Keesokan harinya di kantor Livia memberikan cincin yang dibelikan pada Javier."Jav, ini," kata Livia seraya menggeser kotak cincin yang berada di atas meja ke arah lelaki itu.Javier melirik kotak cincin itu dengan ekspresi datar. Pria itu tampak tidak tertarik."Kamu beli sendiri?" Ia bertanya pada Livia."Iya."Javier terkekeh. Ia mengambil kotak itu, membukanya, mengambil isi di dalamnya lalu memutar-mutar cincin tersebut seakan sedang menilai."Bagus," ucapnya sebelum menutup kotak tersebut dengan bunyi klik yang terdengar keras atau mungkin dikeraskan. "Tapi aku nggak akan menerimanya.""Kenapa?""Aku nggak mau cincin ini, Liv. Aku mau kamu," ucap Javier lugas."Kita sudah bahas hal ini sebelumnya, Jav.""Kalau ini tentang Gadis yang takut sama aku, dia bisa tinggal sama Rajendra. Sesekali kita mengunjungi mereka."Livia mengerjap. Tidak percaya pada apa yang baru saja dikatakan Javier. "Jav, kamu sadar nggak barusan ngomong apa?""Aku tahu kamu nggak akan suka mendengarnya, Liv
Livia mengalihkan pandangannya. Tidak ingin terlalu lama dalam tatapan Rajendra yang penuh arti. "Aku ambilin obat dulu," ucapnya.Livia kemudian turun ke bawah dan bertanya pada ART. Sementara Gadis tetap di sisi Rajendra."Papa minum obat ya," rengek Gadis."Iya, Dis, Papa nurut kok."Livia kembali dengan segelas air dan sebutir obat. "Minum ini dulu, Ndra."Rajendra duduk, menyandarkan tubuhnya ke headboard, lalu meminum obat tersebut. Setelahnya ia kembali berbaring."Livia ...," panggilnya."Hm."Rajendra menatapnya dalam. "Aku senang kamu ada di sini."Livia tidak seketika menjawab. Ia duduk di kursi dekat tempat tidur. Menunduk dan terpaku. "Seharusnya aku nggak di sini," gumamnya pelan."Tapi kamu tetap datang."Livia terdiam. Tidak dapat menyangkal. "Itu karena Bunda sayang sama Papa," cetus Gadis tiba-tiba.Livia dan Rajendra serentak menoleh ke arah Gadis yang tersenyum lebar."Adis!" tegur Livia berusaha membantah. Tapi tangan anak itu sudah bergerak memeluk tangan Rajend
Malam itu Livia tidak bisa tidur. Pikirannya mengembara pada satu hal. Pada percakapan singkatnya dengan Rajendra tadi. Tentang keinginan lelaki itu untuk kembali.Livia tidak akan memungkiri kalau perasaannya pada Rajendra masih ada. Hanya saja ia takut untuk mencoba. Ia takut terluka lagi. Sudah begitu banyak luka yang Rajendra tancapkan dan tidak bisa Livia lupakan. Livia tidak ingin ada luka-luka baru sementara luka yang lama masih terbuka.***Paginya Livia bangun lebih awal dari biasa meskipun semalam ia kesulitan tidur.'Aku akan tunggu. Tapi jangan terlalu lama, Liv.'Ucapan Rajendra tersebut terus membayangi Livia. Saat ia tiba di rumah Rajendra untuk menjemput Gadis, orang-orang di rumah tersebut sedang sarapan pagi. Suasana begitu hangat oleh adanya tiga orang anak kecil, Gadis, Randu dan Lunetta. Lola yang banyak bicara dengan mereka. Sedangkan Erwin tidak banyak bicara. Ia masih belum bisa menerima keberadaan Randu dan Lunetta di rumahnya."Itu Bunda datang!" seru Gadis
