"Ibu Livia, tadi aku dengar Tante jahat itu teleponan tapi bisik-bisik," lapor Hazel ketika Livia sedang menyiapkan menu makan siang."Tante Utary, Sayang, bukan Tante jahat," koreksi Livia sambil tersenyum."Iya Tante itu maksudnya, Bu. Kenapa sih dia teleponan bisik-bisik? Emang bakalan dengar ya, Bu?"Untuk sesaat Livia membisu, berusaha menenangkan pikirannya yang mendadak dipenuhi tanda tanya. Hazel memang anak kecil, tapi terkadang perkataannya tidak bisa diabaikan begitu saja.Livia berusaha menjelaskan dengan santai meski ia merasakan dadanya berdebar. "Kadang orang berbisik-bisik biar nggak ada yang mendengar omongan mereka, Sayang.""Berarti rahasia?" tanya Hazel penasaran."Betul sekali, Hazel. Kadang orang dewasa juga punya alasan sendiri kenapa harus merahasiakan sesuatu," ujar Livia sambil membelai rambut Hazel. "Udah yuk, bantu Ibu mengantar makan siang untuk Tante Utary ke kamarnya.""Kenapa Ibu yang mengantar? Tante itu kan punya tangan dan kaki yang lengkap, dia bisa
Hari-hari terus berlalu. Dan tidak ada yang berubah dari hubungan Livia dan Rajendra. Utary masih terus tinggal bersama mereka. Bahkan sekarang usia kandungannya sudah berada di bulan ke sembilan. "Liiiv! Mana juice-nya? Kok lama banget sih?" teriak Utary yang sedang nonton TV di ruang keluarga. Ditemani oleh Rajendra yang duduk di sebelahnya.Di ruang belakang, Livia menghela napas. Tangannya menuang juice ke gelas tapi pikirannya tidak berada di tempat itu. Sudah sembilan bulan lamanya ia hidup dengan penuh ketegangan. Utary semakin manja dan selalu memerintahnya tanpa henti.Livia melangkah membawa juice yang diinginkan Utary ke ruang keluarga. Ia mendapati Utary sedang tertawa-tawa sambil menonton acara komedi. Di sebelahnya Rajendra tidak berkata apa-apa namun tatapan tajamnya tertuju pada Livia yang baru saja tiba."Ini juice-nya," kata Livia sembari meletakkan gelas di atas meja tepat di hadapan Utary."Lama banget bikinnya," gerutu Utary sambil meraih gelas itu dan menyesapn
Hari ini Rajendra ulang tahun tapi Livia belum menyampaikan selamat dalam bentuk apa pun padanya. Tahun lalu saat ia mengucapkannya Rajendra hanya mengacuhkannya. Begitu juga ketika Livia menyiapkan hidangan yang banyak dan lezat untuk merayakannya. Rajendra tidak sedikit pun menyentuh hidangannya. Malam itu Livia menangis sedih sambil meringkuk di Sofanya yang dingin.Hari ini Livia tidak menyiapkan apa-apa. Ia tahu apa pun bentuk usahanya tetap tidak akan dihargai. Tidak kue, tidak juga ucapan selamat apalagi hadiah."Ndra, hari ini saya mau pergi belanja bulanan. Stock semakin menipis jadi saya terpaksa meninggalkan Utary sebentar," kata Livia pagi itu sebelum suaminya berangkat kerja."Jadi susu, makanan dan vitamin aku gimana dong?" protes Utary yang juga ada di sana."Kamu tenang aja, saya akan siapkan semuanya sebelum pergi," ujar Livia."Perginya jangan lama-lama. Kandungan Utary tinggal menunggu hari," ucap Rajendra yang khawatir dan tidak tega kalau Utary harus tinggal sendi
Livia mengatur napasnya yang terengah-engah setelah kelelahan mencari Utary. Ia mulai cemas. Bagaimana kalau Rajendra marah? Seandainya tadi ia tidak ke dokter kandungan dulu sudah dipastikan ia tidak akan kehilangan Utary.Livia mencengkram ujung bajunya. Wajahnya pucat. Tangannya gemetar. Pikirannya kacau dan hatinya dipenuhi perasaan bersalah. Ia tahu persis bagaimana reaksi Rajendra terutama jika sudah berkaitan dengan Utary.Setelah mengumpulkan segenap keberaniannya Livia mengambil ponsel lalu menguatkan hati untuk menelepon Rajendra.Tangan kanan livia gemetar ketika menekan nomor Rajendra di layar ponselnya. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lama. Jantungnya berdetak begitu kencang seolah akan lepas dari rongganya.Ketika nada sambung terdengar Livia nyaris saja membatalkan panggilan. Sayangnya ia terlambat."Apa lagi?" Terdengar suara Rajendra di seberang sana. Nadanya begitu dingin yang membuat Livia meremang.Livia meneguk ludah sambil mencoba menenangkan diri. "Ndra,
