ada di sebelah rumah, akan lebih mudah bagi Eric untuk mengurusnya.***Namun, wanita yang Eric cari sedang tidak berada di rumah."Kamu tidak mau pulang?"Pertanyaan Ashton
"Selamat pagi, Nona Lee."Eric Gray memandang Leon, asisten kepercayaannya selama ini, yang tengah melakukan pertemuan dengan Patricia Lee, reporter yang pertama kali memuat berita tentang dirinya dan Verena. Ia ingin menyelidiki apakah Patricia terlibat pihak-pihak lain yang ingin menjatuhkannya, ataukah dia bergerak sendiri.Karena penyelidikan pun menyatakan kalau malam itu Patricia sedang berada di rumah sakit, bukan hotel tempat pesta Eric dilaksanakan.Ditambah lagi, Eric memang sudah dengan mudah menyingkirkan berita-berita yang merugikannya dan Verena. Tapi akan sulit kalau ternyata ada musuh lain yang tidak mereka ketahui.Sejauh ini, dugaannya dan Verena sama; keluarga Miller sendiri. Lebih tepatnya pihak Olivia. Meski ada ketidakcocokan mengenai asumsi tersebut di beberapa tempat."Sekarang kamu tertarik pada ibu tunggal?" Sepupunya, Samuel, menghempaskan dirinya untuk duduk di sebelah Eric dan mengamati pertemuan Leon dengan Patricia. Eric dan Samuel tidak bergabung, mela
Keith baru saja berjalan melewati pintu masuk ketika salah seorang pelayan menghampirinya dan mengatakan bahwa Verena datang berkunjung.Dan sekarang kakaknya itu ada di kamar Kimberly."Untuk apa dia ada di sana?" gumam Keith. Dia bergegas naik ke lantai 2 ketika ja mendengar suara pecahan kaca dari kamar Kimberly.Panik, Keith langsung berlari dan coba membuka pintu kamar.Terkunci. Kimberly nekat membayar orang untuk mencelakai Verena beberapa waktu yang lalu. Meskipun Keith sudah mengancam adik kembarnya itu agar ia tidak melakukannya lagi, Keith tidak yakin Kimberly akan diam saja saat melihat Verena ada di tempat yang sama dengannya.Dengan panik, Keith menggedor pintu kamar adik kembarnya.Tak berapa lama, Verena muncul di balik pintu tersebut dan langsung ditarik keluar oleh Keith."Ve!?" Tidak ada luka. Aman--tunggu. Keith mengernyit melihat tanda merah keunguan di area sekitaran tengkuk Verena. Namun, saat ia berniat memastikan tanda itu, Verena sudah menarik diri.Keith m
"Apakah benar demikian?" Senyum Verena tidak sampai matanya, seolah sedang mengolok lawan bicaranya. "Anak kandung Aster Miller?"Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di wajah Kimberly, saat Verena mengamati. Bisa jadi gadis itu benar-benar meyakini identitasnya sebagai putri bungsu keluarga Miller."Omong kosong apa yang kamu katakan?" balas Kimberly. Gadis itu akhirnya berjalan menghampiri Verena dan menarik lengan baju Verena. "Keluar dari kamarku, sekarang!"Namun, Verena menepisnya dengan mudah. "Jangan begitu. Kita baru sampai di obrolan yang kusukai." balas Verena. Ia menyelipkan kunci kamar tersebut di tas miliknya. "Kimberly. Apakah kamu pernah berpikir dari mana kamu mendapat mata abu-abu dan rambut pirang itu? Padahal di saat yang sama, keluarga kita seluruhnya berambut gelap?""Berhenti menyebutnya keluarga kita, sialan. Menjijikkan sekali!""Tapi suka tidak suka, ini memang keluargaku juga." Verena berdiri, lalu berjalan ke tepi ranjang Kimberly. "Meski aku sempat te
"Tuan Gray, ini profil identitas reporter yang menulis berita mengenai Anda dan Nona Miller pertama kali."Eric hanya melirik laporan si asisten yang ada di atas meja sekilas sebelum kembali menekuni layar laptop di hadapan.Meski begitu, pikirannya sebenarnya tidak sedang berada di sana.Pria itu masih ada pada malam yang ia habiskan dengan Verena. Dan itu membuatnya gila karena Verena tampil seakan itu tidak berdampak apa-apa padanya.Padahal kalau ia memang benar, Eric adalah kali pertama dan kali selanjutnya wanita itu. Kenapa Verena bersikap biasa saja?"Tuan Gray?" Suara sang asisten kembali mengusik Eric."Ya, aku dengar." Eric menghela napas dan akhirnya menyandarkan dirinya ke sandaran kursi, lalu mengambil laporan yang ada."Sudah kamu cek?" tanya Eric."Ya, Tuan.""Ada yang aneh?""Saya sarankan Anda mengecek bagian keluarga, Tuan."Eric menggumam pelan. Ia hanya membaca sekilas mengenai identitas si reporter. Patricia Lee. Pendatang di negara ini, usianya ada di akhir 20-a
Verena merasakan atmosfer di mansion keluarga Miller sedikit berbeda dan cukup mencekam dibandingkan biasanya. Mungkin karena tidak ada suara para pekerja membersihkan perabotan atau mereka yang beraktivitas di dapur, mengobrol ringan sembari mempersiapkan makan. Atau mungkin juga karena suara barang pecah belah yang dihancurkan di lantai 2.Verena bisa menduga itu berasal dari kamar adik tirinya, Kimberly. Tidak sulit."Selamat pagi, Nona." Salah seorang pelayan menyapanya, bersamaan dengan suara teriakan dari lantai 2. "Tuan Miller ada di kamarnya seperti biasa, Nona. Mari saya antar "Verena menggeleng. "Aku ke sini bukan untuk bertemu dengannya." Ia mengangkat kepalanya, memandang ke arah pintu ruangan yang merupakan kamar Kimberly. "Keith di mana?""Tuan Keith belum pulang sejak semalam, Nona."Hal tersebut menimbulkan kernyitan di kening Verena.Apakah terjadi sesuatu pada pria itu setelah ia bertemu dengan Verena semalam? Atau ada hal lain?Pikiran Verena teralihkan saat kemba
"Kalau begitu, apakah kamu masih akan berpikir kalau hubungan kita hanya sekadar bisnis untukku?"Verena memilih untuk tidak menjawab terlebih dahulu dan melanjutkan sarapannya. Ia perlu beberapa saat untuk berpikir, bukan menuruti keinginan emosionalnya seperti beberapa saat terakhir.Sepertinya obat itu sudah merusak sistem kerjanya. Sangat disayangkan.Tanpa diduga, Eric Gray tidak mengejar jawabannya. Meski begitu, bukan berarti Eric berhenti menatap Verena dengan pandangannya yang tidak bisa ia artikan itu.Oke, fokus. Pertama, soal si pria misterius. Belum selesai, tapi sedang dalam penyelidikan. Verena hanya bisa menunggu.Kedua, soal adik tirinya yang tersayang. Verena sudah mengatur rencana untuk gadis licik itu. Akan ia laksanakan di waktu yang tepat untuk hasil maksimal.Lalu, Eric Gray. Pria ini--Pikiran Verena terputus saat ponselnya kembali berdering. Mengira bahwa itu Ashton, Verena langsung mengangkatnya."Ash, sudah kubilang--""Balas pesanku."Panggilan diakhiri beg