"Ingat, waktu kamu hanya lima belas menit. Lebih dari itu, aku datangi kamar suami kamu dan—" "Iya, iya. Kamu ancam aku?" Sandy terkekeh. Di balik kacamatanya, ia menyeringai. Mantan kekasihnya itu terlihat frustasi dengan ancaman yang baru saja diberikannya. Mereka berdiri di depan gedung rumah sakit tempat Abi dirawat. Hanya melangkah ke arah lorong belakang lalu naik ke lantai lima, mereka bisa menemukan ruang rawat pria itu. Sandy bisa saja ikut naik ke atas, lalu menceritakan semuanya pada suami Risya. Tapi, rasanya itu terlalu cepat. Ia ingin sedikit bermain-main dengan wanita yang telah meninggalkannya dulu. "Sayang, kamu kok malah kasar sih? Oh, apa kamu mau aku ikut ke atas? Yah, enggak masalah sih. Palingan kamu bakalan diceraikan sama dia saat ini juga," ujar Sandy disertai kekehan. "Kamu seneng banget ya kalau aku cerai? Kamu mau balas dendam sama aku?" teriak Risya. Untung saja dia dan Sandy berada di tempat parkir, tidak ada yang mendengar pertengkaran mereka karena
Kecurigaan Adam ada benarnya. Ia sudah mengunci gerak-gerik Risya sejak wanita itu masuk ke dalam ruangan ayahnya. Wajah Risya terlihat kaku dan pucat seperti baru saja melihat hantu. Apalagi saat sedang bicara dengan Abi, matanya terus menerus melirik arloji dan yang paling mencurigakan, wajahnya kembali pucat saat menerima panggilan telepon entah dari siapa. Adam itu memiliki insting yang kuat dan terbukti semua yang ia curigai jadi kenyataan. Dengan tenang, Adam berdiri mengintai Risya yang berjalan tenang menghampiri seseorang di pelataran parkir rumah sakit. Seorang pria yang mungkin umurnya diatas 35 tahun. Adam tak pernah melihatnya sama sekali. Adam berjalan mengendap-endap mengikuti langkah Risya. Sedikit pertengkaran di awal, pria itu marah lalu menyeret Risya masuk ke dalam mobil sambil menunjuk-nunjuknya. Ada kata-kata kotor yang Adam dengar dari kejauhan. Risya menangis tapi Adam tak peduli. Adam mengambil foto dari arah yang cukup dekat, balik tembok besar diantara mo
Prank!! Suara piring terjatuh berasal dari belakang membuat dua orang yang sedang duduk di ruang tamu terlonjak kaget. Suara itu terdengar jelas seperti ingin menginterupsi perbincangan hangat antara kedua anak dan ibu itu. "Tuh, dengar. Istrimu sedang mengamuk. Apa pantas, seorang menantu berbuat seperti itu?" Riandari, mertua dari Carla mencibir sang menantu di depan suaminya sendiri. Abi sang suami hanya bisa menjawab dengan senyuman kecut tanda ia bingung harus membela yang mana. Carla sedang tidak enak badan hari ini. Kebetulan, Abi juga sedang mengambil cuti kerja. Di saat Carla sedang ingin bermanja dengan tempat tidurnya tiba-tiba saja sang mertua datang dan memintanya untuk memasakkan makanan kesukaan. Kabar tak beruntungnya, asisten rumah tangga yang biasanya datang kini berhalangan. "Carla lagi sakit, Bu. Mungkin masih—" "Ah, itu hanya alasan dia saja. Menantu kurang ajar ya begitu." Riandari memotong penjelasan anaknya. Abi mendesah pasrah tak berani membantah perkata