Setelah mengeringkan air matanya Livia baru sadar saat ini sudah senja. Ternyata sudah berjam-jam lamanya ia tertidur. Ia juga baru menyadari belum memasak apa pun untuk makan malam.Dengan tubuh yang masih terasa lemas Livia bangun dari sofa. Tatapannya tertuju ke arah jendela, menyaksikan langit senja yang merona jingga.Perasaan gusarnya telah mereda setelah tidur panjang. Namun kini muncul kekhawatiran lain. Ia belum menyiapkan apa-apa untuk makan malam. Sementara sebentar lagi Rajendra bisa saja pulang.Ia melangkah menuju dapur. Tangannya menyentuh meja dapur. Ketika ia hendak menyiapkan bahan-bahan Livia teringat Utary. Ia ingin tahu apa Utary sudah pulang dan menanyakan menu makan malam apa yang diinginkan perempuan itu malam ini.Livia meninggalkan dapur. Dengan tongkatnya ia menujukan langkah ke kamar Utary."Tary!" Livia memanggilnya namun tidak ada sahutan apa-apa. Begitu pun ketika Livia membuka pintu kamar. Ruangan tersebut berada dalam keadaan kosong melompong. Utary te
Rajendra memutar badan dengan perlahan. Sepasang matanya menatap dingin ke arah Livia yang berdiri di ambang pintu dengan bertumpu pada tongkatnya."Apa?" tanya lelaki itu singkat dan datar, menunjukkan rasa tidak tertarik untuk melanjutkan percakapan.Livia menghela napasnya sedalam mungkin, mencoba untuk mengumpulkan keberanian. Ia menyusul Rajendra yang saat ini sedang duduk di tepi tempat tidur. Livia ikut duduk di sebelahnya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku yang sudah ia persiapkan sebelumnya."Selamat ulang tahun, Ndra. Semoga segala keinginanmu terwujud menjadi kenyataan, bahagia selalu ya," ucap Livia sambil tersenyum lalu memasangkan arloji hadiah darinya ke pergelangan tangan Rajendra. Lelaki itu mendadak speechless. Ia menurunkan pandangannya saat merasakan sentuhan Livia di tangannya. Dipandangnya arloji yang kini melingkar di pergelangan tangannya. Desainnya simpel namun tampak elegan. "Ini untuk apa?" Rajendra bertanya dingin.Livia tidak tahu apa Rajendra pur
Pagi ini Livia terbangun jauh lebih awal dari hari-hari sebelumnya. Kehangatan tubuh Rajendra yang mendekapnya sepanjang malam masih dirasakannya. Dan untuk pertama kalinya Livia tidak merasa sendirian di ruangan itu.Kedua bola mata Livia mengamati wajah suaminya yang masih tertidur. Wajah Rajendra lebih damai dari biasanya. Jantung Livia berdebar-debar tak karuan, berharap kehangatan ini bertahan lebih lama.Sejurus kemudian keinginan itu dipengaruhi oleh keraguan. Apakah semua ini hanya berlangsung sesaat saja? Atau Rajendra benar-benar mulai menerima dirinya apa adanya?Di saat Livia bergerak untuk bangun dari tempat tidur, tangan Rajendra mengeratkan dekapannya. Suara lelaki itu pun terdengar yang sepertinya masih separuh sadar."Jangan bangun dulu," ujarnya.Livia langsung termangu. Ia tidak pernah mendengar nada selembut itu keluar dari mulut Rajendra untuknya."Kenapa nggak boleh bangun?" Livia tidak mengerti.Rajendra mengubur wajahnya di rambut Livia lalu menggumam pelan, "
Sore ini Livia sedikit bersantai. Ketiadaan Utary di di rumah tersebut benar-benar membuatnya bebas dan lega. Livia tidak peduli sekarang Utary ada di mana. Yang penting tidak lagi berada di rumah itu.Saat Livia sedang asyik menonton berita sore ia mendengar suara mobil Rajendra. Tumben Rajendra pulang sore, pikirnya.Livia bangkit dari tempat duduknya, bergegas meraih tongkat kemudian berjalan terpincang-pincang untuk menyambut Rajendra. Ketika pintu rumah ia buka alangkah kagetnya Livia. Rajendra tidak sendiri. Lelaki itu membukakan pintu penumpang bagian depan. Utary keluar dari sana dengan wajah ceria. Selanjutnya Rajendra mengeluarkan kantong belanjaan dan barang-barang dari mobilnya. Rupanya mereka baru pulang membeli peralatan dan perlengkapan bayi.Mengetahui Utary telah kembali dada Livia terasa sesak. Kelegaan yang sempat hadir lenyap begitu saja. Kebebasannya seakan kembali direnggut. Dan ia harus kembali berbagi Rajendra."Kenapa masih berdiri di sana? Bantuin!" perintah
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha