"Syawal, keluar kamu!" suara teriakkan seorang laki-laki menghentikan aktivitasku yang ingin menunaikan salat asar.
Syawal keluar dengan segera menemui pria yang tadi memanggilnya dengan suara bariton.
"Bang Baron," seru Syawal.
Kuperhatikan tiga orang laki-laki bertubuh besar dan tegap berdiri dengan berkecak pinggang.
"Mana uang setoran hari ini, hah?" hardik pria yang dipanggil bang Baron.
"Be-be ... blum ada, Bang," jawab Syawal gugup.
Ekspresi wajah Bang Baron mendadak berubah sangar.
"Apa?! Belum ada?!" teriak Bang Baron.
"Maaf, Bang. Aku belum ada ngerjain tugas," jawab Syawal.
Masih dengan wajah sangar pria yang bernama Bang Baron mencengkram kerah baju Syawal.
"Apa kau mau aku habisi hah?" hardik Bang Baron.
"A-ampun, Bang. Jangan habisi aku! Akan segera kuberikan uang setorannya nanti, setelah ngerjain tugas," jawab Syawal dengan bibir gemetar.
Deng
Matahari semakin tinggi di atas awan. Sinarnya yang cerah membiaskan cahaya dipermukaan bumi. Siang itu Ayi dan kedua anaknya pergi untuk mengamen. Sementara Syawal juga ikut menemani mereka dari belakang sebagai petunjuk arah jalan. Ayi melarang Syawal mencopet untuk mencari makan. Ayi mengusulkan agar mencari uang halal dengan cara ngamen meskipun hasil recehan. Tapi, itu lebih baik dari pada harus merampas hak orang lain."Bun, kita mau kemana?" tanya Nara.Mereka berempat berjalan menuju ke terminal."Kita mau pergi ngamen, Nak," jelas Ayi."Nara baik budi ya, nanti. Bunda, mau ngamen buat mencari sesuap nasi, agar kita bisa bertahan hidup di Jakarta ini," lanjut Ayi."Ya, Bunda. Nara, janji tidak akan nakal dan bikin susah bunda," ucap Nara mengangkat jari kelingkingnya.Seperti yang biasa ia lakukan dulu kepada Ustaz Rahman bila berjanji akan menautkan jari kelingkingnya."Anak pin
"Hentikan, Baron!"Seorang pria tinggi tegap berkulit putih menangkis tangan Bang Baron yang siap melayang ke wajah Ayi. Pria itu membuang tangan Bang Baron ke sembarang arah."Ali?! Jangan ikut campur urusanku dengan wanita ini," hardik Bang Baron.Pria yang bernama Ali itu pun menatap tajam ke arah Bang Baron."Apa kau sudah kehilangan nyali, Baron? Atau urat saraf malumu sudah putus hingga menganiya seorang wanita?" ucap Ali geram.Bang Baron berdecik ia membuang ludahnya kesamping."Cih. Kau tau apa tentang wanita ini, Ali? Dia sudah berani menghasut anak buahku untuk berhenti bekerja denganku. Hingga tidak memberikan uang setoran," sahut Bang Baron."Oh, jadi hanya karena wanita ini membela anak buahmu, lantas kau ingin menghabisinya," tukas Ali.Bang Baron maju satu langkah lalu, mendekati pria yang dipanggil Ali. Matanya menatap tajam ke
"Tunggu!" sergah seorang pria tampan.Pemuda itu berdiri di bawah pohon palem di depan rumah gudang.Ketika Ayi dan anak-anaknya akan masuk ke dalam, pria asing itu menghentikan langkah mereka.Serentak mereka berempat berbalik menghadap ke arah sosok pria berkemeja biru dongker dan celana abu-abu berdiri dengan tersenyum."Maaf. Anda siapa?" tanya Ayi penasaran.Pemuda asing itu pun tersenyum ke arah Ayi dan anak-anaknya."Namaku Faaiz Hasby. Aku produsen musik Abyan gambus," jawabnya mengulas senyum.Faaiz mengulurkan tangan tapi, Ayi hanya menyambutnya dengan tangan dilipat ke dada.Kening Ayi mengkerut mendengar penjelasan pemuda itu."Lalu?" tanya Ayi lagi."Aku tadi mendengar kamu membawakan lagu sholawat dengan merdu dan indah. Sungguh suaramu sangat memukau para pendengar hingga membuat mereka terhipnotis," ujarnya.Fa