Tiga minggu berlalu. Tanpa terasa tinggal satu minggu lagi Livia bekerja di perusahaan Javier. Livia sudah melamar ke mana-mana. Namun belum ada panggilan yang datang. Dan itu membuatnya sedikit khawatir.Bagaimana ia menjalani hari-hari ke depannya? Ia memang punya sedikit persediaan uang. Tapi itu untuk masa depan Gadis. Kekhawatiran Livia semakin besar setiap harinya. Meski ia berusaha tetap tenang di depan Gadis tapi hatinya dipenuhi oleh berbagai kecemasan. Setiap kali ponselnya berbunyi, ia berharap itu panggilan kerja. Namun ternyata bukan.Sementara itu Javier bersikap seolah-olah semua berjalan seperti biasa. Seakan Livia masih akan bekerja di sana. Sikapnya yang santai membuat Livia heran.Di sisi lain Rajendra semakin gencar mendekatinya meskipun Livia sudah menjaga jarak. Tapi ada gadis di tengah-tengah mereka."Kalau butuh bantuan bilang saja," kata Rajendra suatu sore saat mengantar Gadis pulang.Livia hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Di hari-hari terakhir Livia b
Malam itu Livia berdiri di depan kelab malam dengan perasaan campur aduk. Lampu-lampu neon berkedip-kedip. Suara musik berdentum-dentum dari arah dalam. Dan suasana penuh dengan orang-orang yang larut dalam kesenangan.Javier berdiri di sebelahnya dengan kemeja abu-abu yang digulung. Aroma parfumnya yang khas terasa begitu menguar."Sudah siap Nona Livia?" Ia bertanya dengan nada menggoda.Livia menjawab, "Ayo cepat, biar selesai."Javier tertawa kecil lalu menggandeng tangan Livia masuk.Di dalam, suasana jauh lebih berisik dan penuh sesak. Cahaya remang-remang berpadu dengan suara musik yang menghentak. Javier langsung membawa ke area VIP, tempat yang lebih tenang tapi tetap memiliki akses ke lantai dansa.Seorang pelayan datang membawa minuman. Tapi Livia segera mengangkat tangan. "Maaf, saya nggak minum alkohol."Javier hanya tersenyum dan menuangkan minuman ke dalam gelasnya dan Livia. Tenang, Liv. Aku bukan pria jahat yang akan menjebak kamu untuk ditiduri," ucapnya seolah meng
Malam itu Livia menangis sejadinya. Ia menumpahkan air matanya sampai tiada yang tersisa. Livia kecewa pada Javier yang telah mempermainkannya. Tapi Livia tidak pernah menyesal datang ke sana. Jika tidak, sampai detik ini ia tidak akan tahu bagaimana aslinya seorang Javier.Keesokan paginya Livia terbangun dengan mata bengkak. Saat ia melihat ponselnya ada panggilan tidak terjawab dari Javier. Ada juga pesan-pesan yang berisi kata maaf. Javier mengatakan bahwa itu hanya candaan semata. Tapi bagi Livia, terlepas dari itu candaan atau bukan, hatinya telah terluka.Javier juga sering datang ke rumah Livia tapi Livia tidak pernah menerimanya. Bukan hanya sekali dua kali tapi berulang kali. Sampai akhirnya Javier lelah dan tidak pernah lagi menghubungi Livia.Livia juga pindah dari rumah itu agar Javier kehilangan jejak."Kenapa kita pindah rumah, Nda?" Gadis menanyakannya.Livia menatap Gadis yang sedang duduk di atas kardus sambil memeluk boneka kesayangannya. Matanya menyiratkan kebingu
