Stella terlihat begitu sibuk memilih dress yang cocok untuk Shania kenakan malam ini."Warna biru ini terlalu kuno, bagaimana dengan warna merah? Hmm, terlalu menyala. Aku takut, nanti tidak sesuai tema. Huh, tapi warna gold ini seperti kelihatan untuk wanita berumur, sedangkan Kak Shania masih muda," ucap Stella berbicara dengan diri sendiri.Steven dan Shania hanya duduk memperhatikan Stella. Cukup dibuat bingung, tetapi mereka tidak juga berani menyela.Ting!Bunyi bel rumah Stella berbunyi, Stella lantas menoleh sembari mengerutkan dahi."Kak Stev, aku tidak tahu siapa yang datang jam-jam aku lagi sibuk begini, bisa tidak kau bantu aku melihatnya?" ucap Stella memasang raut imut."Hmm," gumam Steven.Steven pun pergi melihat, ternyata Sean yang membawa pesanan Steven."Kenapa kau tidak telepon?" tanya Steven."Teleponku habis cas, Tuan," jawab Steveb sembari menyengir.Steven mengangguk dan kembali masuk ke dalam rumah, dia membawa tas kertas coklat. "Shania," panggil Steven.Sha
Raut wajah Steven memerah, dia merasa seperti hatinya terusik dengan ucapan Shania tadi. Sudut bibirnya juga terlihat terangkat, menambahkan lagi suasana hatinya yang sedang bahagia.Steven semakin erat menggandeng lengan Shania, dia juga akan memanfaatkan situasi ini untuk membuat hati Shania terbuka untuknya."Oma, Paman," sebut Steven.Ucapan Steven membuat yang punya panggilan kompak menoleh. Mereka memasang wajah yang begitu antusias ketika mendapati Steven yang memanggil mereka.Shania perlahan melepaskan tangannya, membiarkan Steven bertukar sapa dengan sang Oma dan Paman."Stev, Oma benar-benar merindukan kau. Bagaimana keadaan kau? Apa kau sehat-sehat saja?" tanya Oma setelah selesai memeluk gemas Steven."Kau sudah semakin dewasa, Stev. Paman turut bangga," puji sang Paman pula.Steven hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaan Oma. Dia pun mundur sedikit untuk menyamai posisinya dengan Shania."Oma, Paman. Kenalkan ini istriku, Shania dan Sayang, ini Oma dan Pamanku," ucap
"Stella," ucap Steven dengan nada kaget.Stella memasang wajah berang setelah melayangkan tamparan pada pipi Karina. Karina, sempat ingin membentaknya, namun Oma langsung datang mendorong kecil tubuh Karina dan menatap tajam ke arahnya."Aku penasaran, kau dari perusahaan mana hingga berani merendahkan cucu menantuku," ungkap Oma.Para media wartawan dan orang-orang yang berada di sana kaget setelah mendengar ucapan Oma, yang dikenali sebagai pemilik perusahaan berlian di negara M.Bisik-bisik pun mulai terdengar, Johnson bersama Calista saling berpandangan. Mereka bertanya-tanya sejak kapan Shania menjadi keluarga dari bagian perusahaan besar berlian itu."Tunggu, Nyonya Smith. Apa anda yakin wanita yang berada di samping, Tuan Steven adalah cucu menantu, anda?" tanya salah satu wartawan yang mengambil berita."Kenapa aku tidak meyakininya? Wanita ini adalah istri dari Steven Smith. Steven sendiri yang mengenalkannya padaku dan memberitahuku bahwa mereka telah menikah sudah hampir se
