"Nara?!"
"Bunda?!"
Langsung saja Nara memelukku, lalu mencium tangan ini dengan takzim. Aku hampir saja tak mengenali wajah putri kecilku, yang kini sudah dewasa. Dia lebih cantik dari yang dulu. Kulitnya putih, hidungnya mancung, serta senyumnya yang manis.
"Bagaimana kabarmu, Nak?" Tanyaku melonggarkan pelukan.
"Baik, Bun."
"Alhamdulillah, Bunda senang kamu baik-baik saja, Nak."
"Iya, Bun. Nara sering ke sini menjenguk Abang Habib dan juga Azura. Rumah Nara gak jauh dari sini jika Bunda ingin mampir."
"Bunda pasti mampir nanti."
"Duh, yang lagi kangen-kangen sampai lupa untuk duduk," sindir Habib.
Rasa bahagia ini yang meluap membuatku lupa kalau ada Habib. Ini sudah tujuh belas tahun berlalu, baru kali ini dipertemukan kembali dengan Nara.
Aku memandang ke arah luar jendela kereta api. Tujuannya menuju ke arah Tebing Tinggi. Kami akan pergi berziarah ke makam Anan. Lelaki yang pernah singgah di hatiku dulu. Pria yang selalu ku rindukan.Tiba-tiba memori ini teringat bak sebuah kaset yang diputar. Bagaimana aku menunggunya dengan setia, tetapi hanya dihadiahi talak ketika pulang dari merantau.Bayangan dua puluh tahunan itu masih melekat di kepala. Sampai kapan pun akan tetap mengisi hari-hariku."Mas Anan!"Saat wajah lelaki yang kurindukan selama lima tahun kini datang menemuiku tepat berdiri di hadapanku. Lelaki yang sangat kurindukan bertahun-tahun merantau kini telah pulang dengan membawa kesuksesan. Ia pulang dengan membawa mobil mewah bermerek dan memakai pakaian rapi. Seperti pekerja kantoran dan di tangan kirinya tersemat jam bermerek berharga mahal. Ia pulang membawakan oleh-oleh untuk kedua anakku."Mas!" pan
Hujan rintik mulai membasahi bumi. Angin bertiup mempermainkan bunga kamboja yang ada di area pemakaman ini. Beberapa peziarah berteduh di teras masjid. Mendung hitam menyelimuti bumi. Langit seakan ikut menangis mengiringi rangkain doa yang kupanjatkan."Mas Anan, aku datang melihat makammu. Maaf, aku terlambat mengetahui. Engkau kini telah tiada untuk selama-lamanya."Kukirimkan al-fatiha untuk Mas Anan yang tidur di bawah sana. Waktu seakan berhenti berputar, mengiringi air mata yang mulai merembes. Kemarin dia masih bersamaku menemani hari-hari bahagia kami. Ku rindu tawa, candanya yang renyah menggoda.Masih kuingat kala kami hidup susah dulu, bagaimana dia dengan gigih bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kini, memori itu tinggal kenangan sepanjang waktu."Selamat tinggal, Mas Anan. Semoga amal ibadahmu diterima oleh Yang Maha Kuasa.
"Humairah, kamu sebaiknya ikut Bunda saja. Sekarang kita adalah keluarga. Jangan sungkan memanggilku dengan sebutan Bunda.""Baik, Bun." Humairah menjawab dengan anggukan.Kemudian dia mempersiapkan semua baju-bajunya untuk dibawa. Gadis berkerudung satin itu hanya tinggal sendiri di rumah tua ini. Sejak Mas Anan meninggal, dia tak punya saudara lagi selain kami. Entah di mana ibu yang sudah melahirkannya. Kabar yang terakhir kudengar Sarah sudah menikah dengan lelaki lain.Humairah juga tak lagi mendengar kabar tentang ibu kandungnya. Sarah bak ditelan bumi menghilang begitu saja. Kasihan Humairah, meski dia anak dari hasil perselingkuhan Mas Aman, tetapi gadis itu tetap tak berdosa. Bagaimanapun juga aku harus melindunginya. Sampai ada seseorang yang akan datang untuk melamarnya sebagai istri."Sudah siap?" Tanya Habib menghampiri kami.&nb
Pernikahan tanpa cinta tidak akan pernah merasakan rindu walau ia jauh. Kebahagian rumah tangga yang harmonis bagaikan bayangan semu, yang tak akan pernah terwujud. Aku pikir hidup berumah tangga dengan Ustaz Rahman akan terbina keharmonisan, nyatanya salah. Ustaz Rahman malah membawa wanita lain ke rumah.Bagaimana mungkin hatiku bisa bertahan, jika ada orang ketiga yang datang. Kaca yang sudah retak makin hancur. Aku melihat pernikahan ini tidak bisa dipertahankan lagi.Bagiku, Ustaz Rahman adalah orang terpenting setelah anak-anak. Meski sikap lelaki itu kadang acuh, aku pikir bisa membuat rumah tangga bertahan lama."Ayi, ini Nurul. Kalian akan tinggal satu rumah sekarang. Aku minta harus akur jangan bertengkar," tutur Ustaz Rahman ketika memperkenalkan Nurul yang datang membawa koper besar.Hari yang ditakutkan tiba dan tak pernah terlintas sedikit