Pov Rahman"Ayi?!"Aku terkesiap ketika menyaksikan Ayi, membawakan lagu sholawat ya Asiqil Musthofa di salah satu setasiun televisi.Bola mataku hampir saja keluar dari kelopaknya. Hampir saja aku menjatuhkan gelas yang ada di tangan saat melihat penampilan Ayi yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Kalau saja Nur Azizah istriku tidak segera menangkap gelas yang ada di tanganku mungkin sudah jatuh, hancur berkeping-keping tak tersisa."Astagfirullah, kamu lihat apa, Mas? Sampai segitunya, kayak lihat hantu saja?" tanya Nur heran.Diletakkannya kembali gelas yang tadi berisi kopi panas di atas meja.Alangkah terkejutnya Nur saat matanya melihat penampilan Ayi yang berada di salah satu setasiun televisi. Wajahnya mendadak pias ketika menyaksikan Ayi membawakan lagu sholawat dengan anggun dan suara merdu yang mendayu-dayu."Ayi?!" ucapnya terperanga.Nur akhir
Pesawat Garuda air sudah mendarat di bandara Suekarno-Hatta dengan selamat pukul sepuluh lewat lima belas menit waktu setempat. Tidak terlambat dari jadwal yang sudah di tentukan. Ustaz Rahman segera memesan ojek online untuk mencari alamat rumah Ayi.Di Jakarta Ayi sudah punya tempat tinggal sendiri dengan membeli rumah yang jauh lebih bagus dengan rumahnya saat tinggal di kampung. Ayi membeli rumah dengan hasil kerja kerasnya. Album lagu religi Ayi sudah banyak terjual berjuta copy. Dari hasil tersebut ia sudah bisa membeli rumah mewah di daerah Jakarta."Pak, kita mau kemana? Sedari tadi jalan terus tanpa tujuan," ucap sopir ojek online."Aku sedang mencari alamat orang yang telah lama kurindukan, Pak. Tapi, aku tidak tahu dimana ia tinggal. Yang aku tahu dia seorang penyanyi terkenal sering membawakan lagu religi," ujar Rahman."Wah, pasti dia wanita yang istimewa bagi Anda sampai rela nyusul
Kehilangan seseorang yang di cintai itu sakit, tapi kehilangan seseorang yang di cintai karena kebodohan jauh lebih sakit. Di hadapanku dia menatap dengan raut yang tak terbaca. Dan aku tak peduli, hati ini benar-benar ingin marah padanya.Melihat wajahnya yang polos dan alim rasanya hati ini panas dingin, jantungku berdetak cepat dari biasanya, ingin sekali aku langsung bertanya pada Ustaz Rahman apa alasanya datang menjemputku jauh-jauh sampai ke Jakarta.Jangan tanya perasaanku ini padanya, diantara kami memang sudah tidak terjalin ikatan, kalau pun masih ada rasa dan cinta di hatiku, sudah tidak pantas memilikinya. Dirinya sudah menjadi milik wanita lain."Maaf, Mas. Aku tidak bisa ikut denganmu."Ser ... ada yang mulai menusuk di lubuk hati Ustaz Rahman bagaikan sebilah samurai."Aku tahu kamu pasti marah dengan keputusan umi yang memilih, Nur Azizah dari pada dirimu."Ak
"Kau?"Aku terkesiap saat menyaksikan siapa yang sedang dipukuli para warga.Tubuh kurus, pakaian compang-camping, serta wajah yang tidak terawat juga ada bekas luka gores memanjang di bagian wajah kirinya. Tangannya yang kiri juga terlihat cacat.Kudekati lelaki itu, ia adalah laki-laki yang pernah aku kenal dulu waktu pertama kali aku tiba di Jakarta. Wajahnya babak belur di hajar masa karena tertangkap basah mencopet.Keadaannya berbanding terbalik saat beberapa bulan yang lalu kami bertemu dalam perlombaan. Meski beberapa kali kami hanya bertemu, namun aku tahu kalau laki- laki itu adalah Ustaz Adam yang pernah memberikan kerak telor.Saat itu Ustaz Adam terlihat gagah dan tampan memakai setelan jubah mahal dan barang berkelas. Tapi, kini sungguh aku hampir tidak bisa mengenalinya yang jauh berbeda dari sebelumnya.Kehidupan ini bagai ro
