Rumah utama Smith terlihat begitu sibuk hari ini. Begitu juga, di apartemen Steven. Shania terlihat begitu sibuk memilih pakaian yang akan dia kenakan, untuk bertemu kembali dengan sang Oma dan paman Nikel.Jika saja ingin dia berkata jujur, sungguh dirinya malas terlibat dengan keluarga bangsawan ini. Namun, nasi sudah menjadi bubur, Shania sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi, hanya perlu mengikuti jalan ini dan nikmati alurnya.Sementara itu, Steven juga terlihat sibuk, sedari pagi dirinya tak henti-henti mengerjakan pekerjaannya. Akan tetapi, Shania sama sekali tidak memperdulikan, walaupun adegan ranjang panas sempat berlaku tadi malam.Bagi Shania bersentuhan dengan Steven merupakan kewajiban dirinya sebagai istri. Dia sama sekali tidak menolak, karena dalam diam juga Shania meminum pil pencegah kehamilan."Shania, apa kau ingin aku mengantarmu ke salon untuk berdandan?" tanya Steven tiba-tiba."Tidak perlu, terima kasih," sahut Shania menolak."Baiklah, kalau begitu. Tapi,
Ketika Shania keluar dari dalam mobil, dirinya disambut dengan begitu baik dan meriah oleh Oma dan Stella. Hingga, membuat senyuman pada wajah Shania melebar dengan sempurna. Walaupun, sambutan seperti ini menyentil kenangan masa lalu, di sudut hatinya yang dalam Shania merasa sedih.Apakah jika kedua orang tuanya masih hidup, dia bisa merasakan kehangatan seperti ini, pulang dari tempat dia bermain akan disambut dengan hangat. Shania sedikit bermonolog, andai sang ayah tidak termakan tipu daya dan andai sang ibu memeriksa kondisi kesehatan dengan cepat sudah tentu mereka masih bersama dirinya."Kak Shania, jangan melamun. Ayo kita masuk." Stella datang dan langsung bergelayu manja pada lengan Xenia."Shania sayang kemarilah. Jangan hanya bengong di luar sana," ucap sang Oma pula."Ayo, kita masuk," ujar Steven juga.Shania menatap uluran tangan mereka dengan hati yang memberikan kehangatan yang berbeda. Terlihat sekilas sendu p
"Stev, aku ingin membuang air kecil. Kamar kecilnya, di mana?" tanya Shania dengan berbisik."Aku menghantar kau, ya," jawab Steven.Shania mengangguk, mereka pun pamit bersama. Stella, yang ingin menyusul mereka dilarang oleh sang Oma. Oma mengatakan pada Stella, mungkin Shania tidak akan lama bersama Steven.Terpaksalah, Stella mengangguk dan mendengarkan ucapan sang Oma. Dia cuma merasa sedikit cemburu, kenapa Shania tidak memberi tahu dirinya, 'kan dirinya juga bisa menunjukkan jalan.Akan tetapi, Stella berpikir mungkin ada yang ingin dibicarakan pada Steven, oleh itu mereka pergi bersama. Jujur saja, Stella saat ini merasa bahagia melihat kedekatan Steven dan Shania, namun dia masih saja ada rasa cemburu denga Steven, sang Kakak.Sementara itu, Steven berdiri di hadapan pintu kamar kecil sembari bersandar pada dinding. Dia harus berbicara pada Shania mengenai hal Immanuel, karena dia takut Immanuel akan mendapat celah untuk menemui Shania.Krekk...Bunyi pintu kamar kecil terbu