"Kak, kenapa harus di apartemen kau? Oma, sedang menunggu kalian di rumah utama, awas ya kak, jika kau tidak membawa kak Shania, datang ke sini," ucap Stella lewat pesan suara."Sudah, mungkin Shania sedikit terkejut dengan kejadian tadi, mereka ke sini, besok juga tidak apa-apa," ujar Oma menenangkan Stella."Tapi, Oma ... aku juga khawatir dengan kak Shania," rengek Stella."Besokkan masih bisa bertemu, biarkan Steven yang menenangkan, Shania," bujuk sang Oma lagi.Akhirnya, Stella mengangguk. Hari ini, dia akan bermalam di rumah utama keluarga Smith. Sementara itu, Nikel hanya diam, begitu pun dengan Quira, sang istri. Nikel, masih merasa sedikit kaget karena bertemu dengan Shania, hingga sikap Nikel memperlihatkan bahwa dia sedang terlihat pikiran."Nikel, sedari tadi kau diam? Kenapa?" tanya Oma."Huh?" Nikel menatap Oma dengan raut bingung. "Aku ... mungkin aku lelah," jawab Nikel dengan alasan.Quira mengerutkan dahinya, tumben sang suami mengeluh lelah. Tidak seperti biasanya
Rumah utama Smith terlihat begitu sibuk hari ini. Begitu juga, di apartemen Steven. Shania terlihat begitu sibuk memilih pakaian yang akan dia kenakan, untuk bertemu kembali dengan sang Oma dan paman Nikel.Jika saja ingin dia berkata jujur, sungguh dirinya malas terlibat dengan keluarga bangsawan ini. Namun, nasi sudah menjadi bubur, Shania sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi, hanya perlu mengikuti jalan ini dan nikmati alurnya.Sementara itu, Steven juga terlihat sibuk, sedari pagi dirinya tak henti-henti mengerjakan pekerjaannya. Akan tetapi, Shania sama sekali tidak memperdulikan, walaupun adegan ranjang panas sempat berlaku tadi malam.Bagi Shania bersentuhan dengan Steven merupakan kewajiban dirinya sebagai istri. Dia sama sekali tidak menolak, karena dalam diam juga Shania meminum pil pencegah kehamilan."Shania, apa kau ingin aku mengantarmu ke salon untuk berdandan?" tanya Steven tiba-tiba."Tidak perlu, terima kasih," sahut Shania menolak."Baiklah, kalau begitu. Tapi,
Ketika Shania keluar dari dalam mobil, dirinya disambut dengan begitu baik dan meriah oleh Oma dan Stella. Hingga, membuat senyuman pada wajah Shania melebar dengan sempurna. Walaupun, sambutan seperti ini menyentil kenangan masa lalu, di sudut hatinya yang dalam Shania merasa sedih.Apakah jika kedua orang tuanya masih hidup, dia bisa merasakan kehangatan seperti ini, pulang dari tempat dia bermain akan disambut dengan hangat. Shania sedikit bermonolog, andai sang ayah tidak termakan tipu daya dan andai sang ibu memeriksa kondisi kesehatan dengan cepat sudah tentu mereka masih bersama dirinya."Kak Shania, jangan melamun. Ayo kita masuk." Stella datang dan langsung bergelayu manja pada lengan Xenia."Shania sayang kemarilah. Jangan hanya bengong di luar sana," ucap sang Oma pula."Ayo, kita masuk," ujar Steven juga.Shania menatap uluran tangan mereka dengan hati yang memberikan kehangatan yang berbeda. Terlihat sekilas sendu p
"Stev, aku ingin membuang air kecil. Kamar kecilnya, di mana?" tanya Shania dengan berbisik."Aku menghantar kau, ya," jawab Steven.Shania mengangguk, mereka pun pamit bersama. Stella, yang ingin menyusul mereka dilarang oleh sang Oma. Oma mengatakan pada Stella, mungkin Shania tidak akan lama bersama Steven.Terpaksalah, Stella mengangguk dan mendengarkan ucapan sang Oma. Dia cuma merasa sedikit cemburu, kenapa Shania tidak memberi tahu dirinya, 'kan dirinya juga bisa menunjukkan jalan.Akan tetapi, Stella berpikir mungkin ada yang ingin dibicarakan pada Steven, oleh itu mereka pergi bersama. Jujur saja, Stella saat ini merasa bahagia melihat kedekatan Steven dan Shania, namun dia masih saja ada rasa cemburu denga Steven, sang Kakak.Sementara itu, Steven berdiri di hadapan pintu kamar kecil sembari bersandar pada dinding. Dia harus berbicara pada Shania mengenai hal Immanuel, karena dia takut Immanuel akan mendapat celah untuk menemui Shania.Krekk...Bunyi pintu kamar kecil terbu
