Aku mengatur degup di dada, ucapan mantan istri Mas Radit barusan terdengar seperti sebuah ancaman di telingaku. Padahal ia hanya mengandaikan. Tapi mungkin aku yang terlalu ketakutan. Ya, aku takut jika hal yang pernah terjadi dahulu pada pernikahan pertama, terjadi kembali pada pernikahan kedua ini.Sekuat tenaga kucoba menenangkan diri."Yang sudah berlalu jangan diingat terus Mbak. Tapi jadikan sebagai pembelajaran agar ke depan hal serupa tidak terjadi kembali.""Iya Al, maaf saya jadi curhat sama kamu. Saya pikir dengan berbagi akan sedikit mengurangi beban yang terus menggangu jiwa ini. Dan sekiranya, tidak ada satupun sahabat selama ini yang bisa kupercaya. Mereka semua mengkhianatiku. Termasuk Resty. Dia ular berkepala dua, kamu harus hati-hati Al. Tapi dari semuanya, aku bersyukur Mas Radit menolaknya. Lelaki sebaik Mas Radit tidak layak untul seorang Resty, perawan tua!"Entah kenapa di pertemuan ini, aku melihat sisi lain dari seorang Rany. Aku mengira dia tidak seperti in
Dada ini begitu bergemuruh, rasanya tak sabar ingin menyelesaikannya dengan Mas Radit. Kucoba menarik napas lalu mengatur degup jantung akan tak menyentak terlalu kuat. Hingga Mas Radit keluar dari kamar mandi, sesak ini masih begitu terasa. Lelaki itu kembali mendekati ranjang dan memakai pakaian yang sudah kusediakan. Sengaja diri ini terus menatap ponsel tanpa memandanginya.Setelah selesai,"Lihat apa daritadi sibuk aja sama gawai Mas?"Aku menoleh, lalu memperlihatkan foto yang kutemukan di ponselnya."Ini apa, Mas?""Oh itu, tadi Rany ke rumah sakit ada keperluan katanya. Terus karena udah lama nggak ketemu, teman-teman ajak makan bareng.""Terus kalau makannya bareng-bareng, kenapa yang nampak di foto itu cuma Mas sama Rany? Harusnya kan ramai-ramai?""Itu mereka sengaja, Sayang. Mereka minta bukti kalau Mas dan Rany sudah tidak lagi memendam amarah. Salah satu cara dengan duduk di foto berdua tanpa orang lain.""Emang selama ini Mas marahan sama Rany?""Ya nggak juga.""Teru
Dadaku naik turun menarik dan membuang napas. Sungguh hina, siapapun yang sudah melakukan hal ini padaku. Beraninya main belakang, jika suka sama Mas Radit kenapa tidak mengatakan lalu meminta dinikahi?Kenapa mengganggu setelah akan dan jadi milikku.Sejenak tersingkirkan pikiran yang sedari tadi terus mengingat almarhum. Suamiku menjadi sumber kekhawatiranku kini.Ya Allah, jangan sampai ada apa-apa pada pernikahan kami ini.Dengan langkah pasti aku menuruni tangga, hingga sampai pada gundakan terakhir. Aku seperti mendengar suara orang berbisik yang berasal dari ruang tamu. Padahal ruangan itu gelap sebab lampunya rusak.Kusingkirkan rasa takut, lalu meneruskan langkah perlahan. Sedikit kusembunyikan tubuh di belakang tembok.[Iya, beres. Tenang aja, semua aman
Mas Radit sudah terlihat menawan dalam balutan jas dokternya. Dia hanya memintaku memasangkan kancing baju, itupun dalam keadaan buru-buru. Entah kenapa Maryam pagi ini sedikit rewel. Lelaki itu mengecup sekilas kening ini lalu beralih menatap si bungsu."Anak Ayah jangan rewel-rewel ya, biar Mama nggak capek," ucap Mas Radit sembari hendak meletakkan kembali Maryam di atas ranjang setelah sejenak menggendong. Tapi bayi mungil itu malah menangis semakin menjadi.Belum pernah Maryam menangis sedemikian kencang. Biasa merengek sedikit, begitu dikasih ASI langsung terdiam. Namun pagi ini, ASI pun ia tolak.Mas Radit terpaksa mengulur kembaki waktunya ke rumah sakit. "Ada apa, Nak? Nggak mau sama Mama, ya? Tapi Ayah mau kerja ini. Gimana?"Mas Radit kembali menggendong Maryam. Bayi itu kini berhenti menangis, hanya bersisa isakan."Coba ambil temperatur yang ada dalam kotak P3K. Kayaknya badan Maryam sedikit hangat, Yang."Lekas kulakukan permintaannya. Mas Radit kini meletakkan benda i