Rajendra menarik napas. Menatap Livia dengan sorot penuh sesal. "Aku nggak mau kamu pura-pura lupa, Liv. Aku hanya mau kita memulai semuanya dari awal."Mendengarnya, Livia tersenyum pahit. "Harus mulai dari mana, Ndra? Dari aku yang nggak pernah ngeliat kamu sama Utary atau aku yang harus melupakan semua luka yang kamu kasih?"Rajendra tidak mampu bicara lagi. Ia tahu Livia masih menyimpan rasa sakitnya. Tapi apa semua itu tidak bisa diperbaiki? Apa memang sesulit ini memperbaiki hubungan mereka?Suara mobil boks yang datang menginterupsi mereka. Kru mobil mulai memasukkan barang-barang sesuai instruksi Livia.Setibanya di rumah baru Gadis langsung melompat turun dengan penuh semangat."Bunda, rumahnya bagus banget!" serunya sambil berlari ke arah pintu.Livia tersenyum melihat reaksi putrinya. Rumah itu tidak besar tapi cukup nyaman untuk mereka berdua. Yang terpenting jauh dari masa lalu yang ingin ditinggalkannya.Rajendra yang berdiri di belakang keduanya menatap rumah tersebut
Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i
Rajendra menarik napas. Menatap Livia dengan sorot penuh sesal. "Aku nggak mau kamu pura-pura lupa, Liv. Aku hanya mau kita memulai semuanya dari awal."Mendengarnya, Livia tersenyum pahit. "Harus mulai dari mana, Ndra? Dari aku yang nggak pernah ngeliat kamu sama Utary atau aku yang harus melupakan semua luka yang kamu kasih?"Rajendra tidak mampu bicara lagi. Ia tahu Livia masih menyimpan rasa sakitnya. Tapi apa semua itu tidak bisa diperbaiki? Apa memang sesulit ini memperbaiki hubungan mereka?Suara mobil boks yang datang menginterupsi mereka. Kru mobil mulai memasukkan barang-barang sesuai instruksi Livia.Setibanya di rumah baru Gadis langsung melompat turun dengan penuh semangat."Bunda, rumahnya bagus banget!" serunya sambil berlari ke arah pintu.Livia tersenyum melihat reaksi putrinya. Rumah itu tidak besar tapi cukup nyaman untuk mereka berdua. Yang terpenting jauh dari masa lalu yang ingin ditinggalkannya.Rajendra yang berdiri di belakang keduanya menatap rumah tersebut
Malam itu Livia menangis sejadinya. Ia menumpahkan air matanya sampai tiada yang tersisa. Livia kecewa pada Javier yang telah mempermainkannya. Tapi Livia tidak pernah menyesal datang ke sana. Jika tidak, sampai detik ini ia tidak akan tahu bagaimana aslinya seorang Javier.Keesokan paginya Livia terbangun dengan mata bengkak. Saat ia melihat ponselnya ada panggilan tidak terjawab dari Javier. Ada juga pesan-pesan yang berisi kata maaf. Javier mengatakan bahwa itu hanya candaan semata. Tapi bagi Livia, terlepas dari itu candaan atau bukan, hatinya telah terluka.Javier juga sering datang ke rumah Livia tapi Livia tidak pernah menerimanya. Bukan hanya sekali dua kali tapi berulang kali. Sampai akhirnya Javier lelah dan tidak pernah lagi menghubungi Livia.Livia juga pindah dari rumah itu agar Javier kehilangan jejak."Kenapa kita pindah rumah, Nda?" Gadis menanyakannya.Livia menatap Gadis yang sedang duduk di atas kardus sambil memeluk boneka kesayangannya. Matanya menyiratkan kebingu
Malam itu Livia berdiri di depan kelab malam dengan perasaan campur aduk. Lampu-lampu neon berkedip-kedip. Suara musik berdentum-dentum dari arah dalam. Dan suasana penuh dengan orang-orang yang larut dalam kesenangan.Javier berdiri di sebelahnya dengan kemeja abu-abu yang digulung. Aroma parfumnya yang khas terasa begitu menguar."Sudah siap Nona Livia?" Ia bertanya dengan nada menggoda.Livia menjawab, "Ayo cepat, biar selesai."Javier tertawa kecil lalu menggandeng tangan Livia masuk.Di dalam, suasana jauh lebih berisik dan penuh sesak. Cahaya remang-remang berpadu dengan suara musik yang menghentak. Javier langsung membawa ke area VIP, tempat yang lebih tenang tapi tetap memiliki akses ke lantai dansa.Seorang pelayan datang membawa minuman. Tapi Livia segera mengangkat tangan. "Maaf, saya nggak minum alkohol."Javier hanya tersenyum dan menuangkan minuman ke dalam gelasnya dan Livia. Tenang, Liv. Aku bukan pria jahat yang akan menjebak kamu untuk ditiduri," ucapnya seolah meng