"Cepat, patah balik Sean!" ucap Steven.Bugh!Bunyi lemparan kayu pada kaca mobil mereka terdengar, Steven langsung menutup mata Shania."Jangan lihat," bisik Steven.Satu tangan Steven, berusaha merogoh saku celananya, untuk mengambil ponsel miliknya. Setelah, ponsel berada di tangannya, Steven langsung menelepon bawahannya untuk datang menjemput mereka.Sangat tidak mungkin, pria -pria tadi tidak mengejar mereka, buktinya ada beberapa motor yang sedang mengekori mobil mereka."Sean, bawa ke jalan besar, biar mereka merasa sulit," perintah Steven lagi.Steven, masih sibuk memeluk Shania dan satu tangannya mencari satu nomor untuk membantu dirinya.Shania pula, dia hanya bersandar pada dada Steven. Tubuhnya sedikit gementar, dia mulai cemas. Sebenarnya, apa yang berlaku kenapa tiba-tiba ada orang jahat?Bugh!Mobil mereka kembali menerima pukulan dari si pembawa motor dan penumpangnya. Steven, semakin memeluk erat Shania. "Sial!" ucpa Steven maki mereka yang mengejar mobilnya. "Sean
"Memangnya aku sakit apa?" tanya Shania setelah meminum obat yang diberikan oleh Mikael. Mikael menatap Shania dengan raut intens. Dia menghela napas panjang. "Kau tidak tahu?" Mikael kembali bertanya. Shania mengerutkan dahinya, sejak kapan dia sakit. Kemarin dan beberapa hari yang lalu, dia masih merasa sehat-sehat saja. "Sudahlah, kau hanya perlu makan dan minum obat secara rutin," imbuh Mikael lagi. Pria itu membantu Shania kembali ke kamar yang sempat dia tempati tadi. Dia terlihat begitu misterius sebenarnya, tetapi perlakuannya terkesan tulus. "Mikael, kenapa tidak kau memberitahuku saja? Aku sakit apa sebenarnya?" tanya Shania yang masih saja penasaran dan merasa sedikit bingung. Mikael diam, dia terus saja mengandeng tangan Shania hingga mereka tiba di dalam kamar. Setelah memastikan Shania bisa duduk dengan tenang. Barulah, Mikael menunjukkan raut wajah tersenyum tipis. "Kamu keguguran dan rahimmu bermasalah," jelas Mikael. "Keguguran?" ulang Shania tampak begitu kag
Cristo pulang ke rumah dengan terburu-buru, ketika dia sampai di rumah dia langsung mencari sang istri."Natalia?" Suara Cristo menggema ketika memanggil nama sang istri."Ada apa?" sahut Natalia yang datang dari ruang baca.Cristo menatap Natalia, dia segera mendekati sang istri. Lalu, perlahan menarik tangan sang istri dan membawanya masuk kembali ke ruangan membaca."Ada apa sebenarnya? Kenapa wajahmu terlihat khawatir?" tanya Natalia ketika telah duduk di sofa dalam ruang baca itu.Cristo diam, dia hanya mengeluarkan beberapa dokumen dan kotak kecil. Lalu, diserahkannya pada Natalia."Sayang, aku mempercayaimu untuk menyimpan kedua barang-barang ini. Jangan sampai ada orang merampasnya darimu," ungkap Cristo."Tapi ini apa?" tanya Natalia lagi."Ini adalah dokumen kepemilikan perusahaan dan kotak kecil ini adalah kunci brankas," jelas Cristo.Natalia memasang raut bingung, terus ada apa dengan dokumen dan kunci ini. Kenapa harus diserahkan padanya?"Aku belum mengerti, jika ini pe
