Carla menerima surat itu, surat pemanggilan dirinya untuk menghadiri sidang pertama perceraiannya. Inginnya ia tak hadir karena sejak kemarin, suhu tubuhnya tiba-tiba meningkat. Dalam perjalanan menuju ke tempat sidang, napas Carla mulai tak beraturan. Bibik dan pak Ujang yang setia bersama mereka menjadi ketakutan dan panik. Keduanya pun memutuskan membawa Carla ke rumah sakit terdekat untuk pertolongan pertama.Satu jam menunggu, Kesya yang telah tiba lebih dulu ke ruang sidang merasa resah karena kliennya tak kunjung datang. Ia menyesal tak mengajaknya berangkat bersama tadi pagi hanya karena takut terlambat.Dari ujung pintu terlihat nyonya Hani dan Al datang tergesa-gesa. Mata Kesya menyipit mencari Carla yang harusnya juga sudah tiba di ruangan ini."Carla mana?" tanya Kesya dengan raut wajah cemas. Hani dan Al saling menatap satu sama lain. "Harusnya kan datang bersama?""Carla belum datang?" Kesya menggelengkan kepalanya. Tepat saat mereka tengah dalam kecemasan, suara dering
Minggu ini jadwal operasi Carla. Untuk pertama kalinya wanita itu memasrahkan dirinya di atas meja operasi. Ia terus memejamkan matanya sembari menunggu waktunya tiba masuk ke dalam ruangan dingin itu.Bibirnya bergetar menahan tangis. Sudut matanya basah. Di sampingnya, ada sang ibu dan anak tercintanya menunggu dengan raut wajah tegang dan gelisah."Ma." Adam mengusak lengan Carla dengan kepalanya. "Adam sudah berdoa pada tuhan. Mama pasti sembuh.""Adam tidak sekolah?" Adam menggelengkan kepalanya. "Kenapa?""Adam izin sama bu guru. Adam mau nemenin mama di rumah sakit." Adam kembali mengusak lengan Carla.Carla tersenyum melihatnya. Adam sangat manja hari ini.Tak lama kemudian suster dan dokter masuk ke ruang rawat Carla. Setelah berbincang dengan Hani, mereka meminta izin untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk melakukan tindakan operasi.Carla melepas pakaiannya lalu menggantinya dengan jubah khusus. Ra
"Mas," panggil Risya pada Abi yang baru saja selesai memakai kemeja dan jasnya. Wanita itu berjalan mendekati sang suami lalu menjinjitkan kakinya hendak merapikan dasi yang belum terpasang dengan benar. Abi hanya menatap datar istrinya itu."Hari ini sidang putusan ya?" Abi menganggukkan kepalanya. "Mbak Carla tidak ada perlawanan?""Mungkin dia sudah muak dengan pernikahan ini. Jadi, ingin mengakhiri semuanya. Lagipula, dia sedang dirawat di rumah sakit saat sidang pertama," ujar Abi panjang lebar.Risya membulatkan bibirnya. Ia pikir Abi sudah tak tahu berita tentang Carla lagi."Oh, begitu." Risya menjawab sinis.Keduanya pun turun ke lantai bawah bersiap untuk sarapan. Sudah ada ibu dan Fariska yang digendong oleh baby sitternya tengah duduk sambil bercengkerama.Risya menuangkan kopi ke dalam cangkir milik suaminya. Hari ini, ia harus terlihat sebagai sosok istri yang sangat didambakan oleh Abi. Manis dan penurut. Bukankah itu yang selalu disinggung oleh ibu mertuanya?"Nasi gor
Carla masuk ke dalam rumah dengan perasaan senang, sedih dan sedikit lega. Beban yang selama ini menghimpitnya serasa pergi satu persatu meninggalkan hidupnya. Ada tangis haru yang ingin ia tumpahkan walau sekuat tenaga dilawannya."Carla..." Vian menyapa lebih dulu saat Carla baru saja melangkah masuk ke dalam rumahnya. Wanita itu membalasnya dengan senyuman manis."Vian? Kemana saja?""Kenapa? Kangen ya?" Carla mencubit pinggang Vian hingga meringis kesakitan. Pria itu hanya terkekeh sambil memegangi pinggangnya. "Aku setiap hari ke sini loh. Tapi mungkin kamu enggak lihat.""Iya kah? Waktu aku masih pemulihan?" Vian mengangguk. Carla memilih duduk di sofa empuk ruang tengah ditemani Vian. Keduanya duduk bersebelahan. Mata Vian memicing memperhatikan Carla yang tengah memijat kakinya."Lelah?" Carla mengangguk. Vian perlahan menarik kaki Carla lalu menaruhnya di atas pangkuannya. Sontak Carla terkejut melihat perlakuan tiba-tiba dari sahabat masa remajanya."Vian, jangan begini." Ca
