Ucapan Jayden mengundang gelak tawa Valency, membuatnya tertawa geli hingga memegangi perutnya. Melihat reaksi Valency membuat Jayden mengernyitkan kening bingung dan menatap penuh tanya. “Ada apa? Apa yang lucu?” tanya Jayden polos. “Ha ha ha.” Valency kembali tertawa geli, ia mengusap sudut matanya yang mengeluarkan sebulir air mata. “Tidak. Hanya saja ... aku merasa lucu mendengar kata ‘kencan.’” “Apa yang lucu dari kata kencan? Memangnya hanya pasangan kekasih saja yang boleh berkencan? Justru kita yang sudah menikah juga butuh berkencan,” ucap Jayden membalas dengan alis tertaut erat, merasa agak tidak terima ditertawakan. Ada perasaan hangat yang menyelimuti hati Valency mendengar ucapan suaminya, ia pun merentangkan tangannya ke arah Jayden d
*Beberapa waktu sebelum kejadian*“Waah!!” Suara bersemangat terdengar dari sosok Valency yang berdiri di tengah taman hiburan. “Jadi taman hiburan isinya seperti ini!!”Jayden yang mendengar hal itu melirik ke arah sang istri. Sungguh, dia tidak menyangka sosok Valency yang biasa cukup tenang dalam menghadapi segala hal, ternyata bisa menampakkan wajah berbinar seperti sekarang.‘Dia seperti anak kecil,’ batin Jayden dengan senyuman hangat di bibirnya, menikmati kebahagiaan yang terpancar jelas dari sang istri. “Kamu tidak pernah ke tempat seperti ini sebelumnya?” tanya pria tersebut.Valency menggeleng, matanya masih terpatri pada berba
Hai kakak-kakak, terima kasih sudah memberi perhatian terhadap karya ini. Saya melihat beberapa komentar menyatakan bahwa bab 142 dan 143 memiliki isi yang sama. Namun, perlu diingat bahwa mungkin terjadi kesalahan saat pengunggahan yang memengaruhi cache ponsel kakak-kakak ya. Oleh karena itu, mohon refresh cache agar konten yang sebenarnya untuk bab 142 dan 143 bisa terlihat. Karena seharusnya isi kedua bab itu berbeda. Jika masih mengalami masalah, harap hubungi customer service GoodNovel untuk bantuan lebih lanjut. Maaf atas ketidaknyamanannya, dan terima kasih atas pemahaman kakak-kakak semua! 📚✨ Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman Pengumuman
Ucapan pria itu membuat kening Valency berkerut dalam. Dia sekali lagi menghindar dari uluran tangan sang pria, lalu mencoba mengingat nama pria tersebut. “James, ‘kan?” tanyanya, membuat James tersenyum lebar.“Wah! Kamu mengingatku! Apa jangan-jangan dulu kamu sempat suka kepadaku dan tidak bisa melupakanku sampai sekarang?” tanya James dengan nada menggoda dan bercanda, membuat dua teman lainnya tertawa selagi pasangan kencan James cemberut.Asumsi konyol. Jelas Valency mengingat nama James bukan karena hal tersebut!Alih-alih mengingat James karena dia tampan, pintar, atau karena Valency menyukainya, Valency mengingat pria itu karena dia sangat waspada dan membencinya!James adalah pembully nomor satu sekolah dan seorang pemain wan
Melihat sosok Jayden membuat James beringsut sedikit takut, tanpa sadarnya tubuhnya goyah dan mundur. Jelas saja pria di hadapannya ini tidak sebanding dengannya, tubuh pria itu bahkan terlihat masih kekar walaupun telah tertutupi kaos longgar. James menatap menyedihkan dirinya yang tersungkur di atas tanah hanya karena sekali dorongan dari pria itu. Pria itu berdiri dari posisi menyedihkannya dengan bantuan dari teman-temannya yang lain. “Apa masalahmu?!” James memberanikan dirinya membalas perbuatan Jayden, dia merasa harga dirinya tergores apalagi di depan teman-temannya. Setidaknya dia harus memberikan sedikit perlawanan. Tatapan Jayden menajam, ada bara kemarahan yang tampak jelas membara di kedua matanya. Tangannya terkepal erat bahkan menonjolkan urat-urat tangannya, membuat James yang tak sengaja melihat itu bergidik ngeri. Namun lagi-lagi James mementingkan harga dirinya dan memasang wajah garang dan menantang pada Jayden. “Masalahku?” desis Jayden sinis. Ia mendekati Ja