"Cepat, patah balik Sean!" ucap Steven.Bugh!Bunyi lemparan kayu pada kaca mobil mereka terdengar, Steven langsung menutup mata Shania."Jangan lihat," bisik Steven.Satu tangan Steven, berusaha merogoh saku celananya, untuk mengambil ponsel miliknya. Setelah, ponsel berada di tangannya, Steven langsung menelepon bawahannya untuk datang menjemput mereka.Sangat tidak mungkin, pria -pria tadi tidak mengejar mereka, buktinya ada beberapa motor yang sedang mengekori mobil mereka."Sean, bawa ke jalan besar, biar mereka merasa sulit," perintah Steven lagi.Steven, masih sibuk memeluk Shania dan satu tangannya mencari satu nomor untuk membantu dirinya.Shania pula, dia hanya bersandar pada dada Steven. Tubuhnya sedikit gementar, dia mulai cemas. Sebenarnya, apa yang berlaku kenapa tiba-tiba ada orang jahat?Bugh!Mobil mereka kembali menerima pukulan dari si pembawa motor dan penumpangnya. Steven, semakin memeluk erat Shania. "Sial!" ucpa Steven maki mereka yang mengejar mobilnya. "Sean
"Sudah aku kirim ke email kau, aku juga sudah lihat. Mereka keluar dari gedung perusahaan X. Aku sangat yakin mereka adalah orang-orang Felix," jelas Carry.Steven, dengan cepat meminta Sean membawa laptop ke tempat mereka duduk. Steven, masih tidak bisa bergerak banyak karena Shania masih menempeli dirinya.Setelah, Steven memeriksa email masuk. Dia membuka pesan dari Carry, lalu melihat isinya yang terdapat beberapa rekaman video."Bagaimana kau bisa berpikir untuk mengambil rekaman cctv di sekitar perusahaan itu?" tanya Steven."Kau belum mendengar? Perusahaan itu sedang mengalami inflasi pesat secara tiba-tiba," jawab Carry. "Makanya, aku menebak itu serangan dari Felix karena dia berpikir kau yang membuatnya di ambang kebangkrutan," lanjut Carry lagi.Steven mengangguk, jujur saja dia baru mendengar hal ini. Padahal, perusahaan itu menjadi saingan perusahaan Steven saat ini."Sean, apa kau sudahmendengarnya?" tanya Steven un
Bugh!Felix memukul meja, sambil menatap nyalang pada pria yang berada di hadapannya. Namun, pria itu masih memasang wajah yang begitu santai sembari mengeluarkan asap rokok dari mulut."Kau bilang akan membantuku lagi, tapi apa?! Kau menjadikanku kambing hitam!" bentak Felix pada pria tadi.Pria itu tampak menoleh ke arah Felix, sudut bibirnya terangkat. Tatapan matanya tercetak kelicikan."Hm, semalam dia bersama seorang wanita, jadi aku harus kembali menyusun rencana yang baru," jelas pria itu dengan raut serius."Ck, bersama seorang wanita atau tidak, aku tidak peduli! Aku harus membalas dendam karena dia berani menjatuhkan perusahaanku dalam diam," bantah Felix.Bugh.Bunyi pukulan meja kembali terdengar, tapi kali ini pria tadi yang memukul meja dengan kuat. Dia menatap ke arah Felix dengan gurat amarah tercetak pada raut wajahnya."Kau hanya perlu mengikuti rencanaku dan jangan berani mengaturku!" sentak pria itu tak kalah dingin.Nyali Felix sedikit menciut, dia pun membuang m
Steven sungguh berhati-hati, dia berjalan dengan perlahan mendekati pintu apartemen. Lagi-lagi bel dibunyilkan dengan berulang kali. Steven, mengerutkan dahi.Jika teman-temannya, sudah pasti akan memekik nama Steven dari luar, namun ini tidak sama sekali. Ketika Steven, telah berada di hadapan pintu, dia coba melihat ke arah layar cctv pintu."Tidak ada orang?" ucap Steven. Namun, pada cctv pintu menangkap sebuah kotak dus kecil berada di hadapan pintu. Steven, ingin mengambil keluar, tapi Shania menahannya.Steven, sedikit menjengit kaget karena Shania. Entah, sejak kapan Shania berada di belakangnya."Kau hampir buat jantungku copot, Shania," ujar Steven sembari mengelus dada.Shania, memasang wajah datar, dia tahu Steven tidak sekaget untuk. Hanya saja, Steven sengaja agar Shania mau berbicara padanya. Shania, mengalihkan tatapannya ke arah layar cctv. "Aku curiga mereka menyimpan sesuatu di dalam, ada baiknya panggil Sean atau pengawal kau yang lain, untuk melihat isinya," ucap
