Di luar rumah sakit Rajendra berhenti. Ia bersandar ke dinding. Sementara Gadis masih terisak di dalam dekapannya. Randu berdiri mematung, begitu pun dengan Lunetta."Papa ... kenapa Bunda nggak ingat Adis? Bunda jahat sama Adis ..."Rajendra memejamkan mata menahan sesak yang menekan dada. Ia mengusap kepala Gadis, mencoba menenangkan walau hatinya sendiri begitu kalut. "Bunda nggak jahat, Nak, Bunda cuma lagi sakit.""Dulu Bunda juga pernah sakit tapi nggak pernah lupa sama Adis. Bunda tetap sayang sama Adis. Tapi sekarang kenapa Bunda begitu?" Gadis terlihat begitu sedih dengan tangisannya yang tersedu-sedu. Membuat hati Rajendra begitu perih.Rajendra mengecup kepala Gadis dengan lembut lalu berucap dengan suara bergetar. "Karena sekarang sakit Bunda beda, Sayang. Sakit di kepala Bunda bikin ingatan Bunda jadi kacau. Tapi Papa yakin, hati Bunda nggak pernah lupa sayang sama Adis.""Tapi tadiiii ..." Gadis tersedu-sedu. "Bunda bilang Adis bukan anaknya ..."Randu yang sejak tadi me
Di kamar rumah sakit tempat Livia dirawat suasana begitu tenang. Livia tidur dengan lelap. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa dalam hidupnya. Rajendra duduk di kursi sambil menggenggam tangan Livia yang dingin. Tadi Rajendra sempat bertemu dengan perawat yang menjaga Livia. Katanya Livia menangis dan terus mencari Evan. Livia begitu ingin bertemu dengan pria itu. Perawat juga mengatakan bahwa besok dokter ingin bicara dengan Rajendra.Di dalam diamnya Rajendra merenung. Apa semua ini adalah karma atas perbuatannya dulu yang menyakiti Livia? Jika iya Rajendra rela menjalaninya. Anggap saja semua ini sebagai penebusan atas perbuatannya dulu.Tiba-tiba jemari Livia bergerak di dalam genggamannya. Dan beberapa detik setelah itu kelopak matanya terbuka dengan perlahan. Livia terkejut ketika tahu Rajendralah yang menggenggam tangannya. Dengan cepat Livia menarik tangannya."Kenapa kamu masih di sini? Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?" Livia begitu marah melihat keberadaan Rajendra. Ap
Rajendra melangkah menuju kamar Gadis. Ia ingin tahu apa anak gadisnya itu sudah tidur atau belum.Setibanya di kamar tersebut ia mendapati lampu sudah berganti dengan lampu tidur. Rajendra pikir Gadis sudah tidur. Maka ia melangkah mendekati tempat tidur anaknya. Di saat itulah ia mendengar isak kecil anak itu."Sayang, kenapa nangis, Nak?" tanya Rajendra yang duduk di pinggir ranjang."Adis kangen Bunda, Pa. Adis mau Bunda ada di rumah. Adis mau tidur sama Bunda. Adis mau peluk dan cium Bunda. Semuanya, Pa ..."Permintaan yang dilafalkan dengan isak dan air mata itu membuat Rajendra begitu sedih. Ia tidak tega melihat anaknya tersiksa seperti ini. Gadis masih kecil dan sangat dekat dengan Livia. Sejak anak itu lahir ia belum pernah berpisah dengan ibunya."Sabar ya, Sayang. Nanti kalau Bunda sudah sehat Bunda akan pulang ke rumah. Kita bisa sama-sama Bunda lagi.""Tapi kapan Bunda sehat, Pa? Berapa lama lagi?""Nggak lama kok. Besok Papa akan bicara sama dokter. Papa akan minta Bund