Enam tahun menikah, badai pernikahan itu datang juga. Anak menjadi salah satu masalah yang membuat hubungan Carla dan Abi menjadi renggang. Ini bukan salah mereka, ini hanyalah permainan takdir. Sudah dua malam Abi tidur tanpa pelukan Carla. Istrinya itu memilih diam dan terkadang membalikkan tubuhnya. Ia tak mau menatap wajah Abbi sedetikpun. "Sayang, kamu kenapa?" Abi mengusap punggung Carla perlahan. Tangan Carla menepisnya. "Ada yang salah dengan aku?" Carla membalikkan tubuhnya. Tatapan sendu terlihat jelas di matanya. "Mas tahu apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga kita?" Abi terdiam tak menjawab. "Mas harusnya sadar, kalau rumah tangga kita sedang tidak baik-baik saja!" "Aku tahu. Ini semua karena kata-kata ibu beberapa hari lalu. Iya, kan?" "Kalau kamu sudah tahu, kenapa tidak cari jalan keluar?" Carla menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Hawa di dalam kamar sangat panas dan ia ingin sekali menghirup udara segar dari balik balkon kamar. "Kita sudah dewasa, har
Carla seorang wanita sibuk, ia berkarir sebagai seorang pengusaha dan mandiri dalam finansial. Kebutuhan hidupnya terpenuhi. Bahkan ia sempat dijuluki wanita cerdas karena kehidupannya yang serba mewah dan sempurna. Itu dulu, jauh sebelum isu tak sedap itu menyerangnya. Beberapa kalangan pebisnis muda yang bernaung di dalam satu wadah organisasi pengusaha, banyak yang menunjukkan ketidaksukaannya pada sosok Carla. Tak ada yang bisa mencegah seseorang untuk tak membicarakan kejeniusan berbisnisnya. Tak terkecuali para investor dan para pengusaha lawan bisnisnya. Sosok dinginnyalah yang membuat banyak orang ingin tahu seberapa hebat sosok Carla, si pengusaha muda. "Selamat siang, Bu Carla." seorang pria berumur tiga puluhan masuk kedalam ruangan Carla. Ia seorang pebisnis muda juga. Salah satu calon mitra terkuat bisnis Carla. "Selamat siang, Pak Ardian. Silakan duduk." Setelah mempersilahkan duduk, sekretaris Carla masuk dan menyuguhkan dua cangkir teh untuk Carla dan tamunya. "S
"Katakan pada ibu, apa hasil tesnya? Kabar baik atau buruk?" Malam ini tanpa di sangka, ibu datang ke rumah Abbi dengan wajah yang ditekuk tajam. Ia ternyata mengetahui jika Abi dan Carla tadi siang datang menemui dokter Din. Entah darimana ia tahu, buktinya saat ini ia sudah datang sambil meneror sepasang suami istri itu. Napas Carla seakan tercekat, ia menahan tangisnya. Bukan karena keadaannya, tapi apa yang bisa ia lakukan setelah ibu tahu hal ini?. "Ibu, sekarang makan malam dulu ya. Ibu kan baru saja sampai." Carla berdiri dan membujuk ibu mertuanya untuk makan malam bersama. Untung sang ibu menurut. Mungkin pikirnya, jangan tergesa-gesa jika menginginkan sebuah jawaban. Makan malam di meja makan terasa seperti di sebuah kuburan, sunyi senyap. Bahkan Abi yang biasanya cerewet mengomentari makanan, kini berubah menjadi pendiam. Carla pun sama. Rasa ayam goreng yang biasanya enak, terasa hambar di lidah dan seakan tak bisa ia telan karena tersangkut di tenggorokan. "Kenapa ma
"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?" Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya
Air mata Carla menetes tak henti hingga membasahi jari-jarinya yang ia gunakan untuk mengusap pipi lembutnya. Ia meratapi bagaimana kisah kehidupan rumah tangganya jika memilih membiarkan suami yang ia cintai menduakan cintanya. Bukan untuk sementara tapi ini selamanya. Carla bahkan tak sanggup membayangkannya. Tinggal dalam satu atap dengan dua cinta terlebih suatu saat nanti ia yang akan tersingkirkan. Carla menoleh sedetik. Dilihatnya sang suami sedang fokus mengendarai sedan kesayangannya melintasi jalanan kota Jakarta yang mulai padat siang ini. Carla tadi memaksa ingin pulang sendiri tapi Abi menolaknya. Suaminya itu terlihat kesal karena Carla memutuskan sesuatu tanpa dirundingkan terlebih dahulu padanya. Ia kesal karena Carla tak mengizinkan dirinya mengambil keputusan untuk rumah tangga mereka. "Aku tetap pada keputusanku," tegas Abi. Kepalanya menoleh sejenak. Carla dan Abi saling bertatapan. "Aku tidak akan menikah lagi." "Mas!!" te
Kecurigaan Adam ada benarnya. Ia sudah mengunci gerak-gerik Risya sejak wanita itu masuk ke dalam ruangan ayahnya. Wajah Risya terlihat kaku dan pucat seperti baru saja melihat hantu. Apalagi saat sedang bicara dengan Abi, matanya terus menerus melirik arloji dan yang paling mencurigakan, wajahnya kembali pucat saat menerima panggilan telepon entah dari siapa. Adam itu memiliki insting yang kuat dan terbukti semua yang ia curigai jadi kenyataan. Dengan tenang, Adam berdiri mengintai Risya yang berjalan tenang menghampiri seseorang di pelataran parkir rumah sakit. Seorang pria yang mungkin umurnya diatas 35 tahun. Adam tak pernah melihatnya sama sekali. Adam berjalan mengendap-endap mengikuti langkah Risya. Sedikit pertengkaran di awal, pria itu marah lalu menyeret Risya masuk ke dalam mobil sambil menunjuk-nunjuknya. Ada kata-kata kotor yang Adam dengar dari kejauhan. Risya menangis tapi Adam tak peduli. Adam mengambil foto dari arah yang cukup dekat, balik tembok besar diantara mo
"Ingat, waktu kamu hanya lima belas menit. Lebih dari itu, aku datangi kamar suami kamu dan—" "Iya, iya. Kamu ancam aku?" Sandy terkekeh. Di balik kacamatanya, ia menyeringai. Mantan kekasihnya itu terlihat frustasi dengan ancaman yang baru saja diberikannya. Mereka berdiri di depan gedung rumah sakit tempat Abi dirawat. Hanya melangkah ke arah lorong belakang lalu naik ke lantai lima, mereka bisa menemukan ruang rawat pria itu. Sandy bisa saja ikut naik ke atas, lalu menceritakan semuanya pada suami Risya. Tapi, rasanya itu terlalu cepat. Ia ingin sedikit bermain-main dengan wanita yang telah meninggalkannya dulu. "Sayang, kamu kok malah kasar sih? Oh, apa kamu mau aku ikut ke atas? Yah, enggak masalah sih. Palingan kamu bakalan diceraikan sama dia saat ini juga," ujar Sandy disertai kekehan. "Kamu seneng banget ya kalau aku cerai? Kamu mau balas dendam sama aku?" teriak Risya. Untung saja dia dan Sandy berada di tempat parkir, tidak ada yang mendengar pertengkaran mereka karena
Pagi menjelang. Adam terbangun lebih dulu dari tidurnya yang cukup nyenyak semalam. Saat membuka mata, tatapan matanya jatuh pada tubuh ayahnya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Adam menghela napas berat. Wajah yang masih kusut karena kurang tidur diusapnya. Setelah sadar sepenuhnya, ia beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tadi malam, pak Us datang membawakan pakaian ganti dan perlengkapan mandi untuknya. Ia pikir itu Risya, ternyata bukan. Bicara soal Risya, istri ayahnya itu tidak ikut dan tidak datang ke rumah sakit untuk menemani suaminya. Entah dia takut, malu, syok atau memang sudah tak peduli lagi dengan suaminya. Adam tak peduli. "Papa sudah bangun?" sapa Adam yang baru saja ke luar dari kamar mandi. Abi mengangguk lemah. "Mau ke kamar mandi? Adam bantu yuk." Abi melirik ke arah tas dan tempat makan yang berada di atas meja. Lalu bertanya pada anaknya, "Risya semalam datang?" "Bukan. Itu dari pak Us." Abi mendengus kasar. Ia pikir,