"Aduh!" kaki Carla tersandung anak tangga menuju lantai dua. Tadi saat masuk ke dalam, matanya begitu takjub melihat pemandangan kafe dari ujung ke ujung."Pelan-pelan sayang." suara lembut Vian membuat hati Carla berbunga-bunga. Adam yang ikut tersenyum mendengarnya."Vian, kamu tuh..."Mereka bertiga naik ke lantai dua sambil bercanda mesra. Vian kerap kali melontarkan candaan mesra untuk Carla hingga membuat wanita cantik itu terkekeh."Om jamet!" celetuk Adam."Biarin. Jamet begini bikin mama kamu suka." Carla dan Adam terkekeh. Mereka sangat suka mendengar celetukan Vian yang lucu.Dari tangga sebelah kiri, mereka bertiga memutar ke arah jendela dekat kolam ikan yang pemandangannya sangat indah. Di lantai dua ada tiga ruangan yang bisa disewa oleh pelanggan untuk acara tertentu. Vian menggiring mereka berdua ke ruangan yang paling ujung sedikit lebih besar dari ruangan yang lainnya.Saat akan melewati ruangan pertama, jantung Carla berdegup kencang. Seakan akan ada sesuatu yang m
"Adam!" teriak Abi dari kejauhan. Adam yang sedang duduk mengamati ikan menoleh ke arah suara itu."Papa?" Adam tak beranjak dari duduknya. Baginya, lebih penting mengamati ikan daripada menyapa ayahnya."Adam, itu ada om-om panggil kamu." Tasya menarik lengan Adam menunjuk ke arah taman yang tak jauh dari kolam ikan. Adam tetap bergeming, matanya hanya melirik seolah tak peduli."Tasya, kita ke atas lagi yuk." Adam menarik lengan Tasya mengajaknya berlari ke lantai dua kafe lewat pintu belakang. Abi berlari ingin menyusulnya namun langkah Adam ternyata lebih cepat dari yang dirinya kira.'Kenapa dia menghindari aku?'"Adam, ihh!" Tasya kesal. Ia masih ingin melihat kolam ikan tapi malah diajak kembali ke dalam kafe. "Tasya masih ingin lihat ikan!""Di rumah eyang ada." Adam mengajak bocah kecil itu duduk di sofa mungil. Adam mengusap-usap rambut Tasya yang berantakan. Tasya melengos tak suka."Tapi kan Tasya mau li
Tiga bulan setelah perceraian, tak membuat hidup Abi menjadi lebih bahagia. Hari-harinya dihabiskan dengan bekerja dan berkumpul bersama teman-teman barunya sesama pengusaha. Tak jarang ia juga pulang larut malam. Entah membicarakan apa dengan teman-temannya itu.Suasana di kantornya juga sudah tak senyaman dulu, baginya. Setiap kali ia menginjakkan kaki ke dalam ruangan, matanya selalu tertuju pada ruangan yang dulu pernah dijadikan kamar olehnya. Terakhir kali Carla memberikan kewajibannya sebagai seorang istri terjadi di kamar itu.Namun kini semuanya terasa menyesakkan. Abi menyesali kepergian Carla dari hidupnya.Tokk tokk tokk"Masuk!""Halo bro, apa kabar?" Abi mendongakkan wajahnya. Ternyata yang datang adalah Al, sepupu Carla."Ada apa?" Abi menjawab salam Al dengan raut wajah datar. Sekitar dahinya banyak kerutan tua yang tak sesuai dengan umurnya."Aku kesini mau kasih sesuatu untuk kamu." Al mengeluarkan