Pagi-pagi sekali Tasia sudah bangun. Ia menyiapkan sarapan untuk Rajendra dan anak-anak. Randu dan Lunetta makan dengan lahap, sedangkan Gadis hanya menatap piring tanpa minat. Matanya masih sembab akibat menangis semalam."Adis, kenapa cuma diliatin nasi gorengnya?" tanya Tasia lantaran Gadis hanya memandangi nasi goreng di piring."Adis pengen makan nasi goreng seafood buatan Bunda," jawab anak itu lirih.Tasia mengambil napas lalu tersenyum pada Gadis. "Oke, Tante akan buat nasi goreng kayak buatan Bunda tapi sekarang Adis makan dulu ya. Kalau nggak makan nanti Adis nggak ada energi."Gadis menggeleng. Ia hanya mau buatan Livia. Ketiadaan Livia juga membuatnya kehilangan selera makan."Adis kenapa?" tanya Rajendra yang baru muncul di ruang makan."Nggak apa-apa, Pak. Adis hanya ingat bundanya." Lalu Tasia cepat-cepat mengalihkan. "Pak, ini kopi untuk Bapak masih hangat. Silakan diminum, Pak.""Saya buru-buru mau ke rumah sakit," jawab Rajendra setelah menoleh sekilas ke arah cang
Saat ini Rajendra sedang berada di dalam ruangan dokter. Di hadapannya, dokter Jaka yang menangani Livia sedang memeriksa hasil pemindaian otak terbaru."Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Rajendra dengan sedikit tegang dan tidak sabar. Sudah sejak tadi ia menantikannya.Dokter Jaka melepas kacamatanya lalu menjelaskan. "Seperti yang kita bahas sebelumnya ibu Livia mengalami amnesia anterograde. Cedera otaknya memengaruhinya membentuk ingatan baru. Karena itu dia hanya bisa mengingat hal-hal tertentu sebelum kecelakaan termasuk perasaannya pada Evan."Rajendra mengepalkan tangan di atas pangkuan. Sakit mendengarnya."Apa istri saya bisa sembuh, Dok?" pintanya begitu penuh harap.Dokter Jaka mengangguk pelan. "Bisa. Tapi butuh waktu dan usaha. Untuk kasus seperti ini kunci utamanya adalah terapi rutin, stimulasi ingatan, dan lingkungan yang mendukung. Untuk terapi memorinya Ibu Livia harus dilatih dengan mengingat kejadian sehari-hari. Anda bisa membantunya dengan foto atau vid
Setelah melihat-lihat foto yang terpajang di dinding Rajendra mengajak Livia menuju kamar pribadi mereka.Begitu pintu terbuka aroma lavender yang berasal dari diffuser ruangan menyambut mereka.Kamar itu luas dan tertata rapi. Dindingnya dihiasi wallpaper bunga sakura yang memberi kesan lembut. Sebuah tempat tidur king size terdapat di tengah ruangan.Rajendra membuka lemari dan mengambil sesuatu dari sana kemudian memperlihatkan pada Livia."Liv, kalau kamu masih nggak percaya kita sudah menikah, lihat ini." Livia menerima buku nikah dari Rajendra. Ia membukanya dengan perlahan. Jari-jemarinya menyusuri halaman demi halaman. Hingga akhirnya berhenti pada lembar yang berisi foto mereka. Livia menatap lama foto dirinya yang berdampingan dengan foto Rajendra. Matanya beralih ke bagian lainnya. Stempel resmi serta tanda tangan mereka berdua. Semua terlihat nyata. Tapi kenapa ia merasa ini adalah seperti kehidupan orang lain?Rajendra memerhatikan ekspresi Livia dengan teliti. "Gimana?