Adam berlari mengejar brankar yang membawa tubuh ayahnya masuk ke dalam ruangan IGD sebuah rumah sakit. Ia berdiri di sebelah tirai yang tertutup dengan tangan gemetar. Dua orang suster datang membantu sang dokter yang berkali-kali memeriksa denyut nadi ayahnya. Sayup-sayup Adam mendengar mereka mengatakan bahwa denyut nadi ayahnya menghilang. Tak kuat melihatnya, Adam ke luar dari ruangan itu. Ia duduk di kursi Tungga sambil menundukkan kepala mengusap wajahnya dengan tangan. Lalu terdengar langkah seseorang yang datang mendekatinya dan berhenti tepat di hadapannya. "Adam, bagimana keadaan Abi?" tanya Bimo yang datang dengan raut wajah pucat. Adam tadi sempat memberitahu sahabat ayahnya itu. "Om..." Adam berdiri lalu memeluk Bimo. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan sahabat ayahnya itu. "Adam takut, om. Adam takut papa pergi, om." "Apa yang terjadi sebenarnya, Adam? Bagaimana bisa, Abi tiba-tiba pingsan dengan hidung berdarah?" Adam hanya menggelengkan kepalanya. "Aku enggak tah
Setelah puas bermain hingga sore, Fariska tertidur di dalam pangkuan Adam karena kelelahan. Jihan terkekeh melihat kedekatan Adam dan adik tirinya yang makin hari makin lengket seperti ayahnya sendiri. "Lucu ya, Fariska malah deketnya sama kamu," celetuk Jihan sambil mengusap lembut rambut lembut Fariska. "Padahal baru deket beberapa bulan lalu loh. Aku sama dia tuh beda delapan tahunan lebih. Dari kecil enggak pernah nyapa, megang juga. Eh, begitu aku balik langsung minta gendong." Adam terkekeh jika membayangkan hal itu lagi. Entah sejak kapan mereka berdua terlalu dekat hingga tak canggung lagi seperti sekarang. "Kamu tuh orangnya lembut kalau sama anak kecil. Makanya dia seneng dekat kamu." "Iya kayaknya. Padahal aku galak loh." Jihan kini terkekeh mendengar pengakuan Adam yang tak sesuai dengan ucapannya. Adam yang ia tahu adalah pria yang humoris dan tak pernah meninggikan suaranya. "Mana ada? Kamu kan kalau ngomong lembut banget. Bikin cewek-cewek nempel. Ups." Jihan menu
Abi berjalan gelisah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Dua matanya selalu tertuju pada jam dinding yang setiap menitnya terus berjalan. Sudah pukul dua belas malam, tidak biasanya Risya belum pulang hingga semalam ini. Tiga jam lalu dirinya sempat menghubungi nomor ponsel Risya, namun panggilannya tak terjawab. Lalu dirinya menghubungi Anna dan katanya, memang Risya sempat ke rumahnya sore hari tapi pukul tujuh dirinya pulang ke rumah. "Pergi ke mana dia?" gumam Abi yang masih gelisah. Karena sudah malam, ia memutuskan untuk beristirahat dan akan melanjutkan pencarian besok. Ia akan meminta bantuan Anna dan karyawan Risya yang biasanya tahu ke mana istrinya itu pergi. Di tempat berbeda, Risya tertidur setelah dipaksa meminum obat penenang oleh Sandy. Wanita itu tidur di kamar yang sama dengan mantan kekasihnya itu. Bahkan ia tak sadar jika dirinya tidur dipelukannya. "Sudah lama ya, Ris. Delapan tahun lebih loh. Kenapa kamu enggak tungguin aku dulu sih? Malah nikah sama laki