Pesta sudah selesai, para tamu juga sudah pulang. Pengantin masih duduk bersanding di pelaminan. Senyum bahagia jelas terpancar di wajah Humairah dan Syawal. Mereka bak pasangan sejoli yang serasi.Malam semakin larut. Rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Langit gelap gulita tanpa bintang dan bulan yang menyinari. Dari balik jendela bisa kusaksikan malam yang mencekam. Di kamar ini, duduk seorang diri. Tugasku sudah hampir selesai dalam membesarkan anak-anak. Nara sudah menikah begitu juga dengan Habib. Mereka masing-masing sudah mempunyai anak. Tinggal Hafiz yang masih belum menikah.Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, usia pun sudah bertambah tua. Mas Anan juga sudah tiada sebelum sempat melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa. Masih ada satu yang menjadi beban pikiranku. Habib harus sudah menikah sebelum maut menjemput ajalku.Tok tok tok! Suara ketukan pintu terdengar di lu
"Mas, kamu sudah bangun?" Tanyaku kepada Ustaz Rahman.Mata Ustaz Rahman mengerjap. Memperhatikan sekeliling ruangan. Dia menatapku seakan aku ini asing baginya."Di mana aku, Ay?""Kamu ada di rumah sakit, Mas.""Apa yang sudah terjadi denganku?""Kamu terkena demam berdarah.""Benarkah?""Istirahatlah! Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa."Aku beranjak dari tempat duduk ingin keluar dari kamar inap Ustaz Rahman. Namun, tangannya mencekal pergelangan tanganku."Tunggu, Ay!" Sergahnya."Ada apa, Mas?" Aku berbalik menatap wajahnya sambil melepas cekalan tangannya."Maaf, Mas. Aku tidak halal bagimu.""Maafkan aku, Ay. Semua ini salahku. Seharusnya aku tidak pernah menjatuhkan talak tiga kepadamu.""Semua sudah terjadi, Mas. Untuk apa disesali.""Andai aku bisa menahan emosiku saat itu. Saat ini kita masih menjadi suami istri yang sah."
Hujan deras mengiringi langkahku. Ketika akan pulang selesai mengajar. Di tengah perjalanan terpaksa aku harus berhenti. Berteduh di bawah pohon beringin yang rindang. Jarak antara rumah dengan pondok pesantren hanya sekitar lima ratus meter. Namun rintik air yang deras bisa membasahi tubuhku, jika diteruskan menuju ke rumah. Dinginnya udara yang sejuk terasa menusuk tulang. Angin berhembus sangat kencang. Pohon yang beringin ikut bergoyang terhempas angin. Hijab yang kukenakan juga melambai-lambai, tertiup hembusan ranting pohon beringin. "Pakai payung ini! Kamu tidak akan kebasahan sampai pulang ke rumah."Aku menoleh ke samping. Tiba-tiba Ustaz Rahman sudah berdiri di belakangku. Sepertinya dia juga baru pulang mengajar. "Gak usah, Mas. Terima kasih. Aku tidak membutuhkannya." Aku sedikit bergeser ke samping. Menjaga jarak hingga satu meter. "Kenapa? Apa begitu bencinya kamu denganku? Hingga menolak niat baikku.""Bukan begitu.""Lalu?""Berhentilah menemuiku!""Maksudnya?""Ma
Banyak orang di dunia ini mendapatkan kekayaan dengan jalan pintas. Termasuk salah satunya merusak rumah tangga orang lain. Bahkan, pelacur sekali pun akan menjauh bila sudah dibayar. Tapi pelakor tidak akan pernah mau pergi. Selamanya akan menjadi benalu dalam rumah tangga.Begitu juga dengan kehidupan yang terjadi denganku. Antara aku, Ustaz Rahman dan juga Nurul. Dia ibarat duri yang sudah mendarah daging. Selamanya akan tetap begitu. Prahara datang melanda kehidupan kami. Setelah dia masuk menjadi orang ketiga.Kini, aku harus menyaksikan sendiri. Seorang wanita terluka karena ulahnya. Sama halnya yang kemarin dulu kurasakan. Hanya bedanya, Nurul tidak mempunyai anak saat menikah dengan Ustaz Rahman. "Berhenti menjadi pelakor, Nurul. Berapa banyak lagi rumah tangga yang akan kau rusak.""Jangan ikut campur urusanku, Mbak. Lebih baik kamu urus diri sendiri saja.""Belum cukupkah kamu merusak rumah tanggaku? Kamu datang sebagai orang ketiga. Kemudian merusak kebahagian kami sekelua