Tasia mengulas senyum tipis sebelum melangkah pergi. Namun sebelum pintu tertutup sepenuhnya ia menambahkan. "Selamat istirahat, Bu, nggak usah terlalu dipikirkan."Livia menghela napas berat sebelum pintu benar-benar tertutup. Ia tidak tahu entah kenapa ucapan Tasia sangat mengusiknya. Tapi bayangan tentang Rajendra mencari teman tidur malah membuat pikirannya terganggu. Dan ia terus memikirkannya.Ia merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar. Di satu sisi ia tidak merasakan ada keterikatan dengan Rajendra. Namun di sisi lain ada ketidaknyamanan yang tumbuh setelah ia mendengar ucapan Tasia tadi.'Kenapa aku harus peduli?' Ia menggumam pelan.Jika Rajendra memang suaminya apa dia pria yang setia?*Livia terbangun dari tidurnya. Ia terkejut ketika mendapati Rajendra berada di dekatnya ketika ia membuka mata."Sudah bangun?" ucap laki-laki itu."Jam berapa sekarang?" Livia melihat sekelilingnya dan mendapati lampu yang menyala."Jam tujuh malam."Livia terdiam. Ternyata cu
Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i
Tasia mengulas senyum tipis sebelum melangkah pergi. Namun sebelum pintu tertutup sepenuhnya ia menambahkan. "Selamat istirahat, Bu, nggak usah terlalu dipikirkan."Livia menghela napas berat sebelum pintu benar-benar tertutup. Ia tidak tahu entah kenapa ucapan Tasia sangat mengusiknya. Tapi bayangan tentang Rajendra mencari teman tidur malah membuat pikirannya terganggu. Dan ia terus memikirkannya.Ia merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar. Di satu sisi ia tidak merasakan ada keterikatan dengan Rajendra. Namun di sisi lain ada ketidaknyamanan yang tumbuh setelah ia mendengar ucapan Tasia tadi.'Kenapa aku harus peduli?' Ia menggumam pelan.Jika Rajendra memang suaminya apa dia pria yang setia?*Livia terbangun dari tidurnya. Ia terkejut ketika mendapati Rajendra berada di dekatnya ketika ia membuka mata."Sudah bangun?" ucap laki-laki itu."Jam berapa sekarang?" Livia melihat sekelilingnya dan mendapati lampu yang menyala."Jam tujuh malam."Livia terdiam. Ternyata cu
Setelah melihat-lihat foto yang terpajang di dinding Rajendra mengajak Livia menuju kamar pribadi mereka.Begitu pintu terbuka aroma lavender yang berasal dari diffuser ruangan menyambut mereka.Kamar itu luas dan tertata rapi. Dindingnya dihiasi wallpaper bunga sakura yang memberi kesan lembut. Sebuah tempat tidur king size terdapat di tengah ruangan.Rajendra membuka lemari dan mengambil sesuatu dari sana kemudian memperlihatkan pada Livia."Liv, kalau kamu masih nggak percaya kita sudah menikah, lihat ini." Livia menerima buku nikah dari Rajendra. Ia membukanya dengan perlahan. Jari-jemarinya menyusuri halaman demi halaman. Hingga akhirnya berhenti pada lembar yang berisi foto mereka. Livia menatap lama foto dirinya yang berdampingan dengan foto Rajendra. Matanya beralih ke bagian lainnya. Stempel resmi serta tanda tangan mereka berdua. Semua terlihat nyata. Tapi kenapa ia merasa ini adalah seperti kehidupan orang lain?Rajendra memerhatikan ekspresi Livia dengan teliti. "Gimana?