Dokter Dimas selesai melakukan terapi pada Fariska. Anak kedua Abi itu sudah mulai ada perkembangan setelah kunjungannya minggu lalu. Ternyata, semua ini karena tekanan psikis dari ibunya yang membuat mental Fariska terganggu. Selama delapan tahun Fariska bersama Risya, anak itu seringkali mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan. Selama itu pula Fariska memendamnya tanpa berani bicara pada siapapun. Abisena sang ayah hanya datang sesekali mendengarkan anaknya bicara, tapi selalu dibalas dengan senyuman tanpa ada teguran pada istrinya. Abisena menganggap, kebiasaan Fariska wajar di usianya yang masih kecil tapi sebenarnya itu adalah awal terganggunya psikis sang anak. "Bagaimana dokter Dimas? Ada perkembangan dengan Fariska?" tanya Abisena yang tak sabar ingin tahu keadaan anaknya. Fariska sudah bisa menyusun alphabet dan juga angka dengan benar. Bahkan bisa menyebutkan nama hewan dan tumbuhan. Anak itu sudah mulai berani bercerita apa saja yang dilihatnya. Jauh lebih baik dari kea
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama aku tak ada di rumah?" tanya Abi dengan suara dinginnya. Risya menunduk takut. Tangannya saling mengerat satu sama lain. "Aku, tak tahu apa yang harus kulakukan selain menceraikanmu. Ini sudah kedua kalinya kamu mengecewakan aku, Risya." "Mas, aku bisa jelaskan semuanya. Aku melakukan ini karena terpaksa. Aku, terjerat hutang dan aku tak memiliki uang untuk membayarnya. Aku—" "Hutang? Bukannya kamu sudah punya pekerjaan sendiri? Uang yang aku berikan setiap bulan, kamu gunakan untuk apa?" Risya semakin menunduk ketakutan. Ia bingung akan berkata apa, mengatakan yang sejujurnya sama saja membuat lubang untuk dirinya. "Pa, kita langsung ke dokter aja. Sudah sore," ujar Adam menginterupsi. Abisena hanya mengangguk. Ia masuk ke dalam kamar untuk mengganti bajunya sebentar. "Tante, kalau masih mau sama papa, tante harus berubah. Kalau seperti ini terus, bisa jadi papa akan menceraikan tante secepatnya." Risya memicingkan matanya, ia mulai membenci la
Bulan berlalu, Risya tak pernah lagi menganggu Fariska seperti yang diminta oleh Abi. Ia semakin sibuk dengan pekerjaannya, tanpa menghiraukan suaminya. Semua yang ada di kepalanya hanya uang dan popularitas. Abi pun tak pernah lagi bertegur sapa dengan istrinya, hanya sesekali jika sedang berkumpul di ruang makan. Itupun tanpa Adam dan Fariska. Kedua anaknya sudah enggan bertemu dengan Risya kecuali terpaksa. Siang itu, Adam pulang cepat dari kampus karena ingin membawa adiknya terapi ke dokter. Mereka akan berangkat sore hari sembari menunggu Abi pulang dari kantor. Risya yang tak mengira kalau anak tirinya akan pulang cepat, tergesa-gesa masuk ke ruang kerja suaminya lalu menutup pintunya. Risya kembali mengambil perhiasan milik Carla. "Halo, pa. Adam sudah di rumah. Ada yang darurat, pa?" tanya Adam yang baru saja sampai di rumah. Ia menaiki anak tangga pertama sambil memegang ponsel di telinganya. "Map yang dari dokter? Dibawa sekarang?" Adam terdiam mendengar instruksi dari