"Hari ini ada acara di rumah mama. Aku mau datang dan nginap di sana," ujar Risya dengan nada ketus. Abi hanya melirik sekilas. Hari sabtu ini dirinya berencana akan pergi ke gedung hotel tempat acara lamaran antara Carla dan Vian akan dilangsungkan."Lalu? Memang ada acara apa? Kok kamu mendadak kasih tahunya? Senang lihat aku diomongin sama keluarga besar kamu?"Abi bukannya tak tahu. Semenjak perceraiannya dengan Carla, semakin banyak orang yang diam-diam tak menyukai Abi. Hanya saja saat bertemu dengannya, mereka berpura-pura tersenyum menyukainya."Kan kamu tahu sendiri, mama aku seringnya mendadak kalau bikin acara," jawab Risya beralasan."Aku ada acara. Kamu sama supir saja berangkatnya." Abi meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Pakaiannya rapi, kemeja dan jasnya terlihat serasi. Membuat wajah Abi semakin tampan dan berwibawa."Pasti mau ke pestanya Carla. Ya kan?" tuding Risya. Abi mengangguk datar. "Aku enggak izi
Suasana dalam mobil mewah itu terasa sunyi karena sejak pemiliknya masuk belum satupun yang membuka suara untuk bicara. Hanya ada suara alunan musik yang terdengar sayup-sayup di telinga keduanya. Carla irit bicara hari ini, begitu pula dengan Vian. Pria itu menunggu kesayangannya bicara agar ia tak dicap sebagai pria arogan. Tangan kiri Vian meraba, mencari tangan Carla lalu menggenggamnya erat. Dingin, untuk itu ia menghangatkannya. Carla menoleh lalu kembali menatap lurus menatap jalanan di depannya. "Kamu jangan keras sama sepupu kamu sendiri. Aku enggak enak sama tante Leni tadi." Carla bicara dengan wajah datarnya. Vian masih diam. Mungkin sedang mencari kalimat yang pantas untuk diucapkan. "Aku tidak apa-apa kok dihina seperti itu. Bukannya sudah biasa ya?" "Bagimu biasa, tapi tidak untukku. Harga dirimu adalah harga diriku juga. Kamu dihina aku juga dihina. Aku yang memilih kamu maka akulah yang akan membela jika ada yang menghinamu."
"Wah, kainnya cocok di kulit halus Carla. Cantik sekali," puji Leni yang sejak tadi tak berhenti tersenyum melihat hasil karyanya sempurna melekat di tubuh mungil Carla. "Ini enggak berlebihan kan tante?" tanya Carla, ia merasa tak percaya diri dengan tubuhnya yang kurus. Gaun itu terlalu cantik untuk dikenakannya. Tubuh Carla memang tinggi tapi terlihat kontras dengan lengannya yang kurus. Bentuk tubuh Carla belum kembali seperti sedia kala. Mungkin ini pengaruh dari makanan yang dipantang oleh Carla demi kesehatannya. Tak banyak yang dipantang tapi itu sedikit mengganggu untuk penambahan berat badannya. "Tidak. Ini sempurna sayang. Kulit kamu putih mulus, tante suka dengan kulit kamu yang bercahaya," puji Leni sekali lagi membuat Carla jadi tak enak hati. "Tapi kan saya kurus banget. Jadinya—" "No. Tante punya banyak solusi untuk tubuh yang terlalu kurus. Ada triknya biar terlihat proporsional. Kamu punya d
Keesokan harinya, Carla datang ke kantor untuk mengambil barang-barang miliknya yang tertinggal. Sekalian ia pamit pada karyawannya yang sudah dianggap keluarga olehnya. Niatnya memang ingin pensiun dan fokus mengurus rumah tangganya bersama Vian. Walau dalam hati dirinya tak rela meninggalkan semuanya. Berjalan pelan menuju ruang kerja Al, ia tersenyum manis pada sekretarisnya yang berada di meja kerjanya "Pak Al ada?" tanya Carla dengan suara lembut. "Ada, Bu. Bu Carla makin segar. Semoga lancar sampai hari H ya, Bu," ucap sekretaris Carla yang sekarang jadi sekretaris Al. "Ah, terima kasih. Kamu nanti datang kan ke acara pernikahan saya?" "Pasti Bu Carla. Saya akan datang." Carla pamit masuk ke dalam ruangan kerja Al. Kakak sepupunya itu sedang duduk, fokus membaca berkas di mejanya. "Mas Al?" Al menoleh. Ia tersenyum menyambut adik sepupunya yang baru saja datang. "Barang-barangku sudah disiapkan?"