"Ayah ...."Seorang anak kecil berlari mendekati Ustaz Adam, memeluk dengan erat. Usianya tak jauh dari Nara hanya selisih dua tahun saja lebih tua sedikit darinya."Cinta," seru Ustaz Adam menciumnya bertubi-tubi.Gadis kecil itu lantas mengusap air mata Ustaz Adam. Tidak disangka perbuatan ayahnya meninggalkan kesedihan bagi gadis itu."Ayah mau kemana?" tangannya mengusap jejak air mata Ustaz Adam."Ayah mau pergi, Nak.""Cinta mau ikut sama Ayah.""Kamu gak boleh ikut Ayah, Nak. Kamu bersama Ibu saja tunggu sampai Ayah pulang menemui kalian," jelas Ustaz Adam."Tapi, Ayah mau kemana? Dan kenapa tangan Ayah diborgol?"Ustaz Adam hanya menangis sedih melihat anaknya bertanya. Hati ayah mana yang takkan
Bab 102 TamatMendung bergelayut manja disertai hujan gerimis saat itu. Aku dan rombongan Ustaz Rahman tiba di pelabuhan. Tuan Saga dan anak buahnya memutuskan untuk berpisah. Mereka kembali ke asalnya. Kemudian, kita meminjam telepon seseorang untuk menghubungi pondok pesantren. Agar mereka menjemput di daerah dermaga. Sudah lebih dari satu bulan kami menghilang. Ketika menghubungi pihak pondok, mereka terkejut melihat kami bisa selamat sampai tujuan. Tak lama kemudian, Ustaz Dian dan rombongan Kyai Lukman datang menjemput. Sengaja tidak aku hubungi Habib dan Nara ingin membuat kejutan. Juga Syawal yang mungkin saat menghilang mengkhawatirkan keadaanku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Ustaz Dian."Ustaz Rahman menyambut sahabatnya dengan penuh suka. Mereka saling berpelukan satu sama lain. Senang rasanya bisa melihat mereka lagi kembali akrab. "Aku tidak percaya kalian bisa kembali dengan selamat sampai di sini," ucap Ustaz Dian."Alhamdulilah. Berkata kemurahan yang di atas ka
Bab 101 Kembali ke AsalAku mundur satu langkah ke belakang. Namun Jirayu masih mendekat hingga nyaris tidak ada jarak di antara kami. Malam ini, adalah malam pengantin kami sudah pasti dia meminta haknya sebagai suami. Dia menatapku dalam diam. Tatapan gelapnya terlihat sangat menakutkan seperti ingin membunuhku. Kemudian, aku menyapanya dengan suara bergetar."Apa yang akan Anda lakukan, Tuan Jirayu?"Saat itu, aku baru menyadari dia sudah membuka baju kebesarannya. Setengah tubuhnya sudah telanjang dan memperlihatkan dadanya yang kekar. "Kau harus mengganti bajumu. Atau kau akan tidur dengan pakain seperti Cleopatra?""Terima kasih atas perhatianmu, Tuan Jirayu. Aku kira Anda tidak perlu begitu."Sambil mengatakan itu, Jirayu memberikan sebuah gaun baju tidur. Bahannya sangat halus seperti kain sutra. Namun tipis dan transparan bisa tembus pandang. Dia tentu sudah mempersiapkan semua ini untuk malam pengantin kami."Ha!" Jirayu tersenyum meremehkan. "Kenapa kau sangat tegang begi
Bab 100 Pernikahan Aku masih melihat tatapan Tuan Jirayu dengan penuh nafsu. Meski dia bukan pria yang berumur tua, namun membuatku merasa jijik. Tuan Jirayu berasal dari negeri Thailand, tetapi dia pemeluk agama islam. Dia membawaku ke negaranya. Berbagai pemandangan telah kulihat selama berada di negeri Gajah Putih. Dia memperlakukanku seperti seorang ratu di sini. Bukan berarti aku suka dengan sikapnya. Tuan Jirayu telah mempunyai istri enam. Dia bermaksud ingin menjadikanku istri yang ke tujuh. Saat itu, pesta iringan pengantin diadakan di aula untuk menyambut pengantin wanita."Ratu Panraya, Anda akan harus memakai mahkota ini untuk acara adat." Pelayan membawakan mahkota emas dan juga gelang berkepala ular. Melihat bentuknya yang unik, aku seperti berada di dalam dunia legenda masa silam. Gelang ular emas itu dari dinasti sebelumnya. Menurut pelayan akan diberikan kepada ratu ketujuh bila raja mereka berhasil menikah untuk yang ketujuh kalinya. Sialnya, aku adalah ratu terak
Bab 99 Tuan JirayuJantungku berdetak dengan kencang. Ketika Tuan Saga membawaku ke sebuah bar. Di sana ada pria Thailand yang wajah mirip dengan artis Prin Supirat. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Kulitnya putih, hidungnya juga mancung. Matanya sipit mirip penduduk Korea. "Tuan Jirayu, saya bawakan wanita cantik untuk Anda. Silahkan sepuasnya untuk mengobrol dengannya."Pria bernama Jirayu tersenyum. Dia berbicara dengan Tuan Saga menggunakan bahasa Thailand. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan apa. Namun dari tatapan Jirayu, jelas dia punya niat tidak baik. Tatapan matanya liar penuh dengan nafsu. Dia memperhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Hei, kau. Tuan Jirayu menyukaimu. Beruntung sekali dirimu malam ini. Layani dia dengan baik. Kau akan menjadi ratu yang dimanjakan.""Tuan Saga, sepertinya kau memilih orang yang salah. Aku tidak sudi melayani pria mesum seperti Tuan Jirayu.""Kau pasti akan menyesal telah menolak tawaran Tuan Jirayu, Nyonya Ayi.""Mengapa
Bab 97 Bajak LautKapal nelayan yang membawa kita langsung menuju ke tengah laut. Beberapa dari anak buah kapal memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Namun Ustaz Rahman segera mencairkan suasana untuk meredakan ketegangan.Angin laut bertiup kencang, ombak setinggi dua meter menghantam kapal yang sedang kami tumpangi. Kapten yang memimpin anak buahnya segera melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan, terlihat bendera putih dari negara lain. Di sebelahnya jelas, bendera milik negara Thailand. Sedikit terkejut dengan bendera yang berkibar di tengah lautan. Mengapa ada penyusup dari negara Thailand masuk ke perairan Utara. Aku melihat mereka seperti penyusup. Tapi siapakah yang sudah memberi peluang negara Gajah Putih. "Tuan Sadam, sepertinya itu kapal dari Thailand. Mereka sedang mendekat ke arah kita sekarang," ucap Ustaz Rahman. Mata Tuan Sadam langsung tertuju kepada dua kapal nelayan yang saling berjajar bersebelahan. "Ustaz Rahman, kau benar. Mereka adalah penyusup yang sering m
Bab 97 Kami SelamatAngin laut melambai mempermainkan hijabku ke sana ke sini. Udara di bibir pantai terasa menusuk tulang. Aku merasakan tubuhku menggigil kedinginan. Bibirku gemetar merasakan sakit yang luar biasa. Mungkin inilah saatnya ajalku tiba. Namun kenapa harus mati di sini? Bagaimana nanti jika jasadku tidak bisa dikuburkan dengan layak. Aku masih berharap akan ada keajaiban yang akan menyelamatkan kami dari pulau kecil ini.Sudah beberapa hari kami bertahan di tempat ini. Namun tidak ada tanda-tanda kapal penyelamat akan datang. Ustaz Rahman sudah baikan dan sembuh dari luka-lukanya karena terhempas kapal. Kini, giliranku yang harus sekarat di tempat ini. Entah untuk berapa lama aku bisa bertahan. "Ayi, bertahanlah. Aku akan berusaha mencari bantuan di sekitar sini," ucap Ustaz Rahman berbisik. Samar aku mendengar suaranya penuh kekhawatiran. Beberapa saat aku terdiam, dan hanya bersandar pada pohon kelapa yang hampir rubuh. Lama menanti, tetapi dia tak kunjung kembali.