Quira begitu kesal karena Stella berani melayangkan tamparan pada pipinya. Ingin sekali dia membalas, namun Oma menatap tajam ke arahnya, dia pun mengurungkan niatnya."Ayo, Stella. Oma mau beristirahat tanpa ada gangguan," ujar sang Oma.Stella kembali mendekati kursi roda Oma dan mendorongnya menuju ke dalam kamar istirahat. Sementara, Quira hanya mematung di tempat.Apakah sekarang, Oma begitu membenci Quira? Setelah, kehadiran Shania, Oma benar-benar tidak pernah berbaik hati dengan dirinya lagi. "Aku tidak bisa diam atau aku yang tergeser dari posisi warisan harta," geram Quira.Wanita itu hanya memikirkan harta warisan saja, sedikit pun tidak pernah terpikirkan oleh otak kecilnya tentang kehangatan sebuah keluarga."Mommy," tegur Immanuel.Quira yang masih menatap ke arah ruangan kamat istirahat, dibuat berjengit kaget. Dia menoleh dan melontarkan senyuman canggung."I-Immanuel? Kau buat apa di sini?" tanya Quira sedikit gugup karena takut apa yang dia katakan tadi terdengar ol
"Memangnya aku sakit apa?" tanya Shania setelah meminum obat yang diberikan oleh Mikael. Mikael menatap Shania dengan raut intens. Dia menghela napas panjang. "Kau tidak tahu?" Mikael kembali bertanya. Shania mengerutkan dahinya, sejak kapan dia sakit. Kemarin dan beberapa hari yang lalu, dia masih merasa sehat-sehat saja. "Sudahlah, kau hanya perlu makan dan minum obat secara rutin," imbuh Mikael lagi. Pria itu membantu Shania kembali ke kamar yang sempat dia tempati tadi. Dia terlihat begitu misterius sebenarnya, tetapi perlakuannya terkesan tulus. "Mikael, kenapa tidak kau memberitahuku saja? Aku sakit apa sebenarnya?" tanya Shania yang masih saja penasaran dan merasa sedikit bingung. Mikael diam, dia terus saja mengandeng tangan Shania hingga mereka tiba di dalam kamar. Setelah memastikan Shania bisa duduk dengan tenang. Barulah, Mikael menunjukkan raut wajah tersenyum tipis. "Kamu keguguran dan rahimmu bermasalah," jelas Mikael. "Keguguran?" ulang Shania tampak begitu kag
Cristo pulang ke rumah dengan terburu-buru, ketika dia sampai di rumah dia langsung mencari sang istri."Natalia?" Suara Cristo menggema ketika memanggil nama sang istri."Ada apa?" sahut Natalia yang datang dari ruang baca.Cristo menatap Natalia, dia segera mendekati sang istri. Lalu, perlahan menarik tangan sang istri dan membawanya masuk kembali ke ruangan membaca."Ada apa sebenarnya? Kenapa wajahmu terlihat khawatir?" tanya Natalia ketika telah duduk di sofa dalam ruang baca itu.Cristo diam, dia hanya mengeluarkan beberapa dokumen dan kotak kecil. Lalu, diserahkannya pada Natalia."Sayang, aku mempercayaimu untuk menyimpan kedua barang-barang ini. Jangan sampai ada orang merampasnya darimu," ungkap Cristo."Tapi ini apa?" tanya Natalia lagi."Ini adalah dokumen kepemilikan perusahaan dan kotak kecil ini adalah kunci brankas," jelas Cristo.Natalia memasang raut bingung, terus ada apa dengan dokumen dan kunci ini. Kenapa harus diserahkan padanya?"Aku belum mengerti, jika ini pe
Gadis ini aneh menurut Mikael, namun sudut bibirnya terangkat. Merasa Shania sedikit menarik, selama ini banyak gadis berusaha mendekatinya dan sanggup melemparkan diri kepadanya.Akan tetapi, berbeda dengan Shania yang menolak dirinya mentah-mentah tanpa ingin berkenalan terlebih dalam."Apa yang aku dapat jika aku bekerjasama dengan kau?" tanya Mikael.Shania tampak berpikir, sebuah ide terlintas dan langsung saja Shania katakan tanpa ada rasa ragu."Hubungan pertemanan, tapi tergantung sih bagaimana sikap kau terhadapku," jelas Jessi.Mikael tersenyum sungging, dia pun mengangguk mengerti. Sebenarnya, bukan berarti bersetuju, tetapi dia ingin melihat sampai mana Shania bisa menolak dirinya."Terus sekarang kau mau ke mana? Mau kabur?" tanya Mikael lagi dengan raut penasaran."Sangat tepat!" jawab Shania penuh bersemangat."Hm, bagaimana kalau kita kabur bersama saja?" Mikael menawarkan untuk melarikan diri bersama Shania.Shania terkejut, dia kembali berpikir. Sungguh, tidak mungki
"Shania, bangunlah. Kau harus pergi, dengarkan ibu. Jangan percaya mereka yang berada di sekitarmu kecuali ....""Ibu!" pekik Shania, dia terbangun dengan napas yang memburu. Keringat telah membasahi kulit wajah Shania. Dia belum sadar sepenuhnya, hingga masih terdengar helaan napas yang coba diatur perlahan. Air mata, Shania juga terlihat mengalir tanpa ada isak tangisan."Kau sudah bangun?" Suara seorang pria memberi Shania kesadaran penuh. Shania langsung mengambil posisi duduk, dia mencari asal suara tadi. Sehingga, netra mata Shania menangkap satu sosok yang sedang duduk bersilangkan kaki.Ingatan tentang 6 tahun sebelum sang ayah meninggalkan, kembali berputar pada benak Shania. Wajah yang dia lihat kembali membuka masa lalu yang seharusnya dia lupakan.***"Nia malam ini kita ada tamu, ayah harap kau tidak memasang wajah cemberut," ucap Cristo, sang ayah yang berpesan pada putri semata wayangnya."Kalau begitu, Nia tidak perlu turun dari kamar sekalian saja," jawab Shania."H
Shania terkejut ketika pria asing itu menggerakkan tangannya yang memengang pisau. Lengan Steven tergores oleh senjata tajam itu."Stev!" pekik Shania.Steven lantas menendang pria tadi dengan tendangan berputarnya, darahnya terlihat semakin banyak mengalir. Pria asing tadi, sempat tersungkur ke atas jalan raya itu. "Steven! Masuk mobil!" pekik Shania yang telah berada di luar mobil.Steven menoleh, raut wajahnya berubah mendadak, dia tahu pria di hadapannya ini cuma untuk memancing Steven dan Shania keluar. Apalagi, sedari tadi Steven menunggu musuh yang lain keluar, namun hingga saat ini belum ada satu pun yang terlihat dan hanya ada satu pria asing itu saja."Shania, masuk! Ini je--"Dor..dor..Bunyi tembkan membuat Steven berhenti memekik, dua kali tembakan dari arah belakang lalu mengenai Shania, mata Shania terlihat melebar dan akhirnya terjatuh di atas aspal jalan itu."Sha-- Shania!" pekik Steven.Steven coba berlari ke arah Shania yang telah tergeletak di atas jalan di sampi
Steven pulang ke rumah utama dengan raut lesu, dia sedikit merasa kesal dengan Bernard dan Gerald yang sedikitpun tidak menaruh curiga pada Carry.Namun, jika dipikirkan, itu juga bukan salah keduanya yang memilih tidak percaya. Hanya saja, Carry yang terlalu licik dalam menutupi sisi jahatnya.Semakin hari, dia semakin yakin ada yang disembunyikan oleh Carry dan Carry juga berkaitan dengan teror beberapa hari yang lalu."Stev," tegur Nikel.Steven menoleh, dia lantas mengukir senyuman tipis untuk diperlihatkan."Kau melamun, apa ada masalah?" tanya Nikel kemudian."Tidak, hanya saja masih terpikir tentang teror hari itu," jawab Steven dengan jujur."Tenang saja, Oma dan paman sudah mengerahkan orang-orang untuk mengawasi sekitar kalian," jelas Nikel sembari menepuk pundak Steven.Steven mengangguk, dia hanya tersenyum tipis. Berharap, suatu saat nanti akan ada hasil dari pencarian mereka. "Oh iya. Malam ini jamuan makan, keluarga besar Smith semuanya akan datang," beritahu Nikel."M