Gadis ini aneh menurut Mikael, namun sudut bibirnya terangkat. Merasa Shania sedikit menarik, selama ini banyak gadis berusaha mendekatinya dan sanggup melemparkan diri kepadanya.Akan tetapi, berbeda dengan Shania yang menolak dirinya mentah-mentah tanpa ingin berkenalan terlebih dalam."Apa yang aku dapat jika aku bekerjasama dengan kau?" tanya Mikael.Shania tampak berpikir, sebuah ide terlintas dan langsung saja Shania katakan tanpa ada rasa ragu."Hubungan pertemanan, tapi tergantung sih bagaimana sikap kau terhadapku," jelas Jessi.Mikael tersenyum sungging, dia pun mengangguk mengerti. Sebenarnya, bukan berarti bersetuju, tetapi dia ingin melihat sampai mana Shania bisa menolak dirinya."Terus sekarang kau mau ke mana? Mau kabur?" tanya Mikael lagi dengan raut penasaran."Sangat tepat!" jawab Shania penuh bersemangat."Hm, bagaimana kalau kita kabur bersama saja?" Mikael menawarkan untuk melarikan diri bersama Shania.Shania terkejut, dia kembali berpikir. Sungguh, tidak mungki
"Shania, bangunlah. Kau harus pergi, dengarkan ibu. Jangan percaya mereka yang berada di sekitarmu kecuali ....""Ibu!" pekik Shania, dia terbangun dengan napas yang memburu. Keringat telah membasahi kulit wajah Shania. Dia belum sadar sepenuhnya, hingga masih terdengar helaan napas yang coba diatur perlahan. Air mata, Shania juga terlihat mengalir tanpa ada isak tangisan."Kau sudah bangun?" Suara seorang pria memberi Shania kesadaran penuh. Shania langsung mengambil posisi duduk, dia mencari asal suara tadi. Sehingga, netra mata Shania menangkap satu sosok yang sedang duduk bersilangkan kaki.Ingatan tentang 6 tahun sebelum sang ayah meninggalkan, kembali berputar pada benak Shania. Wajah yang dia lihat kembali membuka masa lalu yang seharusnya dia lupakan.***"Nia malam ini kita ada tamu, ayah harap kau tidak memasang wajah cemberut," ucap Cristo, sang ayah yang berpesan pada putri semata wayangnya."Kalau begitu, Nia tidak perlu turun dari kamar sekalian saja," jawab Shania."H
Shania terkejut ketika pria asing itu menggerakkan tangannya yang memengang pisau. Lengan Steven tergores oleh senjata tajam itu."Stev!" pekik Shania.Steven lantas menendang pria tadi dengan tendangan berputarnya, darahnya terlihat semakin banyak mengalir. Pria asing tadi, sempat tersungkur ke atas jalan raya itu. "Steven! Masuk mobil!" pekik Shania yang telah berada di luar mobil.Steven menoleh, raut wajahnya berubah mendadak, dia tahu pria di hadapannya ini cuma untuk memancing Steven dan Shania keluar. Apalagi, sedari tadi Steven menunggu musuh yang lain keluar, namun hingga saat ini belum ada satu pun yang terlihat dan hanya ada satu pria asing itu saja."Shania, masuk! Ini je--"Dor..dor..Bunyi tembkan membuat Steven berhenti memekik, dua kali tembakan dari arah belakang lalu mengenai Shania, mata Shania terlihat melebar dan akhirnya terjatuh di atas aspal jalan itu."Sha-- Shania!" pekik Steven.Steven coba berlari ke arah Shania yang telah tergeletak di atas jalan di sampi
Steven pulang ke rumah utama dengan raut lesu, dia sedikit merasa kesal dengan Bernard dan Gerald yang sedikitpun tidak menaruh curiga pada Carry.Namun, jika dipikirkan, itu juga bukan salah keduanya yang memilih tidak percaya. Hanya saja, Carry yang terlalu licik dalam menutupi sisi jahatnya.Semakin hari, dia semakin yakin ada yang disembunyikan oleh Carry dan Carry juga berkaitan dengan teror beberapa hari yang lalu."Stev," tegur Nikel.Steven menoleh, dia lantas mengukir senyuman tipis untuk diperlihatkan."Kau melamun, apa ada masalah?" tanya Nikel kemudian."Tidak, hanya saja masih terpikir tentang teror hari itu," jawab Steven dengan jujur."Tenang saja, Oma dan paman sudah mengerahkan orang-orang untuk mengawasi sekitar kalian," jelas Nikel sembari menepuk pundak Steven.Steven mengangguk, dia hanya tersenyum tipis. Berharap, suatu saat nanti akan ada hasil dari pencarian mereka. "Oh iya. Malam ini jamuan makan, keluarga besar Smith semuanya akan datang," beritahu Nikel."M