Jayden tersenyum miring saat semuanya telah terbongkar di depan James, membuat pria itu berkeringat dingin dan hanya bisa terdiam dengan wajah pucat. Kesombongannya seakan menghilang seketika. “Bagaimana? Coba saja hancurkan aku, jika kau bisa,” tantang Jayden kembali. “Tapi jika kamu tak berhasil ... aku yang akan menghancurkanmu.” Ia mengatakan kalimat tersebut dengan berbisik dan tubuh condong pada James. “Apa kita akan lanjut dengan permainan ini?”Melihat suasana yang mulai tak kondusif membuat Valency maju dan memegang tangan Jayden, ia juga menggunakan tangannya yang satu untuk memegang lututnya, mengisyaratkan ia lelah berdiri terlalu lama. Sontak Jayden menoleh, aura mengerikan yang sejak tadi menyelimutinya seketika mereda, tatapan dinginnya berganti menjadi tatapan khawatir. “Apa kamu sakit?” tanya Jayden khawatir. Valency menggeleng. “Aku baik-baik saja, Jay. Dibanding itu ... aku ingin segera pergi dari sini,” pinta Valency memelas. Jayden menggeleng tegas, jelas dia
Diancam seperti itu, kepala James mengangguk-angguk cepat sembari terus mengulangi, “Mengerti! Aku mengerti! Aku tidak akan mengulanginya lagi! Sekarang kumohon lepaskan aku!”Mendengar itu, Valency pun mendorong James ke belakang, membuat tubuh pria itu oleng dan terjatuh ke arah teman kencannya, tetapi wanita itu malah menghindari James dan membuat James kembali terjatuh di jalanan.Melihat James yang terjatuh menyedihkan membuat teman kencannya yang sedari tadi merasa diabaikan seketika memasang ekspresi jijik. “Rasakan itu! Dasar pria hidung belang!” makinya kesal, lalu melenggang pergi meninggalkan James.Di tempatnya, Valency mendengus. Pria itu memang pantas ditinggalkan seperti itu.Melihat perbuatan Valency membuat Alisha dan Marisa
Seolah tak terjadi masalah apapun sebelumnya, kini Valency dan Jayden melanjutkan kegiatan berlibur mereka. Kini senyum Valency telah kembali, beberapa kali ia tampak antusias menarik tangan Jayden untuk menaiki beberapa wahana pilihannya. Sementara Jayden sendiri hanya mengiyakan apapun yang diinginkan istrinya, untuk hari ini ia ingin membahagiakan Valency.“Aku mau naik itu, Jay!” ajak Valency girang, menatap Jayden antusias.Kening Jayden mengerut mengikuti arah tangan Valency yang menunjuk sebuah wahana, itu adalah komidi putar. Sepanjang Jayden melihat tak ada laki-laki dewasa yang menaiki wahana itu, kebanyakan adalah anak-anak dan gadis muda saja. Melihat Jayden terdiam membuat Valency menatap pria itu. Ah dia sangat bodoh, walaupun hari ini Jayden mengiyakan segala permintaannya, tetapi pria itu pasti punya cukup harga diri untuk tidak menaiki komidi putar.“Maaf. Aku naik wahana itu sendiri saja, kamu bisa menungguku,” ucap Valency meralat. Jayden menggeleng, ia kembali m
“Tuan Gray. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain.” Dengan kalimat itu, bahkan sebelum dokter keluarganya menjelaskan lebih lanjut, Eric sudah tahu apa yang harus ia lakukan.Ia pernah berada di posisi yang sama dengan Verena dan rasanya sangat menyiksa.Waktu itu, Verenalah yang membantunya. Meskipun Eric memaksakan dirinya pada gadis itu, sekalipun dengan tidak sadar. Hal itulah yang membuat Eric merasakan rasa tanggung jawab yang besar terhadap Verena.Dan itu jugalah yang ia rasakan sekarang.Namun, mengingat karakter Verena, gadis itu pasti akan membunuhnya jika Eric mengambil pilihan yang menempatkan pria itu dalam posisi yang "terlalu menguntungkan" dan terkesan mengambil kesempatan."Eric--" Suara Verena kembali terdengar. Wanita itu mencengkeram tangan Eric lebih erat, lalu menggeser tubuhnya agar tidur berbantalkan pangkuan Eric. Lalu, ia kembali mengerang. Detik itu juga, Eric membuat keputusan."Semuanya keluar," ucapnya dengan suara rendah. Nadanya terdengar rendah,
