Pesta sudah selesai, para tamu juga sudah pulang. Pengantin masih duduk bersanding di pelaminan. Senyum bahagia jelas terpancar di wajah Humairah dan Syawal. Mereka bak pasangan sejoli yang serasi.
Malam semakin larut. Rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Langit gelap gulita tanpa bintang dan bulan yang menyinari. Dari balik jendela bisa kusaksikan malam yang mencekam. Di kamar ini, duduk seorang diri. Tugasku sudah hampir selesai dalam membesarkan anak-anak. Nara sudah menikah begitu juga dengan Habib. Mereka masing-masing sudah mempunyai anak. Tinggal Hafiz yang masih belum menikah.
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, usia pun sudah bertambah tua. Mas Anan juga sudah tiada sebelum sempat melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa. Masih ada satu yang menjadi beban pikiranku. Habib harus sudah menikah sebelum maut menjemput ajalku.
Tok tok tok! Suara ketukan pintu terdengar di lu
"Mas, kamu sudah bangun?" Tanyaku kepada Ustaz Rahman.Mata Ustaz Rahman mengerjap. Memperhatikan sekeliling ruangan. Dia menatapku seakan aku ini asing baginya."Di mana aku, Ay?""Kamu ada di rumah sakit, Mas.""Apa yang sudah terjadi denganku?""Kamu terkena demam berdarah.""Benarkah?""Istirahatlah! Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa."Aku beranjak dari tempat duduk ingin keluar dari kamar inap Ustaz Rahman. Namun, tangannya mencekal pergelangan tanganku."Tunggu, Ay!" Sergahnya."Ada apa, Mas?" Aku berbalik menatap wajahnya sambil melepas cekalan tangannya."Maaf, Mas. Aku tidak halal bagimu.""Maafkan aku, Ay. Semua ini salahku. Seharusnya aku tidak pernah menjatuhkan talak tiga kepadamu.""Semua sudah terjadi, Mas. Untuk apa disesali.""Andai aku bisa menahan emosiku saat itu. Saat ini kita masih menjadi suami istri yang sah."
Hujan deras mengiringi langkahku. Ketika akan pulang selesai mengajar. Di tengah perjalanan terpaksa aku harus berhenti. Berteduh di bawah pohon beringin yang rindang. Jarak antara rumah dengan pondok pesantren hanya sekitar lima ratus meter. Namun rintik air yang deras bisa membasahi tubuhku, jika diteruskan menuju ke rumah. Dinginnya udara yang sejuk terasa menusuk tulang. Angin berhembus sangat kencang. Pohon yang beringin ikut bergoyang terhempas angin. Hijab yang kukenakan juga melambai-lambai, tertiup hembusan ranting pohon beringin. "Pakai payung ini! Kamu tidak akan kebasahan sampai pulang ke rumah."Aku menoleh ke samping. Tiba-tiba Ustaz Rahman sudah berdiri di belakangku. Sepertinya dia juga baru pulang mengajar. "Gak usah, Mas. Terima kasih. Aku tidak membutuhkannya." Aku sedikit bergeser ke samping. Menjaga jarak hingga satu meter. "Kenapa? Apa begitu bencinya kamu denganku? Hingga menolak niat baikku.""Bukan begitu.""Lalu?""Berhentilah menemuiku!""Maksudnya?""Ma
Banyak orang di dunia ini mendapatkan kekayaan dengan jalan pintas. Termasuk salah satunya merusak rumah tangga orang lain. Bahkan, pelacur sekali pun akan menjauh bila sudah dibayar. Tapi pelakor tidak akan pernah mau pergi. Selamanya akan menjadi benalu dalam rumah tangga.Begitu juga dengan kehidupan yang terjadi denganku. Antara aku, Ustaz Rahman dan juga Nurul. Dia ibarat duri yang sudah mendarah daging. Selamanya akan tetap begitu. Prahara datang melanda kehidupan kami. Setelah dia masuk menjadi orang ketiga.Kini, aku harus menyaksikan sendiri. Seorang wanita terluka karena ulahnya. Sama halnya yang kemarin dulu kurasakan. Hanya bedanya, Nurul tidak mempunyai anak saat menikah dengan Ustaz Rahman. "Berhenti menjadi pelakor, Nurul. Berapa banyak lagi rumah tangga yang akan kau rusak.""Jangan ikut campur urusanku, Mbak. Lebih baik kamu urus diri sendiri saja.""Belum cukupkah kamu merusak rumah tanggaku? Kamu datang sebagai orang ketiga. Kemudian merusak kebahagian kami sekelua
Dua pria di hadapanku saling memandang. Ustaz Rahman dan Ustaz Faruq berdiri berhadapan. Keduanya menatap tajam satu sama lain. Entah mengapa aku bisa berdiri di antara kedua laki-laki ini."Maaf, Ustaz Faruq, Ustaz Rahman, saya duluan mau ada urusan mendadak.""Tunggu, Ay! Aku akan mengantarmu pulang," ujar Ustaz Faruq. Ustaz Rahman menatap saudara sepupunya jengah. Seperti tidak suka karena menawarkan jasanya. Selesai jam pelajaran aku tidak ada lagi mengajar anak-anak. Kuputuskan saja untuk beristirahat di rumah. Ada Humairah yang sedang sakit. Belakangan dia jarang keluar rumah karena kondisi sedang hamil. Humairah mengalami masa ngidam hingga usia kandungan tujuh bulan. Dia juga sudah mengajukan cuti selama enam bulan ke depan. Syawal melarangnya untuk mengajar. Takut kondisi kesehatan Humaira terganggu."Maaf, Ustaz. Saya bisa jalan sendiri. Kebetulan bawa motor."Ustaz Faruq dan Ustaz Rahman hanya saling pandang. Keduanya mengernyitkan kening. "Baiklah, kalau begitu. Aku pa