"Aku mencari Stella tadi, kebetulan Shania berada di sini jadi, apa salahnya aku bawa dia berbicara," jelas Immanuel sedikit jujur.Shania menatap Steven dengan raut tersenyum dan mengangguk kecil membenarkan ucapan Immanuel. Entah, kenapa Steven selalu saja mencurigai dirinya.Setelah itu, Immanuel pamit dan meninggalkan Shania sedang duduk bersama Steven di ruang tamu itu."Shania, apa tidak ada penjelasan yang jujur dari kau?" tanya Steven tiba-tiba.Ternyata, Steven masih tidak puas mendengar penjelasan Immanuel tadi. Apalagi, Steven merasa Shania semakin hari, semakin jauh darinya.Ada apa dengan Shania sebenarnya?"Steven ...," ucap Shania. "Kau benar-benar menyukaiku?" lanjut Shania lagi.Bukan menjawab pertanyaan, Shania malah bertanya tentang perasaan Steven terhadapnya. Dia tidak mau, Steven semakin larut ke dalam perasaan bertepuk sebelah tangan ini."Kau masih meragukanku, apa dengan menyentuh kau setiap hari itu tidak cukup?" jawab Steven tak kalah serius."Menyentuhku? B
Steven menatap Shania dengan tatapan yang sulit diartikan. Hal itu, membuat Shania bingung sendiri, apa yang dipikirkan oleh Steven sebenarnya.Tiba-tiba, terdengar bunyi pintu diketuk. Shania lantas melarikan pandangannya ke arah pintu kamar. Sedangkan, Steven pula hanya menundukkan pandangan, seperti tidak ingin sibuk.Shania berjalan ke arah pintu, untuk melihat siapa di luar sana. Ketika dia membuka pintu, dia mulai mengukirkan senyuman tipis."Stella," ucap Shania lembut."Kak, apa Stella mengganggu?" tanya Stella.Shania menggelengkan kepala dan mengizinkan Stella masuk ke kamar. Stella mengandengan lengan Shania dengan akrab, namun tidak dia bisa hindari memasang raut khawatir."Kak Stev," tegur Stella.Steven menoleh, dia tersenyum tipis namun tidak berbicara apa pun. Hanya saja, raut wajah Steven sedikit terlihat aneh."Kak, apa aku mengganggu waktu kalian?" tanya Stella lagi.Stella, berpikir jika dia datang di waktu yang tidak tepat. Apalagi, wajah Steven sepertinya sedang
"Apa yang kau bahas dengan paman?" tanya Steven kepada Shania, setelah mereka telah berada di dalam kamar."Cuma hal biasa," sahut Shania singkat.Shania malas melayani pertanyaan Steven, dia pun segera memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur."Shania, aku masih mau bicara," protes Steven yang menyusuli Shania hingga ke kamar mandi.Shania menghentikan langkah dan membalikkan tubuh. Dia menatap Steven dengan memicingkan mata."Bicara apa?" tanya Shania sembari menyandarkan punggung pada daun pintu."Kalian cerita tetang apa?" tanya Steven lagi.Steven masih tidak puas dengan jawaban Shania tadi. Dia harus mendengar tahu yang sebenarnya. Apalagi, saingan kecilnya adalah anak sulung sang paman."Kami hanya cerita tentang masalah yang kau hadapi, aku katakan pada paman bahwa aku mengkhawatirkan kau," jelas Shania sedikit berkelit.Steven tidak langsung menjawab, dia malah menatap Shania dengan begitu dalam. Coba mencari gurat kebohongan pada kilatan mata Shania."Huh,