“Ini ... kamu, Eric Gray, aku ….” Jantung pria itu berdetak lebih cepat saat mendengar Verena mengatakan hal itu. Sorot mata tak percaya tampak jelas di sepasang matanya. Otaknya langsung berputar, mengingat bagaimana Verena bisa meminum obat perangsang padahal gadis itu hampir selalu bersamanya.Dan pikiran itu masuk begitu saja dalam kepalanya.Verena yang kehausan. Minuman di tangan Eric.Dari Kimberly.Ah, sial.“Eric …?” Verena kembali berbicara, membuat pria itu menunduk menatap wanita itu. "Aku--"Verena berkedip, berusaha menjernihkan fokusnya. Iris matanya yang indah itu mengamati seraut wajah di hadapan dari jarak yang amat dekat. Wanita itu bahkan bisa merasakan embusan napas keduanya, terdengar berat di telinga. Perlahan, Verena mengangkat tangannya, menyentuh pipi sosok itu dengan telapak tangan, menangkupnya dengan lembut. Sesuatu yang cukup mengejutkan, sekalipun memang setelah mengumpat tadi, Verena perlahan bersikap kebalikannya. Menempel pada Eric.Dingin. Saat
"Apa yang terjadi ...."Verena berpegang erat pada tepi wastafel hingga buku-buku jarinya memutih. Sebab tubuhnya sekarang mulai limbung."Permisi. Apa kamu baik-baik saja?"Verena mendengar salah satu pengunjung kamar mandi bertanya dan ia mengangguk, semata-mata karena ia sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi pada dirinya."Wajahmu pucat." Gadis itu kembali berkomentar. Lalu ia mengeluarkan beberapa jenis pil dari dalam tasnya. "Jika ... kamu sedang datang bulan dan merasa tidak nyaman karenanya, ini aku ada obat."Gadis itu meletakkan obat-obatan itu di tepi wastafel, di hadapan Verena."Tidak apa-apa. Jangan malu." Verena mendengar gadis asing itu kembali berucap. "Perlu kuantar ke petugas? Aku juga bisa memanggil dokter."Verena hanya tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih. Ia menggeleng, mencoba menyampaikan kalau ia tidak butuh bantuan.Meski sebenarnya, ia merasa bahwa ia akan mati di sini Lalu gadis itu keluar dan Verena sendirian di dalam toilet.Ve
"... Verena, kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu meluncur dari bibir Eric ketika Verena tanpa sadar menggenggam ujung jas pria itu dan meremasnya kuat-kuat. Wajah wanita itu kini agak pucat dan napasnya menjadi lebih berat."Kelelahan?" tanya Eric lagi. Bukan apa-apa. Bisa jadi memang wanitanya ini sedang kelelahan, bukan? Dengan segala kesibukan sebagai pengganti sang ayah, Verena sampai pada batasnya juga. Namun, Verena menggeleng. Ini jelas bukab kelelahan. Ia tidak selemah itu.Sejak dulu, Verena sudah terbiasa bekerja dan lembur. Mengurusi klien dan bersosialisasi juga sudah sering ia lakukan karena pekerjaannya. Jadi ia tidak akan tumbang semudah ini.Selain itu, kondisinya ini terlalu tiba-tiba.Tidak mungkin Verena yang normal dan sehat bisa menjadi seperti ini begitu saja?"Kita menyingkir--""Aku ke toilet dulu," ucap Verena, menepis lengan Eric sekarang. Di sini terlalu banyak orang. Pikirannya terasa kacau dan tidak nyaman. Mungkin sedikit udara segar bisa membersihkan
"Maaf, aku harus keluar lagi. Ada yang harus aku pastikan.""Mau ke mana?"Eric bertanya. Tidak seperti dugaan Verena, Eric tidak melepaskannya begitu saja. Padahal Verena pikir, pria itu akan mengiakan saja keputusan Verena seperti tadi."Ke luar. Sebentar. Kan sudah aku bilang.""Jawab dengan lebih spesifik, Verena." Eric berucap.Langsung saja, Verena menghela napas."Aku perlu memastikan beberapa tamu. Oke?""Kalau kamu memerlukan daftar tamu, bisa kuberikan.""Ya, tapi aku juga perlu menemui orang ini.""Siapa? Kutemani.""Tidak perlu. Ini acaramu. Kamu harus tetap di sini.""Tanpa tunanganku? Jangan bercanda."Verena berdecak. Merasa kesal.Karena tidak ingin kehilangan jejak seperti tadi, wanita itu nekat melangkah pergi----tapi ia justru berakhir terpenjara dalam tangan kekar Eric."Eric--""Kamu tahu," ucap Eric diikuti helaan napas. "Mengejarmu memerlukan kesabaran ekstra."Verena langsung merengut. Bukan karena ucapan Eric, melainkan karena posisi mereka. Si Presdir arogan