Apa yang lebih sakit dirasakan, ketika seseorang yang dicintai telah berselingkuh. Cintanya ternyata hanya untuk orang lain. Ya, membina suatu hubungan itu mudah. Namun, mempertahankan sangat sulit. Hari ini, aku bertemu dengan Ustaz Rahman. Aku melihat dia sedang bersama Azmi. Lelaki selalu tak berubah. Meski dia seorang ahli agama sekalipun. Tetap saja butuh sentuhan dan belaian seorang wanita. Mustahil di usia yang masih muda tak membutuhkan kehadiran perempuan. Sumpah hanyalah untuk menutupi hati yang gundah gulana. Bahkan, tak tanggung-tanggung, seseorang dengan mudah mengucapkan kalimat sumpah bukan lagi atas nama dirinya. Melainkan dengan menyebut nama Allah seperti demi Allah. Bagaimana sebenarnya menggunakan kalimat sumpah atas nama Allah? Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menekankan sakralnya sumpah. Salah satunya yakni terdapat pada surat Al Maidah ayat 89.لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْم
"Astagfirullah!" Aku menjerit ketika sebuah mobil sedan menyerempet dari samping. Motorku langsung jatuh dan menabrak trotoar. Darah segar langsung mengalir dari kaki. Seorang pria dan wanita langsung turun menghampiri. Tapi yang membuatku terkejut adalah perempuan yang ada di sampingnya. Tak lain adalah Nurul. Dia dengan sombongnya melangkah mendekat, dan mencecar dengan kata-kata kasar."Hei kalau jalan pakai mata! Sudah tahu ini tempat umum, masih jalan pakai melamun." Cibirnya dengan nada tinggi."Maaf, ya? Aku sudah jalan di pinggir. Tapi mobil yang kalian kemudikan telah menyalip jalanku.""Tuh kalau orang miskin pasti cari-cari alasan untuk memeras orang kaya.""Ma, sudahlah. Jangan bertengkar di jalan. Ini tempat umum. Malu dilihat orang.""Perempuan miskin seperti dia memang harus diberi pelajaran, Pa. Biar gak kurang ajar minta biaya pengobatan dan biaya kecelakaan.""Aku rasa di sini aku yang jadi korbannya. Tapi kamu bukannya meminta maaf malah mencela.""Ha!" Nurul menc
"Bunda jadi berangkat ke Aceh?""Jadi, Nak. Ini kan kegiatan sekolah untuk study tour. Semua ustaz dan para guru akan menemani santri. Hanya murid kelas sembilan saja yang berangkat. Semuanya berjumlah enam puluh orang." Aku menjawab sambil menyusun pakaian ke tas ransel. Habib hanya terdengar menarik napas panjang ketika dia melihatku. Seolah sedang ada pikiran yang mengganggu jiwanya. "Aku tidak setuju sebenarnya melihat Bunda pergi ke sana." "Loh kenapa? Bunda kan pergi karena tugas. Bukan karena ingin jalan-jalan. Ini adalah kegiatan perpisahan murid-murid kelas sembilan. Tidak tiap bulan kita pergi.""Perasaan Habib kali ini tidak enak, Bun.""Sepertinya kamu harus banyak- banyak istigfar, Nak. Bunda tidak ingin kamu berburuk sangka dengan yang di atas."Habib hanya diam tak ingin melanjutkan debat lagi denganku. Alasan apa pun tidak akan bisa mencegahku untuk berangkat. Bagaimana mungkin aku mengabaikan anak-anak. Mereka sudah menyelesaikan pendidikan tiga tahun di pondok pes
Bab 96 Seandainya Hujan turun dengan deras di atas permukaan air laut. Prediksi mengatakan hari ini cerah. Namun entah kenapa tiba-tiba air laut menjadi pasang. Ombak bergulung-gulung setinggi empat meter menyapu sampan kecil yang kami tumpangi. Hingga pecah dan menenggelamkan penumpangnya. Kayu untuk mengayuh sampan ini tidak kuasa melawan arus. Meski dua tenaga orang dewasa sudah dikerahkan. Ustaz Rahman dan nelayan akhirnya harus menyerah. Membiarkan sampan terbawa arus dan pecah. Kami semua panik, terutama aku yang baru pertama kali menyeberang di lautan luas. Terbiasa hidup di darat membuatku tidak nyaman dalam situasi ini.Aku ingat Tuhan pada Sang Pencipta. Aku juga ingat pada masa laluku yang suram. Ketika hidupku bersama Anan. Aku berdoa di dalam hati, mudah-mudahan akan dikabulkan hingga doaku bisa menembus langit ketujuh. Sebelum ajal menjemputku, aku ingin melihat anak dan cucu. "Jangan panik, Ay. Aku akan menolongmu." Ustaz Rahman menggapai tanganku. Dia menggenggam y