Saat ini Rajendra sedang berada di dalam ruangan dokter. Di hadapannya, dokter Jaka yang menangani Livia sedang memeriksa hasil pemindaian otak terbaru."Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Rajendra dengan sedikit tegang dan tidak sabar. Sudah sejak tadi ia menantikannya.Dokter Jaka melepas kacamatanya lalu menjelaskan. "Seperti yang kita bahas sebelumnya ibu Livia mengalami amnesia anterograde. Cedera otaknya memengaruhinya membentuk ingatan baru. Karena itu dia hanya bisa mengingat hal-hal tertentu sebelum kecelakaan termasuk perasaannya pada Evan."Rajendra mengepalkan tangan di atas pangkuan. Sakit mendengarnya."Apa istri saya bisa sembuh, Dok?" pintanya begitu penuh harap.Dokter Jaka mengangguk pelan. "Bisa. Tapi butuh waktu dan usaha. Untuk kasus seperti ini kunci utamanya adalah terapi rutin, stimulasi ingatan, dan lingkungan yang mendukung. Untuk terapi memorinya Ibu Livia harus dilatih dengan mengingat kejadian sehari-hari. Anda bisa membantunya dengan foto atau vid
Pagi-pagi sekali Tasia sudah bangun. Ia menyiapkan sarapan untuk Rajendra dan anak-anak. Randu dan Lunetta makan dengan lahap, sedangkan Gadis hanya menatap piring tanpa minat. Matanya masih sembab akibat menangis semalam."Adis, kenapa cuma diliatin nasi gorengnya?" tanya Tasia lantaran Gadis hanya memandangi nasi goreng di piring."Adis pengen makan nasi goreng seafood buatan Bunda," jawab anak itu lirih.Tasia mengambil napas lalu tersenyum pada Gadis. "Oke, Tante akan buat nasi goreng kayak buatan Bunda tapi sekarang Adis makan dulu ya. Kalau nggak makan nanti Adis nggak ada energi."Gadis menggeleng. Ia hanya mau buatan Livia. Ketiadaan Livia juga membuatnya kehilangan selera makan."Adis kenapa?" tanya Rajendra yang baru muncul di ruang makan."Nggak apa-apa, Pak. Adis hanya ingat bundanya." Lalu Tasia cepat-cepat mengalihkan. "Pak, ini kopi untuk Bapak masih hangat. Silakan diminum, Pak.""Saya buru-buru mau ke rumah sakit," jawab Rajendra setelah menoleh sekilas ke arah cang
Rajendra melangkah menuju kamar Gadis. Ia ingin tahu apa anak gadisnya itu sudah tidur atau belum.Setibanya di kamar tersebut ia mendapati lampu sudah berganti dengan lampu tidur. Rajendra pikir Gadis sudah tidur. Maka ia melangkah mendekati tempat tidur anaknya. Di saat itulah ia mendengar isak kecil anak itu."Sayang, kenapa nangis, Nak?" tanya Rajendra yang duduk di pinggir ranjang."Adis kangen Bunda, Pa. Adis mau Bunda ada di rumah. Adis mau tidur sama Bunda. Adis mau peluk dan cium Bunda. Semuanya, Pa ..."Permintaan yang dilafalkan dengan isak dan air mata itu membuat Rajendra begitu sedih. Ia tidak tega melihat anaknya tersiksa seperti ini. Gadis masih kecil dan sangat dekat dengan Livia. Sejak anak itu lahir ia belum pernah berpisah dengan ibunya."Sabar ya, Sayang. Nanti kalau Bunda sudah sehat Bunda akan pulang ke rumah. Kita bisa sama-sama Bunda lagi.""Tapi kapan Bunda sehat, Pa? Berapa lama lagi?""Nggak lama kok. Besok Papa akan bicara sama dokter. Papa akan minta Bund
Di kamar rumah sakit tempat Livia dirawat suasana begitu tenang. Livia tidur dengan lelap. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa dalam hidupnya. Rajendra duduk di kursi sambil menggenggam tangan Livia yang dingin. Tadi Rajendra sempat bertemu dengan perawat yang menjaga Livia. Katanya Livia menangis dan terus mencari Evan. Livia begitu ingin bertemu dengan pria itu. Perawat juga mengatakan bahwa besok dokter ingin bicara dengan Rajendra.Di dalam diamnya Rajendra merenung. Apa semua ini adalah karma atas perbuatannya dulu yang menyakiti Livia? Jika iya Rajendra rela menjalaninya. Anggap saja semua ini sebagai penebusan atas perbuatannya dulu.Tiba-tiba jemari Livia bergerak di dalam genggamannya. Dan beberapa detik setelah itu kelopak matanya terbuka dengan perlahan. Livia terkejut ketika tahu Rajendralah yang menggenggam tangannya. Dengan cepat Livia menarik tangannya."Kenapa kamu masih di sini? Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?" Livia begitu marah melihat keberadaan Rajendra. Ap