Tiga minggu berlalu. Tanpa terasa tinggal satu minggu lagi Livia bekerja di perusahaan Javier. Livia sudah melamar ke mana-mana. Namun belum ada panggilan yang datang. Dan itu membuatnya sedikit khawatir.Bagaimana ia menjalani hari-hari ke depannya? Ia memang punya sedikit persediaan uang. Tapi itu untuk masa depan Gadis. Kekhawatiran Livia semakin besar setiap harinya. Meski ia berusaha tetap tenang di depan Gadis tapi hatinya dipenuhi oleh berbagai kecemasan. Setiap kali ponselnya berbunyi, ia berharap itu panggilan kerja. Namun ternyata bukan.Sementara itu Javier bersikap seolah-olah semua berjalan seperti biasa. Seakan Livia masih akan bekerja di sana. Sikapnya yang santai membuat Livia heran.Di sisi lain Rajendra semakin gencar mendekatinya meskipun Livia sudah menjaga jarak. Tapi ada gadis di tengah-tengah mereka."Kalau butuh bantuan bilang saja," kata Rajendra suatu sore saat mengantar Gadis pulang.Livia hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Di hari-hari terakhir Livia b
Malam itu Livia tidak bisa tidur. Pikirannya mengembara pada satu hal. Pada percakapan singkatnya dengan Rajendra tadi. Tentang keinginan lelaki itu untuk kembali.Livia tidak akan memungkiri kalau perasaannya pada Rajendra masih ada. Hanya saja ia takut untuk mencoba. Ia takut terluka lagi. Sudah begitu banyak luka yang Rajendra tancapkan dan tidak bisa Livia lupakan. Livia tidak ingin ada luka-luka baru sementara luka yang lama masih terbuka.***Paginya Livia bangun lebih awal dari biasa meskipun semalam ia kesulitan tidur.'Aku akan tunggu. Tapi jangan terlalu lama, Liv.'Ucapan Rajendra tersebut terus membayangi Livia. Saat ia tiba di rumah Rajendra untuk menjemput Gadis, orang-orang di rumah tersebut sedang sarapan pagi. Suasana begitu hangat oleh adanya tiga orang anak kecil, Gadis, Randu dan Lunetta. Lola yang banyak bicara dengan mereka. Sedangkan Erwin tidak banyak bicara. Ia masih belum bisa menerima keberadaan Randu dan Lunetta di rumahnya."Itu Bunda datang!" seru Gadis
Livia mengalihkan pandangannya. Tidak ingin terlalu lama dalam tatapan Rajendra yang penuh arti. "Aku ambilin obat dulu," ucapnya.Livia kemudian turun ke bawah dan bertanya pada ART. Sementara Gadis tetap di sisi Rajendra."Papa minum obat ya," rengek Gadis."Iya, Dis, Papa nurut kok."Livia kembali dengan segelas air dan sebutir obat. "Minum ini dulu, Ndra."Rajendra duduk, menyandarkan tubuhnya ke headboard, lalu meminum obat tersebut. Setelahnya ia kembali berbaring."Livia ...," panggilnya."Hm."Rajendra menatapnya dalam. "Aku senang kamu ada di sini."Livia tidak seketika menjawab. Ia duduk di kursi dekat tempat tidur. Menunduk dan terpaku. "Seharusnya aku nggak di sini," gumamnya pelan."Tapi kamu tetap datang."Livia terdiam. Tidak dapat menyangkal. "Itu karena Bunda sayang sama Papa," cetus Gadis tiba-tiba.Livia dan Rajendra serentak menoleh ke arah Gadis yang tersenyum lebar."Adis!" tegur Livia berusaha membantah. Tapi tangan anak itu sudah bergerak memeluk tangan Rajend