"Aku tidak mau kamu mati konyol, Verena. Tidak bisakah kamu memahami hal itu?"Ucapan yang meluncur dari bibir Keith itu tidak terlalu mengejutkan Verena. Namun, nada bicara dan ekspresi yang ditunjukkan oleh adik tirinya itu sukses membuat Verena terdiam.Ada yang asing dari tatap manik mata abu-abu itu.Sepasang warna abu-abu yang familiar itu--Apalagi bagaimana Keith membuang muka setelahnya, lalu mengusap tengkuk dengan kikuk sementara ujung telinganya memerah.Keanehan itu ... tidak bisa Verena pandang sebagai sebuah tingkah adiknya yang lucu.Bukan karena sikap Keith tidak lucu. Melainkan karena tingkahnya tidak seperti seorang adik pada umumnya.Seakan-akan--Tidak. Pasti Verena salah. Ia selalu salah dalam hal ini, kan?"Keith ... kamu--"Keith mengangkat tangannya sembari menghela napas."Sudahlah." Keith menukas. "Toh Ayah sudah merestui pertunanganmu, bukan? Lupakan saja.""Yah. Itu mustahil." Verena berusaha terdengar tegas, tapi ucapannya tak lebih dari sebuah gumaman.M
"Nona, Anda baik-baik saja?"Sosok itu adalah seorang pria paruh baya, dengan rambut hitam yang sudah banyak beruban. Namun, penampilannya tampak rapi, tidak serampangan. Mengindikasikan bahwa kemungkinan beliau adalah salah satu tamu undangan Eric Gray.Meski begitu, penampilannya tampak terlalu sederhana untuk dikatakan kaum sosialita.Namun, bukan itu yang membuat Verena tertegun. Mata abu-abu itu ... tampak familier bagi Verena. Di mana--"Nona?""Ah." Verena berkedip. "Maaf, Tuan. Saya tidak melihat ke depan." Verena buru-buru berkata setelahnya."Saya tidak masalah. Tapi apakah Anda baik-baik saja?""Saya tidak apa-apa. Permisi."Verena sedikit menunduk dan langsung pergi dari sana, ke arah yang dituju oleh Kimberly tadi.Namun, sayangnya, interupsi singkat tadi sudah cukup untuk melenyapkan jejak adik tirinya.Tanpa sadar, Verena menghela napas. Menyayangkan fokusnya yang sempat teralihkan tadi."Verena."Panggilan itu membuat Verena menoleh dan mendapati sosok Keith tengah ber
"Coba cari topik pembicaraan lain. Soal aku, misalnya. Putra ibu dan...." Verena mencoba memasang raut wajah biasa saja saat Eric mendekatkan bibirnya ke telinga Verena dan berbisik, "Calon suamimu."Baru setelah itu Verena menghela napas pelan. Lalu, wanita itu menoleh sedikit ke belakang, ke arah Eric."Kamu mau kami membicarakanmu di depanmu langsung?" tanyanya.Eric mengangkat bahu. "Silakan.""Tidak masalah kalau aku menyinggung soal kelakuanmu dulu?" Verena kembali bertanya. "Semua yang kamu lakukan saat kamu mengejar-ngejar--""Sini. Aku pasangkan lagi kalungnya." Eric Gray menyela. Tangannya terulur dan mengambil kalung di tangan Verena, sebelum kemudian memasangkannya. "Mau bicara soal Vera Jones lagi?""Tidak." Kali ini, Mia yang menjawab. "Meskipun rasanya menyenangkan, mengobrol dengan Verena. Tapi lebih baik kamu dan Verena sekarang kembali ke aula. Sapa para tamu."Lalu, pada Verena yang menatapnya, Mia menambahkan, "Senang bertemu denganmu, Verena. Lain kali, kita men
"Apakah kamu punya koneksi khusus pada Nona Jones, Verena?" Pertanyaan Mia itu membuat Verena tersenyum.Sama seperti semua sosialita di pesta amal keluarga Miller beberapa waktu yang lalu, tidak semuanya mengetahui mengenai identitas Verena sebagai Vera Jones.Mungkin memang ada pembicaraan dari mulut ke mulut setelah pesta, tapi informasi tersebut tidak mungkin sampai ke semua orang. Apalagi ini soal pencapaian Verena, si anak haram. Orang akan lebih senang bergosip soal dia yang tiba-tiba mendapatkan rezeki nomplok dan warisan dari sang ayah karena cara kotor.Bukan dengan pertimbangan bahwa Verena punya kemampuan.Di samping itu, tampaknya memang Mia tidak terlihat seperti wanita yang hobi bergosip. Karenanya, sebelum Eric sempat menyelesaikan kalimat tadi, Verena sudah bertanya, "Bagaimana menurut Anda soal desain-desain Vera Jones, Nyonya Gray?"Verena tahu sedikit banyak soal Mia Gray, ibunda Eric, dari informasi yang diselipkan oleh Ashton sebelum ia sepakat untuk datang ke