"Ika?"Mataku membelalak menyaksikan siapa yang kini ada di hadapan."Dokter Ika yang sudah nolongin kamu, Al."Ucapan Mas Radit membuat napas ini terhela.Ternyata, Allah kembali mempertemukan kami, setelah sekian tahun. Aku memang sudah sepenuhnya memaafkan semua ulahnya di masa lalu, tapi ketika melihat dia lagi, tetap saja ada debar aneh di dada."Terima kasih Mbak sudah membantu saya.""Tidak usah sungkan, Al. Alhamdulillah kamu sudah sadarkan diri.""Saya panggil dokter dulu ya, untuk memeriksa keadaan kamu."Mas Radit berpamitan keluar, hanya tinggal kami berdua di ruangan ini. Ika semakin mendekatkan langkah."Selamat ya Al, atas pernikahanmu. Saya pikir kamu tidak sepenuhnya kehilangan Mas Radit, sebab Allah mengirimmu lelaki serupa Mas Radit sebagai pengganti."Aku menghela napas, kuanggukan ucapannya. Entah kenapa aku merasa diapun masih mencintai almarhum Mas Radit. Semoga saja hanya perkiraanku saja."Mbak hamil lagi?""Iya, setelah keguguran kemarin. Alhamdulillah kini s
Selepas kepergian Mas Radit, meski tak bergairah aku tetap harus menjalani semua aktivitas seperti biasa. Mengurus dua anak serta membantu di rumah ibu mertua sebisa mungkin. Juga tak lupa mengawasi rumah almarhum Mas Radit yang kini ditempati oleh Ina beserta seorang sanak keluarganya. Hingga malam tiba, aku sangat terkejut dengan mampirnya sebuah nomor yang tak lain adalah nomor ponsel Nina, sahabat karibku semasa kuliah dahulu.[Assalamualaikum, Al.][Waalaikum salam.][Apa kabar, Al?][Alhamdulillah sehat, Nin. Kamu sekeluarga gimana?][Alhamdulillah, kami semua sehat. Al, besok malam ada kegiatan apa?][Kegiatan? Kalau malam sih nggak pernah ada kegiatan.][Datang ke acara syukuran kecil-kecilan di rumahku ya, Al. Acaranya habis isya, ajak suami dan anak-anakmu juga. Biar bisa saling kenal.][Suamiku lagi tugas luar kota, Nin.][Yah, padahal pengen sekali ketemu sama kamu, Al. Kemarin di acara reuni kampus juga kamu nggak datang.]Suara Nina di ujung telpon terdengar pilu. Seben
Mata kami bertemu sejenak hingga aku lepas kontrol dan berlari menuju pintu. Kugedor-gedor pintu kamar sambil berteriak minta tolong."Tolong! Buka pintunya!"Seperti kesurupan, aku berlari mencari celah agar bisa keluar. Tapi gerakanku tak mendapat cegahan. Sedang biasa, jika seorang lelaki hendak memperkosa, pasti dia akan langsung menyerang. Kenapa Mas Tama justru tidak begitu?Lelah berlari, akhirnya aku memilih berhenti, duduk kembali di atas ranjang dengan terengah-engah.Kumenoleh menatap Mas Tama yang ... sudah selesai berpakaian."Udah lari-larinya? Kamu lucu, Al."Dia terkekeh-kekeh menahan tawa. Sedang di sini, aku masih dengan emosi yang tak terkendali."Kenapa saya ada di sini? Mas Tama udah apain saya?"Dia menoleh, membuat degup jantung ini kian menyentak."Saat kamu keluar dari rumah Nina, saya ngikuti. Terus kamu dibawa oleh seorang wanita yang saya nggak kenal siapa. Dan di tengah jalan, mobilmu diberhentikan. Dia keluar untuk kemudian menaiki taksi."Dua bola matak
Tanpa mengulur waktu, lekas aku menelpon Mas Radit. Jantung sudah tidak bisa kugambarkan lagi dentumannya. Panggilan pertamaku direject.Tak putus asa, aku kembali menelpon. Direject lagi.Ya Allah ...Kucoba ketiga kali, tetap direject. Tak lagi menelpon, kini aku mengetik sebuah pesan.[Tolong angkat telponnya, Mas. Alya bisa jelaskan semua ini.]Tak ada balasan. Kini ponselnya malah tidak lagi aktif. Semua terlambat. Andai dari semalam aku jujur, tentu tak akan seperti ini kejadiannya.Tubuhku terduduk lemah di atas ranjang. Sejenak, anganku terlempar pada kejadian enam tahun silam. Seperti ada yang menghunus jantung ini. Sakitnya terasa hingga ke sekujur tubuh. Ya Allah, tolong beri kesempatan bagi hamba untuk menjelaskan semuanya pada Mas Radit.*Akbar turun di depan gerbang sekolah. Meski tak ingin melakukan kegiatan apapun tersebab hati masih dipenuhi kekhawatiran, tapi aktifitas tidak boleh berhenti. Akbar harus tetap ke sekolah. Masalah yang sedang kuhadapi dengan Mas Radit