Bab 96 Seandainya Hujan turun dengan deras di atas permukaan air laut. Prediksi mengatakan hari ini cerah. Namun entah kenapa tiba-tiba air laut menjadi pasang. Ombak bergulung-gulung setinggi empat meter menyapu sampan kecil yang kami tumpangi. Hingga pecah dan menenggelamkan penumpangnya. Kayu untuk mengayuh sampan ini tidak kuasa melawan arus. Meski dua tenaga orang dewasa sudah dikerahkan. Ustaz Rahman dan nelayan akhirnya harus menyerah. Membiarkan sampan terbawa arus dan pecah. Kami semua panik, terutama aku yang baru pertama kali menyeberang di lautan luas. Terbiasa hidup di darat membuatku tidak nyaman dalam situasi ini.Aku ingat Tuhan pada Sang Pencipta. Aku juga ingat pada masa laluku yang suram. Ketika hidupku bersama Anan. Aku berdoa di dalam hati, mudah-mudahan akan dikabulkan hingga doaku bisa menembus langit ketujuh. Sebelum ajal menjemputku, aku ingin melihat anak dan cucu. "Jangan panik, Ay. Aku akan menolongmu." Ustaz Rahman menggapai tanganku. Dia menggenggam y
"Bunda jadi berangkat ke Aceh?""Jadi, Nak. Ini kan kegiatan sekolah untuk study tour. Semua ustaz dan para guru akan menemani santri. Hanya murid kelas sembilan saja yang berangkat. Semuanya berjumlah enam puluh orang." Aku menjawab sambil menyusun pakaian ke tas ransel. Habib hanya terdengar menarik napas panjang ketika dia melihatku. Seolah sedang ada pikiran yang mengganggu jiwanya. "Aku tidak setuju sebenarnya melihat Bunda pergi ke sana." "Loh kenapa? Bunda kan pergi karena tugas. Bukan karena ingin jalan-jalan. Ini adalah kegiatan perpisahan murid-murid kelas sembilan. Tidak tiap bulan kita pergi.""Perasaan Habib kali ini tidak enak, Bun.""Sepertinya kamu harus banyak- banyak istigfar, Nak. Bunda tidak ingin kamu berburuk sangka dengan yang di atas."Habib hanya diam tak ingin melanjutkan debat lagi denganku. Alasan apa pun tidak akan bisa mencegahku untuk berangkat. Bagaimana mungkin aku mengabaikan anak-anak. Mereka sudah menyelesaikan pendidikan tiga tahun di pondok pes
"Astagfirullah!" Aku menjerit ketika sebuah mobil sedan menyerempet dari samping. Motorku langsung jatuh dan menabrak trotoar. Darah segar langsung mengalir dari kaki. Seorang pria dan wanita langsung turun menghampiri. Tapi yang membuatku terkejut adalah perempuan yang ada di sampingnya. Tak lain adalah Nurul. Dia dengan sombongnya melangkah mendekat, dan mencecar dengan kata-kata kasar."Hei kalau jalan pakai mata! Sudah tahu ini tempat umum, masih jalan pakai melamun." Cibirnya dengan nada tinggi."Maaf, ya? Aku sudah jalan di pinggir. Tapi mobil yang kalian kemudikan telah menyalip jalanku.""Tuh kalau orang miskin pasti cari-cari alasan untuk memeras orang kaya.""Ma, sudahlah. Jangan bertengkar di jalan. Ini tempat umum. Malu dilihat orang.""Perempuan miskin seperti dia memang harus diberi pelajaran, Pa. Biar gak kurang ajar minta biaya pengobatan dan biaya kecelakaan.""Aku rasa di sini aku yang jadi korbannya. Tapi kamu bukannya meminta maaf malah mencela.""Ha!" Nurul menc