"Aku mencari Stella tadi, kebetulan Shania berada di sini jadi, apa salahnya aku bawa dia berbicara," jelas Immanuel sedikit jujur.Shania menatap Steven dengan raut tersenyum dan mengangguk kecil membenarkan ucapan Immanuel. Entah, kenapa Steven selalu saja mencurigai dirinya.Setelah itu, Immanuel pamit dan meninggalkan Shania sedang duduk bersama Steven di ruang tamu itu."Shania, apa tidak ada penjelasan yang jujur dari kau?" tanya Steven tiba-tiba.Ternyata, Steven masih tidak puas mendengar penjelasan Immanuel tadi. Apalagi, Steven merasa Shania semakin hari, semakin jauh darinya.Ada apa dengan Shania sebenarnya?"Steven ...," ucap Shania. "Kau benar-benar menyukaiku?" lanjut Shania lagi.Bukan menjawab pertanyaan, Shania malah bertanya tentang perasaan Steven terhadapnya. Dia tidak mau, Steven semakin larut ke dalam perasaan bertepuk sebelah tangan ini."Kau masih meragukanku, apa dengan menyentuh kau setiap hari itu tidak cukup?" jawab Steven tak kalah serius."Menyentuhku? B
Steven menatap Shania dengan tatapan yang sulit diartikan. Hal itu, membuat Shania bingung sendiri, apa yang dipikirkan oleh Steven sebenarnya.Tiba-tiba, terdengar bunyi pintu diketuk. Shania lantas melarikan pandangannya ke arah pintu kamar. Sedangkan, Steven pula hanya menundukkan pandangan, seperti tidak ingin sibuk.Shania berjalan ke arah pintu, untuk melihat siapa di luar sana. Ketika dia membuka pintu, dia mulai mengukirkan senyuman tipis."Stella," ucap Shania lembut."Kak, apa Stella mengganggu?" tanya Stella.Shania menggelengkan kepala dan mengizinkan Stella masuk ke kamar. Stella mengandengan lengan Shania dengan akrab, namun tidak dia bisa hindari memasang raut khawatir."Kak Stev," tegur Stella.Steven menoleh, dia tersenyum tipis namun tidak berbicara apa pun. Hanya saja, raut wajah Steven sedikit terlihat aneh."Kak, apa aku mengganggu waktu kalian?" tanya Stella lagi.Stella, berpikir jika dia datang di waktu yang tidak tepat. Apalagi, wajah Steven sepertinya sedang
"Apa yang kau bahas dengan paman?" tanya Steven kepada Shania, setelah mereka telah berada di dalam kamar."Cuma hal biasa," sahut Shania singkat.Shania malas melayani pertanyaan Steven, dia pun segera memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur."Shania, aku masih mau bicara," protes Steven yang menyusuli Shania hingga ke kamar mandi.Shania menghentikan langkah dan membalikkan tubuh. Dia menatap Steven dengan memicingkan mata."Bicara apa?" tanya Shania sembari menyandarkan punggung pada daun pintu."Kalian cerita tetang apa?" tanya Steven lagi.Steven masih tidak puas dengan jawaban Shania tadi. Dia harus mendengar tahu yang sebenarnya. Apalagi, saingan kecilnya adalah anak sulung sang paman."Kami hanya cerita tentang masalah yang kau hadapi, aku katakan pada paman bahwa aku mengkhawatirkan kau," jelas Shania sedikit berkelit.Steven tidak langsung menjawab, dia malah menatap Shania dengan begitu dalam. Coba mencari gurat kebohongan pada kilatan mata Shania."Huh,