BrakkRisya membuka pintu kamar dengan kasar. Suaranya hampir terdengar ke lantai bawah. Untung saja Fariska tak rewel mendengar ibunya mengamuk tak jelas. Ini semua karena Carla. Risya membenci wanita yang dulu pernah mengisi hati suaminya. Terlebih saat ini dia sudah bahagia dengan pendamping barunya. Risya semakin iri dibuatnya."Kamu kenapa sih? Pulang kondangan malah ngamuk-ngamuk." Abi datang dari balik pintu dengan raut wajah yang masam."Itu karena kamu, Mas."Abi mengerutkan dahinya. Ia tak merasa bersalah sama sekali karena sejak tadi dirinya hanya diam saja."Aku? Sejak kapan aku berulah?" Abi tak terima dituduh seperti itu. Aneh sekali pemikiran istrinya. "Aku tak merasa bersalah sedikitpun padamu.""Kamu sengaja kan ajak aku datang ke pesta lamarannya Carla supaya aku iri. Atau kamu masih suka sama dia diam-diam," tuduh Risya lagi.Abi melirik tak suka pada sikap Risya yang terkesan berlebihan. Apa yang membuatnya harus iri dengan kehidupan Carla? Bukankah dia juga mendap
"Hari ini ada acara di rumah mama. Aku mau datang dan nginap di sana," ujar Risya dengan nada ketus. Abi hanya melirik sekilas. Hari sabtu ini dirinya berencana akan pergi ke gedung hotel tempat acara lamaran antara Carla dan Vian akan dilangsungkan."Lalu? Memang ada acara apa? Kok kamu mendadak kasih tahunya? Senang lihat aku diomongin sama keluarga besar kamu?"Abi bukannya tak tahu. Semenjak perceraiannya dengan Carla, semakin banyak orang yang diam-diam tak menyukai Abi. Hanya saja saat bertemu dengannya, mereka berpura-pura tersenyum menyukainya."Kan kamu tahu sendiri, mama aku seringnya mendadak kalau bikin acara," jawab Risya beralasan."Aku ada acara. Kamu sama supir saja berangkatnya." Abi meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Pakaiannya rapi, kemeja dan jasnya terlihat serasi. Membuat wajah Abi semakin tampan dan berwibawa."Pasti mau ke pestanya Carla. Ya kan?" tuding Risya. Abi mengangguk datar. "Aku enggak izi
Tiga bulan setelah perceraian, tak membuat hidup Abi menjadi lebih bahagia. Hari-harinya dihabiskan dengan bekerja dan berkumpul bersama teman-teman barunya sesama pengusaha. Tak jarang ia juga pulang larut malam. Entah membicarakan apa dengan teman-temannya itu.Suasana di kantornya juga sudah tak senyaman dulu, baginya. Setiap kali ia menginjakkan kaki ke dalam ruangan, matanya selalu tertuju pada ruangan yang dulu pernah dijadikan kamar olehnya. Terakhir kali Carla memberikan kewajibannya sebagai seorang istri terjadi di kamar itu.Namun kini semuanya terasa menyesakkan. Abi menyesali kepergian Carla dari hidupnya.Tokk tokk tokk"Masuk!""Halo bro, apa kabar?" Abi mendongakkan wajahnya. Ternyata yang datang adalah Al, sepupu Carla."Ada apa?" Abi menjawab salam Al dengan raut wajah datar. Sekitar dahinya banyak kerutan tua yang tak sesuai dengan umurnya."Aku kesini mau kasih sesuatu untuk kamu." Al mengeluarkan