Keesokan harinya di kantor Livia memberikan cincin yang dibelikan pada Javier."Jav, ini," kata Livia seraya menggeser kotak cincin yang berada di atas meja ke arah lelaki itu.Javier melirik kotak cincin itu dengan ekspresi datar. Pria itu tampak tidak tertarik."Kamu beli sendiri?" Ia bertanya pada Livia."Iya."Javier terkekeh. Ia mengambil kotak itu, membukanya, mengambil isi di dalamnya lalu memutar-mutar cincin tersebut seakan sedang menilai."Bagus," ucapnya sebelum menutup kotak tersebut dengan bunyi klik yang terdengar keras atau mungkin dikeraskan. "Tapi aku nggak akan menerimanya.""Kenapa?""Aku nggak mau cincin ini, Liv. Aku mau kamu," ucap Javier lugas."Kita sudah bahas hal ini sebelumnya, Jav.""Kalau ini tentang Gadis yang takut sama aku, dia bisa tinggal sama Rajendra. Sesekali kita mengunjungi mereka."Livia mengerjap. Tidak percaya pada apa yang baru saja dikatakan Javier. "Jav, kamu sadar nggak barusan ngomong apa?""Aku tahu kamu nggak akan suka mendengarnya, Liv
Rentetan emosi Javier membuat Livia terdiam. Rasa sesak menyerbu dadanya. Ia tidak menyangka Javier akan mengungkit lagi masa lalunya.Javier melangkah mendekat, menatap tajam ke arah Livia. "Aku nggak minta kamu untuk balas budi, Liv. Aku hanya minta kamu untuk tetap bersamaku. Apa itu terlalu sulit?"Livia membalas tatapan Javier, berusaha mempertahankan ketegaran. "Aku menghargai semua yang kamu lakukan buat aku, Jav. Tapi hubungan bukan soal balas budi. Kalau aku tetap bersamamu karena berutang itu namanya beban, bukan cinta."Javier terkekeh penuh kepahitan. "Jadi sekarang aku cuma beban buat kamu?""Bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin memastikan Gadis merasa aman. Aku nggak bisa mengabaikan perasaannya apalagi kalau dia sampai membuang cincin itu. Itu artinya dia menolak kehadiran kamu dalam hidup kami, Jav."Javier mengusap wajahnya. Pria itu terlihat begitu frustrasi. "Jadi aku harus bagaimana, Liv? Aku harus kehilangan kamu dan kalah begitu saja?" "Nggak ada yang menang d
"Gadis kayak benci banget sama aku sekarang. Siapa yang memengaruhi dia?" Itu hal pertama yang Javier katakan ketika Livia kembali lalu duduk di sofa ruang tamu.Livia menarik napasnya sebelum menjawab, "Nggak ada yang memengaruhi dia, Jav. Tapi dia nggak nyaman sama kamu.""Dia nggak nyaman sama aku pasti ada penyebabnya kan? Bahkan nerima biskuit dari aku dia juga udah nggak mau. Padahal ini kesukaan dia banget." Javier yang emosi membanting tiga bungkus biskuit itu ke meja sehingga sebagian isinya remuk.Livia sampai terkejut melihat ulahnya. Mana Javier yang dulu lembut dan tidak pernah marah-marah padanya? Mana Javier yang dulu sangat menghargainya?"Rajendra sama sekali nggak memengaruhi Gadis kalau itu yang ada di pikiran kamu," kata Livia seolah bisa membaca isi kepala lelaki itu. "Jadi siapa lagi kalau bukan dia?" balas Javier emosi."Coba kamu introspeksi dirimu, Jav. Kenapa tiba-tiba Gadis menjadi nggak nyaman sama kamu.""Aku nggak ngapa-ngapain," elak Javier sembari mer