Di luar rumah sakit Rajendra berhenti. Ia bersandar ke dinding. Sementara Gadis masih terisak di dalam dekapannya. Randu berdiri mematung, begitu pun dengan Lunetta."Papa ... kenapa Bunda nggak ingat Adis? Bunda jahat sama Adis ..."Rajendra memejamkan mata menahan sesak yang menekan dada. Ia mengusap kepala Gadis, mencoba menenangkan walau hatinya sendiri begitu kalut. "Bunda nggak jahat, Nak, Bunda cuma lagi sakit.""Dulu Bunda juga pernah sakit tapi nggak pernah lupa sama Adis. Bunda tetap sayang sama Adis. Tapi sekarang kenapa Bunda begitu?" Gadis terlihat begitu sedih dengan tangisannya yang tersedu-sedu. Membuat hati Rajendra begitu perih.Rajendra mengecup kepala Gadis dengan lembut lalu berucap dengan suara bergetar. "Karena sekarang sakit Bunda beda, Sayang. Sakit di kepala Bunda bikin ingatan Bunda jadi kacau. Tapi Papa yakin, hati Bunda nggak pernah lupa sayang sama Adis.""Tapi tadiiii ..." Gadis tersedu-sedu. "Bunda bilang Adis bukan anaknya ..."Randu yang sejak tadi me
Di dalam ruangan rumah sakit yang serba putih suara detak mesin monitor terdengar pelan. Livia berbaring di atas ranjang dengan wajah pucat dan tatapan kosong. Selang infus masih terpasang ke tangannya. Sedangkan oximeter menjepit jari telunjuknya.Pintu kamar terbuka dengan perlahan. Rajendra muncul menggandeng Gadis, disusul oleh Randu dan Lunetta.Gadis memekik pelan. "Bundaaa!!!" Ia melepaskan gandengan tangan dari Rajendra lalu berlari menuju bed tempat Livia berbaring.Livia menoleh. Matanya bertemu dengan sepasang mata bulat yang basah. Gadis langsung memeluk pinggang Livia erat-erat. Tubuhnya bergetar oleh tangis yang kembali menjadi."Bundaaa, Adis sayang Bunda. Bunda nggak boleh lupa sama Adis."Livia tidak membalas pelukan tersebut. Tangannya tetap diam di sisi tubuh. Ada rasa asing di sorot matanya.Kemudian Livia bertanya yang seketika menghancurkan hati Gadis. "Maaf, kamu siapa?"Gadis tersentak. Ia melepaskan pelukan dari pinggang Livia lalu menatapnya. "Bunda, ini Adi
Cuaca saat itu lebih terik dari biasanya. Para siswa berhamburan keluar dari sekolah. Sebagian dijemput orang tua mereka, sebagian lagi menuju mobil jemputan.Sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang sekolah. Geri turun dari dalamnya. Tasia yang juga ikut serta juga turun. Mereka disuruh Rajendra untuk menjemput anak-anak."Tante Tasia kok ikut jemput juga?" tanya Gadis keheranan. Biasanya kalau bukan Rajendra yang menjemput, pasti Geri atau Livia. "Bunda mana, Tante?"Geri dan Tasia saling pandang. "Naik dulu ya, nanti kita ngobrol di mobil." Tasia yang menjawab.Ketiga anak itu masuk ke mobil. Gadis duduk di tengah, diapit oleh Randu dan Lunetta di kanan dan kirinya."Bunda mana, Tante? Kenapa bukan Bunda yang jemput Adis?" Gadis mengulangi lagi pertanyaannya yang belum terjawab begitu mobil mulai melaju membelah jalan raya. Gadis sudah tidak sabar untuk menceritakan hal-hal yang ia alami di sekolah, sama seperti hari-hari sebelumnya.Tasia menoleh ke belakang, menatap mata Gadi