"Adam!" teriak Abi dari kejauhan. Adam yang sedang duduk mengamati ikan menoleh ke arah suara itu."Papa?" Adam tak beranjak dari duduknya. Baginya, lebih penting mengamati ikan daripada menyapa ayahnya."Adam, itu ada om-om panggil kamu." Tasya menarik lengan Adam menunjuk ke arah taman yang tak jauh dari kolam ikan. Adam tetap bergeming, matanya hanya melirik seolah tak peduli."Tasya, kita ke atas lagi yuk." Adam menarik lengan Tasya mengajaknya berlari ke lantai dua kafe lewat pintu belakang. Abi berlari ingin menyusulnya namun langkah Adam ternyata lebih cepat dari yang dirinya kira.'Kenapa dia menghindari aku?'"Adam, ihh!" Tasya kesal. Ia masih ingin melihat kolam ikan tapi malah diajak kembali ke dalam kafe. "Tasya masih ingin lihat ikan!""Di rumah eyang ada." Adam mengajak bocah kecil itu duduk di sofa mungil. Adam mengusap-usap rambut Tasya yang berantakan. Tasya melengos tak suka."Tapi kan Tasya mau li
"Aduh!" kaki Carla tersandung anak tangga menuju lantai dua. Tadi saat masuk ke dalam, matanya begitu takjub melihat pemandangan kafe dari ujung ke ujung."Pelan-pelan sayang." suara lembut Vian membuat hati Carla berbunga-bunga. Adam yang ikut tersenyum mendengarnya."Vian, kamu tuh..."Mereka bertiga naik ke lantai dua sambil bercanda mesra. Vian kerap kali melontarkan candaan mesra untuk Carla hingga membuat wanita cantik itu terkekeh."Om jamet!" celetuk Adam."Biarin. Jamet begini bikin mama kamu suka." Carla dan Adam terkekeh. Mereka sangat suka mendengar celetukan Vian yang lucu.Dari tangga sebelah kiri, mereka bertiga memutar ke arah jendela dekat kolam ikan yang pemandangannya sangat indah. Di lantai dua ada tiga ruangan yang bisa disewa oleh pelanggan untuk acara tertentu. Vian menggiring mereka berdua ke ruangan yang paling ujung sedikit lebih besar dari ruangan yang lainnya.Saat akan melewati ruangan pertama, jantung Carla berdegup kencang. Seakan akan ada sesuatu yang m
Carla masuk ke dalam rumah dengan perasaan senang, sedih dan sedikit lega. Beban yang selama ini menghimpitnya serasa pergi satu persatu meninggalkan hidupnya. Ada tangis haru yang ingin ia tumpahkan walau sekuat tenaga dilawannya."Carla..." Vian menyapa lebih dulu saat Carla baru saja melangkah masuk ke dalam rumahnya. Wanita itu membalasnya dengan senyuman manis."Vian? Kemana saja?""Kenapa? Kangen ya?" Carla mencubit pinggang Vian hingga meringis kesakitan. Pria itu hanya terkekeh sambil memegangi pinggangnya. "Aku setiap hari ke sini loh. Tapi mungkin kamu enggak lihat.""Iya kah? Waktu aku masih pemulihan?" Vian mengangguk. Carla memilih duduk di sofa empuk ruang tengah ditemani Vian. Keduanya duduk bersebelahan. Mata Vian memicing memperhatikan Carla yang tengah memijat kakinya."Lelah?" Carla mengangguk. Vian perlahan menarik kaki Carla lalu menaruhnya di atas pangkuannya. Sontak Carla terkejut melihat perlakuan tiba-tiba dari sahabat masa remajanya."Vian, jangan begini." Ca